Tuesday, July 23, 2013

GELIAT INVESTASI PERKEBUNAN DI INDONESIA





BAB I
PENDAHULUAN


    A.    Latar Belakang
Investasi merupakan salah satu instrument pembangunan yang diperlukan oleh suatu bangsa untuk meningkatkan kesajahteraan masyarakatnya, tidak terkecuali Indonesia. Indonesia merupakan negara yang membangun. Untuk membangun, maka diperlukan adanya modal atau investasi yang tidak sedikit. Banyak faktor yang dilibatkan di dalamnya, termasuk eksistensi investasi dalam pembangunan.
Investasi menjadi suatu kebutuhan karena investasi dapat menjadi salah satu metode atau cara bagaimana menyiapkan masa depan yang belum pasti menjadi suatu kepastian.[1] Perkembangan investasi sendiri tidak terlepas dari pengaruh globalisasi.[2] Begitu juga pengaruh investasi terhadap sektor perkebunan di Indonesia.
Semakin menjamurnya perusahaan perkebunan di Indonesia saat ini, tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya investasi yang dilakukan secara besar-besaran oleh rezim orde baru melalui pengundangan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Dan kini semakin dilegitimasi eksistensinya dengan diberlakukannya UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Kegiatan investasi dalam bidang perkebunan pada dasarnya merupakan suatu kebutuhan. Kebutuhan bagi siapa saja, kebutuhan bagi orang perseorangan, institusi, korporasi maupun masyarakat luas pada umumnya. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang tidak terbatas, tapi memiliki permasalahan dalam keterbatasan modal. Sehingga pemanfaatan investasi di bidang perkebunan menjadi solusi alternatif untuk meningkatkan secara progresif (boosting) nilai tambah sumber daya alam kita terhadap pasar global.
Berdirinya perusahaan domestik ataupun asing, seperti PTP IV Sungai Bahar
Batanghari
, PT. Jamika Raya Bungo Tebo, PT. Agrindo Panca Tunggal Sarko[3] yang bertempat di Jambi, bahkan PT. Musi Hutan Persada yang bertempat di Sumatera Selatan, dan lain sebagainya, merupakan salah satu wujud dari adanya dinamika yang terjadi dalam restruktralisasi dalam perekonomian nasional yang diimplemntasikan dalam bentuk investasi.
Itupun belum ditambah dengan keberadaan perusahaan perkebunan di bidang kelapa sawit yang totalnya mencapai sekitar 50 perusahaan, baik itu domestik maupun asing. Diantaranya yaitu:[4]
Nama Perusahaan
Pasukan CPO (ton)
Total Luas Lahan di Indonesia
Luas Lahan yang ditanami di Indonesia
Sinar Mas group/PT Golden Agri Resources
15.000
320.463
113.562
Wilmar International group
7.500
210.000
64.700
Duta Palma groupp
5.000
65.800
25.450
Salim group/PT Salim Plantations/Indofood group/PT IndoAgri
5.000
1.155.745
95.310
Astra Agro Lestari group/PT Astra Agro Lestari Tbk
6.000
192.375
125.461

Dengan semakin geliat dan bertambah pesatnya jumlah perusahaan perkebunan di Indonesia dari tahun ke tahun, maka keberadaan dari investasi sebagai salah satu instrument pembangunan perekonomian nasional semakin vital dan tak tergantikan.
   B.     Permasalahan
Sehubungan dengan latar belakang sebagaimana diuraikan diatas, maka dapatlah ditarik suatu indentifikasi permasalahan yang akan diangkat dalam makalah ini, yaitu apa sajakah faktor-faktor yang mempengaruhi minat investor dalam melakukan investasi perusahaan perkebunan di Indonesia?



