Tuesday, July 23, 2013

REFLEKSI PARADIGMA THOMAS S. KUHN (THE STRUCTURE OF SCIENTIFIC REVOLUTIONS): MEMBEDAH REVOLUSI ILMIAH EKSISTENSI E-COMMERCE



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Perlu diketahui bahwa, periode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting dalam sejarah peradaban manusia, karena pada waktu ini terjadi perubahan pola fikir manusia dari mitosentris menjadi logosentris. Perubahan pola fikir yang kelihatan sangat sederhana tetapi sebenarnya memiliki implikasi tidak sederhana. Alam yang selama ini ditakuti dan dijauhi kemudian didekati bahkan dieksploitasi. Manusia yang dulunya pasif menjadi aktif sehingga alam digunakan sebagai objek penelitian atau pengkajian. Dari proses inilah kemudian ilmu berkembang dari rahim filsafat. Sejak zaman ini filsafat terus berkembang, mulai dari masa kejayaan, kemunduran, dan kebangkitannya kembali.[1]

Puncak kejayaan filsafat Yunani terjadi pada masa Aristoteles.[2] Aristoteles yang membagi filsafat pertama kali pada dua hal, yaitu hal yang teoritis dan hal yang praktis. Pembagian ini juga yang menjadi pedoman bagi klasifikasi ilmu dikemudian hari. Aristoteles dianggap bapak ilmu karena ia mampu meletakan dasar-dasar dan metode ilmiah secara sistematis. Namun, setelah Aristoteles menuangkan fikirannya ini, mutu filsafat semakin merosot dan puncak kemundurannya adalah pada ujung zaman Helenisme. Kemunduran filsafat sejalan dengan kemunduran politik pada zaman itu, terpecahnya kerajaan Macedonia setelah wafatnya Alexander The Great.[3]
Dalam sejarahnya filsafat mengalami perkembangan pada abad modern, yang diawali terlebih dahulu dengan adanya zaman Renaissance, yaitu peralihan abad pertengahan ke abad modern. Zaman ini terkenal dengan era kelahiran kembali kebebasan manusia dalam berfikir. Sejak zaman ini kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan didasarkan pada kepercayaan dan kepastian intelektual (sikap ilmiah) yang kebenarannya dapat dibuktikan berdasarkan metode, perkiraan dan pemikiran yang dapat diuji. Wacana filsafat yang menjadi topik utama pada abad modern khususnya abad ke-17 adalah persoalan epistemologi. Pertanyaan pokok dalam bidang ini adalah bagaimana manusia memperoleh pengetahuan yang benar, serta apa yang dimaksud dengan kebenaran itu sendiri. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka dalam abad ke-17 muncullah dua aliran filsafat yang memberikan jawaban berbeda, bahkan saling bertentangan. Aliran tersebut adalah aliran rasionalisme dan empirisme. Kerjasama antara beberapa aliran dari  rasionalisme dan empirisme lahirlah metode sains dan dari metode inilah lahir pengetahuan sains.[4]
Metode pencaraian hakikat dalam filsafat ilmu adalah epistimologi. Secara etimologis, epistimologi berasal dari bahasa yunani, yaitu epiteme yang berarti pengetahuan, dan logos artinya teori. Epstimologi dapat didefensikan sebagai cabang filsfasat yang mempelajari asal mula, sumber, struktur, metode, dan syahnya (validitas) pengetahuan.[5]
Dalam epistimologi juga terdapat beberapa perbedaan mengenai teori pengetahuan. Hal ini disebabkan karena setiap ilmu pengetahuan memiliki potensi objek, metode, sistem, dan tingkat kebenaran yang berbeda. Jadi bisa dikatakan segala perbedaan tersebut terutama berkembang dari perbedaan sudut pandang dan metode yang bersumber dari empirisme dan rasionalisme. Dengan kata lain epistimologi merupakan suatu bidang filsafat yang mempersoalkan tentang metode dari hakekat kebenaran, karena semua pengetahuan mempersoalkan kebenaran.[6]
Satu dari sekian banyak cara dalam menemukan esensi dari epistimologi adalah dengan memahami konsep-konsep dari pelbagai paradigma ilmu yang ada. Oleh karena nya pembahasan tentang paradigma ilmu termasuk bagian dari materi filsafat ilmu. Sedangkan filsafat ilmu merupakan salah satu cabang kajian filsafat yang membahas tentang hakikat ilmu.[7]
Dalam proses perkembangan keilmuan tersebut, paradigma keilmuan memegang peranan penting, karena fungsi paradigma ilmu adalah memberikan kerangka, mengarahkan, bahkan menguji konsestensi dari proses keilmuan. Dalam paradima ilmu, ilmu telah mengembang seperangkat keyakinan dasar yang mereka gunakan dalam mengungkapkan hakekat ilmu yang sebenarnya dan bagaimana cara untuk mendapatkannya.[8]
Sejak abad pencerahan sampai era globalisasi ini terdapat empat paradigma ilmu yang dikembangkan oleh para ilmuan dalam menemukan ilmu pengetahuan yakni: positivisme, postpositivime, critical teori, constuctivisme.[9]
Dalam tahapan epistimologi tahapan konstruktivisme, kita mengenal sosok Thomas S. Kuhn dengan switch theory nya. Atau lebih dikenal dengan sebutan revolusioner ilmiah pengetahuan. Ia berpendapat bahwa perkembangan atau kemajuan ilmiah haruslah bersifat revolusioner, bukan kumulatif sebagaimana anggapan sebelumnya. Revolusi ilmiah itu pertama-tama menyentuh wilayah paradigma, yaitu cara pandang terhadap dunia dan contoh-contoh prestasi atau praktik ilmiah konkret.[10] Atau dengan kata lain, pembenaran suatu teori bergantung pada struktur menyeluruh yang baru (paradigma). Verifikasi dan falsifikasi bukanlah hal yang menentukan. Heuristik mulai memegang peranan penting bagi metode suatu ilmu, khususnya bagi pembaharuannya.[11] Namun yang menarik adalah Kuhn sendiri sejauh ini mengalami kesulitan dalam melakukan redefenisi tunggal terkait dengan paradigma yang baik, karena dari tahun ke tahun selalu mengalami pergeseran.[12]
Revolusi ilmiah pengetahuan juga terjadi pada dunia bisnis, terutama dalam konteks jual beli. Sebagai bidang ilmu yang dinamis, perdagangan menjadi sangat urgent dibahas seiring dengan meningkatknya tuntutan teknologi dan globalisasi, terutama dalam sektor perdagangan elektronik (e-commerce). Sehingga, penulis berhipotesa bahwa ada relevansi kuat antara paradigma Kuhn dan dinamika yang terjadi pada dunia perdagangan dewasa ini.
Menurut hemat penulis, dengan sifat dan karakteristik dari dunia perdagangan inilah yang membuat permasalahan ini menarik untuk dikaji lebih lanjut. 

B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penulis menarik satu permasalahan yang hendak dikaji, yaitu: Apakah perkembangan dunia perdagangan (dunia bisnis) dewasa ini memang liniear dan sesuai dengan paradigma Thomas S. Kuhn (The Structure of Scientific Revolutions”)?

C.      Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penulisan hukum yang ingin dicapai oleh penulis adalah untuk mengetahui kesesuaian antara perkembangan dunia perdagangan (dunia bisnis) dewasa ini memang linear dan sesuai dengan paradigma Thomas S. Kuhn (“switch theory”).

D.     Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan oleh dari penulisan hukum ini adalah :
1.         Manfaat Teoritis
Dengan adanya penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan kontribusi lebih berupa wawasa, informasi, dan pengetahuan bagi penulis sendii dan juga para pembaca perihal aplikasi paradigma Thomas S. Kuhn dalam perkembangan dunia perdagangan (bisnis) dewasa ini.
2.      Manfaat Praktis
Dengan adanya penulisan makalah ini, diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi masyarakat kalangan filsuf dan pelaku bisnis sendiri, perihal pemaknaan masalah diatas.

E.       Metode Penelitian
Dalam penulisan makalah ini, penulis memakai metode penelitian deduktif verifikaif.[13] Maksudnya, penelitian masalah-masalah dalam ilmu yang bersangkutan tidak didasarkan atas pengalaman indrawi atau empiris, melainkan atas dasar induksi atau penjabaran. Induksi adalah proses pemikiran di mana akal budi manusia dari pengetahuan tentang hal-hal yang bersifat khusus dan individual menarik kesimpulan atau menjabarkan kepada hal-hal yang bersifat umum dan abstrak.[14] Terkait dengan permasalahan pada makalah ini, maka penulis akan melakukan penjabaran paradigma Thomas S. Kuhn terhadap perkembangan dunia perdagangan saat ini. Kemudian akan ditarik kesimpulan yang bersifat umum atas penjabaran permasalahan tersebut.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


A.      Tinjauan Umum Paradigma Thomas S. Kuhn

1.         Biografi Singkat Thomas S. Kuhn[15]
Thomas S. Kuhn dilahirkan di  Cicinnati, Ohio pada tanggal 18 juli 1922. Kuhn lahir dari pasangan Samuel L, Kuhn seorang Insinyur industri dan Minette Stroock Kuhn. Dia mendapat gelar B.S di dalam ilmu fisika dari Harvard University pada tahun 1943 dan M.S. Pada tahun 1946. Khun belajar sebagai fisikawan namun baru menjadi pengajar setelah mendapatkan Ph.D dari Harvard pada tahun 1949. Tiga tahunnya dalam kebebasan akademik sebagai Harvard Junior Fellow sangat penting dalam perubahan perhatiannya dari ilmu fisika kepada sejarah(dan filsafat) ilmu. Dia kemudian diterima di Harvard sebagai asisten profesor pada pengajaran umum dan sejarah ilmu atas usulan presiden Universitas James Conant.
Setelah meninggalkan Harvard dia belajar di Universtitas Berkeley di California sebagai pengajar di departemen filosofi dan sains. Dia menjadi profesor sejarah ilmu pada 1961. Di berkeley ini dia menuliskan dan menerbitkan bukunya yang terkenal The Structure Of Scientific Revolution pada tahun 1962. Pada tahun 1964 dia menjadi profesor filsafat dan sejarah seni di Princeton pada tahun 1964-1979. Kemudian di MIT sebagai professor filsafat. Tetap di sini hingga 1991(Muslih, 2004).

Pada tahun 1994 dia mewawancarai Niels Bohr sang fisikawan sebelum fisikawan itu meninggal dunia. Pada tahun 1994, Kuhn didiagnostik dengan kanker dari Bronchial tubes. Dia meninggal pada tahun 1996 di rumahnya di Cambridge Massachusetts. Dia menikah dua kali dan memiliki tiga anak. Kuhn mendapat banyak penghargaan di bidang akademik. Sebagai contohnya dia memegang posisi sebagai Lowel lecturer pada tahun 1951, Guggeheim fellow dari 1954 hingga 1955, Dan masih banyak penghargaan lain (Muslih, 2004).
Karya Kuhn cukup banyak, namun yang paling terkenal dan mendapat banyak sambutan dari filsuf ilmu dan ilmuan adalah The Structure of Scientific Revolution,sebuah buku yang terbit pada tahun 1962, dan direkomendasikan sebagai bahan bacaan dalam kursus dan pengajaran berhubungan dengan pendidikan, sejarah, psikologi, riset dan sejarah serta filsafat sains.

