Monday, July 22, 2013

AUTHORITY, LAW, AND MORALITY


Herbert Lionel Adolphus Hart (18 July 1907 – 19 December 1992) was an influential legal philosopher of the 20th century. He was Professor of Jurisprudence at Oxford University and the Principal of Brasenose College, Oxford. His most famous work is The Concept of Law (1961).

H. L. A. Hart dalam bukunya yang berjudul The Concept of Law dan Law, Liberty, dan Morality telah menjelaskan bahwa ada kaitan yang erat antara konsep hukum dan moralitas dan otoritas aparat. Bahkan terhadap hal ini, Lord Acton juga pernah menegmukakan bahwa "Absolutely Power tends to Absolutely Corrupt". Oleh karenanya, dapat dimaknai bahwa hukum tidak dapat dilihat sebagai makna tunggal. Hukum bukan berdiri pada wilayah yang otonom, sehingga untuk menghasilkan hukum yang baik tentunya sangat berpengaruh atas nilai dan konsep lain.



Dialektika Otoritas Hukum dan Moralitas
Perdebatan antara otoritas legal (wewenang hukum) terhadap eksistensi moralitas sampai saat ini masih menjadi diskusi yang menarik. Bagi sebagian kalangan, klaim terhadap otoritas legal tentulah harus dikedepankan dengan rasionalitas yang otonom. Otoritas legal lah yang kemudian akan membuat instrumen hukum menjadi lebih berwibawa. Tentu yang menjadi soal, wibawa hukum juga harus dijewantahkan dalam rumusan norma yang aplikatif dan responsif. Terhadap otoritas legal yang sah sekalipun, apabila tidak diikuti oleh moralitas aparat yang baik, akan menciderai wibawa hukum itu sendiri.

Bagi negara-negara berkembang, konsep pembangunan haruslah didasarkan atas periodik top to bottom. Oleh karenanya, untuk menunjang hal tersebut dibutuhkan instrumen hukum yang tidak hanya sekedar menjamin keadilan, tapi juga kepastian hukum. Bahkan lebih dari itu, kalau memang diperlukan, hukum jugalah yang harus merekayasa sosial masyarakat. Hukum diproyeksikan sebagai peranti sosial agar setiap anggota masyarakat untuk tunduk kepada norma hukum dalam kondisi apapun. Tidak ada kesempatan bagi masyarakat untuk melakukan komplain terhadap hukum. Hukum dalam hal ini sangat dipengaruhi oleh otoritas pemerintah yang berkuasa. Tanpa adanya otoritas, tentulah misi hukum sebagai peranti rekayasa sosial tidak akan tercapai.

Ada kesalahan terhadap tafsir makna “negara hukum (rechtstaat)” yang kita pahami selama ini. Kalau terminologi negara hukum yang dipakai, maka semua aktivitas suatu negara haruslah berpedoman terhadap hukum. Negara yang kemudian mengabdi kepada hukum. Lalu, bagaimana ketika hukum tersebut dirumuskan oleh pemegang kekuasaan yang koruptif dan oportunis? Maka output yang didapat dari proses hukum pun akan tidak jauh berbeda. Apabila hukum yang diutamakan tanpa melihat proses pembentukannya, maka konsep yang demikian tidak akan jauh berbeda dengan paradgima negara kekuasaan (machtstaat). Jadi pada dasarnya, negara hukum itu tidak lain merupakan penghalusan makna dari negara kekuasaan. 

Yang menjadi soal adalah, ketika hukum hanya berorientasi pada otoritas aparat hukum semata, maka akan membuat kesenjangan antara tujuan yang dicapai dan realitas yang dihadapi. Terhadap konsep hukum demikian, hanya akan memfokuskan diri pada level kekuasaan. Hukum hanya ditafsirkan sebagai alat untuk melenggangkan sikap tindak yang koruptif dan diskriminatif. Negara yang menganut paham hukum demikian, akan mengakibatkan cita luhur dari suatu bangsa akan tergerus.


Urgensi Moralitas terhadap Otoritas Hukum
Aparat hukum merupakan instrumen yang mengarahkan bagaimana hukum itu dijalankan. Aparat hukum memiliki peran yang strategis. Suatu kondisi dimana dapat dikatakan harmonis, apabila ada sinergitas antara konsep hukum yang ideal dan aparat hukum yang kredibel. Akan menjadi soal apabila aparat hukum hanya dididik secara formalitas semata. Tidak ada nuansa moralitas bahkan spritualitas yang diajarkan pada kurikulum pendidikan hukumnya. Oleh karenanya, jangan mengharapkan lebih terhadap penegakan hukum yang responsif.

Dewasa ini, Indonesia mengalami dialektika kronis, apakah tetap menjunjung tinggi nilai kepastian hukum ataukah keadilan hukum. apabila kepastian hukum yang ingin dicapai, maka otoritas hukum haruslah yang diutamakan. Lain halnya apabila, keadilan hukum yang ingin dikehendaki. Tentulah harus ada infiltrasi nilai moralitas terhadap norma hukum dan aparat hukumnya. Hal ini tidak dapat dipisahkan begitu saja, karena ketiganya merupakan konsep yang integratif.

Bagi negara-negara yang menjunjung tinggi nilai keadilan hukum, moralitas sangatlah diutamakan. Tidak ada klaim otoritas penguasa disana. Semuanya didasarkan atas keadilan moralitas masyarakat. menjadi suatu masalah besar apabila, moralitas tersebut tidak diintegrasikan dalam konsep pembangunan hukum. bahkan dialektika keduanya pun sudah mulai mengakar sejak awal abad ke-19. Memang terkesan sulit untuk menyatukan antara otoritas hukum dan moralitas hukum. namun, tidak menjadi sulit apabila ada keinginan politik yang kuat (political will) untuk menyatukan hal tersebut.


Lebih lanjut, ada kecenderungan logis bahwa otoritas hukum yang tidak dibatasi oleh moralitas akan menurunkan tingkat responsibiltas hukumnya. Begitu juga sebaliknya. Sebagai misal, terhadap aparat hukum yang diberi otoritas penuh dalam proses penegakan hukum, bila tidak diiringi oleh moralitas hukum yang baik pula, maka tendensi untuk melakukan penyimpangan hukum semakin besar. Maka contoh konkritnya ialah banyak ditangkapnya aparat hukum seperti jaksa, polisi, bahkan hakim pun yang terlibat dalam tindak pidana korupsi. Ini setidaknya diakibatkan oleh sikap otoritas yang tidak diikuti oleh moralitas yang mumpuni.

Oleh karenanya, menjadi sangat krusial apabila dialektika ini semakin menjurus kepada inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia. Integritas di antara keduanya menjadi urgensi tersendiri bagi perumus norma hukum di Republik ini. Jangan ada lagi separasi yang membuat jarak antara otoritas dan moralitas semakin besar. Keduanya harus menjadi satu bagian yang tersistematis dalam menciptakan hukum yang harmonis dan responsif demi kemaslahatan umat manusia.

Palembang, Mei 2012
M. Alvi Syahrin

No comments:

Post a Comment