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

   A.    Pengertian Investasi
Dalam menentukan pengertian apakah yang dimaksud dengan investasi maka diperlukan batasan-batasan yang jelas dan objektif. Hal tersebut bertujuan agar tidak terjadi suatu pengertian yang kabur atau kurang jelas sehingga dapat menimpulkan multi interpretasi dari banyak kalangan.
Istilah investasi berasal dari bahasa latin, yaitu investire (memakai), sedangkan dalam bahasa Inggris, disebut dengan investment.[5] Di Indonesia sendiri, pemakaian istilah investasi sering kali disebut sebagai penanaman modal sebagaimana penyebutan dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang berarti bahwa segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanaman modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.[6]
Sebagaimana diketahui bahwa banyak para kalangan yang memberikan suatu batasan definisi mengenai penanaman modal atau investasi itu sendiri. Fitzgeral mengartikan investasi sebagai aktivitas yang berkaitan dengan usaha penarikan sumber-sumber (dana) yang dipakai untuk mengadakan barang modal pada saat sekarang, dan dengan barang modal akan dihasilkan aliran produk baru dimasa yang akan datang.[7] Pendapat lain mengenai investasi juga dikemukan oleh Komarudin Ahmad, yang mengartikan investasi sebagai menempatkan uang atau dana dengan harapan untuk memperoleh tambahan atau keuntungan tertentu atas uang atau dana tersebut.[8]
Berkaitan dengan defenisi dari investasi maka ada beberapa teori yang dapat dipelajari dari hubungan antar negara penerima modal dengan penanaman modal khususnya penanaman modal Asing, diantaranya:[9]
   a.      Teori Ekstrim: Teori yang tidak menginginkan timbulnya ketergantungan dari negara-negara terhadap penanaman modal, khususnya penanaman modal asing, sehingga dengan tegas menolak adanya penanaman modal asing karena dianggapnya sebagai kelanjutan dari proses kapitalisme.
   b.      Teori Nasionalisme dan Populisme: Menurut teori ini pada dasarnya diliputi kekhawatiran akan adanya dominasi penanaman modal asing. Modal asing sering memiliki posisi monopolis bahkan cenderung oligopolis pada pasar-pasar produksi dimana usaha penanaman modal itu berdomisili.
   c.       Teori Realistis: Teori ini melihat peranan penanaman modal asing secara tradisional dan meninjaunya dari segi kenyataan, dimana penanaman modal asing dapat membawa pengaruh pada perkembangan dan modernisasi ekonomi negara penerima modal asing.
Dari uraian tersebut diatas, dapat ditunjukan bahwa pengertian terhadap penanaman modal oleh masing-masing negara penerima modal tergantung atau ada keterkaitan dengan salah satu teori yang dianut ataukah merupakan variasi dari berbagai teori itu.
   B.     Pengertian Hukum Investasi
Istilah hukum investasi berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu investment law. Dalam peraturan perundang-undangan tidak ditemukan pengertian hukum investasi. Untuk mengetahui pengertian hukum investasi, maka kita harus merujuk kepada doktrin-doktrin yang telah ada.
Ida Bagus Wyasa Putra, dkk mengartikan hukum investasi sebagai norma-norma hukum mengenai kemungkinan-kemungkinan dapat dilakukannya investasi, syarat-syarat investasi, perlindungan dan yang terpenting mengarahkan agar investasi dapat mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat.[10] Definisi lain juga dikemukakan oleh T. Mulya Lubis yang menyatakan bahwa hukum investasi adalah tidak hanya terdapat dalam undang-undang, tetapi dalam hukum dan aturan lain yang diberlakukan berikutnya yang terkait dengan masalah-masalah investasi asing (other the subsequent law and regulations coming into force relevan to foreign investment matters).[11]


   C.    Teori yang Mempengaruhi Geliatnya Penanaman Modal Asing
Ada dua teori yang menganalisis faktor penyebab negara maju menanamkan investasinya di negara berkembang, yaitu:[12]
   1.      The Product Cycle Theory
The product cycle theory atau teori siklus produk ini dikembangkan Raymond Vernon. Teori ini paling cocok diterapkan pada investasi asing secara langsung (foreign-direct investment) dalam bidang manufacturing, yang merupakan usaha ekspansi awal perusahaan-perusahaan Amerika atau disebut juga investasi horizontally intergrated, yakni pendirian pabrik-pabrik untuk membuat barang-barang yang sama atau serupa di mana-mana.
   2.      The Industrial Organization Theory of Vertical Intergration (Teori Organisasi Industri Integrasi Vertikal)
Teori ini paling cocok diterapkan pada new multinasionalisme (multinasionalme baru) dan pada investasi yang terintegrasi secara vertikal, yakni produksi barang-barang di beberapa pabrik yang menjadi input bai pabrik-pabrik lain dari suatu perusahaan.
Pendekatan teori ini berawal dari pemahaman bahwa biaya-biaya untuk melakukan bisnis luar negeri (dengan ivestasi) harus mencakup biaya-biaya lain yang harus dipikul oleh perusahaan lebih banyak daripada biaya-biaya yang diperuntukan hanya untuk sekadar mengekspor barang-barang dari pabrik-pabrik dalam negeri. Oleh karena itu, perusahaan itu harus memiliki beberapa keunggulan kompensasi (compensating advantages) atau keunggulan spesifik bagi perusahaan, seperti keahlian teknis manejerial.

