Wednesday, July 24, 2013

GEJALA HUKUM MASYARAKAT DALAM TEORI HUKUM


Idealika Hukum: Historia Kontemporer
Dalam perkembanganya, hukum tidak lagi dimanifestasikan dalam kerangka yang kaku. Hukum dewasa ini harus membaur dan menyatu dengan masyarakat. Karena dalam masyarakatlah, hukum dapat diuji kelayakannya. Melihat hukum dalam tataran masyarakat, maka kita akan melihat reaksi timbal balik (kausalitas) antara hukum dan masyarakat. Bagaimana diantara keduanya saling berkaitan, mempengaruhi, bahkan menfalsifikasi satu sama lain. Sejatinya, hukum itu berasal, berkembang, dan bermuara untuk masyarakat. Itulah esensi dari hukum.

Diskursus Peta Hukum Tradisional “Versus” Hukum Modern
Uraian diatas, tentunya tidak dapat diterima oleh kalangan yang menganut aliran legal positivistik. Aliran ini menghendaki bahwa hukum haruslah berada pada ruang hampa. Lebih dari itu, hukum menurutnya merupakan menara gading yang menganggap bahwa hukum adalah disiplin ilmu yang terisolir dari ilmu lain. Hukum dalam paradigma semacam ini, ingin membangun persepsi pragmatis yang menginginkan hukum harus dipelajari secara inklusif. Hukum adalah aturan. Aturan tertulis adalah hukum. Kira-kira semacam inilah premis yang dibangun.

Celakanya, aliran inilah yang berkembang dan mengakar (radiks) dalam sistem hukum nasional kita. Setelah dijajah oleh kolonial Belanda kurang lebih 350 tahun, maka paham eropa kontinental sangatlah melekat dan mahfum di para kalangan imuwan hukum Indonesia. Sehingga apa yang terjadi sekarang, merupakan kristalisasi sejarah pada masa itu.

Dengan masih berlakunya aturan hukum produk kolonial (lihat Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945), maka secara otomatis kita seakan dipaksa untuk mengikuti dan memahami aturan-aturan tersebut. Misalnya, Pasal 1 KUHP yang menyatakan bahwa “tiada hukuman pidana, kecuali perbuatan tersebut telah diatur oleh undang-undang”. Hal ini jelas sekali bahwa ajaran legalitas sangat khas dan tentunya itu bukan karakter hukum Indonesia.

Hukum indonesia bukan menghendaki demikian. Ajaran hukum adat yang dikembangkan oleh Hazairin dan Soepomo lebih mengedepankan aspek sosial integralistik, bukan invidualistik prosedural. Hukum adat yang memang berasal dari indonesia, malah menjadi tergerus dengan adanya pengaruh imperalisme pada masa itu. Hal ini menjadi preseden buruk hingga saat ini.

Dengan adanya anomali karakter seperti itu, maka tidak heran apabila masyarakat Indonesia cenderung apatis terhadap pengaruh sosial. Ia lebih condong pada aturan serba kaku yang pada saat itu “dipaksakan” dengan adanya asas konkordansi. Memasuki masa reformasi seperti saat ini, maka pengaruh hukum positif ini semakin memprihatinkan. Masyarakat seakan lupa dengan bunyi sila ke-empat yang menghendaik agar semua persoalan yang dihadapi oleh bangsa hendaklah diselesailan secara musyawarah dan mufakat. Penyelesaian konflik melalui jalur litigasi, tentunya bukan karakter bangsa kita.

Perlu dicermati, kesuksesan suatu bangsa tidak terletak pada seberapa besar dan maju-nya teknologi yang dimiliki. Tetapi lebih dari itu, apa dan bagaimana karakter hukum bangsa dapat diselamatkan seiring dengan adanya pergeseran budaya dan zaman. Indonesia bukanlah contoh yang baik untuk hal ini. Bolehlah kiranya kita menilik bagaimana jepang bekerja untuk bangsanya. Walaupun menjadi salah satu negara yang “high technology”, Jepang tetap mengedepankan aspek keberagaman hukum dan budaya. Setiap persoalan tidak cepat diselesaikan secara represif, melainkan preventif. Bahkan kalau konflik sudah terjadi, mereka lebih cenderung menyelesaikannya secara musyawarah (ADR). Inilah yang membedakan kita dengan Jepang.

