Polemik nikah sirri kembali mencuat
di tanah air dengan adanya RUU Materil Peradilan Agama di bidang Perkawinan.
Tidak hanya kaitannya dengan masalah pencatatan yang selama ini telah menjadi
sorotan bersama, tapi juga adanya “pemidanaan” bagi para pelaku nikah sirri,
baik itu calon mempelai suami, isteri maupun saksi dan wali yang menikahkan
mereka.
Kata “sirri” itu sendiri berasal
dari bahasa arab yang berarti berbisik atau rahasia yang kemudian berkembang
menjadi sembunyi, disembunyikan, menyembunyikan. Lawan dari kata “sirri”,
adalah “jahar”, yang berarti kuat dan lantang.
Namun, perlu diketahui bahwasanya,
nikah sirri ini tidak selalu diidentikan dengan agama Islam. Karena banyak
pemeluk agama lain pun yang dapat melakukan hal serupa, bila kita memahami dari
pemaknaan kata sirri tersebut. Agama Islam tidak mengenal istilah nikah sirri,
yang ada hanyalah nikah fasid (nikah yang memenuhi syaiat Islam) dan
nikah bathil (nikah yang tidak memenuhi syariat Islam). Dalam Islam,
perkawinan yang dilangsungkan haruslah “dipublikasikan” kepada para khalayak
yang disebut dengan walimatul ursy, walaupun dengan memotong seekor kambing.
Sehingga pengertian yang dikonsepsikan oleh para “ulul albab” terdahulu lebih
tepat ketimbang rumusan yang dikemukakan oleh Pemerintah sebagai nikah yang
tidak tercatat yang selama ini telah menjadi suatu doktirnasi masyarakat
Indonesia.
Berdasarkan perkembangannya, istilah
nikah sirri baru dikenal dalam beberapa tahun terakhir. Sebelum diberlakukannya
UU No. 1 Tahun 1974, yang dikenal hanyalah perkawinan tidak tercatat, kemudian
disamakan dengan istilah perkawinan dibawah tangan. Dan selanjutnya berubah
dengan sendirinya melalui pemahaman konsep teoritis beberapa golongan, yang
dikenal dengan istilah nikah sirri.
Dalam makalahnya yang berjudul
“Pernikahan Tidak Tercatat dan Nikah Sirri serta Implikasinya Dari Hukum
Negara”, Abdullah Gofar menguraikan dua pendapat terkait dengan istilah nikah
sirri. Pertama, nikah sirri merupakan menikah tanpa adanya seorang wali dan
tidak terpenuhinya rukun pernikahan secara lengkap. Kedua, menikah dengan telah
memenuhi semua rukun menikah, tetapi tidak disahkan secara hukum negara (tidak
didaftarkan ke KUA setempat). Menurut hukum Islam, pernikahan tersebut sudah
sah dan tidak ada satu pun ulama yang menyatakan perkawinan tersebut batal.
Dalam terminologi, nikah sirri
dirumuskan oleh para ulil albab sebagai pernikahan dimana salah satu
calon mempelai menyembunyikan identitas dari wali mujbir atau wali aqrub
padahal para wali tersebut masih hidup dan mampu untuk menikahkannya.
Penyembunyian inilah, yang diyakini oleh para ulill albab sebagai
penikahan yang disembunyikan, atau yang dikenal sebagai nikah sirri. Berbeda
dengan definisi nikah siriri yang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia yang
memaknainya sebagai suatu pernikahan yang tidak dicatatkan. Maksudnya,
pernikahan yang dilakukan oleh kedua mempelai walaupun dapat dikatakan telah
sah menurut hukum agamanya masing-masing, namun haruslah mendapatkan legitamsi
formalitas melalui pencatatan perkawinan di KUA bagi umat muslim dan KCS bagi
umat non-muslim.
