Tuesday, July 23, 2013

POLITIK HUKUM DALAM REDUKSISASI BEBAN PERKARA DI MAHKAMAH AGUNG





BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Dalam konteks negara hukum, lembaga yudikatif merupakan salah satu cabang kekuasan (kehakiman)[1] yang berdiri tegak tanpa adanya intervensi dari pihak manapun (baik itu eksekutif dan legislatif).[2]
Namun, dalam praktiknya, pengadilan kini tidak hanya menjadi lembaga hukum yang berasal dan bermuara kepada hukum, melainkan juga dikelilingi oleh anasir-anasir non-hukum yang harus diakui bersama merupakan tuntutuan dalam perubahan sistem reformasi untuk menciptakan putusan yang bermartabat.[3]
Sebagai sarana yang banyak dipakai oleh warga negara dalam mencapai keadilan, pengadilan yang merupakan lembaga hukum (non-politik) tentunya diharapkan dapat menjadi lembaga yang dapat memuaskan keinginan dan kehendak dari warga pencari keadilan.
Dengan semakin meningkatnya problematika dan hasrat manusia dalam mencari keadilan, maka tidak dapat dipungkiri lagi akan berdampak pada meningkatnya volume perkara yang masuk ke pengadilan[4]. Perkara ini tidak hanya meliputi perkara pidana misalnya, tetapi juga perdata, tata usaha negara, dan juga militer. Dengan beragamnya jenis perkara ini, maka pengadilan selalu dituntut untuk selalu berada dalam kondisi prima, tidak hanya dalam sisi aparatur (pejabat pengadilan) nya, fasilitasnya, tapi juga sistemnya.
Penumpukan perkara di Mahkamah Agung (selanjutnya disebut MA), yang merupakan tingkatan tertinggi dalam hierarkis penanganan hukum di republik ini, menjadi suatu realitas hukum yang tidak dapat dibantahkan lagi. Dimana antara komparitas perkara, aparat, dan fasilitas kian tidak seimbang. Data terakhir yang dilansir oleh MA, kian menasbihkan bahwa perbandingan tersebut menjadi sangat tajam.[5]
Jenis Perkara
Jumlah Perkara
Persentase
Perdata umum
7.915
35,47 %
Perdata khusus
1.655
7,42 %
Pidana umum
3.965
17,77 %
Pidana Khusus
5.025
22,52 %
Peradilan Agama
982
4,04 %
Tata Usaha Negara
2.475
11,11 %
Militer
373
1,67 %
Sumber: MA RI
            Angka-angka tersebut tentunya akan terus meruncing, ketika basis permasalahan tidak diatasi. Memang masih banyak yang perlu dibenahi. Tidak hanya jumlah aparat yang perlu diperhatikan, tetapi juga kualitas aparat juga perlu dikritisi dan diperbaiki ke depannya.
Sistem peradilan di Indonesia yang buruk dan cenderung mengalami kemunduran dari masa ke masa, harus segera menjadi perhatian serius para pemangku jabatan di  republik ini (d.h.i penumpukan perkara yang overload). Karena salah satu terbentuknya esensi negara hukum yang berdaulat adalah tercipatanya lembaga peradilan yang sehat, kredibel, berkualitas, dan independen. Hal ini tidak akan pernah tercapai apabila tidak adanya kerja sama politik (d.h.i politik hukum) yang memadai dari para elit politik itu sendiri (d.h.i eksekutif, legislatif, dan yudikatif).
Penumpukan perkara di MA saat ini cukup mengkhawatirkan. Tentunya hal ini akan berimpilkasi pada kualitas putusan hakim yang menjadi mahkota keadilan dalam penegakan hukum itu sendiri. Jimly Asshidiqie yang merupakan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, menuturkan bahwa peradilan indonesia saat ini kebanjiran perkara.[6] Di pengadilan tingkat pertama ada sekitar tiga juta perkara yang masih dalam proses persidangan. Belum lagi ditambah kebiasaan pengadilan-pengadilan tingkat pertama yang menganggap enteng dengan membuat putusan yang tidak berkualitas, dengan harapan agar pengadilan diatasnya (pengadilan tinggi dan MA) yang menyelesaikannya. Ini tentunya logika hukum yang dangkal dan tidak berwibawa. Cara ini tidak lebih sebagai pengalihan kewenangan yang abnormal. Alhasil, penumpukan perkara sudah menjadi hal lumrah yang terjadi di dunia peradilan kita.
Atas dasar pemikiran tersebut, maka penulis beranggapan bahwa kenyataan dan realitas politik hukum[7] sangatlah diperlukan guna menciptakan lembaga peradilan yang berkualias dengan metode reduktisasi penumpukan perkara (khususnya di tingkat MA). Sebagai suatu sistem yang terintegrasi, lembaga peradilan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Oleh karenanya butuh suatu keinginan politik (political will) yang kuat guna menyelesaikan problematika tersebut. Politk hukum tersebut tidak hanya datang dari pejabat yudikatif, tetapi juga eksekutif dan legislatif, yang tentunya harus ada kesamaan visi dan misi dalam menciptakan dunia peradilan yang diidamkan.
B.       Rumusan Masalah
Beradasarkan uraian diatas, maka penulis mengangkat satu permasalahan krusial yang akan menjadi topik utama (main topic) dalam makalah ini, yakni: bagaimana politik hukum yang diformulasikan oleh MA demi menciptakan dunia peradilan yang berkualitas, dengan cara mengurangi penumpukan perkara di MA?


