Monday, July 29, 2013

EKSISTENSI PRODUCT LIABILITY PRINCIPLE DALAM HUKUM PERLINDUNGAN DI INDKONSUMEN ONESIA





ABSTRAK
Setelah diundangkannya UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ada salah satu prinsip yang cukup memberikan angin segar bagi konsumen Indonesia adalah product liability principle yang berusaha menempatkan kedudukann konsumen agar lebih “sederajat” dengan pelaku usaha. Secara historis, product liability lahir karena ada ketidakseimbangan tanggung jawab antara produsen dan konsumen. Dengan adanya  lembaga ini produsen yang pada awalnya menerapkan startegi product oriented dalam pemasaran produknya harus mengubah strateginya menjadi consumer oriented. Produsen harus lebih berhati-hati dengan produknya, karena tanggung jawab dalam product liability ini menganut prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability). Hal tersebut tentunya beralasan, dimana selama ini konsumen selalu ditempatkan dalam posisi tawar menawar yang lemah (weak bargaining position). Sehingga  kemudian berkembang suatu istilah caveat emptor, konsumen selaku pembeli harus hati-hati.


Terminologi “product liability” masih tergolong baru dalam doktrin atau ilmu hukum Indonesia. Az. Nasution menerjemahkannya sebagai “tanggung gugat produk”. Adapun Agnes M. Toar menerjemahkannya sebagai “tanggung jawab produk”. Sedangkan Yusus Shofie menggunakan istilah “produk liability”.[1] Tanggung jawab produk (product liability) sebenarnya mengacu sebagai tanggung jawab produsen yang dalam istilah bahasa Jerman diisebut produzenten-haftung. Agnes M. Toar mengartikan tanggung jawab produk sebagai tanggung jawab para produsen untuk produk yang dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. Masih menurut beliau, kata produk diartikan sebagai barang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak (tetap). [2]

Menurut pandangan para ahli, adapun tujuan utama dari dunia hukum memperkenalkan product liability adalah untuk  memberikan perlindungan kepada konsumen (consumer protection) dan agar terdapat pembebanan resiko yang adil antara produsen dan konsumen (a fair apportionment of risk between producers and consumers).[3]

Pada prinsipnya tanggung jawab produk tersebut dapat bersifat kontraktual (perjanjian) atau berdasarkan undang-undang (gugatannya berdasarkan perbuatan melawan hukum), namun dalam tanggung jawab produk, penekannya lebih pada yang terakhir.[4] Pada dasarnya karakter dasar product liability adalah perbuatan melawan hukum (tort law), sehingga unsur-unsur yang harus dibuktikan oleh konsumen dalam melakukan gugatan kerugian kepada produsen atas dasar product liability adalah:[5]
a.    Perbuatan melawan hukum
b.   Kerugian yang dialami konsumen; dan
c. Hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dan kerugian yang dialami oleh konsumen.
Sedangkan unsur kesalahan atau kelalaian produsen tidak menjadi kewajiban konsumen untuk membuktikannya. Sebaliknya hal ini menjadi kewajiban produsen untuk membuktikan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian padanya atas dasar presumption guilty kecuali ia dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan kesalahan atau kelalaian (presumption of liability principle).

Dalam hukum perlindungan konsumen berkembang suatu asas bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual (the privity of contract). Artinya, pelaku usaha tidak dapat dipersalahkan atas hal-hal diluar yang diperjanjikan dan konsumen hanya dapat menggugat berdasarkan wanprestasi (contractual liability). Fenomena kontrak baku (standard contarct) yang banyak beredar di masyarakat merupakan petunjuk yang jelas betapa tidak berdayanya konsumen menghadapi dominasi pelaku usaha sehingga menempatkan konsumen berada dalam posisi tawar menawar yang lemah (weak bargaining position). Belum lagi ditambah adanya klausul eksonerasi dari pelaku usaha yang dicantumkan dalam kontrak tersebut. Hal tersebut tentu saja akan bertendensi kepada istilah “take it or leave it” yang tentunya akan merugikan konsumen.

Namun demikian, dengan adanya prinsip tanggung jawab produsen yang dianut dalam hukum perlindungan konsumen Indonesia saat ini, setidaknya menjadi angin segar bagi konsumen Indonesia yang mayoritas pengetahuan dan pendidikan atas informasi suatu produk masih sangat rendah bila dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya. Sehingga asumsi yang menyatakan bahwa “pembeli adalah raja” dapat benar-benar terealisasikan.

Ada beberapa landasan yang dapat dilakukan sebagai dasar gugatan untuk tanggung jawab produk, antara lain:[6]
1.     Pelanggaran jaminan (breach of warranty);
2.     Kelalaian;
3.     Tanggung jawab mutlak (strict liability)

Pelanggaran jaminan berkaitan dengan jaminan pelaku usaha (khususnya produsen), bahwa barang yang dihasilkan atau dijual tidak mengandung cacat. Pengertian cacat bisa terjadi dalam konstruksi barang (construction defect), desain (design defects), dan/atau pelabelan (labeling defect). Namun yang perlu diperhatikan cacat yang dimaksud juga termasuk cacat yang tersembunyi (hidden effect).

Adapun yang dimaksud dengan kelalaian adalah (neglience) adalah bila si pelaku usaha yang digugat itu gagal menunjukan ia cukup berhati-hati (reasonable care) dalam membuat, menyimpan, mengawasi, memperbaiki, memasang label, atau mendistribusikan suatu barang. Sebagai contoh, “kasus biscuit beracun” (CV Gabisco) pada Oktober 1989, juag bermula dari  kelalaian (negleince) pada waktu penyimpanan bahan ammonium bicarbonate di gedung, yang diletakan berdekatan dengan racun anion nitrit sehingga menimbulkan korban 141 jiwa konsumen tidak berdosa, 35 orang diantaranya meninggal dunia.[7]

Dalam KUHPerdata, ketentuan tentang tanggung jawab produk ini sebenarnya sudah dikenal, yaitu dalam Pasal 1504. Pasal ini berkaitan denagn Pasal-pasal 1322, 1473, 1474, 1491, 1504 sampai dengan 1511. Dalam UUPK, ketentuan yang mengisyaratkan adanya tanggung jawab produk tersebut dimuat dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 11. Pelanggaran terhadap pasal-pasal tersebut (mulai dari pasal 8) dikategorikan sebagai tindak pidana menurut ketentuan Pasal 62 UUPK. Pasal 19 ayat (1) UUPK secara lebih tegas merumuskan tanggung jawab produk ini dengan menyatakan: “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.” Walaupun secara umum ada perlindungan terhadap cacat tersembunyi, Pasal 19 ayat (3) UUPK memberi batasan waktu penggantian sampai tujuh hari setelah tanggal transaksi konsumen. Cacat tersembunyi yang ditemukan setelah masa garansi berakhir, juga tidak lagi menjadi tanggung jawab pelaku usaha (Pasal 227 UUPK).[8]



            [1] Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung: 2009, hlm. 294
         [2] Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Penerbit Gramedia Widiasarana Indonesia, Edisi Revisi 2006, hlm 80
         [3] Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta: 2008, hlm 99
            [4] Shidarta, op. cit.,  hlm 80
         [5] Yusuf Shofie, op. cit., hlm 299
            [6] Shidarta, op.cit., hlm 81
            [7] Yusuf Shofie, op. cit., hlm 303
         [8] Shidarta, op.cit., hlm 81-82

 Palembang, November 2009
M. Alvi Syahrin

No comments:

Post a Comment