BAB III
PEMBAHASAN

Telah disebutkan di dalam bab terdahulu bahwa investasi merupakan salah satu instrument bagi pemerintah untuk meningkatkan pembangunan ekonomi secara menyeluruh dimana investasi sendiri bertujuan untuk meningkatkan restrukturisasi dan modernisiasi perekonomian nasional.
Begitu juga halnya dengan investasi dalam bidang perkebunan. Investasi jenis ini merupakan salah satu macam dari sekian banyaknya investasi di Indonesia yang memiliki peranan penting dalam masyarakat. Semakin majunya suatu negara serta adanya tuntutan globalisasi maka peningkatan nilai tambah pendapatan negara dari sektor perkebunan menjadi hal yang sangat mendesak sifatnya. Ditambah lagi dengan adanya keterbatasan modal, sarana, dan prasarana, semakin membuat posisi Indonesia menjadi serba dilematis sebagai pemilik hak penuh atas tanah. Oleh karenanya,  masuk dan berkembangnya investasi perusahaan domestik ataupun asing di sektor perkebunan, menjadi tidak terelakkan lagi.

Terkait dengan hal tersebut, penulis harus membatasi ruang lingkup pembahasan. Penulis menyadari masih banyak sekali faktor-faktor dominan lainnya yang dapat mempengaruhi geliatnya minat investor dalam melakukan investasi perkebunan di Indonesia. Namun dalam konteks ini, penulis berusaha memberikan gambaran faktor-faktor pengaruh secara umum sehingga diperoleh pemahaman yang cukup holistik dan komprehensif. Adapaun faktor-faktor yang dimaksud, diantaranya:
      1.         Stabilitas Politik
Stabilitas politik merupakan faktor penting bagi investor dalam berinvestasi di Indonesia  khususnya di bidang perkebunan. Investasi semacam ini sangat bergantung pada kondisi investasi di suatu Negara, karena akan menyangkut banyak hal.
Suatu stabilitas politik yang buruk maka tentunya akan berdampak pada menurunnya Gross Domestic Product (GDP), Gross National Product (GNP) serta tingkat pendapatan masyarakat suatu negara. Dengan semakin rendahnya pendapatan masyarakat maka akan berdampak pada daya beli masyarakat. Inilah yang menjadi pertimbangan para investor khususnya investor asing untuk menginvestasikan modalnya di bidang pusat perbelanjaan di Indonesia.
Sebagai contoh, peristiwa krisis moneter yang terjadi pada akhir tahun 1997 yang merupakan ekses dari diturunkannya secara paksa Presiden Soeharto. Dengan adanya peristiwa tersebut tentunya akan berdampak pada stabilitas politik di Indonesia pada saat itu. Alhasil, adanya penurunan investasi yang dilakukan oleh investor asing dari tahun  sebelumnya sebesar 29,126 miliar dolar AS.[13] Kemudian kasus yang berkembang akhir-akhir ini, yaitu penyelesaian kasus Nazarudin dengan dugaan korupsi Wisma Atlit nya, dan beberapa masalah politik dan hukum yang tak kunjung tuntas. Hal ini secara tidak langsung akan berdampak pada bursa saham, dimana adanya penurunan secara secara massive di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Merupakan suatu hal yang wajar apabila dengan kondisi politik yang tidak kondusif seperti yang disebutkan diatas maka investor tidak mau menginvestasikan modalnya. Jadi, jelaslah bahwasanya stabilitas politik merupakan faktor utama yang menjadi pertimbangan bagi para investor khsusnya investor asing yang berkaitan dengan keamanan  dalam berinvestasi.
      2.         Kepastian Hukum
Bukan hal yang baru lagi, apabila hukum mempunyai dampak yang luas dalam kehidupan bermasyarakat. Termasuk dalam kegiatan investasi di bidang perkebunan. Para investor baik domestik ataupun asing menjadikan hukum sebagai salah satu faktor penting dalam kegiatannya untuk menginvestasikan modalnya di Indonesia.
Salah satunya adalah mengenai jaminan kepastian hukum dalam setiap kebijakann dan tindakan di bidang investasi yang menjadikan hukum dan peraturan perundang-undangan sebagai dasarnya, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Pasal 3 huruf a UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM). Setelah diundangkannya UUPM maka semua hal tersebut telah diakomodir di dalamnya.