BAB II
PEMBAHASAN

Sebagai salah satu pilar penting negara, MA diletakkan pada posisi yang paling utama dalam sistem kekuasaan kehakiman. Oleh karenanya secara tidak langsung (ex officio), MA juga memiliki kebijakan strategis baik itu dalam konteks hukum ataupun politik yang dapat mempengaruhi keberlangsungan kekuasaan kehakiman itu sendiri.[8] Hal ini karena politik hukum bukan hanya didominasi oleh kalangan eksekutif ataupun legislatif (walaupun ketiganya harus berjalan beriringan), tetapi juga yudikatif.
Dalam konteks reduktisasi pembebanan perkara, politik hukum yang dikeluarkan oleh MA cenderung minim, malah terkesan tidak ada. Penulis kurang mengetahui, apakah kebijakan tersebut tidak dikeluarkan sama sekali, ataukah memang kebijakan tersebut kurang populis, sehingga pada level implementasinya sangat jauh dari harapan. Memang ada beberapa upaya yang telah dilakukan oleh MA untuk menanggulangi membengkaknya masuknya perkara. Namun, dengan semakin banyaknya upaya, maka semakin tinggi pula volume perkara yang masuk. Apakah ini didasari atas problem internal ataukah eksternal sehingga kebijakan politik hukum tersebut terkesan kurang efektif.

Dalam tulisan ini, setidaknya akan dikemukakan 2 (dua) bentuk politik hukum yang dikeluarkan oleh MA terkait dengan reduktisasi beban perkara yang semakin membengkak. Penulis menyadari bahwa ada banyak kebijakan dan alternatif yang telah dikeluarkan oleh MA, namun dalam kesempatan ini, penulis hanya membeberkan 2 (dua) format, yang penulis anggap kebijakan politik hukum ini cukup representatif dalam mengatasi permasalahan yang telah dikemukakan. Kedua format tersebut adalah:
1.      Urgensitas dibentuknya Sistem Kamar (Chamber) di Level MA[9]
Dengan adanya pembeludakkan beban perkara yang cukup signifikan, maka menjadi tantangan serius bagi MA sebagai lembaga peradilan tertinggi di republik ini. Betapa tidak, ditengah menurunnya pusaran arus ketidakpercayaan publik terhadap penjaga terakhir benteng keadilan ini, serta inkonsistensi martabat hakim, dan semakin merosotnya kualitas putusan hakim, maka sudah seharusnya apabila MA segera berbenah. Maka pada tahun ini, MA mulai menerapkan sistem kamar dalam penanganan perkara di tingkat kasasi.
Sistem kamar (chamber system)[10] merupakan sistem pengelompokkan hakim berdasarkan kompetensi dan latar belakang pendidikannya masing-masing. Dengan sistem tersebut, hakim dengan keahlian yang sama dijadikan satu kelompok dan hanya menangani perkara yang menjadi keahliannya.[11]
Dalam buku Laporan Tahunan MA 2010 disebutkan bahwa MA ingin menjadikan penerapan sistem kamar di lembaganya sebagai prioritas program pada tahun 2011. Dalam buletin Komisi Yudisial Vol. V No. 5 (April – Mei 2011) disebutkan bahwa MA saat ini tengah menyiapkan pemberlakuan sistem kamar yang rencananya akan dimulai pada pertengan tahun 2011 ini. Dimana Hakim Agung Atja Sondjaja menjadi Ketua Tim Sistem Kamar, dibantu oleh Hakim Agung Takdir Ismail.
Menurut Ketua MA, Harifin A. Tumpa menjelaskan tujuan penerapan sistem kamar adalah untuk:
a.    Mengembangkan keahlian hakim di dalam memeriksa dan memutus perkara, karena hakim hanya memutus perkara yang sesuai dengan kompetensinya.
b.    Meningkatkan produktivitas pemeriksaan perkara, dimana hakim hanya akan memutus perkara yang sejenis menurut keahlian secara terus menerus, yang pada akhirnya tercipta suatu standarisasi.
c.    Memudahkan pengawasan putusan dalam rangka menjaga kesatuan hukum, karena sudah terstandarisasi dalam kamar. Hal ini tentu akan membawa dampak dalam jangka waktu panjang tentang terpeliharanya kesatuan dan kepastian hukum.
Penerapan sistem kamar bertujuan antara lain dalam hal proses pemeriksaan dan memutus perkara menjadi lebih terfokus dan tertata. Hal ini akan mendorong konsistensi putusan (d.k.l mencegah terjadinya disparitas putusan), serta meningkatkan kualitas pertimbangan hukum.
Konsistensi putusan tersebut akan memunculkan sebuah kesatuan hukum (law unification) di lingkungan peradilan, sehingga bisa mengurangi disparitas dalam putusan. Produktivitas juga diperkirakan akan semakin meningkat seiring dengan pelaksanaan sistem kamar ini.
Sistem kamar juga akan memudahkan MA untuk mengawasi putusan hakim. Pasalnya, di setiap kamar, perkara tidak lantas kemudian diputuskan oleh seluruh anggota kamar. Perkara tetap ditangani oleh majelis yang terdiri dari tiga, atau lima hakim agung.
Namun, untuk menjaga konsistensi pertimbangan hukum, tiap majelis dapat memaparkan pertimbangan hukum yang diambil dalam sebuah perkara di dalam rapat kamar. Masing-masing kamar dapat menyelenggarakan rapat secara terpisah. Situasi ini juga berlaku di Mahkamah Agung Belanda di mana ada rapat kamar yang diselenggarakan setiap minggu.
Berdasarkan cetak biru (blue-print) MA tahun 2010-2035, MA menargetkan penerapan sistem kamar ini dapat berjalan penuh dan efektif pada tahun 2014. Di mana antara masa 2011 hingga 2014 merupakan masa transisi menuju sistem kamar. Dalam masa inilah, semua hal termasuk dukungan dari peraturan perundang-undangan baik itu bersifat internal ataupun eksernal perlu dipersiapkan secara matang.
Namun, seperti yang sudah-sudah, tentunya kebijakan politik hukum MA ini tidak dapat berjalan dengan mulus. Banyak kendala-kendala yang harus dihadapi. Sebagai misal, jumlah hakim agung yang ada saat ini belumlah cukup representatif untuk menjadi sub bagian dari sistem kamar ini.[12] Kebutuhan hakim agung yang diperlukan masih jauh dari harapan. Karena apabila kita sudah komitmen untuk menerapkan sistem kamar, berarti kita juga harus siap dengan segala kebutuhan yang dibutuhkan dan konsekuensi realitas yang dihadapi.
Pada tahun 2010 misalnya, MA menerima perkara sebanyak 13.480 perkara.[13] MA menerima permohonan kasasi atau peninjauan kembali terbanyak pada jenis perkara perdata (umum) dan pidana (khusus). Melihat banyaknya perkara yang datang ke MA, maka tak ada pilihan lain kecuali dengan membatasi aliran perkara. Pembatasan perkara melalui sistem kamar akan menjadi percuma dan sia-sia, apabila rencana pembatasan kasasi tidak dilaksanakan.[14]
Namun, terlepas dari hal itu, tentunya perombakan sistem yang ada saat ini menuju sistem kamar masih sangat diharapkan. Prof. Dr. Laica Marzuki, yang merupakan mantan hakim agung serta ahli hukum tata negara, menuturkan bahwa dengan adanya sistem kamar ini, maka hakim agung akan lebih fokus dalam menjalankan tugasnya. Mereka akan lebih mampu mengasah kemampuan dalam memeriksa perkara yang ditanganinya. Semakin lama mereka berkutat pada satu bidang, maka dalam periode tertentu mereka akan menjadi ahli dalam bidang tersebut.
Oleh karenanya, terlepas dari pro dan kontra penerapan sistem kamar ini, setidaknya kita perlu mengapresiasi terobosan progresif yang dibalut dalam kerangka kebijakan politik hukum MA ini, sehingga penumbukan volume perkara menjadi semakin berkurang. Dan pada akhirnya, sistem peradilan ideal yang kita harapkan selama ini, dapat terwujud dan terlaksana.
2.         Maksimalitas Peran Mediasi (Perdamaian) dalam sebagai subsistem Peradilan di Indonesia
Sama halnya dengan penerapan sistem kamar pada tingkat kasasi, salah satu instrumen penting guna mengurangi beban perkara di Mahkamah Agung adalah dengan memaksimalkan lembaga mediasi (baik itu dalam jalur litigasi ataupunnon-litigasi) yang sudah ada. Pada dasarnya, lembaga mediasi bukanlah hal baru dalam sistem penegakan hukum di Indonesia. Keberadaannya sama tua dengan usia hukum di negeri ini. Namun, kenyataannya perangkat hukum ini tidak lebih sebagai aksesoris hukum belaka. Wujudnya ada tapi tidak bernyawa.
Dalam sejarahnya, upaya mewujudkan keadilan atau penyelesaian perkara perdata melalui cara-cara mufakat para pihak (d.h.i mediasi) bukanlah suatu tradisi asing bagi bangsa Indonesia. Hali ini terbukti dengan adanya HIR dan RBg (secara eksplisit diatur dalam Pasal 130 HIR dan 154 RBg) yang dibuat oleh Pemerintah Belanda dan berlaku bagi kelompok bumi putera yang secara tegas mewajibkan agar sebelum suaut perkara diadili oleh hakim haruslah dan wajib untuk mendamaikan para pihak. Ketentuan sama tidak ditemukan dalam hukum acara bagi kelompok bangsa eropa. Kebijakan hukum (baca: politik hukum) pemerintah belanda, sebagaimana terkandung dalam HIR dan RBg, tetap mendorong agar kelompok bumi putera sebaiknya memanfaatkan cara-cara atau kebijakan tradisional musyawarah mufakat dalam penyelesaian sengketa perdata.
Perlu diketahui bahwa kualitas dan kuantitas lembaga mediasi sebagai instrumen reduktisasi penumpukan perkara di Mahkamah Agung telah mengalami pasang surut. Sebagai misal, dalam perkembangan lebih lanjut di era kemerdekaan, upaya perdamaian sebagai penyelesaian sengketa perdata tampaknya telah kehilangan “ruhnya”, sehingga para pelaku dalam sistem peradilan perdata menganggapnya hanya sebagai formalitas belaka untuk sekedar memenuhi perintah norma hukum acara perdata.
Dalam hukum positif indonesia, mediasi sendiri hanya diatur pada level yang kurang menguntungkan. Argumentasi ini dapat saja diterima, karena sebagai lembaga yang bersifat teknis, pengaturan mediasi haruslah diformulasikan dalam kerangka yang lebih praktis dan implementatif. Berikut rincian dasar hukum mediasi, sepanjang republik ini berdiri:[15]
a.    Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg. Dalam ketentuan tersebut disebutkan bahwa hakim wajib terlebih dahulu mendamaikan para pihak yang berperkara sebelum perkaranya diperiksa;
b.    SEMA No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Lembaga Perdamaian dalam Pasal 130 HIR/154 RBg;
c.    PERMA No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan;
d.   Sedangkan untuk mediasi di luar pengadilan (non-litigasi) diatur dalam Pasal 6 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Berdasarkan keterangan diatas, maka aturan positivistik untuk mediasi di dalam pengadilan (karena terkait dengan reduktisasi beban perkara di MA) yang berlaku adalah ketentuan PERMA No. 1 Tahun 2008. Dalam aturan ini, tentunya banyak hal-hal yang telah diperbaiki. Norma-norma yang dilekatkan semakin progresif.
Sebelum kita menguraikan secara rinci berkenaan dengan perubahan revolusioner yang terdapat dalam PERMA No. 1 Tahun 2008, maka perlu dijelaskan terlebih dahulu latar belakang mengapa MARI mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi sebelum perkara diputus oleh hakim melalui Peraturan Mahkamah Agung sebelumnya, yaitu: PERMA No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Kebijakan MA memberlakukan mediasi ke dalam proses berperkara di pengadilan didasari atas beberapa alasan, namun terkait dengan reduktisasi penumpukan perkara, MA beranggapan bahwa Proses mediasi diharapkan dapat mengatasi masalah penumpukan perkara, khususnya pada level kasasi (MA).[16] ika para pihak dapat menyelesaikan sendiri sengketa tanpa harus diadili oleh hakim, maka jumlah perkara yang harus diperiksa oleh hakim akan jauh berkurang pula. Jika sengketa dapat diselesaikan melalui perdamaian, maka para pihak tidak akan menempuh upaya hukum kasasi, karena perdamaian merupakan hasil dari kehendak bersama para pihak, sehingga mereka tidak akan mengajukan upaya hukum lagi. Sebaliknya, jika perkara diputus hakim, maka putusan merupakan hasil dari pandangan dan penilaian hakim terhadap fakta dan kedudukan hukum para pihak. Pandangan dan penilaian hakim tersebut belum tentu sejalan dengan pandangan para pihak, terutama pihak yang kalah, sehingga pihak yang kalah selalu menempuh upaya hukum banding dan/atau kasasi. Pada akhirnya semua perkara akan bermuara ke MA, yang sudah barang tentu mengakibatkan terjadinya penumpukan perkara.[17]
Berikut beberapa inovasi dan terobosan baru yang diatur oleh PERMA No. 1 Tahun 2008 yang tidak diatur dalam aturan-aturan sebelumnya, diantaranya:[18]
a.    Penegasan sifat wajib mediasi yang jika tidak dipatuhi berakibat putusan atas perkara bersangkutan batal demi hukum (Pasal 2 ayat 3 dan 4);
b.    Pihak penggugat lebih dahulu menanggung biaa pemanggilan para pihak (Pasal 3);
c.    Hakim pemeriksa perkara diperkenankan menjadi mediator (Pasal 8 ayat 1 huruf d);
d.   Mediator lebih dari satu orang (Pasal 8 ayat 1 huruf e dan ayat 2);
e.    Pembuatan resume perkara oleh para pihak tidak lagi bersifat wajib (Pasal 13 ayat 1 dan 2);
f.     Lama proses mediasi menjadi 40 hari dan dapat diperpanjang serta masa untuk proses mediasi itu terpisah dari masa pemeriksaan perkara (Pasal 13 ayat 3, 4, dan 5);
g.    Kewenangan mediator untuk menyatakan mediasi gagal dan tidak layak (Pasal 14);
h.    Hakim wajib mendorong para pihak menempuh perdamaian pada tiap tahap pemeriksaan perkara sebelum pembacaan putusan (Pasal 18 ayat 3);
i.      Mediator tidak bertanggung jawab secara perdata dan pidana atas isi kesepakatan (Pasal 19 ayat 4);
j.      Pengaturan lebih rinci tentang perdamaian pada tingkat banding dan kasasi (Pasal 21 dan Pasal 22);
k.    Adanya pengaturan kesepakatan perdamaian yang diselenggarakan di luar pengadilan (Pasal 23);
l.      Serta adanya teroboson untuk memaksimalkan peran serta masyarakat dalam penggunaan mediasi.
Dengan adanya beragam terobosan pembaharuan hukum tersebut, maka diharapkan dapat menjadi stimulasi posiif bagi para pihak (prinsipal) guna lebih memaksimalkan peran mediasi dalam menyelesaikan sengketa yang mereka hadapi. Bukankah itu tujuan awal dari dibentuknya lembaga ini.
Adapun tujuan yang lebih jauh adalah agar penumpukan perkara yang selama ini menjadi problem besar di MA sedikit demi sedikit menjadi jauh lebih berkurang. Dengan semakin efektifnya peran mediasi, maka akan berdampak luar biasa bagi institusi mahkamah agung. Sistem penyelesaian perkara menjadi jauh lebih cepat, kualitas putusan menjadi lebih bermartabat, pencari keadilan menjadi lebih terpuaskan, dan lain sebagainya. Sehingga, penulis berpendapat dengan adanya “penjaringan perkara” semacam ini secara tidak langsung dapat meningkatkan kinerja dari MA itu sendiri. karena, pada dasarnya tidak semua perkara perdata layak untuk diadili pada tingkat kasasi. Sebagaimana diketahui bahwa jumlah perkara yang menumpuk di MA, mayoritas didominasi oleh sengketa perdata (umum). Dengan adanya mediasi ini, klasifikasi perkara dapat terwujud. Bukan berari menafikan perkara yang masuk (dan hendak ditolak), tetapi lebih mengedapankan asas efektifitas hukum. Inilah yang hendak dicapai dan dipikirkan bersama.


BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Berdasarkan hasil uraian pada bab sebelumnya, maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa format kebijakan hukum (baca: politik hukum) yang dapat mengurangi (reduktisasi) penumpukan jumlah beban perkara di MA adalah dengan mendayagunakan format:
1.      Urgensitas dibentuknya Sistem Kamar (Chamber) di Level MA
2.      Maksimalitas Peran Mediasi (Perdamaian) dalam sebagai subsistem Peradilan di Indonesia
Dengan adanya kedua format politik hukum tersebut, setidaknya dapat memberikan jaminan kepastian hukum bagi MA dan para pencari keadilan itu sendiri, sehingga dapat menciptakan sistem peradilan yang mumpuni. Dengan berkurangnya jumlah beban perkara pada tingkat kasasi, juga diharapkan dapat meningkatkan kinerja dan kualitas putusan hakim ke depannya.
B.       Saran
Memang tidak ada gading yang tak retak. Penulis masih beranggapan bahwa walaupun sejauh ini kedua format politik hukum tersebut cukup representatif dalam reduktisasi penumpukan jumlah perkara di MA, namun sejatinya masih banyak faktor lain yang dapat dimaksimalkan. Kita tidak dapat hanya bergantung pada perbaikan sistem, tapi lebih dari itu, kita juga harus memperhatikan faktor-faktor terkait seperti rekrutmen hakim, penyedian sarana dan prasarana, peningkatan kesejahteraan hakim (melalui pembayaran penuh remunerasi), dan sebagainya. Penulis berpendapat, tidak mungkin suatu sistem akan baik, apabila tidak disertai dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia nya jua. Oleh karena itu, kedepannya MA harus lebih memperhatikan faktor-faktor non-teknis seperti ini, bila ingin mewujudkan MA yang bermartabat.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU
Budiarjo, Miriam. 2010. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Hijibers,Theo. 2010. Filsafat Hukum. Cet-15, Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Huda, Ni’matul. 2005. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar 1945 (Setelah Amandemen)
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

BULETIN DAN MAKALAH
Buletin Komisi Yudisial. “Menyongsong Sistem Kamar di Mahkamah Agung”. Vol. V No. 5 (April – Mei 2011)
Sondjaja, Atja. 2009. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Makalah. Disampaikan di Balai Sidang Bung Hatta Convention Hall, Hotel The Hills Bukit Tinggi. Tanggal 24 Maret 2009
Mahkamah Agung RI, Japan International Cooperation Agency (JICA), dan Indonesian Institute for Conflict Transformation (IICT). 2008. Buku Komentar Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan
Rahmadi, Takdir. 2009, Pengenalan Mediasi Secara Umum dan Perbandingan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan serta Tahapan Mediasi, Makalah. Disampaikan di Balai Sidang Bung Hatta Convention Hall, Hotel The Hills Bukit Tinggi. Tanggal 24 Maret 2009


[1] Periksa Undang-Undang Dasar 1945 (setelah amandemen), Pasal 24 ayat (1) menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peadilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dan ayat (2) nya menyebutkan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

[2] Ini dalam kerangka ideal pembagian kekuasaan (trias politica), seperti yang pernah dikemukakan oleh John Locke, seorang filsuf Inggris, dan Montesquiue, seorang filsuf prancis. Namun, teori ini dalam penerapannya dalam sistem hukum tata negara Indonesia, tidak diterapkan sepenuhnya. Terbukti pasca adanya amandemen UUD 1945, posisi dan porsi ketiga lembaga tersebut saling berkaitan, dalam konteks check and balances. Lihat Miriam Budiarjo, 2010, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hlm. 281-291

[3] Dewasa ini, pengadilan tidak lagi menjadi lembaga yang ortodoks. Hakim yang menangani perkara haruslah memperhatikan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, selain juga tidak terlepas dari nilai-nilai hukum. Baca Pasal 5 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

[4] Baca Buletin Komisi Yudisial, “Menyongsong Sistem Kamar di Mahkamah Agung”, Vol. V No. 5 (April – Mei 2011), hlm. 15-21

[5] Ibid., 16

[6] Ibid., 17

[7] Banyak pemikir berpendapat, tujuan utama politik hukum ialah menjamin keadilan dalam masyarakat. Melalui hukum, pemerintah harus mengimbangi kepentingan umum dengan kepentingan-kepentingan lainnya. Cita-cita akan keadilan yang hidup dalam jiwa rakyat tidak lain daripada simbol suatu harmonisasi kepentingan-kepentingan tersebut. Dengan kata lain, tugas utama pemerintah suatu negara ialah mewujudkan keadilan sosial. Terkait dengan reduktisasi penumpukkan perkara di MA, sudah tepat kiranya dengan akan diterapkannya sistem kamar ini, dikehendaki agar terciptanya suatu mekanisme dan sistem peradilan yang lebih baik. Sehingga pada akhirnya, akan menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam masyarakat itu sendiri. Theo Hijibers,2010, Filsafat Hukum, Cet-15, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hlm. 118

[8] Dalam sejarahnya, tidak banyak politik hukum yang dilahirkan oleh Mahkamah Agung dalam posisinya sebagai lembaga negara. Politik hukum yang dikeluarkan banyak berasal dari tataran eksekutif maupun yudikatif yang berbentuk undang-undang ataupun peraturan pemerintah. Mahkamah agung sendiri terlihat sedikit kurang reaktif dan progresif dalam melakukan hal tersebut. Terobosan politik hukum yang paling monumental adalah ketika diletakkannya kembali posisi Mahkamah Agung sebagai lembaga yang independen dan terlepas dari campur tangan eksekutif (dicetuskannya peradilan satu atap di bawah Mahkamah Agung). Hal ini karena, dalam kurun waktu hampir 60 tahun, kekuasaan kehakiman “harus rela berbagi tempat” dengan eksekutif. Namun hal itu dapat terselesaikan ketika diundangkannya UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lihat Ketentuan Peralihan Pasal 42-45), yang berlaku efektif tahun 2005. Baca Ni’matul Huda, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, hlm. 198-199

[9] Pembahasan ini merupakan intisari dari tulisan yang terdapat dalam Buletin Komisi Yudisial, “Menyongsong Sistem Kamar di Mahkamah Agung”, Vol. V No. 5 (April – Mei 2011), hlm. 15-21