Masyarakat kita saat ini lebih proaktif ke arah represif. Sedikit-sedikit ke polisi. Dengan semakin banyaknya polsek, maka bukan berarti persoalan menjadi selesai. Malah hal ini menjadi masalah baru. Ini bukanlah pelajaran baik bagi bangsa ini. Paradigma semacam ini haruslah diubah, sebelum menjadi preseden buruk di kemudian hari.

Realitas Hukum: Tentatif atau Definitif (?)
Masalah hukum, bagi masyarakat Indonesia sejatinya tidak hanya itu. Masyarakat indonesia dewasa ini dihadapkan dengan permasalahan besar lainnya, yaitu “Clash of Law Culture”. Berdasarkan literatur dan sejarah yang dimiliki Indonesia, pada dasarnya karakter hukum yang dimiliki oleh bangsa ini bukanlah seperti yang terjadi pada saat ini. Indonesia lebih condong pada aturan hukum adat, sebagai “The Living Law”. Inilah yang menjadi basis dasar hukum Indonesia.

Namun hal ini berbalik 180 derajat, bila melihat perkembangan saat ini. Hukum indonesia lebih didominasi oleh pesanan asing. Nuansa HAM, demokrasi, persamaan gender, dan lain sebagainya, menjadi sedikit contoh bagaimana penetrasi non-budaya menjadi penting untuk diantisipasi. Bukannya bangsa ini menolak adaptasi perkembangan global, tapi yang menjadi persoalan pemimpin bangsa ini tidak begitu cermat melihat sisi lain dari karakter hukum bangsa.

Masalah HAM misalnya. Masyarakat kita seakan baru bangun tidur, langsung diajarkan bagaimana HAM itu. Konklusinya tentu tidak linear. Masyarakat Indonesia belum siap dengan hal ini. Tentunya menjadi sangat tabu bila ini tetap dipaksakan untuk diberlakukan di Indonesia. Belum lagi masalah demokrasi. Dalam sila ke-empat sudah sangat jelas, bahwa demokrasi bukanlah solusi progresif dalam model pemilihan negara ini. Namun hal ini menjadi sangat urgent, ketika banyak kepentingan politik bermain di dalamnya. Begitu juga halnya dengan persamaan gender. Saat ini banyak sekali aturan hukum kita yang bernuansa perlindungan wanita. Wanita dalam konteks modern seperti saat ini, ditempatkan pada posisi yang utama. Yang menjadi pertanyaan kita, apakah hukum adat sebagai hukum asli Indonesia tidak mengakomodir hal tersebut. Tentunya tidak. Hukum adat yang merupakan manisfestasi dan kristalisasi dari budaya bangsa menjadi tidak penting, karena sama sekali tidak menguntungkan asing. Inilah sedikit gambaran bagaimana kinerja hukum di nusantara, yang banyak mendapat tantangan tidak  hanya dari eksternal, tapi juga internal bangsa.

Berbicara gejala hukum dalam konteks masyarakat Indonesia, seperti mengurai benang kusut di dalam air. Tak tahu mana pangkal, mana yang ujungnya. Masyarakat Indonesia seperti sudah ditakdirkan untuk hidup bersama aturan kolonial, sebagai akibat pengingkaran terhadap hukum asli bangsa. Hukum yang berkembang saat ini, sangat dipengaruhi oleh tekanan asing. Kita melihat bagaimana pemerintah (asing) bahkan pengusaha (asing) pun berusaha untuk “merekonstruksi” hukum nasional. Akibatnya, ekses dan ekspektasi yang diterima oleh masyarakat sebagai adanya gejala hukum yang ada, tidak menjadi sama. Hukum hanya diperuntukan pesanan asing. Kalau tidak untuk kepentingan asing, hukum malah diperdagangkan oleh rakyat Indonesia sendiri sebagai penjajah baru. Sifat durhaka terhadap bangsa inilah yang menjadikan Indonesia telah kehilangan jati diri hukum di tanahnya sendiri.

