Monday, July 22, 2013

KEPASTIAN HUKUM DAN KEKUATAN BANGSA

Indonesia Seharusnya 

Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa Indonesia adalah laboratorium ilmu di dunia. Dan tidak ada satupun juga pihak yang menyangkal bahwa Indonesia memiliki beragam sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan. Dan tidak ada satu pun pihak yang juga menyangkal bahwa Indonesia adalah satu dari sekian banyak negara yang memiliki potensi besar untuk berkembang. Bukan sekedar berkembang, tapi menjadi negara maju yang memiliki basis hukum, ekonomi, dan politik yang kuat. Tapi tidak untuk realitas nya.

 

Indonesia bukan negara homegenitas nilai yang dapat diseragamkan dengan satu atau beberapa aturan hukum yang ada. Indonesia adalah negara hetorogen, yang pada dasarnya menyimpan kekutan besar untuk menjadikan negara ini menjadi lebih maju. Tapi dibalik kekuatan dan kelebihan itu, Indonesia tidak berdaya apa-apa saat ini. Negara ini terlalu banyak mewarisi kesalahan-kesalahan masa lalu. Pemimpin sekarang pun seakan bersikap apatis dan cenderung meneruskan tongkat estafet kesalahan itu.

Siapa yang Salah?
Mari kita berpikir jernih, dimana sejatinya letak kesalahan itu. Pada level elit politik kah? Level aturan hukum kah? Atau level masyarakat nya? Menurut hemat penulis, semuanya memiliki kontribusi masing-masing dalam menjerumuskan negara ini dalam lembah kemunduran. Ketika berbicara elit politik (pejabat pemerintah), tentunya kita berbicara moral dan etika. Hal ini tentunya tidak dapat dipisahkan dari aturan hukum nya. Ada korelasi kuat antara hukum dan moral. Inilah yang dikehandaki oleh hukum alam, bahwa harus ada equilibrium point (titik keseimbangan) antara keduanya. Hakikatnya, hukum itu terlahir oleh pengaruh kekuasaan. Oleh karenanya bukan hal aneh apabila aturan hukum bertendensi untuk menindas manusia. Moral malah bersikap sebaliknya. Ia memiliki nilai-nilai universal yang menghendaki agar setiap manusia bersikap holistik dan memiliki paradigma kebersamaan. Moral mengajak manusia agar tunduk pada kodrat dan peran nya masing-masing. Terkait dengan elit politik maka, harus ada keseimbangan di antara keduanya. Hukum yang mengatur pengisian elit politik harus dinormakan dalam bentuk yang ideal. Dan kemudian disempurnakan dalam konteks moral. Sungguhpun, 1 elit politik yang bermoral dan bermartabat lebih bermanfaat daripada 100 elit politik yang memiliki intelektual tapi bermental pecundang.

Pada level aturan hukum, maka kita tertuju pada rumusan norma yang mengaturnya. Hukum haruslah dibangung dalam segi filsafat kebangsaan negara itu. Hukum harus dikonstruksikan dari level volgeist menjadi konstitusi. Kemudian dikonkritkan dalam undang-undang organik yang terkait. Itu lah konsep hukum yang sebenarnya. Lalu realitas saat ini semakin menunjukan arah yang tak pasti. Wetsgever telah besikap penghianat. Mereka tak lagi memperhatikan aspek-aspek dasar dari bangsa Indonesia. Mereka lebih memiliih jalan pintas dengan cara melakukan transplantasi hukum atau bahkan plagiasi hukum. hal ini mereka kemas dengan bahasa yang menarik, yaitu harmonisasi hukum. Lalu bukankah ini merupakan hal yang salah? Ia tidak menjadi salah ketika itu dilakukan oleh elit politik dan adanya sikap apatis dari rakyat. 



Adanya aturan hukum yang berbasis kapitalis menjadi contoh bahwa negara ini telah gagal dalam menjaga integritas nya sebagai negara yang berdaulat. Kita dengan mudah ditekan oleh asing agar memproduksi hukum yang berorientasi ekonomi global. Lalu siapa yang dirugikan? Jawabannya adalah kita saat ini dan generasi kita yang bernama rakyat Indonesia.
Lalu ketika elit politik sudah baik, dan aturan hukum sudah menuju kemapanan, lalu apakah itu sudah cukup untuk menciptakan kepastian hukum dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia? Jawabannya tidak. Masyarakat juga memiliki andil dalam baik dan buruknya bangsa ini. Aturan hukum sudah baik, maka harus ada yang menjalankannya. Maka masyarakat lah yang kemudian yang melakukannya. Ketika ada yang salah dalam masyarakat, maka sebagai suatu sistem, tidak akan tercipta apa yang diharapkan. Tekstual hukum harus dihadapkan pada kontekstual hukum. Pada level masyarakatlah, pintu terakhir hukum itu dapat berbicara realitas. Karena konsep hukum tidak hanya sebatas peraturan (rules), tapi juga perilaku (behavior).
Indonesia saat ini telah berada pada posisi yang sulit, dimana keadilan pun semakin sulit ditemukan, bahkan di dunia peradilan itu sendiri. Elektabilitas kepercayaan publik terhadap sistem dan lembaga hukum pun terjun bebas pada tingkat yang terendah. Dimana aparat hukum pun, berlomba-lomba mempertontonkan kebobrokannya. Tidak cukup polisi dan jaksa yang terlibat kasus hukum, hakim pun demikian. Lalu kepada siapa masyarakat berharap untuk mendapatkan keadilan dan kesejahteraan?

Recht Idee (Cita Hukum)
Ada tokoh hukum dari Amerika menyatakan, berikanlah saya hakim yang baik, jaksa yang baik, dan polisi yang baik, maka akan saya reformasi negara ini menuju kesejahteraan. Bolehlah kita sedikit merenungi kalimat ini, bahwa betapa pentingnya aparat hukum yang tidak hanya berintelektualitas, tapi juga bermoralitas. Ketika mereka tidak berada dalam performa terbaik, maka sulit bagi kita untuk menemukan keadilan dan kedamaian hidup. Oleh karenanya, untuk mencapai cita hukum dan cita hidup, diperlukan sistem yang mapan. Bahkan lebih dari aturan hukum, tapi juga moralitas bangsa

Palembang, April 2012
M. Alvi Syahrin

No comments:

Post a Comment