Wednesday, July 24, 2013

KONSTRUKSI HUKUM: TEORI PENEMUAN HUKUM BARU DENGAN INTERPRETASI TEKS


Metode Argumentum Per Analaogium (Analogi)[1]
Analogi semacam ini merupakan metode penemuan hukum di mana hakim mencari esensi yang lebih umum dari sebuah peristiwa hukum atau perbuatan hukum baik yang telah diatur oleh undang-undang maupun yang belum ada pengaturannya. Sebagai contoh untuk mempermudah pemahaman yaitu, Pasal 1576 KUHPerdata hanya mengatur bahwa “jual beli tidak memutuskan hubungan sewa menyewa”. Dalam praktik, hakim dihadapkan pada kasus lain, yaitu hibah. Maka pertanyaannya, apakah ia tidak memutuskan sewa menyewanya?

Dalam hal ini hakim wajib melakukan penemuan hukum, karena pengaturannya tidak mengatur masalah hibah, supaya ada putusan yang dapat dikeluarkan oleh hakim. Langkah yang ditempuh hakim ialah mencari esensi dari jual beli itu apa. Dan ternyata esensinya adalah “peralihan hak”. Kemudian apa yang menjadi esensi dari hibah, ternyata juga “peralihan hak”. Dengan demikian ditemukan jawabannya, bahwa oeralihan hak merupakan “genus” (peristiwa umum), sedangkan jual beli dan hibah masing-masing sebagai “spesiesnya” (peristiwa khusus). Simpulannya, hibah juga tidak memutuskan hubungan sewa menyewa. Dari kasus ini berarti metode analogi ini menggunakan penalaran induksi, berfikir dari khusus ke yang umum. Dengan analogi, maka peristiwa yang serupa, sejenis, atau mirip dengan yang diatur dalam undang-undang diperlakukan sama.

Metode analogi merupakan salah satu jenis konstruksi hukum yang sering digunakan dalam perkara perdata, tetapi menimbulkan polemik penggunaannya dalam perkara pidana. Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum Inggris yang sebagian tertulis (statuta law) dan sebagian tidak tertulis (common law) memperkenalkan analogi terhadap hukum pidana. Sementara di Denmark merupakan satu-satunya negara yang dengan tegas membolehkan analogi. Dengan catatan, peristiwa yang dihukum dengan jalan analogi harus “entierenment assimilable” (sepenuhnya menyatu) dengan tindakan-tindakan yang dinyatakan dapat dihukum oleh undang-undang. Kalau hakim berpegang pada ketentuan ini, jarang terjadi pelaksanaan undang-undang secara analisis. Jadi hanya analogi undang-undang saja yang dibolehkan.

Di Indonesia, penerapan analogi dalam kasus pidana nampaknya belum diterima, walaupun Hakim Bismar Siregar pernah melakukan terobosan penggunaannya dalam kasus perkosaan bahwa kemaluan wanita dianalogikan sebagai “barang”. Tetapi dalam putusan Kasasi Mahkamah Agung, putusan/ terobosan Bismar ini dibatalkan.

Metode Argumentum a Contrario[2]
Metode ini memberikan kesempatan kepada hakim untuk menemukan hukum dengan pertimbangan bahwa apabila undang-undang menetapkan hal tertentu untuk peristiswa tertentu , maka peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu itu dan untuk peristiwa diluarnya berlaku kebalikannya. Jadi esensi nya mengedepankan cara penafsiran yang berlawanan pengertian antara peristiwa konkret yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Pada metode argumentum a contratio ini, titik berat diletakkan pada ketidaksamaan peristiwanya. Disini diperlukan segi negatifnya dair undang-undang.

Salah satu contoh klasik tentang penerapan metode ini yaitu pada ketentuan tentang masa tunggu (masa iddah) bagi janda yang hendak kawin lagi karena perceraian dengan suaminya. Menurut  Pasal 39 PP No. 9 Tahun 1975, masa tunggu bagi janda ditetapkan 130 hari. Bagaimana halnya dengan duda yang hendak kawin lagi setelah bercerai dengan isterinya. Solusinya, hakim dapat menerapkan metode argumentum a contrario ini, sehingga seorang duda tidak perlu menunggu waktu tertentu (masa iddah) dan dia bisa langsung melakukan pernikahan lagi dengan wanita pujaannya yang baru.

Metode Penyempitan/Pengkonkritan Hukum (Rechsvervijnings)[3]
Metode ini bertujuan untuk mengkonkritkan/menyempitkan suatu aturan hukum yang terlalu abstrak, luas, dan umum, supaya dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu.

Sebagai contoh Pasal 1365 KUHPerdata yang berbunyi: “Tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian pada pihak lain, mewajibkan si pelaku karena salahnya menimbulkan kerugian itu, untuk mengganti kerugian itu”. Persoalannya, apa yang dimaksud dengan “perbuatan melawan hukum itu”?

Sebelum tahun 1919, sebagai akibat dianutnya aliran legisme, maka para hakim mengindentifikasikan perbuatan melawan hukum itu adalah pebuatan yang melanggar undang-undang. Kemudian setelah keluarnya Arrest HoogRaad 31 Januari 1919 dalam kasus Lindenbauw versus Cohen, maka hakim telah menyempitkan arti perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata) itu adalah berbuat atau tidak berbuat yang:
a.     Melanggar hak subjektif hukum lain
b.    Bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pelaku
c.     Bertentangan dengan nilai kepatutan yang seyogyanya diindahkan dalam kehidupan bersama terhadap integritas subjek hukum maupun harta bendanya.

Khusus untuk butir (c) di atas, yaitu “nilai kepatutan” telah dikualifisir sebagai salah satu indikator perbuatan melawan hukum. Dalam hukum administrasi negara, “nilai kepatutan” itu masuk dalam pembahasan tentang “Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan yang Layak (AAUPPL)”. Dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Jazim Hamidi telah merekomendasikan perlunya pengaturan yang lebih spesifik tentang keberadaan AAUPL, sehingga ketentuan Pasal 53 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara ditambah butir (d) AAUPPL. Kemudian setelah diundangkannya UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, pada Pasal 53 ayat 2 butir (b) secara tegas menjadikan AAUPPL sebagai salah satu alasan yang dapat digunakan orang atau badan hukum perdata untuk mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan supaya suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakannya dinyatakan batal atau tidak sah. Dengan demikian sejak 29 Maret 2004 dimana undang-undang ini disahkan, AAUPPL telah menjadi bagian integral dari hukum positif yang berlaku di Indonesia.

Palembang, November 2011
M. Alvi Syahrin





[1] Jazim Hamidi, 2005, Hermeneutika Hukum: Teori Penemuan Hukum Baru dengan Interpretasi Teks, Yogyakarta: UII Press, hlm. 59-60
[2] Ibid., hlm. 61
[3] Ibid., hlm. 61-62

No comments:

Post a Comment