Wednesday, July 24, 2013

ASURANSI KERUGIAN TERHADAP MOBIL CICILAN


ABSTRAK
Asuransi sendiri terdiri dari beberapa macam bentuk, diantaranya adalah asuransi kendaraan bermotor yang merupakan bagian dari jenis asuransi kerugian.  Tidak seperti jenis asuransi lain, asuransi kendaraan bermotor adalah asuransi kerugian yang tidak mendapat pengaturan khusus dalam KUHD. Oleh karena itu, maka seluruh ketentuan umum asuransi kerugian dalam KUHD berlaku terhadap asuransi kendaraan bermotor. Disamping ketentuan umum dalam KUHD berlaku terhadap asuransi kerugian, kesepakatan bebas yang dibuat secara tertulis dalam bentuk akta yang disebut polis menjadi dasar hubungan asuransi kendaraan bermotor antara tertanggung dan penanggung. Dalam praktek sering kali terjadi suatu permasalahan dimana adanya asuransi terhadap mobil yang dibeli secara cicilan. Secara yuridis, maka pihak pembeli mobil cicilan tersebut tidak dapat menuntut ganti kerugian kepada pihak asuransi atas kehilangan mobil tersebut karena mobil tersebut belumlah berpindah stastus kepemilikan atas dasar ketentuan Pasal 263 KUHD.

Kata Kunci: Asuransi Kerugian, Mobil Cicilan

Pendahuluan
Istliah asuransi dapat dipersamakan dengan pertangungan yang dalam bahasa Belanda adalah verzekering dan asurrantie.[1] Dalam bahasa Inggris dipakai istilah insurance. Prof Sukardono, menerjemahkan verzekering itu dengan pertanggungan. Hal tersebut juga ditegaskan oleh pendapat Prof. Subekti yang pada umumnya menggunakan istilah pertanggungan dalam terjemahannya KUHD dan UU Kepailitan. Sedangkan Sri Rezeki Hartono, menggunakan kata asuransi untuk istilah verzekering.

Istilah asurrantie di-Indonesiakan menjadi asuransi. Istilah asuransi lebih banyak dikenal dan dipakai dalam praktek perusahaan pertanggungan sehari-hari. Orang yang mengasurasnikan disebut dalam bahasa Belanda sebagai geassureerde dan dalam bahasa Inggris sebagai the assured. Sedangkan orang yang menerima asurasni dalam bahasa Belanda disebut sebagai assuradeur dan dalam bahasa Inggrisnya disebut the assurer.

Asuransi sendiri terdiri dari beberapa macam bentuk, diantaranya adalah asuransi kendaraan bermotor yang merupakan bagian dari jenis asuransi kerugian.  Tidak seperti jenis asuransi lain, asuransi kendaraan bermotor adalah asuransi kerugian yang tidak mendapat pengaturan khusus dalam KUHD. Oleh karena itu, maka seluruh ketentuan umum asuransi kerugian dalam KUHD berlaku terhadap asuransi kendaraan bermotor. Di samping ketentuan umum dalam KUHD berlaku terhadap asuransi kerugian, kesepakatan bebas yang dibuat secara tertulis dalam bentuk akta yang disebut polis menjadi dasar hubungan asuransi kendaraan bermotor antara tertanggung dan penanggung.[2]

Permasalahan
Berdasarkan uraian diatas yang berkaitan dengan asuransi kendaraan bermotor, maka akan diangkat suatu rumusan permasalahan yang diilustrasikan dalam bentuk kasus, yaitu A (tertanggung) membeli mobil (second) di showroom secara mengangsur sehingga BPKB dan surat-surat lainnya masih ada ditangan pihak showroom. Mobil tersebut juga telah diasuransikan oleh si A. Kemudian mobil tersebut hilang di depan rumah si A karena dicuri oleh orang lain, setelah empat bulan diterimanya. Dengan hilangnya mobil tersebut apakah si A dapat menuntut pihak asuransi untuk membayar ganti rugi atas kehilangan mobilnya?