[10] Sistem kamar biasanya digunakan di negara-negara penganut civil law, seperti belanda, jerman, dan sejumlah negara di Eropa Kontinental. Lawan dari sistem kamar adalah satu kamar (satu hakim menangani semua perkara), seperti yang diterapkan di negara-negara Common Law (Amerika, Inggris, dan negara jajahannya).
Sebagai bekas negara jajahan Belanda, Indonesia sebenarnya sudah mengenal sistem kamar ini sejak awal atau sejak zaman penjajahan Belanda. Namun, sistem kamar ini tidak lagi diterapkan pada tahun 1950 atau sejak Pengadilan Banding atau Hooggerrechtshof diserahkan ke Mahkamah Agung yang saat itu hanya memiliki lima hakim agung.
Pada pertengahan 1960-an, ada keinginan untuk kembali pada sistem kamar tersebut. Ini terlihat dari ketentuan UU No. 13 Tahun 1965 tentang MA yang memunculkan jabatan Ketua Muda. Namun jabatan Ketua Muda itu tidak dirinci kewenangannya. Akan tetapi hal ini tidak berlangsung lama. Pada tahun 1969, UU tersebut dinyatakan tidak berlaku kembali.

[11] Dalam syariat islam, seperti yang diterangkan oleh Rasulullah dalam hadistnya, dijelaskan bahwa “barang siapa suatu perkerjaan tidak diserahkan pada ahlinya, maka tunggulah kehancuran. Namun, apabila kita telisik lebih jauh (tanpa membawa nama agama dalam konteks ini), pada dasarnya sistem kamar ini dapat dikatakan bertentangan dengan ketentuan Pasal 10 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Dengan adanya sistem kamar tersebut, secara tidak langsung telah menganjurkan hakim untuk dapat tidak menangani dan memutus perkara yang menurut mereka bukan merupakan bagian dari kompetensi dan keahliannya.

[12] Dewasa ini, komparasi antara jumlah perkara yang masuk ke MA dan jumlah Hakim Agung yang ada sangatlah tidak berimbang. Betapa tidak, pada tahun 2010 kemarin misalnya, jumlah perkara yang masuk berkisar pada angka 13.480. Sedangkan jumlah hakim agung yang diamanatkan oleh undang-undang harusah tidak lebih dari 60 orang. Dimana pada jumlah tersebut, komposisi hakim yang diperlukan masih sangat minim. Realitasnya, mayoritas jenis perkara yang masuk adalah perkara perdata atau pidana. Sedangkan kompetensi hakim agung yang ada lebih banyak berlatar belakang hakim agama dan tata usaha negara.

[13] Buletin Komisi Yudisial, hlm. 18

[14] Dalam hal ini perlu suatu regulasi khusus, yang mengatur bahwa setiap perkara tingkat pertama dan tingkat banding yang akan diajukan ke tingkat kasasi haruslah memenuhi syarat dan ketentuan tertentu. Bukan berarti membatasi hak asasi manusia untuk melakukan upaya hukum, tetapi lebih melihat kepada efektifitas dan perbaikan kinerja MA yang lebih baik lagi. Hal ini tentunya akan berdampak pada meningkatnya kualitas putusan dan akhirnya lebih menjunjung tinggi nilah HAM itu sendiri.

[15] Atja Sondjaja, 2009, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Makalah, disampaikan di Balai Sidang Bung Hatta Convention Hall, Hotel The Hills Bukit Tinggi, Tanggal 24 Maret 2009

[16] Pada dasarnya, inilah niat awal dinormakannya lembaga mediasi sebagai subsistem peradilan perdata di Indonesia. Dengan adanya kebijakan hukum (baca: politik hukum) semacam ini, diharapkan akan mengurangi jumlah penumpukan perkara di MA.

[17] Mahkamah Agung RI, Japan International Cooperation Agency (JICA), dan Indonesian Institute for Conflict Transformation (IICT), 2008, Buku Komentar Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan, hlm. 7


[18] Takdir Rahmadi, 2009, Pengenalan Mediasi Secara Umum dan Perbandingan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan serta Tahapan Mediasi, Makalah, disampaikan di Balai Sidang Bung Hatta Convention Hall, Hotel The Hills Bukit Tinggi, Tanggal 24 Maret 2009 

Palembang, September 2011
M. Alvi Syahrin

No comments:

Post a Comment