Anggapan yang berkembang bahwa hukum asing lebih baik daripada hukum asli bangsa, tidaklah tepat. Memang, aturan hukum yang baik harus memenuhi dan mengikuti perkembangan zaman yang ada. Namun, bukan berarti menerapkan sistem “transplantasi hukum”. Hal ini sangatlah diharamkan. Hukum yang baik adalah diambil dari karakteristik dan sejarah masyarakat itu sendiri. Bagaimana budaya, bahasa, pranata sosial melebur menjadi satu, hingga menciptakan sistem hukum bangsa yang ideal. Hal ini menurut F.K.V.Savigny, dinamakan “Volgeist”, jati diri atau jiwa bangsa. Namun bagaimana dengan Indonesia? Non Sense!!.

Sehingga yang terjadi di masyarakat, wibawa hukum menjadi tidak bermartabat. Hukum hanya dipandang sebagai sub-sistem demi mencapai kepentingan. Hukum tidak lagi menjadi panglima. Tapi ia menjadi prajurit, yang hanya diperlukan sewaktu-waktu.

Permasalahan hukum menjadi berlanjut ketika, hukum tidak lagi berpihak kepada masyarakat. sebagai produk transpaltasi hukum, masyarakat sering kali dirugikan hingga tak jarang banyak diantara mereka yang bersikap antipati terhadap hukum. Kita sering kali dipertotonkan bagaimana kerja hukum yang malah justru menyengsarakan masyarakat. Aturan hukum yang lebih menonjolkan sisi kepastian hukum (bila dibandingkan dengan keadilan hukum), akan membuat ketidakpastian hukum. Hukum yang baik bukanlah yang tersurat hitam dan putih. Hukum yang demikian akan membuat para penegak hukum bekerja ibarat sebuah robot yang bernyawa.

Mungkin kita maish ingat bagaimana kasus Prita Mulya Sari, Mpok Minah, dan masih banyak lagi yang menurut hemat penulis sangat diluar kebiasaan. Walaupun bukan perkara besar, namun bagi sebagaian masyarakat Indonesia, hal semacam ini menjadi sangat penting, bagi mereka yang terlanjur geram dengan penegakan hukum di negeri ini. Dimana penegak hukum hanya berorientasi pada aturan tertulis, tanpa memperhatikan aspek-aspek sosial yang berkembang dalam masyarakat. Belum lagi faktor politik yang terkadang menjadi sangat dominan.

Tidak berimbangnya hukuman bagi para koruptor dan pelaku tindak pidana ringan, menjadi bukti sahih bahwa masyarakat seakan tidak percaya dengan hukum di negeri ini. Koruptor hanya dihukum tidak lebih dari 4 tahun, sedangkan pelaku curi ayam dihukum hingga mencapai 2-3 tahun. Belum lagi kita berbicara kasus Antashari Azhar, yang publik sudah mengetahui banyak kejanggalan di dalamnya.

Benarlah, apa yang dikatakan oleh Satjipto Rahardjo bahwa Indonesia tidak tepat menganut hukum positif (yang mengedepankan kepastian hukum), tapi hukum adat (pendekakatan sosiologis – yang mengedepankan keadilan hukum). Rakyat rindu hukum yang berpihak kepada mereka. Bukan hukum yang berpihak kepada penguasa, pengusaha, bahkan pihak asing. Inilah realitas yang kita hadapai sekarang.

TEORI HUKUM YANG DIGUNAKAN:

1.        Hukum itu Jiwa Rakyat (F.C.V Savigny)
Dibawah terminologi volgeist (jiwa bangsa), Savigny mengkonstruksikan teorinya tentang hukum. Menurutnya, terdapat hubungan organik antara hukum dengan watak atau karakter suatu bangsa. Hukum hanyalah cerminan dari volgeist. Oleh karena itu, ”hukum adat” yang tumbuh dan berkembang dalam rahim volgeist, harus dipandang sebagai hukum kehidupan yang sejati. Hukum sejati itu, tidak dibuat. Ia harus ditemukan. Legislasi hanya penting selama ia memiliki sifat deklaratif terhadap hukum sejati itu.[1]
Inti dari ajaran F. K. V. Savigny adalah sebagai berikut:[2]
“...law grows with the growth and strengthnes with the strength of the people and finally dies away as a nation loses its nationality...”
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa:[3]
1.              Hukum ditemukan dan tidak dibuat. Pertumbuhan hukum pada dasarnya merupakan perkembangan organis yang tidak sengaja. Oleh karena itu perundang-udangan lebih rendah daripada kebiasaan atau adat-istiadat;
2.              Oleh karena hukum berkembang dari taraf yang sederhana ke taraf yang kompleks atau rumit sesuai dengan perkembangan masyarakat, maka kesadaran hukum terungkapkan melalui ahli-ahli hukum yang membuat formulasi prinsip-prinsip hukum (pada masyarakat-masyrakat modern). Akan tetapi para ahli hukum tersebut tetap merupakan sarana dari kesadaran hukum masyarakat.
3.              Tak ada hukum yang bersifat universal. Oleh karena hukum timbul dari masyarakat yang mempunyai ciri-ciri yang khas. Dalam hal ini Savigny berpegang teguh pada analogi hukum dengan bahasa. Selanjutnya dikatakan bahwa “.. the volksgeistmanifests itself in the law of the people; it it therefore essential to follow up the evolution of the volksgeist by legal historical research”.
Memfungsikan Teori:
Menurut hemat penulis, teori inilah yang hendaknya menjadi acuan dasar bagi wets-gever di Indonesia dalam bagaimana hukum (tertulis) itu dinormakan. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa aturan hukum yang dibuat oleh pembentuk undang-undang selama ini hanya berorientasi dalam konteks up-to-bottom. Bahwa pembentukan suatu aturan didasarkan atas kehendak penguasa, dan kemudian diturunkan pada level masyarakat. Ia tidak mengandung aspirasi sosial yang pada dasarnya menjadi hal penting dalam perumusan. Paradigma semacam ini tentunya akan menghasilkan tipologi hukum yang represif dan pro-otorier. Ini tentunya bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila.
Hendaknya, nilai-nilai yang terkandung dalam level bawah inilah yang harus diangkat pada level atas. Kristalisasi dan harmonisasi hukum adat menjadi sangat penting, karena setiap negara tentunya memiliki cara pandang hukum yang berbeda pula. Sehingga transplantasi hukum (asing) yang terjadi di Indonesia belakangan ini, sangatlah diharamkan menurut teori “volgeist” ini. Jiwa bangsa inilah yang menjadi jantung hukum dari suatu negara (Indonesia).

2.        Hukum itu Aturan yang Hidup (Eugen Ehrlich)
Menurutnya, hukum bukanlah sebuah konsep intelektual. Ia merupakan konsep yang saling berbagi dalam makna dan pengalaman hidup dengan realitas masyarakat. Dalam konteks yang lebih luas, hukum memiliki hubungan yang erat dengan manusia. Ia bukan sesuatu yang formal, melainkan sesuatu yang eksistensial. Karena, Ehrilich membangun teorinya tentang hukum dengan beranjak dari ide masyarakat. [4]
Mengapa hukum itu hidup? Karena hukum itu bukan sesuatu yang ditambahkan dari luar secara a-historis. Ia justu meruapakan sesuatu yang eksistensial dalam sejarah hidup masyarakat. Hukum diwujudkan dan diungkapkan dalam kelakuan mereka sendiri. Hukum adalah “hukum sosial”. Begitulah kira-kira pendapat yang dikemukakan oleh Ehrlich. Hukum dalam dunia pengalaman manusia yang bergumul dengan kehidupan sehari-hari. Ia terbentuk lewat kebiasaan. Kebiasaan itu lambat laun mengikat dan menjadi tatanan yang efektif. Lalu kehidupan berjalan dalam tatanan itu. kekuatan mengikat “hukum yang hidup” tidak ditentukan oleh kewibawaan dan kompetensi kewibawaan negara.[5]
Memfungsikan Teori:
Sama seperti pandangan yang disampaikan oleh Savigny, bahwa Ehrlich memandang hukum yang ideal bukanlah suatu konsep yang hitam-putih yang bersifat formal. Melainkan hukum yang berangkat dari ide, gagasan, dan pengalaman yang terjadi dalam masyarakat. Dalam hal ini, rakyat mempunyai kedaulatan penuh dalam menentukan rumusan dan formulasi aturan hukum. Bukankah hukum itu ditujukan untuk mengaharmonisasi-kan berbagai kepentingan dalam masyarakat? Sehingga sudah sewajarnya apabila aturan itu berasal dari masyarakat, yang kemudian (dapat) digugat demi kepentingan rakyat.
Setiap aturan hukum yang hanya didasarkan atas arogansi kekuasaan, yang dengan gegabah membanggakan hukum asing, kemudian ditransplantasikan dalam sistem hukum nasional, tidak jarang akan mendapatkan reaksi keras dalam masyarakat. Dewasa ini, pergulatan masalah hukum yang terjadi tidak hanya terletak pada degradasi moral penegak hukum, melainkan hukum itu sendiri yang telah cacat sejak lahir. Ia mendoktrinasi-kan aparat hukum dengan nilai-nilai positivis, yang tentunya akan membatasi mereka dalam menjatukan keputusan hukum. Sehingga tidak heran apabila adagium “aparat hukum (hakim) hanya sebagai corong undang-undang”, menjadi kalimat baku yang secara sah diakui oleh masyarakat.

