Wednesday, July 24, 2013

KAJIAN HUKUM MEDIASI: NILAI, ASAS, NORMA, DAN PERILAKU


NILAI
Dalam tatanan nilai (sesuatu yang dianggap baik dan buruk, benar dan salah), mediasi tidak lebih dari proses perdamaian yang dihendaki oleh para pihak demi tercapainya suatu kebaikan bersama. Nilai yang hendak dicapai oleh mediasi merupakan nilai kebersamaan-keseimbangan yang dibungkus dengan nilai kepastian dan keadilan hukum. Pihak yang mencari keadilan menuntut adanya pengharapan dimana sengketa yang dihadapinya bersama pihak lain (oponent) dapat diselesaikan secara bersama dengan mengutamakan keseimbangan dan tetap menjunjung tinggi nilai kepastian hukum dan keadilan hukum. Nilai disini berarti suatu konsep yang mereka anggap menjadi suatu kebenaran. Dengan kata lain, menjatuhkan pilihan terhadap proses mediasi untuk tercapainya perdamaian, tidak lain adalah sebagai konsep yang mereka anggap paling baik. Lebih dari itu, nilai yang terkandung dalam proses mediasi adalah mengedepankan keinginan secara bebas tanpa terikat simpul-simpul formalitas. Inilah yang disebut dengan nilai kebebasan. Bebas yang menghilangkan dominasi superior terhadap inferior. Para pihak yang menghendaki mediasi, secara sadar dan tidak sadar telah menundukkan diri kepada kebebasan yang mereka inginkan. Mereka tidak mau terbelenggu oleh proses formal pengadilan, yang menurut mereka dapat menghilangkan hak-hak serta hasrat mereka dalam mencapai tujuan perdamaian. Nilai kesamaan juga menjadi konsep penting dalam mediasi. Nilai kesamaan ini tidak akan pernah terealisasi secara absolut, ketika diimpilkasikan dalam bentuk penyelesaian secara formalistik (walaupun dalam kerangka ideal tidak demikian). Namun, dengan adanya nilai tersebut, maka para pihak yang bersengketa ditempatkan dalam porsi, kedudukan, dan hak yang sama dalam proses perdamaian. Kesamaan di depan hukum inilah yang akan bermuara pada nilai keadilan. Adil bagi satu pihak dan adil bagi pihak lain (walaupun adil itu bersifatr relatif). Begitu juga dengan nilai kepastian. Proses perdamaian yang diselesaikan diluar forum legalitas, tentunya akan berdampak pada kekuatan eksekutorialnya dan legitimasi menjadi tidak berjalan. Sehingga proses perdamaian (d.h.i mediasi) perlu dikuatkan dalam bentuk kepastian hukum (nilai ini lebih lanjut akan dibahas dalam kerangka norma).

ASAS HUKUM
Tidak berbeda jauh dengan konsep nilai, asas yang juga pengenjewantahan dari nilai juga tidak lebih dari konseptis yang abstrak. Namun dalam kondisi tertentu ia tidak lebih abstrak dari nilai. Asas yang terkandung dalam mediasi sangatlah banyak. Sebagai contoh, asas kebebasan berkontrak (freedom of contract principle). Hal ini dikarenakan, mediasi merupakan forum dari penyelesaian sengketa dengan konsep perdamaian, maka secara a quo juga tunduk pada asas-asas yang terkandung dalam hukum perjanjian yang diatur dalam Buku III KUHPerdata. Asas kebebasan berkontrak ini merupakan transformasi dari nilai kebebasan dan kesamaan, yang menghendaki para pihak untuk bersikap bebas menentukan apa isi perjanjian perdamaian itu dan juga sama dalam kedudukan dan hak yang dimiliki. Selain itu juga, terkandung asas pacta sun servanda. Asas ini mensyaratkan bahwa setiap perjanjian perdamaian yang hendak dituangkan dalam forum mediasi, haruslah bersifat mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Hal ini tentunya bermuara pada titik eksekutorial dan mengikat kedalam dan keluar (jika itu juga memang diperjanjikan). Asas ini merupakan pengejewantahan dari nilai kepastian hukum. Selain termasuk dalam bentuk perjanjian, mediasi juga merupakan bagian dari hukum acara formalistik apabila ia sudah dijalankan secara profesional dan mengandung norma-norma hukum. Sebagai misal, mediasi haruslah mengandung asas impartial. Asas ini terdapat di dalam hukum acara perdata yang mengandung makna bahwa mediator dalam menjalankan tugasnya tidaklah diperbolehkan untuk bersikap memihak kepada salah satu pihak. Mediator dilarang untuk berat sebelah, dalam artian dilarang untuk melakukan hal-hal yang bertendensi untuk memenangkan salah satu pihak. Sehingga dengan adanya asas ini tercerminlah suatu konsep yang seimbang dalam melakukan proses mediasi. Asas inilah yang mencerminkan nilai keseimbangan dan keadilan. Selain itu juga terkandung asas penyelesaian perkara secara sederhana, cepat, dan biaya ringan. Asas ini berlaku apabila mediasi diinputkan dalam proses peradilan. Asas ini menghendaki agar proses mediasi dapat dilaksanakan secara cepat dan biaya murah. Sehingga tidak hanya perdamaian yang dikehendaki dapat tercapai, tetapi juga penumpukkan perkara yang selama ini menjadi problem besar di Mahakamah Agung dapat tereduksi.

NORMA HUKUM
Lain halnya dengan nilai dan asas hukum, norma hukum lebih bersifat konkrit. Dikarenakan norma hukum telah melewati beberapa fase dan proses pembentukan sehingga terciptalah konsep yang lebih nyata dan riel yang dinamakan norma hukum. Norma hukum merupakan hasil konkritisasi dari nilai dan asas hukum. Oleh karenanya, dalam norma hukum yang baik tentulah harus terkandung nilai dan asas hukum. Hal ini menjadi penting dalam mengharmoniasilan suatu norma hukum yang satu norma hukum yang lain. Dalam konsep mediasi, banyak sekali norma hukum yang terkandung di dalamnya. Secara umum, ia dinormakan dalam Buku III KUHPerdata (karena mediasi merupakan bagian dari perjanjian). Sebagai misal, ketentuan Pasal 1338 dan Pasal 1320 KUHPerdata. Disanalah norma hukum mediasi (perdamaian) dapat ditemukan. Sebagai norma hukum yang bersifat umum, ketentuan ini secara tidak langsung memaksakan bahwa bagi setiap pihak yang hendak melakukan mediasi haruslah memperhatikan norma-norma yang terkandung di dalamnya. Selain itu juga, kita juga perlu memperhatikan norma-norma hukum mediasi dalam kedudukannya sebagai bagian dari hukum acara baik itu di dalam pengadilan ataupun di luar pengadilan. Oleh karenanya kita akan menemukan berbagai macam norma hukum disana. Sebagai contoh, norma hukum dasar yang mensyaratkan agar mediasi wajib ditempuh dalam proses peradilan. Maka kita akan tunduk pada ketentuan Pasal 130 HIR/154 RBg. Ketentuan tersebut mengamanatkan bahwa sebelum perkara diperiksa, hakim harus menganjurkan supaya para pihak menempuh proses perdamaian terlebih dahulu. Lalu ketentuan tersebut diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaan berupa Peraturan Mahkamah Agung (Perma). Pertama kali diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 Tahun 2001, selanjutnya diubah menjadi PERMA No. 2 Tahun 2003, yang kemudian terakhir dicabut dan digantikan PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Lain halnya dengan proses mediasi di pengadilan. Hal ini diatur tidak berdampingan dengan ketentuan PERMA No. 1 Tahun 2008, tetapi diatur dalam peraturan yang lebih tinggi, yaitu UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Hal ini dikarenakan, mediasi dalam konsep ini bukan bersifat pro justitia, tetapi lebih menekankan pada alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, sehingga norma hukumnya pun harus diatur berbeda.

SIKAP TINDAK / PERILAKU

Pada tataran ini, maka nilai, asas hukum, dan norma hukum tidaklah menjadi kajian utama. Bila sebelumnya kajian hukum yang dihadapi lebih dihadapkan pada konsep yang sangat yuridis, maka dalam tingkatan sikap tindak / perilaku, maka sudut pandang yang lebih ditajamkan adalah bagaimana norma-norma hukum (hasil konkritisasi dari nilai dan asas hukum) dapat diimplementasikan dengan baik atau tidak dalam realitas sosial. Sehingga bidang kajian yang lebih diperhatikan adalah sosiologi hukum. Di sini tidak lagi dibahas mengenasi abtsraksi dari mediasi, tetapi lebih kepada konkritisasi dari mediasi. Apakah mediasi itu dijalankan dengan baik atau tidak, apakah ketentuan norma mediasi tersebut dapat diterapkan dengan benar atau tidak, dan sebagainya. Sebagai contoh, bagaimana efektifitas mediasi dalam penyelesaian perkara perdata umum pada tingkat pengadilan negeri kelas IA kota Palembang. Dalam hal ini kita dihadapkan pada reaksi sosial atas mediasi tersebut. Sehingga implementasi dan keberlakuan dari norma tersebutlah yang lebih diutamakan. Untuk menemukan hasil dari efektifitas tersebut, tentunya dibutuhkan suatu penelitian yang lebih lanjut, untuk mendapatkan hasil dan kesimpulan yang akurat.

Palembang, September 2011
M. Alvi Syahrin

No comments:

Post a Comment