Wednesday, July 24, 2013

MELEMAHNYA HUKUM ADAT



Hukum Adat sebagai Hukum Asli Indonesia
Pada abad ke 19, kita mengenal F.K.V Savigny (seorang sarjana Jerman) yang mengemukakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang tumbuh dan berkembang seiring berdirinya suatu negara. Jiwa bangsa (volgeist) yang menjadi falsafah dasarnya tersebutlah yang kemudian dijewantahkan oleh pendiri bangsa ini (founding fathers) untuk menasbihkan hukum adat sebagai fondasi hukum bangsa.

Pancasila yang merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur bangsa pada saat itu sangat dijaga kesakralannya. Ia menjadi norma fundamental yang harus diikuti oleh aturan hukum dibawahnya. Bila ditilik lebih jauh, pancasila sejatinya telah mengakomodir jiwa bangsa indonesia terutama nilai-nilai hukum adat. Dimana disana ada pengakuan terhadap kehidupan beragama sebagai sarana ketakwaan, kemanusiaan yang diutamakan, persatuan indonesia yang menjadi modal hidup berbangsa, musyarah dan mufakat yang menjadi solusi bangsa, serta pemerataan bagi keadilan sosial rakyat indonesia. Hukum adat yang pada posisi itu memiliki nilai tawar yang tinggi, menjadi sangat bernilai harganya. Ia memang tidak menjadi hukum tunggal, tapi setidaknya menjadi dasar filosofis bersama bahwa negara ini tetap mengakui eksistensi hukum adat sebagai “the living law”.

Distorsi Nilai Hukum Adat dan Hukum Barat
Namun kita juga tidak dapat menafikan berlakunya hukum positif yang hidup di bangsa ini. Setelah kurang lebih dijajah oleh imperialisme kolonial belanda, maka secara tidak langsung kita telah mengadopsi keberlangsungan hukum tertulis yang sama sekali bertolak belakang dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Faktor kesejarahan inilah, yang membuat posisi Indonesia menjadi serba dilematis. Di satu sisi, bangsa ini memiliki hukum adat (dalam konteks kresindenan), tapi di sisi lain kita juga harus memahami bahwa kita sudah terlalu lama hidup dalam hukum positivistik. Tentunya kita mengenal KUHP (WvS), KUHPerdata (BW), KUHD (WvK), HIR/RBg, dan lain sebagainya sebagai hukum positivistik peninggalan kolonial yang masih berlaku hingga sekarang. Hal tersebut menjadi sedikit contoh bagaimana terdapat adanya pertarungan nilai dalam memperebutkan eksistensi keberlangsungan sistem hukum di Indonesia.

Era baru pertarungan nilai tersebut terjadi ketika bagaimana hendak mengakomodir keduanya dalam suatu kerangka hukum yang ideal. Maka, UUD 1945 yang kita kenal sekarang pun pada dasarnya merupakan kompromi alternatif bagaimana keduanya difasilitasi. UUD 1945 (pra amandemen), sejatinya lebih mengakui keberadaan hukum adat. Hal tersebut dapat kita lihat dari berbagai undang-undang organik dibawah UUD 1945 yang lebih pro kepada rakyat, walaupun masih ada anomali hukum yang terjadi. Namun setidaknya ini membuktikan bahwa hukum adat tetap eksis walaupun berada  dibawah tekanan terhadap tuntutan globalisasi.

Hukum Adat Dikalahkan !
Namun hal ini tidak berlangsung lama, ketika dimulainya pemberlakuan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dimana eksistensi berlakunya hukum adat mulai tergerus dan dimulainya era hukum tertulis (positivistik) di Indonesia. Hal ini ditandai dengan diundangkannya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA). Dimana dalam Pasal 3 nya kurang lebih disebutkan bahwa pelaksanaan hak-hak ulayat dan hak-hak serupa dari masyarakat adat sepanjang keberadaannya masih ada tetap diakui eksistensinya dengan catatan tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan yang lebih tinggi. Kemudian kita dapat menyimpulkan bahwa apakah pasal ini memang mengakomodir berlakunya hukum adat, atau mengakui hukum adat tapi tidak sepenuhnya. Mungkin inilah ekses dari pertarungan nilai antara hukum adat dan hukum tertulis. Nampaknya pembuat undang-undang lebih cenderung pro terhadap hukum tertulis yang notabane nya lebih melindungi kepastian hukum daripada keadilan hukum. Terutama dalam sektor bisnis, hukum adat sama sekali tidak menguntungkan para pemodal besar, karena tidak adanya kepastian hukum yang dilindungi. Dengan demikian tidak heran apabila hukum adat lambat laun ditinggalkan.


Diawal tahun 1967, kita masih ingat betul dimana Presiden Soeharto  mengesahkan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Pemberlakuan undang-undang tersebut, menjadi titik tolak dimulainya hukum tertulis dan berakhirnya hukum adat di Indonesia. Kita dapat mengatakan demikian karena demi mendukung program pemerintah di sektor ekonomi pembangunan, maka elit politik pada rezim itu berpendapat bahwa hukum adat tidak dapat menjadi solusi dalam mengatasi permasalahan. Oleh karenanya dengan mengkhianati amanat para pendiri bangsa maka hukum adat secara perlahan mulai dihilangkan dalam peredaran sistem hukum di Indonesia.