3.        Hukum itu Gejala Sosial (Theodor Geiger)
Hukum bukanlah aturan formal dalam wujud undang-undang. Ia merupakan norma yang hidup dalam hati orang-orang. Menurut Geiger, realitas suatu norma (yang sebenarnya) adalah terletak pada kenyataan bahwa norma itu terjelma dalam tingkah laku anggota-anggota masyarakat, dan (pasti) tiap orang akan bereaksi bila norma itu dilanggar.[6]
Bagi Geiger, hukum (sebagai norma yang sebenarnya) merupakan bagian dari masyarakat yang dinamis. Masyarakat itu bukan benda. Ia merupakan “sebuah proses” (gesellschaft ist kein ding, sondern em prozess). Norma-norma hukum, dan berlakunya norma-norma itu tidak luput dari proses ini. Hukum harus dipandang sebagai kenyataan-kenyataan sosial yang dinamis juga.[7]
Kiranya jelas, cara mengenal “norma yang sebenarnya” bukan dengan membuka kitab hukum, melainkan dengan cara melihat fakta. Pertama, bahwa orang-orang bertindak menuruti norma itu. Kedua, fakta bahwa jika orang tidak menuruti norma-norma itu, mereka dikenai sanksi. Lewat kedua fakta itulah, orang mengenal adanya norma hukum.[8]
Memfungsikan Teori:
Dalam konteks permasalahan hukum di Indonesia kekinian, teori ini sangatlah tepat menjadi solusi alternatif dalam penanganan yang progresif. Hukum tidak dapat dilihat dalam dogmat yang sempit. Sebagai ilmu yang inter-disipliner, hukum mau tidak mau harus berafiliasi dengan ilmu lain, tidak terkeciali ilmu sosial. Bagi ilmu hukum yang hanya memandang secara inklusif ke dalam, tentunya akan meciptakan situasi arogansi terhadap masyarakat. Hal inilah yang terjadi dalam realitas hukum di Indonesia.
Selama ini, paradigma aparat hukum yang terbentuk adalah legal positivis. Hal ini sudah tidak relevan lagi, apabila kita berbicara konteks hukum modern yang menjunjung nilai keadilan. Begitu juga masyarakat Indonesia. Bagi bangsa Indonesia yang kaya akan suasana hukum adat, penerapan hukum tertulis sangatlah mengusik kepentingan mereka. Hal ini menjadi perhatian kita bersama, bagaimana pertarungan nilai kepastian hukum dan keadilan hukum dapat menemukan titik sinkronisasi.