2. Latar Belakang Pemikiran Thomas S. Kuhn tentang  Ilmu dan Perkembangannya[16]
Latar belakang pemikiran  Kuhn tentang ilmu dan perkembangannya, merupakan respon terhadap adanya  pandangan Positivisme dan Popper. Positivisme menganggap pengetahuan mengenai fakta objektif merupakan pengetahuan yang sahih, mereka mengklaim bahwa kekacauan kaum idealis dengan berbagai pendekatan metafisika yang digunakan dalam melihat realitas, karena bahasa yang mereka pakai secara esensial tanpa makna, dan secara umum mereka berpendapat bahwa sumber pengetahuan adalah pengalaman dan proses verifikasi dan konfirmasi – eksperimen dari bahasa ilmiah meruapakn langkah dan proses perkembangan ilmu.  Sementara itu popper berpendapat bahwa proses perkembangan ilmu menurutnya harus berkemungkinan mengandung salah dengan proses yang disebut falsifikasi   ( proses eksperimental untuk membuktikan salah dari suatu ilmu) dan refutasi (penyangkalan teori).
Kuhn menolak pandangan  di atas, Kuhn memandang ilmu dari perspektif sejarah, dalam arti sejarah ilmu. Rekaman sejarah ilmu merupakan titik awal pengembangan ilmu karena merupakan rekaman akumulasi konsep untuk melihat bagaimana hubungan antara pengetahuan dengan mitos dan takhayul yang berkembang.  Sejarah ilmu digunakan untuk mendapatkan dan mengkonstruksi wajah ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah yang sesungguhnya terjadi. Hal-hal baru baru yang ditemukan pada suatu masa menjadi unsur penting bagi pengembangan ilmu di masa berikutnya.
Perbedaan pendapat Kuhn dengan Popper adalah Kuhn lebih mengekplorasi tema-tema yang lebih besar misalnyanya hakekat ilmu baik dalam prakteknya yangnyata maupun dalam analisis kongkret dan empiris. Jika Popper menggunakan sejarah ilmu untuk mempertahankan pendapatnya, Kuhn justru menggunakan sejarah ilmu sebagai titik tolak penyelidikannya.
Dari pendapat Kuhn tersebut bisa dikatakan bahwa filsafat ilmu harus berguru kepada sejarah ilmu, sehingga seorang ilmuan dapat memahami hakikat ilmu dan aktivitas ilmiah yang sesungguhnya.
Thomas Samuel Kuhn mula-mula meniti karirnya sebagai ahli fisika, tetapi kemudian mendalami sejarah ilmu. Lewat tulisannya, The Structure of Scientific Revolutions, ia menjadi seorang penganjur yang gigih yang berusaha meyakinkan bahwa titik pangkal segala penyelidikan adalah berguru pada sejarah ilmu. Sebagai penulis sejarah dan sosiolog ilmu kuhn mendekati ilmu secara eksternal. Kuhn dengan mendasarkan pada sejarah ilmu, justru berpendapat bahwa terjadinya perubahan-perubahan yang berarti tidak pernah terjadi berdasarkan upaya empiris untuk membuktikan salah (falsifikasi) suatu teori atau sistem, melainkan berlangsung melalui revolusi-revolusi ilmiah.
Kuhn memakai istilah paradigma untuk mengambarkan sistem keyakinan yang mendasari upaya pemecahan teka-teki di dalam ilmu. Fokus pemikiran Kuhn menyatakan bahwa perkembangan sains berlaku pada apa yang disebut paradigm ilmu. Menurut Kuhn paradigm ilmu adalah suatu kerangka teoritis, atau suatu cara memandang dan memahami alam, yang telah digunakan sebagai sekelompok ilmuan sebagai pandangan dunianya. Paradigma ilmu berfungsi seabagai lensa yang melaluinya para ilmuan dapat mengamati dan memahami masalah-masalah ilmiah dalam bidang masing-masingdan jawaban-jawaban ilmiah terhadap masalah – masalah tersebut.
 Dari analisis pendapat Kuhn di atas, penulis bisa menyimpulkan bahwa Sains lebih dicirikan oleh paradigma dan revolusi yang menyertainya. Dari rekaman sejarah ilmu bisa diketahui bahwa terjadinya perubahan-perubahan mendalam selama sejarah ilmu tidak didasarkan pada upaya empiris untuk membuktikan suatu teori atau sistem, tetapi melalui revolusi-revolusi ilmiah, sehingga kemajuan ilmiah pertama-tama bersifat revolusioner dan bukan kumulatif.
Kuhn menamakan sekumpulan ilmuan yang telah memiliki pandangan bersama sebagai suatu komunitas ilmiah. Suatu komunitas ilmiah memiliki suatu paradigma bersama tentang alam ilmiah, memiliki kesamaan bahasa, nilai-nilai, asumsi-asumsi, tujuan-tujuan, norma-norma dan kepercayaan-kepercayaan.
Dari pendapat Kuhn diatas, maka bisa dikatakan bahwa pergeseran paradigma merupakan suatu istilah untuk menggambarkan terjadinya dimensi kreatif pikiran manusia dalam bingkai filsafat. Pergeseran paradigma merupakan letupan ide yang merangsang timbulnya letupan ide-ide yang lain, yang terjadi terus-menerus, sambung menyambung, baik pada orang yang sama maupun orang yang berbeda. Reaksi berantai ini akhirnya menjadi kekuatan yang bisa merubah wajah dan tatanan dunia serta peradaban manusia ke arah suatu kemajuan.
Dengan demikian paradigma ilmu tidak lebih dari suatu konstruksi segenap komunitas ilmiah, Dalam komunitas tersebut mereka membaca, menafsirkan, mengungkap, dan memahami alam, sehingga menurut Kuhn paradigmalah yang menentukan jenis-jenis eksperimen yang dilakukan oleh para ilmuawan, tanpa paradigma tertentu para ilmuawan tidak bisa mengumpulkan fakta-fakta, dengan tiadanya paradigma atau calon paradigma tertentu, semua fakta yang mungkin sesuai dengan perkembangan ilmu tertentu tampak seakan sama-sama relevan, akibatnya pengumpulan fakta hamper semuanya merupakan aktivitas acak.
Menurut Larry Laudan ada beberapa bagian besar dari pemikiran paradigma Kuhn, diantaranya:[17]
a.         Paradigma memberikan kerangka konseptual untuk mengklasifikasikan dan menjelaskan obyek alamiah;
b.        Paradigma menspesifikasikan metoda, teknik, danalat yang layak di dalam inkuiri untuk mempelajariobyek pada wilayah aplikasi yang relevan;
c.         Penganut paradigma berbeda akan mendukung perangkat tujuan dan ideal yang berbeda.
Sehingga diperoleh konklusi bahwa perangkat ilmu paradigma Kuhn ialah:[18]
a.         Melihat teori sebagai struktur terorganisasi;
b.        Struktur teori berbentuk paradigma;
c.         Teori bisa mengalami krisis sehingga dapat saja diganti oleh teori lawannya.

3.         Teori Paradigma Thomas S. Kuhn
Segi penting pendekatan yang digunakan Kuhn adalah terdapatnya peranan penting yang dimainkan oleh sifat-sifat sosiologis masyarakat ilmiah dan pendekatannya yang menggunakan pandangan filosofis yang tahan menghadapi kritik yang berdasarkan sejarah ilmu. Paradigma Kuhn ini juga dijadikan sebagai salah satu alasan terjadinya proses perkembangan pemikiran (ilmu).[19]

Dalam karyanya yang berjudul The Structure of Scienteific Revolutions yang terbit pada tahun 1962 yang kemudian pada tahun 1970 dilengkapi dengan Postscirpt yang memuat modifikasi pandangannya serta tanggapan terhadap kritik, Kuhn mendekati pengertian ilmu secara internal yang kemudian berbeda dengan pemikiran Popper.[20] Dalam buku tersebut, Kuhn mengemukakan pandangan tentang ilmu yang berputar pada lima tahapan yang kemudian dibagi dalam tiga bagian besar, yaitu:[21]

Tahap Pertama, paradigma ini membimbing dan mengarahkan aktivitas olmiah dalam masa ilmu normal (normal science). Di sini para ilmuwan berkesempatan menjabarkan dan mengembangkan paradigma sebagai model ilmiah yang digelutinya secara rinci dan mendalam. Dalam tahapan ini, para ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbingnya. Selama menjalanka aktivitas ilmiah, para ilmuwan menjumpai berbagai fenomena yang tidak dapat diterangkan dengan paradigma yang dipergunakan sebagai bimbingan atau arahan aktivitas ilmiahnya. Inilah yang dinamakan anomali. Anomali adalah suatu keadaan yang memperlihatkan adanya ketidakcocokan antara kenyataan (fenomena) dengan paradigma yang dipakai.
Tahap Kedua, menumpuknya anomali menimbulkan krisis kepercayaan dari para ilmuwan terhadap paradigma. Paradigma mulai diperiksa dan dipertanyakan. Para ilmuwan mulai keluar dari jalur ilmu norma.
Tahap ketiga, para ilmuwan bisa kembali pada cara-cara ilmiah yang sama dengan memperluas dan mengembangkan suatu paradigma  tangingan yang dipandang bisa memecahkan masalah dan membimbing aktivitas ilmiah berikutnya. Proses peralihan dari paradigma lama ke paradigma baru inilah yang dinamakan revolusi ilmiah.
B.       Terminologi Sederhana Perdagangan Elektronik (E-Commerce)
Secara terminologi, e-commerce[22] terdiri dari dua kata dalam bahasa inggris, yaitu Electronic dan Commerce yang apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti Elektronik dan Perdagangan. Adapun yang dimaksud dengan perdagangan (dagang) adalah pekerjaan yang berhubungan dengan menjual dan membeli (berniaga) barang untuk memperoleh keuntungan.[23] Sedangkan yang dimaksud dengan elektronik adalah pengetahuan mempraktekkan tenaga listrik pada berbagai alat.[24]
Julian Ding dalam bukunya E-Commerce: Law and Practice, mengemukakan bahwa e-commerce adalah suatu konsep yang tidak dapat didefenisikan.[25] Hal ini dikarenakan, e-commerce sebagai suatu perdagangan yang relatif baru dibandingkan dengan sistem perdagangan lainnya[26] serta memiliki permasalahan yang kompleks baik dipandang dari perspektif sains-teknologi maupun dari perspektif lainnya seperti ekonomi dan hukum[27]. Alhasil terdapat kesukaran dan ketidakjelasan dalam mengartikan e-commerce sebagai suatu definisi yang definitif. Berikut ini akan diuraikan beberapa definisi dari para ahli yang diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai e-commerce.
Secara umum, e-commerce dapat didefenisikan sebagai bentuk transaksi perdagangan atau perniagaan barang dan jasa (trade of goods and sevice) dengan menggunakan media elektronik.[28] Hal serupa juga dikemukakan oleh Howard E. Abrams yang menyatakan bahwa “electronic commerce refers to the use of computer networks to facilitate transactions involving the production, distribution, sale, and delivery of goods and services in the market”.[29]
Definisi yang tidak jauh berbeda juga dinyatakan oleh David Baum yang menjelaskan bahwa “e-commerce is a dynamic set of technologies, applications, and business process that link enteprises, consumers, and communities throught electronic transactions[30] and the electronic exchange of goods, services, and information”.[31]
Albarta sebagaimana dikutip oleh M. Fikri Salman, et. al menyatakan bahwa e-commerce merupakan “salah satu bentuk transaksi perdagangan yang paling banyak dipengaruhi oleh teknologi informasi”.[32] Sementara itu, Niniek Suparni dalam bukunya Cyberspace: Problematika dan Aspek Pengaturannya, mengungkapkan bahwa e-commerce adalah “kegiatan-kegiatan bisnis yang menyangkut konsumen (consumers), manufaktur (manufacturs), service providers, dan pedagang perantara (intermediaries) dengan menggunakan jaringan-jaringan komputer (computer networks)”.[33] 
Beberapa organisiasi yang bergerak di bidang ekonomi internasional juga turut memberikan defenisi terhadap e-commerce. Seperti OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) yang menjelaskaan bahwa e-commerce adalah “transaksi yang berdasarkan proses dan transmisi data secara elektronik”. Sedangkan Alliance for Global Business, suatu asosiasi di bidang perdagangan terkemuka, mengartikan e-commerce sebagai “seluruh transaksi nilai yang melibatkan transfer informasi, produk, jasa atau pembayaran melalui jaringan elektronik sebagai media”.[34] Dari beberapa definisi yang diuraikan di atas, defenisi yang paling lengkap adalah defenisi yang dikemukakan oleh ECEG (Electronic Commerce Expert Group) yang mendefenisikan e-commerce sebagai:[35]
“a broad concept that covers any commercial transaction that is effected via electronic means and would include such means as facsimile, telex, EDI, internet, and the telephone. For the purpose of this report the term is limited to those trade and commercial transaction involving computer to computer communications wheter utilising an open or closed network”.
             Disamping beberapa definsi yang dikemukakan oleh para ahli dan organisasi ekonomi internasional di atas, UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce juga memberikan defenisi terkait dengan e-commerce. Secara singkat dalam Pasal 1 dan 2, e-commerce didefenisikan sebagai “setiap aktivitas perdagangan yang dilaksanakan dengan cara melakukan pertukaran informasi yang diberikan, diterima atau disimpan melalui jasa elektronik, optik atau alat serupa lainnya termasuk, tetapi tidak terbatas pada EDI, e-mail, telegram, telex, atau telekopi”.[36]