Realitas Pudarnya Hukum Adat
Reformulasi hukum adat ke hukum tertulis tentunya akan berefek domino terhadap tatanan hidup masyarakat. Sebagai contoh, dulu sebagaian besar masyarakat indonesia dalam hal pengurusan tapal batas tanah cukup dengan mengunakan patok dengan disaksikan oleh ketua adat setempat. Cukup itu saja. Karena dalam posisi demikian, kepercayaan satu sama lain (trus each other) menjadi sangat penting. Bukankah ciri khas transaksi adat yang ada selama ini cukup dengan “terang, tunai, dan langsung”. Dengan demikian, transaksi adat menjadi lancar. Kemudian dengan berlakunya UUPA, maka bagi setiap pihak yang memiliki tanah haruslah melakukan pengurusan untuk mendapatkan sertifikat tanah. Sertifikat tanah inilah yang kemudian akan menjadi bukti otentik akan kepemilikan tanah bersangkutan. Hal ini tentunya tidak dikenal oleh masyarakat hukum adat yang sejak zaman nenek moyangnya hanya mengakui kepemilikan tanah cukup dengan pengakuan sepihak dan tapal batas. Dengan masuk nya nilai-nilai hukum positivistik dalam sistem hukum nasional terutama bidang agraria, maka secara perlahan akan menghilangkan nilai-nilai luhur masyarakat adat.

Contoh agraria lainnya adalah semakin merajarelanya investor asing dalam menguasai tanah masyarakat adat. Mungkin hanya di daerah Sumatera Barat saja yang masih kuat menjaga tradisi hak ulayat, tapi selebihnya di berbagai macam daerah nusantara telah rela “menyumbangkan” tanah adatnya demi kepentingan bisnis. Dalam posisi demikian, pemerintah menjadi pihak yang bertanggung jawab. Sebagai regulator dan eksekutor, mestinya permasalahan tanah haruslah dikembalikan pada hukum asli indonesia, yakni hukum adat daerah setempat. Kita tidak dapat menggadaikan jiwa bangsa hanya untuk kepentingan bisnis yang semu.

Misalnya dengan adanya pemberlakuan hak atas tanah (HGU, HGB, Hak Pakai) yang diberikan oleh UUPA dan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, maka akan membuat masyarakat menjadi tamu di tanahnya sendiri. Ketentuan ini hanya memfasilitasi pemodal, hingga akan membuat keberlangsungan tanah adat menjadi hilang.

Ekses lain adalah, ketika dihapuskannya sistem marga di provinsi Sumatera Selatan, yang kemudian diganti menjadi istilah “desa”. Padahal istilah marga sendiri merupakan karakter asli masyarakat Sumsel untuk membedakan suatu masyarakat dalam kelompok tertentu. Inilah yang menjadi ciri khas masyarakat adat Sumsel. Namun kini telah hilang sejak diundangkannya UU tentang Pemerintahan Daerah. Contoh lainnya adalah tidak berlakunya “simbur cahaya” dalam sistem hukum masyarakat Sumsel dewasa ini. Sebagai aturan hukum adat setempat, sudah seharusnya-lah simbur cahaya menjadi “the living law” bagi masyarakat bersangkutan. Tapi kenyataannya? Menjadi hilang sejak dilakukakannya kodifikasi dan modifikasi hukum tertulis dalam sistem hukum di Indonesia.

Akhir-akhir ini kita juga dipertontokan dengan kinerja aparat hukum yang jauh dari jiwa bangsa Indonesia. Dengan berlatar belakang pendidikan barat dan dibina dengan kurikulum hukum barat pula, maka tidak aneh apabila paradigma yang mereka bawa adalah hukum barat yang lebih pro terhadap kepastian hukum. Di kepala mereka hanya berkutat bagaimana aturan hukum tertulis ini ditegakkan. Oleh karenanya tidak heran apabila rasa keadilan di dalam masyarakat menjadi tidak terakomodir.

Misalnya dalam Pasal 5 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa hakim dalam memutus suatu perkara wajib menggali, mengikuti, danmemahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Namun realitasnya? Banyak hakim yang hanya menjadi corong undang-undang, dan menafikan fakta-fakta dalam masyarakat. Mungkin kasus pencurian 3 buah kakao, kasus prita mulya sari, dan lain sebagainya menjadi contoh bagaimana aparat hukum telah meninggalkan nilai-nilai keadilan yang ada dalam masyarakat. Sejatinya hal ini tidak akan terjadi apabila mereka para aparat hukum lebih merenungkan dan memahami hukum adat sebagai hukum asli bangsa ini.

Contoh konkrit lain adalah semakin merebaknya polsek dalam setiap kecamatan / kelurahan. Dalam pemahaman hukum tertulis, indikator kesuksesan kepolisian adalah berimbangnya tingkat rasio populasi antara polisi dan masyarakat. Semakin mencapai titik tertentu, maka itulah kesuksesan institusi polisi. Padalah lebih jauh kita pahami dengan adanya fenomena demikian, maka akan membuat tingkah laku masyarakat dalam konteks hukum adat menjadi hilang. Setiap aktivitas hukum akan berujung pada kepolisian. Kepastian hukumlah yang dikejar.

Sejatinya, dalam konteks adat, seharusnya tidak semua tindakan kriminal harus diselesaikan secara represif. Di Sumtera Selatan, kita mengenal tepung tawar. Dimana terhadap seorang yang melakukan tindak kejahatan cukup dikenakan sanksi adat berupa denda atau dikucilkan dari komunitas adat. Bahkan dapat saja diangkat menjadi saudara sendiri di kemudian hari. Apakah cara ini tidak mencerminkan hukum yang sebenarnya? Bila oritentasi kita adalah globalisasi tentunya tidak akan ditemukan titik simpul. Tapi apapun itu, sebagai bangsa yang besar dan kaya akan sikap tindak budaya, maka hukum adat menjadi solusi penegakan hukum di republik ini. Bukan dengan melakukan kodifikasi, modifikasi, bahkan transplantasi hukum tertulis dari bangsa luar. Inilah yang seharusnya menjadi bahan pikir elit negara ini.

Palembang, November 2011

M. Alvi Syahrin

No comments:

Post a Comment