4.        Hukum itu Perilaku Hakim (Oliver Wondell Holmes)
Menurutnya, aturan hukum bukanlah poros sebuah keputusan yang berbobot. Aturan tidak bisa diandalkan menjawab dunia kehidupan yang begitu kompleks. Dan lagi pula, kebenaran yang riil, bukan terletak dalam undang-undang, tapi pada kenyataan hidup. Inilah tiitk tolak teori tentang kebebasan hakim yang diusung oleh Holmes dan Jerome Frank (eksponen realisme hukum Amerika). Hukum yang termuat dalam aturan-aturan, hanya suatu generalisai mengenai dunia ideal.
Aturan-aturan hukum, di mata Holmes, hanya menjadi salah satu faktor yang patut dipertimbangkan dalam keputusan yang “berbobot”. Faktor moral, soal kemanfaatan, dan keutamaan kepentingan sosial, menjadi faktor yang tidak kalah penting dalam mengambil keputusan yang benar.
Menurut Holmes, pemecahan masalah  hukum tidak hanya dilakukan dengan logika hukum semata-mata, akan tetapi diperlukan bantuan hasil-hasil penelitian olmu-ilmu sosial. Hal ini disebabkan, oleh karena tidak akan mungkin sesoerang mempunyai kemampuan untuk berfilsafat tentang hukum, tanpa memikirkan kekuatan-kekuatan luar yang membentuk hukum tadi.[9]
Memfungsikan Teori:
Inilah yang menjadi persoalan krusial di negeri ini, yaitu adanya ketidakpercayaan (distrust) masyarakat terhadap aparat hukum. Tidak berlebihan apabila masyarakat bersikap demikian, karena memang beginilah kondisinya. Penjatuhan hukuman koruptor yang korupsi ber-milyaran bahkan triliyunan rupiah, sangat berbanding terbalik dengan kondisi yang ada bila yang berbuat jahat adalah masyarakat kelas bawah. Diksriminasi tidak hanya terjadi pada kelas sosial, tapi juga merambah dunia hukum.
Penulis melihat titik kulminasi terparah terletak pada penjatuhan putusan hakim yang sangat beraroma positivis. Walaupun, sudah dibuka celah bagi hakim untuk menggali nilai-nilai luhur tidak tertulis dalam formulais putusannya, namun hal ini menjadi tidak efektif ketika paradigma yang terjadi adalah positivis legalistik.
Kekacauan masyarakat yang haus akan keadilan hukum, kemudian diperparah dengan adanya degradasi kualitas putusan hakim. Tidak sedikit hakim hanya menerapkan konsep silogisme (premis umum, premis khusus, dan kesimpulan). Hakim yang baik hendaknya menjadi sosok tuntunan bagi masyarakt dalam mencari keadilan. Bukan sebaliknya.