Pembahasan
Hubungan antara risiko dan asuransi merupakan hubungan yang erat satu dengan yang lain. Dari sisi manajemen resiko, asuransi malah dianggap sebagai salah satu cara yang terbaik untuk menangani suatu resiko. Dalam pasal 246 KUHD memberikan batasan perjanjian asuransi sebagai berikut; Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tertentu.

Jadi, oleh karena asuransi atau pertanggungan itu merupakan suatu perjanjian, maka di dalamnya paling sedikit tersangkut dua pihak. Pihak yang satu adalah pihak yang seharusnya menanggung resikonya sendiri, tetapi kemudian mengalihkannya kepada pihak lain, pihak pertama ini kemudian disebut sebagai tertanggung atau dengan kata lain ialah pihak yang potensial mempunyai resiko. Sedangkan pihak yang lain ialah pihak yang bersedia menerima resiko dari pihak pertama dengan menerima suatu pembayaran yang disebut premi. Pihak yang menerima resiko pihak yang satu tersebut disebut sebagai penanggung (biasanya perusahaan pertanggungan atau asuransi).

Kewajiban utama penanggung dalam perjanjian asuransi sebenarnya adalah memberi ganti kerugian. Meskipun demikian kewajiban memberi ganti rugi itu merupakan suatu kewajiban bersyarat atas terjadi atau tidak terjadinya suatu peristiwa yang diperjanjikan yang mengakibatkan timbulnya suatu kerugian. Artinya, pelaksanaan kewajiban penanggung itu masih tergantung pada terjadi atau tidak terjadinya peristiwa yang telah diperjanjikan oleh para pihak sebelumnya.

Untuk sampai pada suatu keadaan dimana penanggung atau perusahaan harus benar-benar member ganti kerugian harus dipenuhi tiga syarat berikut ini, antara lain:
  1. Harus terjadi suatu peristiwa yang tidak tertentu yang diasuransikan;
  2. Pihak tertanggung harus menderita kerugian;
  3. Ada hubungan sebab akibat antara peristiwa dan kerugian.

Apabila suatu kerugian terjadi sebagai akibat dari suatu peristiwa yang tidak tertentu yang tidak diperjanjikan, maka tentu saja penanggung harus memenuhi kewajibannya untuk memberi ganti kerugian. Meskipun demikian tidak setiap kerugian dan setiap adanya peristiwa selalu berakhir dengan pemenuhan kewajiban penanggung terhadap tertanggung, melainkan harus dalam suatu rangkaian peristiwa yang mempunyai hubungan sebab akibat. Perusahaan asuransi sebagai penanggung dengan tegas memberikan kriteria dan batasan luasnya proteksi atau jaminan yang diberikannya kepada tertanggung. Kriteria dan batasan tersebut dicantumkan di dalam polis, sesuai dengan jenis asuransi yang bersangkutan. Sehingga setiap polis tercantum jenis peristiwa apa saja yang menjadi tanggung jawab penanggung. jadi apabila terjadi kerugian yang disebabkan karena peristiwa-peristiwa yang diperjanjikan itulah penanggung akan membayar ganti kerugian.

Biasanya dalam praktek sehari-hari, polis yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi masih harus ditambah atau diubah untuk memenuhi berbagai kebutuhan antara lain kemungkinan adanya perubahan keadaan, pemindahan tangan nama, dan sebagainya. Setiap perubahan/ penambahan, baik yang bersifat syarat atau bersifat pemberitahuan harus dicatat dalam polis yang bersangkutan, agar perubahan ini dapat dianggap sah dan mengikat para pihak.

Sebagaimana diketahui bahwa resiko yang ditanggung ole penanggung dalam asuransu kendaraan bermotor ada dua jenis, yaitu kerugian atau kerusajan kendaraan bermotor dan tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga. Dalam suatu keadaan yang mengakibatkan kerusakan terhadap kendaraan bermotor, maka penanggung akan memberikan penggantian kepada tertanggung atas kerugian yang disebabkan oleh:[3]
  1. Tabrakan, benturan, terbalik, tergenlincir dari jalan dan lainnya;
  2. Perbuatan jahat orang lain;
  3. Pencurian termasuk pencurian yang didahului atau disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman dengan kekerasan kepada orang dan lainnya;
  4. Kebakaran termasuk kebakaran benda atau kendaraan bermotor lain yang berdekatan atau tempat penyimpanan kendaraan bermotor yang diasuransikan dan lainnya.