BAB III
PEMBAHASAN

A.      Diskursus Kekinian: Apakah Perkembangan Dunia Perdagangan (Dunia Bisnis) Dewasa Ini Memang Liniear Dan Sesuai Dengan Paradigma Thomas S. Kuhn (“Switch Theory”)?

1.         Paradigma Tahapan Ilmu Normal: Perdagangan Konvensional
Sejarah perdagangan dunia diawali dengan sistem kovensional, dimana para pihak bertemu secara langsung (face to face) dalam suatu tempat tertentu. Penjual dan pembeli bertemu langsung dan kemudian melakukan transaksi perdagangan. Begitulah sejarah perdagangan yang kita kenal selama ini hingga kemudian, muncul sistem perdagangan antar negara.
Perdagangan antar negara pun tidak ada bedanya. Saudagar-saudagar kaya dari suatu negara kemudian melakukan petualangan baharinya untuk melakukan transaksi komoditi dengan saudagar dari negara lain. Sehingga konsepnya tetap sama, yaitu para pihak harus bertemu secara langsung dalam suatu tempat yang telah disepakati.
Secara historis, Eropa dikenal dua kota sebagai pusat perdagangan terbesar sejak abad IX. Oleh karena perkembangan pusat perdagangan itu demikian pesat, para pelaku pedagang dibeberapa negara lain memperlajarinya karena ingin menerapkan model perdagangan untuk mengembangkan perekonomian. Para pedagang di kawasan Italia Utara bersaing ketat dengan para pedagang asia yang berupaya menembus pasar Eropa. Pada waktu yang bersamaan, perdagangan tumbuh subur di Eropa Utara yang berpusat di kawasan Flanders yang sekarang bernama negara Belanda dan Belgia. [37]
Kedua pusat perdagangan yakni Belanda dan Belgia sudah terkenal sejak masa kekaisaran Romawi sebagai pusat perdagangan pakaian yang memiliki koneksi dengan kerajaan Inggris sebagai produsen benang wol di Eropa. Pada zaman itu, para saudagar di Italia dikenal sangat piawai melakukan perdagangan sutera alam,rempah-rempah, logam mulia, dan parfum.
Berkembangnya perdagangan menciptakan pertukaran barang dagangan (komoditi) yang dilakukan oleh para pedagang atau saudagar Italia dan perdagangan Belanda-Belgia. Kegiatan para pedagang itu meluas dan melintas kawasan yang dikuasai seorang pangeran yang berasal dari Champagne, Prancis. Para pedagang menyimpan barang-barang dagangan seperti pakaian, anggur,garam,kayu olahan dan perkakas yang terbuat dari besi di Champagne. Pada tahun 1114, pangeran yang mewakali bangsawan Perancis meresmikan Champagne sebagai pusat perniagaan. Dipusat perdagangan itu dilakukan berbagai kegiatan perdagangan lengkap dengan fasilitas perdagangan seperti gudang penyimpanan barang dagangan. Pihak pengelola pusat perdagangan memungut komisi sebagai ongkos pengguna sarana dan prasarana yang digunakan oleh para pedagang.[38]
Di pusat perniagaan itu yakni Champagne, para saudagar melakukan pemesanan dan penyerahan barang dagangan antara penjual dan pembeli melalui suatu mekanisme kontrak barang yang disepakati para pihak, dan inilah cikal bakal perdagangan berjangka untuk pertama kali dilakukan.
Setelah diresmikan, pusat perniagaan Champagne berkembang dan makin dikenal luas, dan kemudian menjadi pusat perniagaan di Eropa ketika itu. Para pelaku perdagangan bukan hanya berasal dari Italia, Belanda atau Belgia, akan tetapi para saudagar dari negara Skandinavia, Inggris, dan Rusia juga tertarik melakukan perdagangan dengan menggunakan fasilitas dan model perdagangan yang ada di Champagne. Model dan sistem perniagaan yang berlaku di Champagne peraturan (hukum), sarana alat tukar, dan gudang penyimpanan.[39]
Kegiatan perdagangan dipusat perniagaan Champagne Berlangsung sepanjang tahun. Perdagangan diawali dengan penawaran dan permintaan beberapa bahan mentah serta hasil olahan yang sudah dikenal oleh kalangan pedagang. Biasanya beberapa hari menjelang berakhirnya transaksi, disediakan waktu untuk membayar nota tanda terima dan menukarkannya dengan barang yang dikehendaki
 
2.  Anomali Dunia Perdagangan: Perdagangan Konvensional versus Perdagangan Elektronik (E-Commerce)
Sejarah pun kini berubah. Sistem perdagangan konvensional pun mulai ditinggalkan oleh pelaku bisnis. Dengan adanya perkembangan teknologi dan keharusan mengikuti pola globalisasi, maka munculah yang dinamakan perdagangan elektronik (e-commerce). E-Commerce sendiri diakibatkan oleh pengaruh teknologi dan informasi. Anomali dunia perdagangan pun kini mencuat. Di satu sisi, pelaku bisnis belum siap untuk melakukan revolusi dunia perdagangan, tetapi tuntuntan terhadap pengaruh globalisasi menjadi tidak terelakkan. Anomali inilah yang menjadi suatu krisis ilmiah yang kemudian akan menimbulkan paradigma baru.
Tahapan krisis dan anomali ilmiah inilah yang menimbulkan kegalauan di kalangan ilmuwan. Apakah benar, urgensi atas e-commerce memang sangat dibutuhkan dalam konteks kekinian. Sedangkan masih banyak pelaku bisnis yang belum siap atas perubahan demikian. Tapi menafikan tunutan globalisasi dan informasi akan menjadi suatu ketidakniscayaan. Oleh karenanya, pada tahapan ini, e-commerce pun harus siap diuji secara ilmiah kelayakannya. Kalau memang ternyata belum siap, maka paradigma di dunia perdagangan pun tidak akan berubah dan akan tetap konvensional seperti sebelumnya.
Distorsi dan anomali dunia perdagangan, dimulai ketika adanya perkembangan teknologi informasi[40] pada awal abad dua puluh satu yang telah menyebabkan informasi dapat bergerak dengan cepat. Informasi mengalir dari suatu lokasi ke lokasi lain tanpa dibatasi oleh jarak di antara lokasi-lokasi itu sendiri.[41] Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi semacam ini telah pula menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas (borderless) [42] dan menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya secara signifikan berlangsung sedemikian cepat.[43] Tidak hanya itu, pemanfaatannya pun telah semakin meluas sehingga memasuki hampir semua segi kehidupan.[44]
Secara etimologis, kata “teknologi” berasal dari kata dalam bahasa Yunani, yaitu techniqos (yang berarti keterampilan atau kesenian) dan logos (yang berarti ilmu atau asas-asas utama)[45]. Sedangkan di dalam Webster Dictionary, makna teknologi disamakan dengan makna applied science (ilmu terapan) atau technical to achieve practical purposes (metode teknis untuk mencapai tujuan-tujuan praktis).[46] Sedangkan teknologi informasi sendiri menurut Bryon Belitos dan Jay Misra merupakan perkembangan teknologi perangkat-perangkat pengolah informasi yang merupakan hasil dari bertemunya sistem jaringan komunikasi dengan teknologi informasi.[47]
Menurut Didik J. Rachbini, teknologi informasi dan media elektronika dinilai sebagai simbol pelopor yang akan mengintegrasikan seluruh sistem dunia baik dalam aspek sosial, budaya, ekonomi dan keuangan. Dari sistem-sistem kecil lokal dan nasional, proses globalisasi dalam tahun-tahun terakhir bergerak cepat, bahkan terlalu cepat menuju suatu sistem global. Dunia akan menjadi ”global village” yang menyatu saling menyatu, saling tahu dan terbuka, serta bergantung satu sama lain.[48] Sehingga akan berdampak pada terciptanya dunia kedua bagi kehidupan manusia selain dunia nyata yang selama ini dihuni oleh manusia. Dunia ini dinamakan dunia maya atau dunia siber (cyberspace)[49], yaitu dunia tanpa batas (borderless world). Oleh karenanya, Heru Soepraptomo menyatakan bahwa hal ini merupakan pertanda telah dimulainya era siber dalam dunia bisnis.[50]
Secara singkat, perkembangan tekonologi informasi yang terjadi saat ini akan membawa konsekuensi logis terjadinya globalisasi. Menurut pendapat Manfred B Steger dalam bukunya Globalization: A Very Short Introduction mengemukakan bahwa globalisasi pada hakikatnya merupakan suatu proses transformasi sosial yang akan membawa kondisi umat manusia yang berbeda-beda dan terpencar-pencar di banyak wilayah negara di dunia ini ke satu kondisi tunggal yang tidak mengenal lagi batas-batas wilayah.[51] Sedangkan menurut Tonelson seorang ahli ekonomi mengartikan globalisasi sebagai suatu keadaan dimana terjadi suatu peningkatan yang disebabkan oleh hubungan integrasi pasar di tingkat internasional, yang ditandai oleh perkembangan masuknya berbagai barang di pasaran internasional di seluruh dunia.[52]
Globaliasasi sebagai bagian dari proses aktualiasasi kehidupan modern telah merubah kondisi pola aktivitas manusia yang sebelumnya serba konvensional menjadi non-konvensional (elektronik).[53] Hal ini tentunya berpengaruh pada pola pikir manusia dewasa ini, dimana mereka menginginkan keputusan yang serba cepat dan tepat melalui informasi yang lengkap dan akurat.
Alvin Toffler dalam bukunya The Third Wave (1980) telah memprediksikan bahwa di era milenieum ketiga, teknologi akan memegang peranan yang signifikan dalam kehidupan manusia. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern ini akan mengimplikasikan berbagai perubahan dalam kinerja manusia.[54]
Salah satu produk inovasi teknologi telekomunikasi adalah internet[55] (interconnection networking), yaitu koneksi antar jaringan komputer. Internet yang merupakan implementasi dari Transmission Control Protocol atau Internet Protocol (TCP  atau IP) telah memberikan kemudahan dalam berkomunikasi secara global tanpa batasan geografis antar negara. Komunikasi tersebut dapat meliputi komunikasi antar pribadi dengan menggunakan elektronik mail (e-mail) atau tayangan informasi bebas baca yang disebut sebagai World Wide Web atau yang disingkat WWW atau lebih singkat disebut Web.[56]
            Perkembangan internet yang terjadi dewasa ini menjadi suatu fenomena yang tak terelakkan lagi. Hampir semua tingkatan aktivitas masyarakat dapat dipastikan berhubungan dengan dunia internet.[57] Maka tidak heran apabila internet menjadi salah satu dari kebutuhan pokok manusia saat ini. Dari tahun ke tahun, jumlah pengguna internet (Netter) di Indonesia bahkan dunia telah mengalami peningkatan yang cukup drastis. Berikut ini, jumlah pertumbuhan Netter di dunia berdasarkan data yang dihimpun oleh Internet World Stats selama kurun waktu 15 tahun terakhir (1995-2009).[58]

Tabel I
Pertumbuhan Pengguna Internet (Netter) di Dunia
(Tahun 1995-Desember 2009)
Tahun
Pengguna Internet (Netter)
Penduduk Dunia (%)
1995
16,000,000
0.4%
1996
36,000,000
0.9%
1997
70,000,000
1.7%
1998
147,000,000
3.6%
1999
248,000,000
4.1%
2000
361,000,000
5.8%
2001
513,000,000
8.6%
2002
587,000,000
9.4%
2003
719,000,000
11.1%
2004
817,000,000
12.7%
2005
1,018,000,000
15.7%
2006
1,093,000,000
16.7%
2007
1,319,000,000
20.0%
2008
1,565,000,000
23.3%
2009
1.802.330.457
26,6%
Sumber: Internet World Stats

Berdasarkan data dari Internet World Stats tersebut,  dalam satu dasawarsa terakhir jumlah pengguna internet  (Netter) di dunia meningkat pesat. Dari 0,4% pengguna dari seluruh penduduk dunia di tahun 1995, kini naik hampir 60 kali lipat pada 2008.  Dan sejak tahun 2000, pertumbuhan Netter dunia naik rata-rata 2% terhadap total populasi dunia. Bahkan pada per 31 Desember 2009, jumlah Netter di dunia mencapai 1.802.330.457 orang. Berarti telah mengalami peningkatan sebesar 26,6% dari tahun sebelumnya.
Sedangkan untuk Indonesia sendiri, jumlah Netter mengalami progress yang cukup pesat. Sehingga tidak heran apabila Indonesia kini menjadi pangsa pasar Netter yang sangat potensial di Asia. Berikut jumlah pertumbuhan Netter Indonesia di kawasan Asia pada tahun 2009.[59]

Tabel II
Pertumbuhan Pengguna Internet (Netter) Indonesia di Kawasan Asia
(Tahun 2009)
Negara
Jumlah Pengguna Internet (Netter)*
China
384,0
Jepang
96,0
India
81,0
Korea Selatan
37,5
Indonesia
30,0
Filiphina
24,0
Vietnam
22,8
Pakistan
18,5
Malaysia
16,9
Thailand
16,1
            Sumber: Internet World Stats
Ket: *dalam hitungan juta

Dari data tersebut, maka Indonesia menjadi satu dari 10 besar negara di Asia yang memiliki Netter terbanyak, dengan jumlah 30 juta orang. Walaupun jumlah ini masih kalah jauh dengan negara-negara lain seperti China dan Jepang, namun hal ini cukup merepresentasikan bagaimana pesatnya perkembangan teknologi informasi dalam bentuk internet di Indonesia.
Dengan meningkatnya penggunaan internet, khususnya di Indonesia maka secara tidak langsung berdampak besar bagi perkembangan dunia bisnis. Sebagaimana diketahui bahwa dewasa ini aplikasi internet telah memasuki berbagai segmen aktivitas manusia baik dalam sektor politik sosial, budaya, maupun ekonomi dan bisnis. Dalam bidang perdagangan, internet mulai banyak dimanfaatkan sebagai media aktvitas bisnis terutama karena kontribusinya terhadap efesiensi.[60] Aktivitas perdagangan melalui media internet ini terkenal dengan sebutan electronic commerce (e-commerce).[61] E-commerce tersebut terbagi atas dua segmen, yaitu business to business e-commerce (perdagangan antar pelaku usaha) dan business to consumer e-commerce (perdagangan antar pelaku usaha dengan konsumen).[62]
Sistem perdagangan dengan memanfaatkan sarana internet, yang selanjutnya disebut e-commerce telah mengubah tatanan transaksi bisnis di Indonesia. Selain disebabkan oleh adanya perkembangan teknologi informasi, e-commerce lahir atas tuntutan masyarakat terhadap pelayanan yang serba cepat, mudah dan praktis melalui internet. Sehingga masyarakat memiliki ruang gerak yang cukup luas dalam memilih produk (barang dan jasa) yang akan dipergunakan tentunya dengan berbagai kualitas dan kuantitas sesuai dengan yang diinginkan.[63]
E-commerce seringkali diartikan sebagai jual beli[64] barang dan jasa melalui media elektronik, khususnya melalui internet. Di Indonesia, e-commerce itu sendiri sudah dikenal sejak tahun 1996 dengan munculnya situs http://www.sanur.com sebagai toko buku on-line pertama.[65] Memasuki awal tahun 2000-an, maka mulai bermunculan situs-situs on-line lainnya, seperti netmarket.com, amazon.com, dan plasa.com.

Dalam website tersebut biasanya Merchant (Produsen atau Penjual) menampilkan barang-barang yang ditawarkan, mulai dari harganya, nilai rating atau poll otomatis tentang barang yang akan diisi oleh pembeli (Buyer) sebelumnya. Dan apabila si calon pembeli tersebut tertarik, maka ia dapat memesan barang tersebut cukup hanya dengan beberapa klik[66] pada mouse dan ketikan nomor kartu kredit pada tombol keyboard komputer.
E-Commerce yang terjadi saat ini pun tidak hanya terjadi dalam transaksi bisnis yang bersifat nasional, tapi juga internasional. Tujuan sederhananya ialah untuk meningkatkan kemajuan perekonomian nasional dengan cara yang maksimal. Salah satunya ialah dengan cara penggunaan media elektronik. Hal tersebut selaras dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Assafa Endeshaw dalam bukunya yang berjudul Internet and E-Commerce Law bahwa perkembangan perdagangan internasional tidak akan pernah terlepas dari perkembangan teknologi.[67] Oleh karena itu, dalam upaya bangsa-bangsa mencapai kemakmuran, maka teknologi tidak terlepas dari upaya tersebut.
Bahkan Richard Roserrance memaparkan betapa besarnya kekuatan yang dapat diwujudkan suatu bangsa melalui kemampuan dagangnya. Sehingga ia menyimpulkan bahwa manfaat perdagangan dan kerja sama internasional dewasa ini jauh melampaui manfaat persaingan militer dan perluasan wilayah.[68] Begitu juga halnya dengan Indonesia, dimana perdagangan internasional memiliki peranan vital bagi upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan.[69]
Konsekuensi logis untuk merealisasikan hal tersebut tentunya dibutuhkan penggunaan perangkat media elektronik sebagai sarana transaksi bisnis internasional. Sebagai suatu perdagangan yang berbasis teknologi canggih, transaksi bisnis yang menggunakan e-commerce telah mereduksi bahkan mereformasi perdagangan konvensional, dimana interaksi antara pihak yang sebelumnya dilakukan secara langsung (face to face) menjadi interaksi yang tidak langsung.[70] Hal tersebut di antaranya dapat dilakukan melalui jasa  layanan EDI[71], telex, fax, EFT[72], dan internet. Internet ini pada akhirnya dipecah menjadi intranet, ekstranet, e-mail, dan lain-lain.[73] Tidak hanya itu, e-commerce juga telah merubah paradigma bisnis klasik dengan menumbuhkan model-model interaksi antara para pihak di dunia virtual.[74]

3.         Paradigma Baru: Revolusi Ilmiah Dunia Perdagangan = E-Commerce
Dengan adanya perkembangan teknologi informasi dan tuntutan terhadap globalisasi, maka munculah sistem perdagangan baru yang dinamakan perdagangan elektronik (e-commerce). Setelah melewati masa krisis dan anomali ilmiah, maka timbulah suatu paradigma baru dalam dunia perdagangan. Paradigma yang dihasilkan dari adanya revolusi ilmiah pengetahuan setelah melewati batas ruang dan waktu.
E-commerce sebagai pradigma baru di dunia perdagangan tidak begitu saja muncul ke permukaan. Ia harus melewati beberapa tahapan sebelum akhirnya menjadi suatu paradigma yang mapan. Dalam pergolakan masa krisis itulah e-commerce diuji, apakah layak disebut sebagai paradigma baru atau tidak. Dengan adanya pengaruh globalisasi dan meningkatnya kebutuhan akan informasi dan teknologi, maka membuat e-commerce menjadi mudah berkembang.