5.    Hukum Progresif (Satjipto Rahardjo)
Menurut Satjipto, pemikiran hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya, yaitu hukum untuk manusia. Hukum progresif tidak menerima hukum sebagai institusi yang mutlak serta final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia.[10]
Dengan filosofi tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia. Lebih lanjut, Satjipto mengungkapkan bahwa mutu hukum haruslah ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan hukum progresif menganut “ideologi”: hukum yang pro-keadilan dan hukum yang pro-rakyat. Dengan ideologi ini, dedikasi para pelaku hukum mendapat tempat yang utama untuk melakukan pemulihan. Para pelaku hukum dituntut mengedepankan kejujuran dan ketulusan dalam penegakan hukum. Mereka harus memiliki empati dan kepedulian pada penderitaan rakyat dan bangsa ini. Kepentingan rakyat (kesejahteraan dan kebahagiannya), harus menjadi titik orientasi dan tujuan akhir penyelenggaraan hukum.[11]
Menurutnya, bagi konsep hukum yang progresif, hukum tidak mengabdi bagi dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luar dirinya. Oleh karena itu, hukum progresif meninggalkan tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatic yang cenderung menepis dunia di luar dirinya, seperti manusia, masyarakat, dan kesejahteraannya. Maka dalam hal ini, regulasi hukum akan selalu dikaitkan dengan tujuan-tujuan sosial yang melampaui narasi tekstual aturan.[12]
Karena hukum progresif menempatkan kepentingan dan kebutuhan manusia/ rakyat sebagai titik orientasinya, maka ia harus memiliki kepekaan pada persoalan-persoalan yang timbul dalam hubungan-hubungan manusia. Salah satu persoalan krusial dalam hubungan sosial adalah keterbelengguan manusia dalam stuktur-struktur yang menindas, baik politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Dalam konteks ketebelengguan dimaksud, hukum progresif harus tampil sebagai institusi yang emansipatoris (membebaskan) dari ketaatan hukum terhadap logika dan peraturan (logic and rule).[13]
Lebih lanjut, hukum progresif merupakan koreksi terhadap kelemahan sistem hukum modern yang sarat dengan birokrasi serta ingin membebaskan diri dari dominasi suatu tipe hukum liberal. Hukum progresif menolak pendapat bahwa ketertiban (order) hanya bekerja melalui institusi-institusi kenegaraan. Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada ideal hukum dan menolak status-quo serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan institusi yang bermoral.[14]
Memfungsikan Teori:
Inilah Grand Theory yang menjadi sangat fenomenal ditengah kesadaran hukum masyarakat atas paham positivis. Teori yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo ini menyajikan gagasan yang menarik. Tidak seperti pemikir-pemikir hukum terdahulu yang memandang hukum secara pragmatis, kini Satjipto lebih memandang hukum secara progresif. Maksudnya, hukum haruslah bersifat membebaskan. Ia tidak boleh menolak anasir-anasir asing (non-hukum), yang selama ini sangat ditentang oleh penganut paham positivistik.
Hukum pembebasan inilah yang hendak diintrodusir oleh beliau dalam reformasi sistem hukum di Indonesia. Tepatnua, pembebasan dari logika dan peraturan (logics and rules). Ia tidak menghendaki aturan hukum hanya ditujukan untuk kepentingan hukum itu sendiri. Tapi lebih luas, ia harus dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. Karena hukum itu rahim-nya berasal dari masyarakat. Hukum sejatinya tidak mengabdi kepada penguasa, kekuasaan, bahkan kepada hukum itu sendiri. Melainkan pengabdian yang didasarkan atas manusia sebagai organ sosial.
Namun, bila dikaitkan dengan realitas hukum saat ini, maka hal ini menjadi nihil. Kenihilan terjadi karena tidak adanya kesadaran dari pemegang kekuasaan untuk merubah paradigma legisten ke arah yang lebih manusiawi. Hukum harus dan mutlak bersifat humanis. Ia bukanlah robot yang hanya bergerak bila disuruh oleh pemilik-nya (baca: pemegang kekuasaan). Oleh karenanya, hukum yang mengedepankan aspek sosial dan masyarakat menjadi sangat urgent untuk diterapkan saat ini.



DAFTAR PUSTAKA

Rahardjo, Satjipto. 2009. Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing
Salman, R. Otje. 1987. Disiplin Hukum dan Displin Sosial: Bahan Bacaan Awal. Penyunting: Soerjono Soekanto dan Otje Salman. Jakarta: CV. Rajawali Press
Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar Sejarah Hukum. Bandung: Penerbit Alumni
Tanya, Bernard L, Markus N. Simanjuntak, et. al. 2010. Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. Yogyakarta: Genta Publishing
Wignjosoebroto, Soetandyo. 2002. Hukum: Paaradgima, Metode, dan Dinamika Permasalahannya. Jakarta: Elsam dan Huma

Palembang, November 2011
M. Alvi Syahrin





[1] Bernard L. Tanya., Markus N. Simanjuntak, et. al., 2010, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta: Genta Publishing, hlm. 103
[2] Soerjono Soekanto, 1983, Pengantar Sejarah Hukum, Bandung: Penerbit Alumni, hlm. 27
[3] Ibid.
[4] Bernard L. Tanya., Markus N. Simanjuntak, et. al., Op. cit., hlm. 141
[5] Ibid., hlm. 142
[6] Ibid., hlm. 143
[7] Ibid., hlm. 144
[8] Ibid.
[9] R. Otje Salman, 1987, Disiplin Hukum dan Displin Sosial: Bahan Bacaan Awal, Penyunting: Soerjono Soekanto dan Otje Salman, Jakarta: CV. Rajawali Press, hlm. 23-24; Baca juga Soetandyo Wignjosoebroto, 2002, Hukum: Paaradgima, Metode, dan Dinamika Permasalahannya, Jakarta: Elsam dan Huma, hlm. 8-13
[10] Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, hlm. 1
[11] Bernard L. Tanya., Markus N. Simanjuntak, et. al., Op.cit., hlm. 212
[12] Ibid., hlm. 213
[13] Ibid., hlm. 215
[14] Satjipto Rahardjo, Op.cit., hlm. 2

1 comment: