Wednesday, July 24, 2013

REALITAS NIKAH SIRRI: SEBAGAI SUATU PEMAKNAAN HUKUM NEGARA ATAS HUKUM AGAMA




Polemik Nikah Sirri
Polemik nikah sirri bukanlah suatu hal yang baru. Perdebatan semacam ini telah berlangsung jauh sebelum diundangkannya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UUP). Namun, sekarang permasalahan tersebut kembali mencuat di tanah air dengan adanya RUU Hukum Materil Peradilan Agama di bidang Perkawinan (RUU HMPA) yang diajukan oleh Dirjen Bimbingan Masyarakat Umat Islam Departemen Agama RI. Tidak hanya kaitannya dengan masalah pencatatan yang selama ini telah menjadi sorotan bersama, tapi juga adanya “pemidanaan” bagi para pelaku nikah sirri, baik itu calon mempelai suami, isteri maupun saksi dan wali yang menikahkan mereka yang tercantum dalam Pasal 143 RUU HMPA tersebut.

Terminologi Nikah Sirri dan Nikah Tidak Tercatat
Kata “sirri” itu sendiri berasal dari bahasa arab yang berarti berbisik atau rahasia yang kemudian berkembang menjadi sembunyi, disembunyikan, menyembunyikan. Lawan dari kata “sirri”, adalah “jahar”, yang berarti kuat dan lantang.

Namun, perlu diketahui bahwasanya, nikah sirri ini tidak selalu diidentikan dengan agama Islam. Karena banyak pemeluk agama lain pun yang dapat melakukan hal serupa, bila kita memahami dari pemaknaan kata sirri tersebut. Agama Islam tidak mengenal istilah nikah sirri, yang ada hanyalah nikah shahih (nikah yang memenuhi syariat Islam), nikah fasid (nikah yang tidak memenuhi salah satu syarat dan/atau rukun dalam syariat islam), serta nikah bathil (nikah yang tidak memenuhi syariat Islam). Perlu diketahui bersama bahwa sah tidaknya suatu perkawinan menurut Islam didasarkan pada rukun perkawinan itu sendiri, yaitu adanya kedua calon suami isteri yang saling setuju, adanya dua orang wali nikah yang bertanggung jawab (wali mujbir, wali nasab, dan wali hakim), adanya dua orang saksi laki-laki yang bertanggung jawab, adanya mahar atau mas kawin yang diberikan oleh calon laki-laki kepada calon perempuan, dan adanya ijab dan qobul.

Dalam Islam, perkawinan yang dilangsungkan haruslah “dipublikasikan” kepada para khalayak ke dalam suatu acara yang disebut dengan walimatul ursy. Sebagaimana sabda Rasulullah yang menyatakan bahwa: “Dan selenggarakanlah walimah (pesta pernikahan) walau hanya dengan seekor kambing”.

Berdasarkan perkembangannya, istilah nikah sirri baru dikenal dalam beberapa tahun terakhir. Sebelum diberlakukannya UUP, yang dikenal hanyalah perkawinan tidak tercatat, kemudian disamakan dengan istilah perkawinan dibawah tangan. Dan selanjutnya berubah dengan sendirinya melalui pemahaman konsep teoritis beberapa golongan, yang dikenal dengan istilah nikah sirri.

Dalam makalahnya yang berjudul “Pernikahan Tidak Tercatat dan Nikah Sirri serta Implikasinya Dari Hukum Negara”, Abdullah Gofar menguraikan dua pendapat terkait dengan istilah nikah sirri. Pertama, nikah sirri merupakan menikah tanpa adanya seorang wali dan tidak terpenuhinya rukun pernikahan secara lengkap. Kedua, menikah dengan telah memenuhi semua rukun menikah, tetapi tidak disahkan secara hukum negara (tidak didaftarkan ke KUA setempat). Menurut hukum Islam, pernikahan tersebut sudah sah dan tidak ada satu pun ulama yang menyatakan perkawinan tersebut batal.