Apabila kita telisik lebih jauh, maka
terminologi nikah siri yang kembangkan oleh pemerintah sama sekali tidak
berdasarkan konsep agama. Dikarenakan hanya menekankan pada aspek kepastian
hukum dan legalitas. Permasalahannya adalah, apakah perkawinan yang telah
dilakukan secara sah menurut hukum agama bukan merupakan suatu perkawinan yang
diakui oleh negara. Dalam pasal Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal
4 KHI menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Hal tersebut juga senada dengan
ketentuan Pasal 2 KHI yang menegaskan bahwa perkawinan menurut hukum islam
adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiiddan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Relevansinya dengan pasal ini, dengan
jelas menggambarkan bahwa nikah sirri pada dasarnya sama sekali tidak
bertentangan dengan hukum positif Indonesia, karena sudah sesuai dengan hukum
agama Islam. Menurut hukum Islam sendiri, yang dijelaskan dalam Pasal 14 KHI
menjelaskan bahwa untuk melaksanakan perkawinan maka harus memenuhi beberapa
rukun dan syarat diantaranya: calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang
saksi, dan ijab dan Kabul.
Bila didasarkan pada aturan tersebut,
maka sebenarnya tidak ada yang salah dari nikah sirri. Maka kemudian, beberapa
pakar merujuk Pasal 2 ayat (2) yang menurut saya merupakan “pasal sekuler”
menjelaskan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan. Yang kemudian ditegaskan kembali dalam Pasal 5 KHI yang
menyebutkan bahwa agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam
setiap perkawinan harus dicatat (ayat 1). Begitu juga halnya dengan PP No. 9
Tahun 1975 yang memuat delapan pasal yang berkaitan dengan pencatatan
perkawinan.
Bila kita analisis lebih jauh, tidak
ada satu pasal pun baik itu dalam UU Perkawinan ataupun KHI yang menentukan
bahwa pencatatan perkawinan merupakan syarat mutlak bagi sahnya suatu
perkawinan. Jadi, jelaslah bahwa keberadaan pasal semacam ini dalam
korelasi-nya dengan hukum perkawinan (hukum privat) tidaklah berdasar dan dapat
menghilangkan keabsahan formalitas perkawinan menurut Islam. Dapat saja,
pencatatan perkawinan dijadikan oleh Pemerintah sebagai dalil untuk mewujudkan
asas kepastian hukum dan publisitas demi keteraturan dari sisi adminitrasi.
Namun, tidak dapat menghilangakan eksistensi fundamental yang terkandung dalam
sendi-sendi hukum agama itu sendiri.
Pencatatan perkawinan yang
termuat dalam peraturan perundang-undangan Indonesia tidak lain sebagai
kepentingan administrasi dari pemerintah dan bukanlah sesuatu yang prinsipil.
Tanpa menafikan tujuan dan manfaat dari pencatatan tersebut, maka bukan
tempatnya untuk menyatakan bahwa perkawinan yang tidak dilakukan pencatan
bukanlah perkawinan yang diakui oleh negara. Dikarenakan dalam Pasal 2 UU No. 1
Tahun 1974 telah dengan tegas menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila
dilaksanakan menurut hukum agama dan kepercayaannya masing-masing. Sehingga
ketentuan pencatatan perkawinan tersebut dapat dikatakan sebagai hukum pelengkap
(aanvullend recht), karena bukan syarat mutlak sahnya suatu perkawinan.
Dengan demikian, kaitannya dengan nikah sirri
adalah menegaskan bahwa nikah sirri berbeda secara konsepsi dengan nikah yang
tidak tercatat. Sebagaimana dikemukakan pada paragraf sebelumnya, maka nikah
sirri ialah perkawinan yang menyembunyikan identitas dari wali nikah. Hal
tersebut berbeda dengan nikah tidak tercatat yang hanya menekankan pada aspek
adminitrasi yang merupakan manifetasi dari kepentingan negara. Dikarenakan
konsep nikah sirri merupakan terminologi yang “diberikan” oleh hukum agama
walaupun dalam Islam sendiri tidak mengenal istilah tersebut, sedangkan nikah
tidak tercatat merupakan terminologi yang dikembangkan oleh hukum negara
berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, maka pada dasarnya kedua
istilah itu tidak dapat dileburkan menjadi satu definisi yang absolut. Sehingga
terminologi nikah sirri tersebut tidak dapat disamakan dengan nikah tidak
tercatat, karena selain berbeda konsep teoritis antara hukum agama dan hukum
negara, juga kontradiktif dengan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia
Palembang, Maret 2010
M. Alvi Syahrin
No comments:
Post a Comment