Namun, tidak hanya sebatas itu saja. Selain harus ada aturan yang menjadi dasar setiap tindakan dan kebijakan tersebut,tapi harus juga didukung dengan aturan lain yang menunjang dan berkaitan dengan aturan dasar investasi tersebut. Sebagai contoh, UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, serta UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan, Mineral dan Batubara.
Selain itu juga, jaminan dalam proses penegakan hukumnya (law enforcement) juga menjadi salah satu dasar pertimbangan dari para investor khususnya berkaitan dengan proses litigasi dan non-litigasi. Apakah proses peradilan di suatu negara tersebut sudah dapat berjalan dengan baik atau tidak. Apakah putusan dari Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dapat dijamin kerahasiaannya. Hal tersebut juga perlu diperhatikan oleh para pemerintah. Merupakan suatu hal yang wajar, apabila para investor menginginkan suatu keamanan dalam berinvsetasi apabila didukung oleh jaminan kepastian hukum yang telah memadai.
      3.         Konsistensi Kebijakan
Kebijakan (policy) meruapakan salah satu dari faktor-faktor penting yang mempengaruhi masuknya investasi dalam bidang pusat perbelanjaan di Indonesia. Hal ini juga tentunya berkaitan dengan bagaimana hubungan yang terjalin antara pusat dan daerah berkaitan dengan kebijakan setelah diundangkannya UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-undang tersebut menentukan bahwa pemerintah daerah kabupaten dan/atau kota dapat melakukan pengurusan sendiri rumah tangganya tanpa campur tangan dari pemerintah pusat (otonomi daerah). Tentunya dengan adanya hal ini akan berdampak pada sistem kebijakan yang dianut seperti sistem perizinan bagi investor untuk melakukan investasi perkebunan di. Apakah dampaknya akan ada pertentangan aturan baik dari pemerintah pusat ataupun dari pemerintah daerah itu sendiri.
Masalah perizinan seringkali menjadi sorotan masyarakat bila dirasa mengalami kesulitan dan hambatan dakam mengembangkan usahanya. Seperti diketahui, prinsip dasar yang perlu dipegang dalam masalah perizinan dan kewajiban dunia usaha adalah bahwa dalam setiap kegiatan usaha diperlukan adanya izin.[14]
Sebagimana diketahui bahwa konsistensi kebijakan khususnya dalam hal perizinan secara umum menjadi faktor penting yang mempengaruhi masuknya para investor. Perizinan yang berbelit-belit dan tidak transpasaran membuat para investor enggan untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Namun demikian, setelah diundangkannya UUPM yang baru maka kebijakan yang berkaitan dengan perizinan tersebut mulai dibenahi dengan dilahirkannya sistem pelayanan terpadu satu atap (one stop service) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 25 ayat (4) dan (5) serta Pasal 26 UUPM. Adanya Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) tersebut semakin membuat proses birokrasi di Indonesia menjadi mudah dan transparan dimana sistem perizinannya hanya dilakukan di satu tempat sehingga mengurangi ekses KKN. PTSP ini juga memberikan kemudahan investor dalam melakukan perizinan investasi. Dengan adanya kemudahan semacam ini maka tentunya akan dengan sendirinya meningkatkan intensitas jumlah para investor untuk berinvestasi di Indonesia dalam bidang perkebunan.
   4.         Regulasi
Regulasi atau peraturan erat kaitannya dengan faktor kepastian hukum sebagaimana yang diuraikan diatas. Namun, regulasi ini baru timbul apabila jaminan kepastian hukum mengenai investasi di sektor perkebunan telah memadai. Atau dengan kata lain, sebelum kita berbicara regulasi maka terlebih dahulu ada aturan yang melandasinya.