Setelah memasuki tahap kemapanan paradigma, maka e-commerce memasuki babak ilmu baru. Ia harus membuktikan bahwa sebagai suatu ilmu, e-commerce harus dapat bertahan dan mematangkan eksistensi nya.
Berikut ruang lingkup dan area utama e-commerce sebagai paradigma baru dalam dunia perdagangan:
E-commerce merupakan suatu istilah yang menjadi populer setelah berkembangnya layanan-layanan komersial di internet. Namun, e-commerce melalui internet sejatinya hanyalah sebagian dari keseluruhan ruang lingkup e-commerce, karena ada pula jenis-jenis transaksi elektronik lainnya yang dilaksanakan dengan menggunakan teknologi selain internet.
Menurut World Trade Organization (WTO), ruang lingkup atau cakupan dari e-commerce meliputi bidang produksi, distribusi, pemasaran, penjualan, dan pengiriman barang atau jasa melalui cara elektronik.[75]
Dalam perspektif lain, seorang sarjana Inggris bernama Whiteley membagi ruang lingkup e-commerce menjadi tiga area utama, yaitu Electronic Market (EM), Electronic Data Interchange (EDI), dan Internet Commerce (IM). Pasar Elektronik (Elektronik Market-EM) banyak dilaksanakan di berbagai macam segmen perdagangan dengan penekakan untuk melakukan pencarian fasilitas-fasilitas tertentu. Sedangkan Pertukaran Data Secara Elektronik (Electronic Data Interchange-EDI) biasa dilaksanakan untuk transaksi-transaksi reguler dan terstandarisasi yang terjadi antar perusahaan atau organisasi (Business to Business-B2B). Ketiga kategori e-commerce tersebut akan diuraikan lebih detail sebagai berikut:[77]
a.         Elektronic Market (EM)
Elektronic Market atau dalam bahasa Indonesia yang berarti pasar elektronik dimaknai sebagai pemanfaatan informasi dan komunikasi untuk menyajikan beragam penawaran di suatu segmen pasar, sehingga para calon pembeli dapat membandingkan harga (serta atribut-atribut lainnya) dari setiap penawaran tersebut dan kemudian membuat keputusan-keputusan pembelian yang tepat. Ketika suatu pasar berwujud elektronik, maka yang menjadi pusat perbelanjaan adalah suatu lokasi berbasis jaringan yang didalamnya terjadi interaksi-interaksi bisnis.
Pasar elektronik ini juga merupakan suatu tempat bertemunya pembeli dan penjual. Dalam pasar tersebut terjadi pemrosesan berbagai macam transaksi, termasuk transfer dana antar bank. Contoh utama dari pasar elektronik ini adalah sistem pemesanan tiket pesawat terbang. Sementara itu, Been et. al berpandangan bahwa pasar elektronik adalah suatu sistem informasi interorganisasional yang menyediakan fasilitas-fasilitas bagi pihak pembeli dan penjual untuk dilakukannya pertukaran informasi tentang harga dan produk-produk yang ditawarkan.

Mekanisme Kerja Electronic Market (EM)

Keterangan:
1.        Langkah pertama adalah pembeli mengakses internet dan masuk (log on) ke pasar elektronik;
2.        Pembeli mencari produk yang diinginkan (buku, software, dan lain-lain) di dalam homepage/content server;
3.        Pembeli memilih produk yang dikehendaki dari katalog-katalog yang ada di homepage;
4.        Selanjutnya pembeli harus mengisi order pembelian (pesanan), lalu transaksi diproses;
5.        Order pembelian (antara lain: berisi data tentang profil pembeli dan sistem yang diplih oleh pembeli) dikirm ke penjual;
6.        Penjual mengkonfirmasi data pesanan (data lain: informasi tentang pesanan, profil pembeli, dan sistem pembayarannya);
7.        Pembeli membayar barang yang dipesannya sesuai dengan opsi pembayaran yang ia pilih, lalu transaksi diproses;
8.        Informasi pembayaran dikirim ke bank;
9.        Bank memeriksa permohonan kredit pembeli;
10.    Bank menyetujui permohonan kredit pembeli;
11.    Barang yang dibeli dikirim hingga sampai ke pembeli.
Mekanisme di atas dikenal juga sebagai transkasi online order di pasar elektronik. Transaksi online order merupakan transaksi bisnis dimana pemesanan barang tersebut dilakukan melalui internet. Untuk lebih jelasnya terkait dengan transaksi online order tersebut, maka dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Proses Transaksi Online Order
Keterangan:
1.        Find it, pada tahap ini, pembeli bisa mengetahui dengan pasti dan mudah jenis barang yang ia inginkan;
2.        Explore it, setelah memilih jenis barang yang diinginkan, maka pembeli akan menjumpai keterangan dan informasi yang lebih jelas mengenai barang tersebut;
3.        Select it, pada tahap ini pembeli akan memilih barang yang akan dibeli setalah melalui proses pertimbangan yang matang;
4.        Buy it, setelah semua tahap di atas dilakukan, maka selanjutnya dilakukan proses check out dengan cara pembelian, dimana pada tahap ini dilakukan proses transaksi pembayaran terlebih dahulu kepada merchant;
5.        Ship it, setelah semua proses transaksi selesai, maka pihak merchant akan mengirimkan e-mail (pemberitahuan) kepada pembeli bahwa pengiriman barang telah dilakukan.

b.        Electronik Data Interchange (EDI)
Secara harfiah, EDI adalah sebuah alat yang dapat digunakan untuk pertukaran sebuah data. EDI dapat digunakan untuk mentransmisikan dokumen-dokumen secara elektronik seperti dokumen pemesanan pembelian, invoice, catatan pengangkutan barang, penerimaan advis (advice) dan korepondensi bisnis standar lainnya di antara mitra dagang.[80]
Sementara itu, Baumer mendefenisikan Electronic Data Interchange atau dalam bahasa Indonesia disebut Pertukaran Data Secara Elektronik sebagai “suatu kontrak B2B yang dilaksanakan melalui jaringan-jaringan tertutup yang di dalamnya di antara para pihak telah ada kesepakatan sebelumnya tentang transaksi-transaksi apa saja yang dapat dilaksanakan melalui EDI”. Lebih lanjut Baumer juga mengatakan bahwa karena EDI ini dilaksanakan dengan menggunakan jaringan-jaringan tertentu (private and closed network), maka EDI tidak sefleksibel kontrak atau transaksi-transaksi yang dilaksanakan dengan menggunakan internet.
Ketika digunakan untuk melakukan suatu pembayaran, EDI biasanya disebut dengan Financial EDI atau Electronical Fund Transfer (EFT). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa EDI merupakan transaksi elektronik yang berhasil menggantikan posisi transaksi yang menggunakan kertas. Bahkan lebih dari sekedar menggantikannya, karena EDI dapat menjadi alat untuk memadatkan atau mengurangi prosedur yang ada dan meningkatkan efesiensi dan produktifitas.[81]
Hal tersebut juga ditegaskan oleh Whitley yang menjelaskan bahwa di dalam EDI ini terdapat sebuah sistem yang telah tersandarisasi yang digunakan untuk mengkode (to code) data-data atau dokumen-dokumen transaksi dagang, sehingga data atau dokumen tersebut dapat dikomunikasikan secara langsung dari satu komputer ke komputer lainnya tanpa perlu lagi menggunakan surat pesanan barang atau surat tagihan tercetak sebagaimana yang terjadi dalam transaksi-transaksi berbasis kertas.
EDI ini bisa dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan yang biasa melakukan transaksi-transaksi reguler dalam jumlah besar. EDI juga biasa digunakan dalam transkasi reguler yang dilakukan secara berulang-ulang. Salah satu sektor yang di dalamnya EDI  biasa dipergunakan secara luas adalah jaringan supermarket besar yang biasa menggunakan EDI  untuk bertranskasi dengan menggunakan supplier-supplier mereka.
c.         Internet Commerce (IM)
Tekonologi informasi dan komunikasi juga dapat dipergunakan untuk mengiklankan dan menjual sejumlah besar barang dan jasa. Jenis e-commerce  ini biasanya memiliki karakteristik berupa memanfaatkan internet untuk keperluan komersial. Misalnya, internet dipergunakan untuk membeli buku yang kemudian akan dikirim melalui pos, atau untuk memesan tiket yang kemudian tiket tersebut dapat diambil oleh pemesan pada saat mereka tiba di tempat pertunjukan.
Perlu dicatat bahwa internet bukan merupakan satu-satunya teknologi yang dapat dipergunakan untuk memberikan layanan-layanan seperti ini, dan fungsi tersebut juga bukan merupakan satu-satunya kegunaan internet dalam e-commerce.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa ruang lingkup e-commerce menurut Whiteley terbagi menjadi tiga area utama, yaitu Electronic Market (EM), Electronic Data Interchange (EDI), dan Internet Commerce (IM). Pasar Elektronik (Elektronik Market-EM). Hal tersebut juga ditegaskan oleh Edmon Makarim yang mengklasifikasikan ruang lingkup e-commerce sebagai suatu lingkup perdagangan atau perniagaan yang dilakukan secara elektronik dalam arti sempit, termasuk di antaranya:[82]
a.         Perdagangan via internet (Internet Commerce);
b.        Perdagangan dengan fasilitas Web Internet (Web Comerce);
c.         Perdangangan dengan Sistem Pertukaran Data Terstruktur Secara Elektronik (Electronic Data Interchange).
Selain ruang lingkup dan area utama, kita harus juga memahami jenis-jenis e-commerce dalam aplikasi nya untuk lebih memahami e-commerce sebagai suatu ilmu yang utuh. Rayport dan Jaworski berpendapat bahwa ada empat kategori aplikasi (jenis) dalam transaksi e-commerce, yaitu Business to Business (perusahaan ke perusahaan), Business to Consumer (perusahaan ke konsumen), Consumer to Consumer (konsumen ke konsumen), dan Consumer to Business (konsumen ke perusahaan). 


Empat Kategori E-Commerce

Berikut uraian secara detail dari keempat kategori e-commerce tersebut:[84]
a.         Business to Business (B2B)
Aplikasi e-commerce B2B merujuk pada spektrum penuh e-commerce yang terjadi antara dua perusahaan. Aktivitas aplikasi B2B ini meliputi, pembelian, penjualan, supplier management, inventory management, payment management, serta service dan support. E-commerce B2B ini antara lain dipelopori oleh Chemdex (www.chemdex.com), FastParts (www.fastparts.com), dan FreeMarkets (www.freemarkets.com).

b.        Business to Consumer (B2C)
E-commerce B2C merujuk pada pertukaran yang terjadi antara perusahaan dan konsumen. Transkasi yang sama dalam konteks e-commerce B2B juga terjadi dalam aplikasi B2C ini. Pelopor kategori e-commerce B2C ini, antara lain Amazon.com, Yahoo.com, Schwab.com.

a.         Consumer to Consumer (C2C)
Pertukaran C2C ini mencakup transaksi-transaksi yang terjadi di antara konsumen dan konsumen. Pertukaran tersebut bisa dilibatkan atau tidak melibatkan pihak ketiga, seperti yang terjadi dalam pertukaran lelang melalui situs e-bay.
b.        Consumer to Business (C2B)
Dalam hubungan C2B ini, konsumen-konsumen dapat mengikatkan diri bersama-sama untuk membentuk dan menjadikan diri mereka sebagai kelompok pembeli untuk suatu perusahaan. Dalam melakukan aktivitasnya tersebut, para konsumen itu bisa didorong oleh orientasi ekonomi atau orientasi sosial.

B.       Refleksi Epistimologis Paradigma Thomas S. Kuhn atas Eksistensi E-Commerce[85]
Peran rekaman sejarah merupakan titik awal pengembangan ilmu, karena merupakan rekaman akumulasi konsep untuk melihat bagaimana hubungan antara pengetahuan dengan mitos dan takhayul yang berkembang. Sejarah ilmu digunakan untuk mendapatkan dan mengkonstruksi wajah ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah yang sesungguhnya terjadi. Hal-hal baru baru yang ditemukan pada suatu masa menjadi unsur penting bagi pengembangan ilmu di masa berikutnya. Sains lebih dicirikan oleh paradigma dan revolusi yang menyertainya. Dari rekaman sejarah ilmu bisa diketahui bahwa terjadinya perubahan-perubahan mendalam selama sejarah ilmu tidak didasarkan pada upaya empiris untuk membuktikan suatu teori atau sistem, tetapi melalui revolusi-revolusi ilmiah. Sehingga, kemajuan ilmiah pertama-tama bersifat revolusioner dan bukan kumulatif. Pergeseran paradigma adalah istilah untuk menggambarkan terjadinya dimensi kreatif pikiran manusia dalam bingkai filsafat. Pergeseran paradigma merupakan letupan ide yang merangsang timbulnya letupan ide-ide yang lain, yang terjadi terus-menerus, sambung menyambung, baik pada orang yang sama maupun orang yang berbeda. Reaksi berantai ini akhirnya menjadi kekuatan yang bisa me-rubah wajah dan tatanan dunia serta peradaban manusia ke arah suatu kemajuan. Paradigma dan sains normal merupakan kerangka referensi yang mendasari sejumlah teori maupun praktik-praktik ilmiah nyata yang diterima dalam periode tertentu. Saat pertama kali muncul, masih sangat terbatas baik cakupan maupun ketepatannya tetapi menjanjikan suatu keberhasilan. Paradigma memperoleh statusnya karena lebih berhasil dari saingannya dalam memecahkan masalah keilmuan yang dianggap rawan. Paradigma membimbing kegiatan ilmiah dalam masa sains normal sehingga ilmuwan bisa mengembangkan secara rinci dan mendalam, dan tidak sibuk de-ngan hal-hal yang mendasar. Pada sains normal, ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing aktifitas ilmiahnya. Tiga fokus kajian sains normal adalah memperluas pengetahuan tentang fakta, meningkatkan kesesuaian antara prakiraan paradigma dan artikulasi lebih lanjut. Kegiatan ilmiah ada dua yaitu pemecahan teka-teki (puzzle solving) dan penemuan paradigma baru. Dalam puzzle solving, ilmuwan membuat percobaan dan mengadakan observasi untuk memecahkan teka-teki, bukan mencari kebenaran. Bila paradigmanya tidak dapat digunakan untuk memecahkan persoalan penting atau malah mengakibatkan konflik, maka paradigma baru harus diciptakan. Dengan demikian kegiatan ilmiah selanjutnya diarahkan kepada penemuan paradigma baru, dan jika penemuan baru ini berhasil, maka akan terjadi perubahan besar dalam ilmu pengetahuan. Anomali dan munculnya penemuan baru berbagai fenomena (anomali) bisa dijumpai oleh seorang ilmuwan selama menjalankan riset di sains normal. Jika anomali kian menumpuk, akan timbul krisis dan paradigma mulai dipertanyakan. Dengan demikian sang ilmuwan sudah keluar dari sains normal. Data anomali (penyimpangan terhadap teori-teori dalam paradigma) berperan besar dalam memunculkan sebuah penemuan baru. Penemuan baru diawali dengan kesadaran akan anomali, yakni pengakuan bahwa alam dengan suatu cara, telah melanggar pengharapan yang didorong oleh paradigma yang menguasai sains normal.

Kemudian ia berlanjut dengan eksplorasi yang sedikit banyak diperluas ke wilayah anomali. Dan ia hanya berakhir bila teori atau paradigma itu telah disesuaikan sehingga yang menyimpang itu menjadi sesuai dengan yang diharapkan. Sehingga, dalam penemuan baru harus ada penyesuaian antara fakta dengan teori yang baru. Revolusi sains muncul karena adanya anomali dalam riset ilmiah yang ma-kin parah dan munculnya krisis yang tidak dapat diselesaikan oleh paradigma yang menjadi referensi riset. Untuk mengatasi krisis, ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang lama sambil memperluas cara-cara itu atau mengembangkan sesuatu paradigma tandingan yang bisa memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya. Jika yang terakhir ini terjadi, maka lahirlah revolusi sains. Revolusi sains merupakan episode perkembangan non-kumulatif, dimana paradigma lama diganti sebagian atau seluruhnya oleh paradigma baru yang bertentangan. Transformasi-transformasi paradigma yang berurutan dari paradigma yang satu ke paradigma yang lainnya melalui revolusi, adalah pola perkembangan yang biasa dari sains yang telah matang. Jalan revolusi sains menuju sains normal bukanlah jalan bebas hambatan. Sebagian ilmuwan atau masyarakat sains tertentu ada kalanya tidak mau menerima paradigma baru dan ini menimbulkan masalah sendiri. Dalam pemilihan para-digma tidak ada standar yang lebih tinggi dari pada persetujuan masyarakat yang bersangkutan. Untuk menyingkap bagaimana revolusi sains itu dipengaruhi, kita harus meneliti dampak sifat dan dampak logika juga teknik-teknik argumentasi persuasif yang efektif di dalam kelompok-kelompok yang membentuk masyarakat sains itu. Oleh karena itu permasalahan paradigma sebagai akibat dari revolusi sains, hanya sebuah konsensus yang sangat ditentukan oleh retorika di kalangan ma-syarakat sains itu sendiri. Semakin paradigma baru itu diterima oleh mayoritas masyarakat sains, maka revolusi sains kian dapat terwujud. Selama revolusi, para ilmuwan melihat hal-hal yang baru dan berbeda dengan ketika menggunakan instrumen-instrumen yang sangat dikenal untuk melihat tempat-tempat yang pernah dilihatnya. Seakan-akan masyarakat profesional itu tiba-tiba dipindahkan ke daerah lain di mana obyek-obyek yang sangat dikenal sebelumnya tampak dalam penerangan yang berbeda, berbaur dengan obyek-obyek yang tidak dikenal. Ilmuwan yang tidak mau menerima paradigma baru sebagai landasan risetnya, dan tetap bertahan pada paradigma yang telah dibongkar dan sudah tidak mendapat dukungan dari mayoritas masyarakat sains, maka aktivitas risetnya tidak berguna sama sekali.

 
BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan yang dikemukakan oleh penulis diatas, maka terdapat relevansi yang kuat dan linear antara perkembangan dunia bisnis berupa perdagangan elektronik (e-commerce) terhadap paradigma Thomas S. Kuhn (“switch theory”). Hal tersebut diperkuat atas dalil yang dikemukakan oleh bahwa suatu perkembangan ilmu yang mengharapkan terjadi nya revolusi ilmiah, haruslah melewati beberapa tahapan uji. Dan secara ilmiah, e-commerce telah membuktikan “tantangan” yang diberikan oleh Kuhn tersebut. Adapun tahapan ilmiah yang dilewati oleh e-commerce sehingga dapat membentuk suatu paradigma ilmu baru, ialah:
1.         Paradigma Tahapan Ilmu Normal: Perdagangan Konvensional
Sejarah perdagangan dunia diawali dengan sistem kovensional, dimana para pihak bertemu secara langsung (face to face) dalam suatu tempat tertentu. Penjual dan pembeli bertemu langsung dan kemudian melakukan transaksi perdagangan.
2.         Anomali Dunia Perdagangan: Perdagangan Konvensional versus Perdagangan Elektronik (E-Commerce)
Sistem perdagangan konvensional pun mulai ditinggalkan oleh pelaku bisnis. Dengan adanya perkembangan teknologi dan keharusan mengikuti pola globalisasi, maka munculah yang dinamakan perdagangan elektronik (e-commerce). E-Commerce sendiri diakibatkan oleh pengaruh teknologi dan informasi. Anomali dunia perdagangan pun kini mencuat. Di satu sisi, pelaku bisnis belum siap untuk melakukan revolusi dunia perdagangan, tetapi tuntuntan terhadap pengaruh globalisasi menjadi tidak terelakkan. Anomali inilah yang menjadi suatu krisis ilmiah yang kemudian akan menimbulkan paradigma baru. Tahapan krisis dan anomali ilmiah inilah yang menimbulkan kegalauan di kalangan ilmuwan. Apakah benar, urgensi atas e-commerce memang sangat dibutuhkan dalam konteks kekinian. Sedangkan masih banyak pelaku bisnis yang belum siap atas perubahan demikian. Tapi menafikan tunutan globalisasi dan informasi akan menjadi suatu ketidakniscayaan. Oleh karenanya, pada tahapan ini, e-commerce pun harus siap diuji secara ilmiah kelayakannya. Kalau memang ternyata belum siap, maka paradigma di dunia perdagangan pun tidak akan berubah dan akan tetap konvensional seperti sebelumnya.
3.         Paradigma Baru: Revolusi Ilmiah Dunia Perdagangan = E-Commerce
Dengan adanya perkembangan teknologi informasi dan tuntutan terhadap globalisasi, maka munculah sistem perdagangan baru yang dinamakan perdagangan elektronik (e-commerce). Setelah melewati masa krisis dan anomali ilmiah, maka timbulah suatu paradigma baru dalam dunia perdagangan. Paradigma yang dihasilkan dari adanya revolusi ilmiah pengetahuan setelah melewati batas ruang dan waktu. E-commerce sebagai pradigma baru di dunia perdagangan tidak begitu saja muncul ke permukaan. Ia harus melewati beberapa tahapan sebelum akhirnya menjadi suatu paradigma yang mapan. Dalam pergolakan masa krisis itulah e-commerce diuji, apakah layak disebut sebagai paradigma baru atau tidak. Dengan adanya pengaruh globalisasi dan meningkatnya kebutuhan akan informasi dan teknologi, maka membuat e-commerce menjadi mudah berkembang. Setelah memasuki tahap kemapanan paradigma, maka e-commerce memasuki babak ilmu baru. Ia harus membuktikan bahwa sebagai suatu ilmu, e-commerce harus dapat bertahan dan mematangkan eksistensi nya.

DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku

Adolf, Huala. 2005. Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

AK, Syahmin. 2006. Hukum Dagang Internasional. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

Hariningsih, SP. 2005. Teknologi Informasi. Jakarta: Graha Ilmu

Kantaatmadja, Mieke Komar et. al. 2002. Cyberlaw: Suatu Pengantar (Seri Dasar Hukum Ekonomi). Bandung: ELIPS II

Mansur, Didik M. Arief dan Elisatiris Gultom. Cyber Law: Aspek Hukum Teknologi Informasi. Cet-2. Bandung: PT. Refika Aditama

Makarim, Edmon. 2004. Kompilasi Hukum Telematika. Cet-2. Jakata: PT. RajaGrafindo Persada

Purbo, Onno W. 2001. Mengenal E-Commerce. Jakarta: Elexmedia Komputindo

Ramli, Ahmad M. 2006. Cet-2.  Cyberlaw dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama

Riswandi, Budi Agus. 2006. Hukum Cyberspace. Yogyakarta: Gita Nagari

Sanusi, M. Arsyad. 2001. E-Commerce: Hukum dan Solusinya. PT. Mizan Grafika Sarana

Sanusi, M. Arsyad. 2005. Hukum Teknologi Informasi. Cet-3. Tim KemasBuku

Shidarta, Bernard Arief. 2000. Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia. Bandung: Penerbit Mandar Maju. 

Suherman, Ade Maman. 2001. Aspek Hukum dalam Ekonomi Global. Jakarta: Ghalia Indonesia

Suparni,, Niniek. 2009. Cet-1. Cyberspace: Problematika dan Aspek Pengaturannya. Jakarta: Penerbit Sinar Grafika

Susanti, Ida dan Bayu Seto. 2003. Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti

Surajiyo. 2009. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia: Suatu Pengantar. Cet-4. Jakarta: Bumi Aksara. 

Susanti, Ida dan Bayu Seto. 2003. Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Ustadianto, Riyeke. 2001. Cet-1. Framework E-Commerce. Yogyakarta: Penerbit Andi

Vardiansyah, Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Jakarta: Penerbit Indeks. 2008

Wahid, Abdul dan Mohammad Labib. 2005. Kejahatan Mayantara: Cyber Crime. Bandung: PT. Refika Aditama

Wiradipradja, E. Saefullah,  et. al. Cyber Law: Suatu Pengantar, Perspektif Hukum Internasional tentang Cyberlaw. Bandung: Ellips II

Zein, Yahya Ahmad. 2009. Kontrak Elektronik dan Penyelesaian Sengketa Bisnis E-          Commerce: Dalam Transaksi Nasional dan Internasional. Bandung: Mandar Maju


Jurnal Ilmiah

Sjahdeini, Sutan Remy. 2001. “E-Commerce: Tinjauan dari Perspektif Hukum”. Jurnal Hukum Bisnis. Volume 12 Tahun 2001. Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis

Soepraptomo, Heru. 2001. “Kejahatan Komputer dan Siber serta Antisipasi Pangaturan dan Pencegahannya di Indonesia”. Jurnal Hukum Bisnis. Volume 12 Tahun 2001. Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis


Karya yang Tidak Diterbitkan

Emirzon, Joni dan Firman Muntaqo. Bahan Ajar Filsafat Ilmu oleh Prof. Dr. Liek Wiliardjo. Semarang: PDIH Universitas Diponegoro (Tidak Dipublikasikan)

Melia, Dita. 2008. Landasan Teoritis Unsur Kesepakatan Para Pihak dalam Perjanjian E-Commerce. Skripsi. Inderalaya: Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya.

C.A Van Peursen, 2005, Filsafat Ilmu-Ilmu, diterjemahkan oleh B. Arief Sidartha, Bandung: Pusat Kajian Humaniora Universitas Katolik Parahiyangan (Tidak untuk Dipublikasikan)

Salman, M. Fikri et. al., 2006. Bahan Ajar Hukum Dagang. Inderalaya: Penerbit Bagian Hukum dan Bisnis, Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya (Tidak untuk Diterbitkan)

Wiratno, Hendra. 2009. Analisis mengenai Penerapan Ketentuan Pajak pada Transaksi E-Commerce. Skripsi. Inderalaya: Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya.


Kamus

Tim Pustaka Phoenix. 2009. Cet-4. Edisi Revisi. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Baru). Jakarta: PT. Media Pustaka Phoenix


Internet dan lainnya

http://nusantaranews.wordpress.com/2009/02/28/daftar-jumlah-pengguna-internet-dunia-1995-2008/ diakses pada hari Rabu. 21 Juli 2010. Pukul 19.17 WIB

http://www.internetworldstats.com/stats.htm, diakses pada hari Rabu, 21 Juli 2010,  Pukul 19.17 WIB.

Maghfirah, Eshter Dwi. Perlindungan Konsumen dalam E-Commerce. Fakultas     Hukum Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. diakses dari http://www.pkditjenpdn.depdag.go.id/.../index.php?Perlindungan%20Konsumen%20Dalam%20E...- pada hari Rabu. 21 Juli 2010. Pukul 13.56 WIB

Running Text pada acara Metro Hari Ini pada hari Jum’at. 28 Mei 2010. Pukul 17.25          WIB

http://www.scribd.com/doc/52234149/51/Paradigma-Kuhn-menurut-Larry-Laudan. Dikutip pada hari Selasa (13/12/2011), pukul 09.20 WIB

http://filsafat.kompasiana.com/2010/05/27/sekilas-tentang-periodesasi-ilmu-hingga-lahirnya-paradigma-kuhn/, diakses pada hari Senin (12/12/2011), pukul 09.18 WIB

http://blog.unsri.ac.id/hidayati/filsafat-ilmu/paradigma-kuhn/mrdetail/29380, diakses pada hari Senin (12/12/2011), pukul 09.57 WIB

http://ilmubagi.blogspot.com/2010/11/paradigma-ilmu-positivisme.html, diakses pada hari Selasa (13/12/2011), pukul 07.53 WIB

http://filsafat.kompasiana.com/2010/05/27/sekilas-tentang-periodesasi-ilmu-hingga-lahirnya-paradigma-kuhn/, diakses pada hari Selasa (13/12/2011), pukul10.18 WIB

http://www.askapfutures.com/index.php/knowledges/bacaan-umum/45-sejarah-perdagangan-komoditi, diakses pada hari Selasa (13/12/2011), pukul 11.12 WIB

http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/1786497-sains-normal-dan-revolusi-sains/#ixzz1gHAasYbT. Diakses pada hari Rabu (14/12/2011), pukul 15.33 WIB


Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)

Indonesia, Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No. 11 Tahun 2008, LN Tahun 2008 Nomor 58, TLN Nomor 4843