Secara terminologi, nikah sirri dirumuskan oleh para ulil albab sebagai pernikahan dimana salah satu calon mempelai menyembunyikan identitas dari wali mujbir atau wali aqrub padahal para wali tersebut masih hidup dan mampu untuk menikahkannya. Penyembunyian inilah, yang diyakini oleh para ulil albab sebagai penikahan yang disembunyikan, atau yang dikenal sebagai nikah sirri. Berbeda dengan definisi nikah sirri yang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia yang memaknainya sebagai suatu pernikahan yang tidak dicatatkan. Maksudnya, pernikahan yang dilakukan oleh kedua mempelai walaupun dapat dikatakan telah sah menurut hukum agamanya masing-masing, namun haruslah mendapatkan legitamasi formalitas melalui pencatatan perkawinan di KUA bagi umat muslim dan KCS bagi umat non-muslim.

Apabila kita telisik lebih jauh, maka terminologi nikah siri yang berusaha dikembangkan oleh pemerintah sama sekali tidak berdasarkan konsep agama. Dikarenakan hanya menekankan pada aspek kepastian hukum dan legalitas. Permasalahannya adalah, apakah perkawinan yang telah dilakukan secara sah menurut hukum agama bukan merupakan suatu perkawinan yang diakui oleh negara. Dalam pasal Pasal 2 ayat (1) UUP jo. Pasal 4 KHI menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Hal tersebut juga senada dengan ketentuan Pasal 2 KHI yang menegaskan bahwa perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiiddan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Pencatatan perkawinan yang termuat dalam peraturan perundang-undangan Indonesia tidak lain sebagai kepentingan administrasi dari pemerintah dan bukanlah sesuatu yang prinsipil. Tanpa menafikan tujuan dan manfaat dari pencatatan tersebut, maka bukan tempatnya untuk menyatakan bahwa perkawinan yang tidak dilakukan pencatan bukanlah perkawinan yang diakui oleh negara. Dikarenakan dalam Pasal 2 UUP telah dengan tegas menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan menurut hukum agama dan kepercayaannya masing-masing. Sehingga ketentuan pencatatan perkawinan tersebut dapat dikatakan sebagai hukum pelengkap (aanvullend recht), karena bukan syarat mutlak sahnya suatu perkawinan.
Dengan demikian, kaitannya dengan nikah sirri adalah menegaskan bahwa nikah sirri berbeda secara konsepsi dengan nikah yang tidak tercatat. Sebagaimana dikemukakan pada paragraf sebelumnya, maka nikah sirri ialah perkawinan yang menyembunyikan identitas dari wali nikah. Hal tersebut berbeda dengan nikah tidak tercatat yang hanya menekankan pada aspek adminitrasi yang merupakan manifetasi dari kepentingan negara. Hal tersebut dikarenakan konsep nikah sirri merupakan terminologi yang “diberikan” oleh hukum agama (walaupun dalam Islam sendiri tidak mengenal istilah tersebut), sedangkan nikah tidak tercatat merupakan terminologi yang dikembangkan oleh hukum negara berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UUP, maka pada dasarnya kedua istilah itu tidak dapat dileburkan menjadi satu definisi yang absolut. Sehingga terminologi nikah sirri tersebut tidak dapat disamakan dengan nikah tidak tercatat, karena selain berbeda konsep teoritis antara hukum agama dan hukum negara, juga kontradiktif dengan peraturan perundang-undangan yang ada di  Indonesia.

Nikah Sirri dan Sanksi Pidana
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, dalam Pasal 143 RUU HMPA menegaskan bahwa adanya sanksi pidana yang diberlakukan bagi pelaku nikah sirri, baik itu kedua calon mempelai tapi juga saksi dan wali yang menikahkan mereka.

Siti Musdah Mulia yang merupakan Profesor riset bidang lektur agama dan pendiri Lembaga Kajian Agama dan Gender dalam salah satu artikelnya di Jawa Pos yang berjudul “Memahami Realitas Kawin Sirri” menyatakan bahwa  spirit dari pemidanaan terhadap pelaku nikah sirri tidak lain adalah memberikan proteksi terhadap istri dan anak-anak. Selama ini merekalah yang paling banyak merasakan kesengsaraan akibat tiadanya pencatatan perkawinan yang menjadi bukti legal bagi pemenuhan hak-hak mereka. Bahkan, juga memproteksi laki-laki dari tuntutan orang-orang yang mengaku isteri atau anak. Hal serupa juga disampaikan oleh Eti Sumiati, aktivis perempuan yang tergabung dalam Jari (Jaringan Relawan Indonesia) yang menyambut positif keberadaan pasal tersebut. Namun, gelombang kontradiktif terhadap keberadaan pasal tersebut juga tidak dapat dibilang sedikit, misalnya pernyataan tegas dari Adian Husaini yang merupakan Ketua Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) yang menilai pemidanaan bagi pelaku nikah sirri terlalu berlebihan

Memang, membutuhkan pemikiran yang jernih untuk menghadapi ini semua. Menurut hemat saya, bukanlah kewajiban dari hukum pidana yang notabane-nya hukum publik untuk ikut campur dalam masalah privat (d.h.i hukum perkawinan). Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (1) UUP jo. Pasal 4 KHI yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Hal tersebut juga senada dengan ketentuan Pasal 2 KHI yang menegaskan bahwa perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiiddan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Relevansinya dengan pasal ini, dengan jelas menggambarkan bahwa nikah sirri pada dasarnya sama sekali tidak bertentangan dengan hukum positif Indonesia, karena sudah sesuai dengan hukum agama islam. Menurut hukum Islam sendiri, yang diwujudkan dalam Pasal 14 KHI menjelaskan bahwa untuk melaksanakan perkawinan yang sah maka harus memenuhi beberapa rukun dan syarat diantaranya: calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi, dan ijab dan Kabul.

Bila didasarkan pada aturan tersebut, maka sebenarnya tidak ada yang salah dari nikah sirri. Maka kemudian, beberapa pakar merujuk Pasal 2 ayat (2) UUP yang menurut saya merupakan “pasal sekuler” menjelaskan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan. Yang kemudian ditegaskan kembali dalam Pasal 5 KHI yang menyebutkan bahwa agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat (ayat 1). Begitu juga halnya dengan PP No. 9 Tahun 1975 yang memuat delapan pasal yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan.

Bila kita analisis lebih jauh, tidak ada satu pasal pun baik itu dalam UU Perkawinan ataupun KHI yang menentukan bahwa pencatatan perkawinan merupakan syarat mutlak bagi sahnya suatu perkawinan. Jadi, jelaslah bahwa keberadaan pasal semacam ini dalam korelasi-nya dengan hukum perkawinan (hukum privat) tidaklah berdasar dan dapat menghilangkan keabsahan formalitas perkawinan menurut Islam. Dapat saja, pencatatan perkawinan dijadikan oleh Pemerintah sebagai dalil untuk mewujudkan asas kepastian hukum dan publisitas demi keteraturan dari sisi adminitrasi. Namun, sejatinya tidak dapat menghilangakan eksistensi fundamental yang terkandung dalam sendi-sendi hukum agama itu sendiri.

Demikian halnya juga dengan pengenaan sanksi pidana bagi para pelaku nikah sirri. Negara ini memang cukup aneh. Untuk hal-hal yang bersifat remeh temeh semacam ini, para elit penguasa mulai bersikap seolah-olah memihak kepada rakyat. Apakah terpikir dibenak pemerintah untuk menaruh perhatian lebih terhadap semakin maraknya perilaku porstitusi yang di sebagian daerah khususnya di kota Surabaya (Gang Doli), yang menurut saya lebih jauh membahayakan ketimbang mengurusi masalah nikah sirri itu sendiri.

Sanksi pidana tidaklah dapat menyelesaikan masalah semacam ini (baca: nikah sirri), karena tentu saja akan menimbulkan gejala sosial  yang luar biasa khususnya bagi umat islam. Nashriana yang merupakan Pakar Hukum Pidana FH UNSRI menyatakan bahwa tidak mudah untuk “mengkriminalisasikan” suatu perbuatan karena membutuhkan suatu proses yang amat panjang, apalagi dalam bidang hukum yang terbilang sensitif seperti hukum perkawinan ini.

Rumusan sanksi pidana bagi para pelaku nikah sirri yang tercantum dalam RUU MPA hanya dapat menyelesaikan gejala permasalahan, bukan akar permasalahan. Akar permasalahan nikah sirri hanya dapat diselesaikan melalui dua model pendekatan, yaitu pendekatan religi persuasif dan pendekatan “jemput bola”.
Untuk yang pertama, para pemuka-pemuka agama seperti kiyai, ustad, pendeta, biksu, dan sebagainya haruslah memberikan suatu “pencerahan massal” bagi para pelaku nikah sirri bahwa dengan dilakukannya pernikahan semacam itu dapat saja menimbulkan beberapa problematika sosial horizontal dalam masyarakat. Misalnya, adanya intervensi sosial dari lingkungan tempat tinggal yang tentunya berdampak pada perkembangan psikologis dari isteri dan anak. Tidak hanya itu, pemasalahan hukum seperti tidak adanya pengakuan dari negara bagi staus si anak (akta kelahiran), tidak adanya paksaan yang ditujukan kepada pihak suami untuk memberikan nafkah kepada isteri dan anak apabila telah terjadi perceraian, dan masih banyak lagi. Hal semacam ini-lah yang  wajib dijadikan bahan pertimbangan bagi para pemuka agama untuk membangkitkan nilai spiritual dalam setiap dakwahnya. Sehingga, letak kepentingan pemuka-pemuka agama sebagai pemimpin spiritual wajib mendapatkan prioritas utama ketimbang pengenaan sanksi pidana yang merupakan jalan terakhir (final destination).

Yang kedua, pendekaan “jemput bola”. Maksudnya, dalam hal ini pejabat KUA diharuskan untuk turun ke lapangan untuk meregistrasi dan mendaftarkan para pelaku nikah siri untuk dilakukan pencatatan perkawinan. Merupakan rahasia umum nan klasik, bahwasanya alasan yang dikemukan oleh pelaku nikah siri untuk enggan melakukan pencatatan perkawinan dikarenakan tidak adanya biaya yang cukup, walaupun menurut keterangan dari KUA sendiri bahwa biaya pernikahan di KUA sudah relatif murah sekitar Rp 25. 000 – Rp. 30.000. Namun, apabila melihat relatisas sosial semacam ini, maka bukan saatnya untuk membicarakan sesuatu yang “das sollen”. Maka dari itu, untuk mensiasati hal tersebut, sudah sewajarnya-lah pejabat KUA yang merupakan pelayan masyarakat untuk tidak pasif melainkan bersikap apabila dikaitkan dengan problematika sosial semacam ini.

Selain itu juga, Umar Said yang merupakan Ketua FUI Sumsel dalam acara “Diskusi Nikah Sirri dan RUU Materil Peradilan Agama” yang diselenggarakan oleh FH UNSRI menyatakan bahwa salah satu upaya untuk mengeleminir tingginya intensitas nikah sirri di Indonesia ialah dengan mengaktifkan kembali lembaga adat seperti “khatib” (penghulu) di setiap daerah. Dan juga, para khatib tersebut hendaknya diberikan kewenangan oleh Pemerintah untuk melakukan pencatatan, sehingga dapat memotong alur birokrasi yang terjadi selama ini, dimana setiap perkawinan harus dicatatkan langsung ke KUA atau KCS.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketentuan pemidanaan atau pengenaan sanksi pidana terhadap pelaku nikah sirri dapat dikatakan sebagai konsep “sekulerisme”. Dikarenakan dalam hal ini peran pemerintah sudah terlampau jauh untuk memasuki ranah privasi seseorang dalam melakukan perkawinan. Walaupun, pemerintah mendalilkan bahwa persentase terbesar dari penyebab terjadinya perceraian di Indonesia dalam kurun waktu terkakhir ini disebabkan oleh nikah sirri, namun tidak dapat dijadikan suatu tolak ukur. Putus tidaknya suatu perceraian banyak sekali disebabkan oleh beberapa faktor baik itu faktor internal maupun eksternal, tidak hanya nikah sirri.

Oleh karena, masalah pencatatan perkawinan merupakan pengejewantahan terhadap kepentingan adminitrasi dari negara, maka sanksi yang lebih tepat dikenakan adalah sanksi administrasi, bukan sanksi pidana. Dengan demikian, sudah sewajarnya-lah Pemerintah harus bersikap lebih bijak dalam kaitannya dengan bidang hukum yang sensitif ini (hukum perkawinan). Apabila, pemerintah memang bersikukuh untuk menerapkan saksi pidana bagi pelaku nikah sirri, maka lebih tepat dikenakan terhadap pelaku nikah sirri yang dilatarbelakangi oleh faktor kesengajaan bukan keterpaksaan karena tidak memiliki biaya untuk melakukan pencatatan perkawinan. Sehingga itu lebih memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Walaupun hal tersebut, sejatinya masih debatable di kemudian hari.

Palembang, Maret 2010

M. Alvi Syahrin

No comments:

Post a Comment