Faktor regulasi tidak dapat dikesampingkan begitu saja oleh pemerintah. Regulasi yang menguntungkan para investor menjadi salah satu faktor peningakatan intensitas investasi. Secara khusus, pengaturan investasi tersebut haruslah ramah agar dapat menarik minat para investor. Regulasi yang bersifat rigit dan cenderung merugikan para investor maka akan menimbulkan hal sebaliknya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu regulasi yang mendukung agar para investor mau menginvestasikan modalnya di bidang pusat perbelanjaan. Adapun sifat regulasi yang diperlukan untuk menunjang investasi adalah:
a.         Sesuai dengan peraturan perundang-undangan tingkat atas;
b.        Mencerminkan tata kelola perusahaan yang benar;
c.         Jelas dan mudah dimengerti
d.        Market friendly, diantaranya globalisasi, simple dan praktis;
e.         Memberikan kepastian atau jaminan hukum dan penegakan hukum;
f.         Hak dan kewajiban para pihak disusun dengan jelas;
g.        Memberikan insentif bagi investor, misalnya dibidang pajak dan non-pajak;
h.        Memperhatikan potensi daerah (SDA atau SDM) yang tersedia;
i.          Mendukung pembangunan berkelanjutan (suistanable development);
j.          Memberdayakan masyarakat, misalanya dalam hal community development dan corporate social responsibility.
Dengan demikian, kedudukan faktor regulasi dalam kegiatan investasi bagi para investor menjadi sangat penting karena sifatnya yang cukup urgent. Regulasi yang baik tentunya akan menciptakan suatu keamanan serta kondisi investasi yang kondusif yang tentunya akan menarik minat para investor untuk menanamkan modalnya.
5.         Pajak
Pajak merupakan salah satu media pendapatan bagi pemerintah yang digunakan untuk kepentingan pembiayaan pengeluaran rutin pemerintahan. Sehingga pajak merupakan salah satu sumber devisa terbesar bagi pemerintah saat ini. Walaupun sebagai instrument penyumbang pendapatan terbesar, namun pajak tersebut juga dapat saja merugikan pemerintah itu sendiri. Proses pemungutan pajak yang berbelit-belit malah akan menjadi bumerang bagi pemerintah yang mengakibatkan pengurangan intensitas minat para investor baik asing maupun dalam negeri terutama di bidang perkebunan.
Demikian halnya juga pengenaan pajak berganda bagi para investor. Pajak yang semacam ini akan membuat para investor enggan untuk menginvestasikan modalnya di Indonesia. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu pajak ataupun proses pengenaannya yang setidaknya dapat menguntungkan para investor. Sebagai contoh, fasilitas yang diberikan domestik dalam bentuk pemberian insentif pajak kepada para investor baik itu asing ataupun domestik yang menanamkan modalnya di Indonesia. Mengenai hal tersebut telah diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUPM. Fasilitas pajak tersebut dapat berupa:[15]
a.         Pajak penghasilan melalui pengurangan penghasilan netto sampai tingkat tertentu terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukann dalam waktu tertentu;
b.        Pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin, atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri;
c.         Pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu;
d.        Pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai atas impor barang modal atau mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri selama jangka waktu tertentu;
e.         Penyusutan atau amortisasi yang dipercepat; dan
f.         Keringanan Pajak Bumi dan bangunan, khsusnya untuk bidang usaha tertentu, pada wilayah untuk bidang usaha tertentu, pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu.
Beberapa pemberian insentif perpajakan tersebut diatas dapat menjadi salah satu pertimbangan bagi investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Karena semakin pajak tersebut tiak berbelit-belit dan tidak menyusahkan mereka maka keuntungan mereka  yang akan didapat pun cukup maksimal. Sehingga dengan adanya hal tersebut dapat menarik minat para investor sebanyak-banyaknya.