Berdasarkan uraian diatas, bila kita kaitkan dengan permaslahan kasus yang diangkat dalam tulisan ini, maka secara yuridis si A dapat menuntut ganti kerugian kepada perusahaan asuransi selaku pihak penanggung atas kehilangan mobilnya tersebut.

Namun bila kita tinjau menurut ketentuan pasal 263 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) yang menyatakan bahwa "Apabila barang-barang yang dipertanggungkan, dijual atau berpindah hak miliknya, maka pertanggungan berjalan terus guna keuntungan si pembeli atau si pemilik baru, biarpun pertanggungan itu tidak dioperkan, mengenai segala kerugian yang timbul sesudah barang tersebut mulai menjadi tanggungannya si pembeli atau si pemilik baru tadi; segala sesuatu itu kecuali apabila telah diperjanjikan hal yang sebaliknya antara si penanggung dan tertanggung yang semula.” (ayat 1). Apabila, pada waktu barang itu dijual atau dipindahkan hak miliknya, si pembeli atau si pemilik baru menolak untuk mengoper tanggungannya, sedangkan si tertanggung yang semula masih tetap berkepentingan terhadap barang yang dipertanggungkan, maka pertanggungan itu sementara tetap akan berjalan guna keuntungannya." (ayat 2) maka akan terjadi sebaliknya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 263 KUHD tersebut maka si A selaku pihak tertanggung memang belum berhak untuk menuntut asuransi tersebut dengan alasan karena mobil itu belum berpindah kepemilikannya atas nama si A. Tertanggung masih harus membayar cicilan mobil tersebut, kecuali pada saat mobil dicuri, si A telah melunasi mobil tersebut. Dengan adanya pelunasan modil tersebut, berarti mobil tersebut telah menjadi milik si A yang konsekuensi yuridisnya surat-surat dan BPKB tersebut telah berubah atas nama si A sehingga si A berhak untuk menuntut asuransi tersebut kepada pihak perusahan asuransi.

Namun karena si A belum juga melunasi mobil tersebut hingga mobil itu dicuri orang, maka si A secara yuridis belum dapat untuk menuntut ganti rugi kepada pihak asuransi. Mengenai hal tersebut, Abdul Kadir Muhammad menyatakan bahwa apabila kendaraan bermotor dan atau kepentingan yang diasuransikan pindah tangan, baik berdasarkan suatu persetujuan maupun karena tertanggung meninggal dunia dan menyimpang dari Pasal 263 KUHD dengan sendirinya polis ini batal setelah 10 (sepuluh) hari kalender sejak pindah tangan tersebut, kecuali apabila penanggung setuju melanjutkannya.[4] Berdasarkan hal tersebut, maka si A sebagai tertanggung dapat menuntut pihak penanggung apabila ketentuan tentang pembayaran ganti rugi kendaraan yang belum berpindah hak milik tersebut telah ditentukan secara sepakat yang dituangkan dalam bentuk polis dan pihak penanggung setuju untuk melanjutkannya (membayar ganti rugi). Namun apabila pihak penanggung tidak mau melanjutkan untuk membayar ganti kerugian atas kehilangan mobil si A tersebut maka tidak ada hak terhadap si A untuk memaksa pihak panggung untuk membayar ganti kerugian atas dalil telah ditentukan dalam polis asuransi.

Kesimpulan
Berdasarkan ketentuan Pasal 263 KUHD, maka si A selaku pihak tertanggung tidal dapat atau belum berhak untuk menuntut ganti kerugian atas kehilangan mobil dengan alasan mobil tersebut secara yuridis belum berpindah hak kepemilika kepada si A karena masih harus membayar cicilan mobil yang dibelinya tersebut.




                [1] Abdul Kadir Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Pertanggungan, Peneribt Alumni, Bandung: 1983, hlm 23
                [2] Abdul Kadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, PT Citra Adya Bakti, Bandung: 2002, hlm 180
[3]
                [4] Ibid., hlm 192

Palembang, Desember 2009
M. Alvi Syahrin

No comments:

Post a Comment