BAB IV
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan diatas maka faktor-faktor yang mempengaruhi masuknya investasi di bidang pusat perbelanjaan di Indonesia, antara lain:
1.         Stabilitas politik;
2.         Kepastian hukum;
3.         Konsistensi kebijakan;
4.         Regulasi; dan
5.         Pajak.

B.       Saran
Dengan semakin berkembangnya era globalisasi dimana suatu negara tidak dapat hidup tanpa adanya bantuan dari negara lain, maka investasi merupakan salah satu instrument yang dapat digunakan untuk meningkatkan pembangunan perekonomian terutama di bidang perkebunan. Itulah konsekuensi logis-rasional bagi Indonesia sebagai negara agraris yang memiliki banyak potensi alam, untuk mensejahterakan rakyatnya.
Guna meningkatkan minat para investor untuk menginvestasikan modalnya di Indonesia maka pemerintah juga harus memperhatikan faktor-faktor terkait, antara lain stabilitas politik, kepastian hukum, konsistensi kebijakan, regulasi, serta pajak. Pemerintah harus lebih intens serta harus memiliki suatu “politic will” agar investasi di sektor perkebunan ini dapat berjalan sebagaimana mestinya.

DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU
Ade Maman Suherman, Aspek Hukum dalam Ekonomi Global, Ghalia Indonesia
Aminudin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Prenada Media Group, September:       2004
Perspektif hukum Bisnis Indonesia: Pada Era Globalisasi Ekonomi, Genta Press
Richard Button Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Rineka Cipta, Edisi Revisi,       Juni:2003
Salim HS dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada
PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
INTERNET
http://www.dephut.go.id/INFORMASI/PROPINSI/JAMBI/tabel_2.html diakses pada hari Selasa (6/12/2011), Pukul 09.25 WIB
http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_perusahaan_kelapa_sawit_Indonesia, diakses pada hari Selasa (6/12/2011), Pukul 09.31 WIB


[1]  Perspektif Hukum Bisnis Indonesia: Pada Era Globalisasi Ekonomi, Genta Press, hlm 77
[2] Baca Ade Maman Suherman, Aspek Hukum dalam Ekonomi Global, Ghalia Indonesia, hlm 15. Mengartikan Globalisasi sebagai suatu keadaan saling keterkaitan dan kesaling tumpang tindihan antara kepentingan bisnis dan kepentingan masyarakat.
[3] http://www.dephut.go.id/INFORMASI/PROPINSI/JAMBI/tabel_2.html diakses pada hari Selasa (6/12/2011), Pukul 09.25 WIB; Setidaknya ada sekitar lebih dari 36 perusahaan perkebunan yang telah ada izin pelepasan areal di Provinsi Jambi per tahun 2010.
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_perusahaan_kelapa_sawit_Indonesia, diakses pada hari Selasa (6/12/2011), Pukul 09.31 WIB
[5] Salim HS dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, hlm 31
[6] Periksa Pasal 1 angka 1 UU No. 25 Tahun 2007
[7] Salim HS dan Budi Sutrisno, Op. cit., hlm 31
[8] Ibid., hlm 32
[9] Perspektif Hukum Bisnis Indonesia: Pada Era Globalisasi Ekonomi, Genta Press, hal 83; Aminudin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Prenada Media Group, September: 2004, hlm 41
[10] Salim HS dan Budi Sutrisno, Op. cit., hlm 9
[11] Ibid., hlm 10
[12] Ibid., hlm 157
[13] Ibid., hlm 3
[14] Richard Button Siamtupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Rineka Cipta, Edisi Revisi, Juni:2003, hlm 146
[15] Namun, pemberian fasilitas perpajakan tersebut tidak dapat diberikan kepada semua investor. Setidaknya investor tersebut harus memenuhi beberapa kriteria sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 ayat (3) UUPM, diantaranya menyerap banyak tenaga kerja, termasuk skala prioritas tinggi, termasuk pembangunan infrastruktur, melakukan alih teknologi, dan melakukan industri primer.

Palembang, Desember 2011
M. Alvi Syahrin

No comments:

Post a Comment