[1] Marleny Aribah, dalam http://filsafat.kompasiana.com/2010/05/27/sekilas-tentang-periodesasi-ilmu-hingga-lahirnya-paradigma-kuhn/, diakses pada hari Senin (12/12/2011), pukul 09.18 WIB
[2] Asasl usul ditemukannya ilmu filsafat di tanah Yunani masih menjadi perdebatan hangat. Ach. Maimun Syamsuddin menyatakan, pada umumnya para ilmuwan menganggap bahwa tanah tumpah darah filsafat adalah Yunani. Namun Al-Farabi dalam Tahsil al-Sa’adahmencatat bahwa orang-orang Kaldan (kawasan Mesopotamia) sejak zaman purba merupakan pemilik tradisi filsafat yang diwarisi orang-orang Mesir lalu turun ke Yunani. Di Yunani inilah memang tradisi mencari kearifan dilakukan lebih intensif, dengan metode yang kian teratur dan sistematis, berusaha melepaskan diri dari berbagai mitos.
Begitu juga halnya dengan Muhammad Al Bahi dalam Al-Janibul Ilahi minat afkiril Islami menerangkan pula adanya sumber-sumber filsafat termasuk dari kebudayaan Timur yakni dari agama-agama Aria, yaitu: Brahma, Budha, Zuruastra dan Manu, serta dari agama-agama Semit, yaitu: Yahudi dan Masehi (Kristen).
Pendapat sama juga dikemukakan oleh Al Bahi,yang menyatakan, filsafat Greek (Yunani) bukanlah ciptaan para filsuf Greek. Bukti dan argumen yang dikemukannya adalah bahwa di dalam filsafat Yunani terdapat hubungan dengan agama primitif Yunani yang menjadi unsur-unsur filsafatnya. Contohnya, filsafat Yunani menjadikan “api hiraqlith” sebagai asal alam, sebagai indikasi bahwa ada pengaruh agama Timur di dalamnya, sebab penyucian dengan api pada umumnya ada di agama-agama Timur. Selain itu dalam filsafat Yunani juga menjadikan “akal iliyah-i” sebagai asal alam, barangkali adalah konklusi penyucian jiwa, sebagai asal akidah agama primitif. Lihat Subagyo, dalam http://ilmubagi.blogspot.com/2010/11/paradigma-ilmu-positivisme.html, dikutip pada hari Selasa (13/12/2011), pukul 07.53 WIB
[3] Ibid.
[4] Hidayati, dalam website blog http://blog.unsri.ac.id/hidayati/filsafat-ilmu/paradigma-kuhn/mrdetail/29380, diakses pada hari Senin (12/12/2011), pukul 09.57 WIB
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Dani Vardiansyah, Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Jakarta: Penerbit Indeks, 2008, hlm.  20
[8] Hidayati, Loc.cit
[9] Ibid.
[10] Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia: Suatu Pengantar, Cet-4, Jakarta: Bumi Aksara, 2009, Hlm. 70
[11] Subagyo, Loc.cit
[12] Joni Emirzon dan Firman Muntaqo,Bahan Ajar Filsafat Ilmu oleh Prof. Dr. Liek Wiliardjo, Semarang: PDIH Universitas Diponegoro (Tidak Dipublikasikan), hlm. 14
[13] Baca juga Joni Emirzon dan Firman Muntaqo,Op. cit., hlm. 13. Metode serupa juga dikemukakan oleh Karl R. Popper dengan istilah lain, yaitu “Metode Dedukto-Falsifikasi”. Yang menerapkan konsep: (i) masalah, (ii) teori, (iii) ramalan teruji, (iv) falsifikasi (berhasil, maka teori tumbang, atau gagal, maka akan menciptakan pengetahuan baru), (v) kalau ada beberapa teori yang bersaing maka diperlukan teori yang lebih baik (tata, saksama, rampat, dan apik).
[14] Surajiyo, Op. cit., hlm. 62
[15] Hidayati, Loc. cit
[16] Ibid.
[17] Laurry Laudan, dalam http://www.scribd.com/doc/52234149/51/Paradigma-Kuhn-menurut-Larry-Laudan. Dikutip pada hari Selasa (13/12/2011), pukul 09.20 WIB
[18] Ibid.
[19] Marleny Aribah, Loc. cit ; lihat juga C.A Van Peursen, 2005, Filsafat Ilmu-Ilmu, diterjemahkan oleh B. Arief Sidartha, Bandung: Pusat Kajian Humaniora Universitas Katolik Parahiyangan (Tidak untuk Dipublikasikan), hlm. 19
[20] Bernard Arief Shidarta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Bandung: Penerbit Mandar Maju, 2000, hlm. 89
[21] Surajiyo, Op.cit., hlm. 70
[22] Dari beberapa survei yang dilakukan, mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan pendapat antara para praktisi dan para peneliti di dalam memandang e-commerce. Kalangan praktisi cenderung memandang e-commerce dalam arti sempit, yaitu hanya sebagai proses jual beli barang yang dilakukan melalui internet. Sebaliknya, kebanyakan peneliti lebih cenderung memandang e-commerce dalam arti luas, yaitu e-commerce dimaknai lebih daripada sekedar jual beli barang melalui internet, tetapi mencakup pula berbagai aktifitas pra jual beli dan pasca jual beli yang dilakukan untuk memfasilitasi fokus perusahaan pada konsumen. Lihat M. Arsyad Sanusi, 2005, Hukum Teknologi Informasi, Cet-3, Tim KemasBuku, (selanjutnya disebut M. Arsyad Sanusi I), hlm. 135
[23] Tim Pustaka Phoenix, 2009, Cet-4, Edisi Revisi, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Baru), Jakarta: PT. Media Pustaka Phoenix, hlm. 166
[24] Ibid., hlm. 216
[25] Niniek Suparni, 2009, Cet-1, Cyberspace: Problematika dan Aspek Pengaturannya, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, hlm. 30
[26] Didik M. Arief Mansur dan Elisatiris Gultom, Cyber Law: Aspek Hukum Teknologi Informasi, Cet-2, Bandung: PT. Refika Aditama, hlm. 170
[27] M. Arsyad Sanusi, 2001, E-Commerce: Hukum dan Solusinya, PT. Mizan Grafika Sarana, (selanjutnya disebut M. Arsyad Sanusi II), hlm. 14
[28] Riyeke  Ustadianto, 2001,  Framework E-Commerce, Cet-1, Yogyakarta: Penerbit Andi, hlm. 139. Dalam bukunya, Riyeke Ustadiyanto menyimpulkan bahwa “e-commerce is a part of e-business”
[29] Howard E. Abrams sebagaimana dikutip dari Didik M. Arief Mansur dan Elisatiris Gultom, Loc. cit
[30] Electronic Transaction atau yang dikenal dengan Transaksi Elektronik adalah suatu perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Lihat Indonesia, Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No. 11 Tahun 2008, LN Tahun 2008 Nomor 58, TLN Nomor 4843 (selanjutnya disebut UU ITE), Pasal 1 angka 2
[31] David Baum sebagaimana dikutip oleh Onno W. Purbo, 2001, Mengenal E-Commerce, Jakarta: Elexmedia Komputindo, hlm. 2
[32] M. Fikri Salman, et. al., 2006, Bahan Ajar Hukum Dagang, Inderalaya: Penerbit Bagian Hukum dan Bisnis, Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, hlm. 47
[33] Niniek Suparni, Loc. cit
[34] Ade Maman Suherman, 2001, Aspek Hukum dalam Ekonomi Global, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 179
[35] M. Arsyad Sanusi II, hlm. 15
[36] Niniek Suparni, Op. cit., hlm. 32
[37] Lihat selengkpanya di website http://www.askapfutures.com/index.php/knowledges/bacaan-umum/45-sejarah-perdagangan-komoditi, diakses pada hari Selasa (13/12/2011), pukul 11.12 WIB
[38] Ibid.
[39] Ibid.
[40] Menurut Ade Maman Suherman, teknologi informasi dikategorikan sebagai revolusi industri tahap ketiga (tahun 1950-sekarang), setelah sebelumnya revoulsi industri pertama (tahun 1760-1840) dan revolusi industri kedua (tahun 1840-1950). Pada masa revolusi industri tahap ketiga ini, semua tingkatan masyarakat industri sangat bergantung pada kegiatan ekonomi yang berbasiskan informasi, dimana peranan teknologi komputer memiliki peranan yang sangat menentukan, seperti halnya semakin banyaknya praktik bisnis yang sangat bergantung pada IT (Information Technology), khususnya komputer. Lihat Ade Maman Suherman, 2001, Op. cit., hlm. 178
[41] Ade Maman Suherman dalam Yahya Ahmad Zein, 2009, Kontrak Elektronik dan Penyelesaian Sengketa Bisnis E-Commerce: Dalam Transaksi Nasional dan Internasional, Bandung: Mandar Maju, hlm. 1
[42] Baca Ahmad M. Ramli, 2006, Cet-2,  Cyberlaw dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia, Bandung: PT. Refika Aditama, hlm. 1
[43] Periksa Indonesia, Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No. 11 Tahun 2008, LN Tahun 2008 Nomor 58, TLN Nomor 4843 (selanjutnya disebut UU ITE), Penjelasan
[44] M. Arsyad Sanusi, 2005, Hukum Teknologi Informasi, Cet-3, Tim KemasBuku, (selanjutnya disebut M. Arsyad Sanusi I), hlm. 1
[45] Ibid., hlm. 4
[46] Ibid., hlm. 5
[47] Byron Belistos dan Jay Misra dalam Edmon Makarim, 2004, Kompilasi Hukum Telematika, Cet-2, Jakata: PT. RajaGrafindo Persada, hlm. 3
[48] Didik J. Rachbini dalam Didik M. Arief Mansur dan Elisatiris Gultom, Cyber Law: Aspek Hukum Teknologi Informasi, Cet-2, Bandung: PT. Refika Aditama, hlm. 1
[49] Ada perdebatan dari para ahli, apakah hukum di dunia nyata juga berlaku pada dunia siber (cyberspace) atau tidak. Baca Sutan Remy Sjahdeini, 2001, “E-Commerce: Tinjauan dari Perspektif Hukum”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 12 Tahun 2001, Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, hlm. 18
[50] Baca Heru Soepraptomo, 2001, “Kejahatan Komputer dan Siber serta Antisipasi Pangaturan dan Pencegahannya di Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 12 Tahun 2001, Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, hlm. 1
[51] Manfred B Steger sebagaimana yang dikutip oleh Hendra Wiratno, 2009, Analisis mengenai Penerapan Ketentuan Pajak pada Transaksi E-Commerce, Skripsi, Inderalaya: Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, hlm. 1; Lihat juga Ida Susanti dan Bayu Seto, 2003, Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 3
[52] Tonelson dalam Dita Melia, 2008, Landasan Teoritis Unsur Kesepakatan Para Pihak dalam Perjanjian E-Commerce, Skripsi, Inderalaya: Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, hlm. 2; Pendapat lain juga dikemukakan oleh A. Nawawi Rambe yang memandang globalisasi sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kahidupan baru atau kesatuan koeksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geogragfis, ekonomi dan budaya masyarakat. A. Nawawi Rambe dalam Abdul Wahid dan Mohammad Labib, 2005, Kejahatan Mayantara: Cyber Crime, Bandung: PT. Refika Aditama, hlm. 4
[53] Menurut E. Saefullah, hubungan interaksi dalam globalisiasi yang melalui konsep teknologi informasi tidak lagi terjadi secara fiskal, melainkan interkasi yang terjadi secara virtual atau cyberspace (dunia maya). Lihat E. Saefullah Wiradipradja, et. al, Cyber Law: Suatu Pengantar, Perspektif Hukum Internasional tentang Cyberlaw, Bandung: Ellips II, hlm. 88
[54] Alvin Toffler sebagaimana yang dikutip oleh Eshter Dwi Maghfirah, Perlindungan Konsumen dalam E-Commerce, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, diakses dari http://www.pkditjenpdn.depdag.go.id/.../index.php?Perlindungan%20Konsumen%20Dalam%20E...- pada hari Rabu, 21 Juli 2010, Pukul 13.56 WIB
[55] Secara singkat, internet adalah sebuah alat penyebaran informasi secara global, sebuah mekanisme penyebaran informasi dan sebuah media untuk berkolaborasi dan berinteraksi antar individu dengan menggunakan komputer tanpa terhalang batas geografis. Periksa Riyeke Ustadianto, 2001, Framework E-Commerce, Cet-1, Yogyakarta: Penerbit Andi, hlm. 1; Sementara itu, SP Hariningsih, mengemukakan bahwa internet adalah media komunikasi alternatif yang dalam batas-batas pemakaian tertentu dapat digunakan untuk menggantikan media komunikasi tradisionil, seperti pos, telepon, dan fax. Baca SP Hariningsih, 2005, Teknologi Informasi, Jakarta: Graha Ilmu, hlm. 125
[56] Yahya Ahmad Zein, Op. cit., hlm. 3
[57] Ada beberapa, konsep-konsep baru dalam aktivitas manusia yang berhubungan dengan internet, di antaranya e-education, e-goverment, e-democracy, e-commerce, dan e-business. Lihat Budi Agus Riswandi, 2006, Hukum Cyberspace, Yogyakarta: Gita Nagari, hlm. 19
[58] http://nusantaranews.wordpress.com/2009/02/28/daftar-jumlah-pengguna-internet-dunia-1995-2008/ diakses pada hari Rabu, 21 Juli 2010, Pukul 19.17 WIB. Data ini didasarkan pada Internet World Stats. Lihat juga  http://www.internetworldstats.com/stats.htm
[59] Ibid.
[60] Indonesia Corrupton Watch (ICW) merilis temuan barunya bahwa pengadaan barang dan jasa dengan cara online (internet) lebih hemat biaya 30% dibanding manual. Dimuat dalam Running Text pada acara Metro Hari Ini pada hari Jum’at, 28 Mei 2010, Pukul 17.25 WIB
[61] Baca Mieke Komar Kantaatmadja et. al, 2002, Cyberlaw: Suatu Pengantar (Seri Dasar Hukum Ekonomi), Bandung: ELIPS II, hlm. 28
[62] Yahya Ahmad Zein, Loc. cit; Lihat juga Didik M. Arief Mansur dan Elisatiris Gultom, Op. cit, hlm. 150-152
[63] Didik M. Arief Mansur dan Elisatiris Gultom, Op. cit, hlm. 144
[64] Menurut Pasal 1457 KUHPerdata, Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Lihat Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 1983, Cet-16, Jakarta: Pradnya Paramita, hlm. 327
[65] Didik M. Arief Mansur dan Elisatiris Gultom, Loc. cit
[66] Di sebagian negara-negara yang tergabung dalam Masyarakat Ekonomi Eropa telah memberikan garis-garis petunjuk kepada para negara anggotanya dengan memberlakukan sistem 3 (tiga) klik. Cara kerja sistem ini adalah: Petama, seteleah calon pembeli melihat di layar komputer adanya penawaran dari calon penjual (klik pertama), maka calon pembeli memberikan penerimaan terhadap penawaran tersebut (klik kedua), dan masih diisyaratkan adanya peneguhan dan persetujuan dari penjual ke calon pembeli perihal diterimanya penerimaan dari calon pembeli (klik ketiga). Sistem tiga klik ini jauh lebih aman daripada sistem dua klik yang berlaku sebelumnya. Sebab dalam sistem dua klik, penjual dapat mengelak dengan menyatakan kepada calon pembeli bahwa ia tidak pernah menerima “penerimaan” dari calon pembeli dan ini tentunya akan merugikan calon pembeli. Baca Edmon Makarim, Op. cit, hlm. 235
[67] Assafa Endeshaw dalam Huala Adolf, 2005, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada (selanjutnya disebut Huala Adolf I), hlm. 161
[68] Richard Roserrance sebagaimana dikutip oleh Yahya Ahmad Zein, Op. cit, hlm. 5
[69] Baca Syahmin AK, 2006, Hukum Dagang Internasional, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, hlm. 16
[70] Yahya Ahmad Zein, Loc. cit
[71] EDI merupakan singkatan dari Electronic Data Interchange
[72] EFT merupakan singkatan dari Electronic Funds Transfer
[73] M. Arsyad Sanusi, 2001, E-Commerce: Hukum dan Solusinya, PT. Mizan Grafika Sarana, (selanjutnya disebut M. Arsyad Sanusi II), hlm. 18
[74] Hal ini dikenal dengan konsep Telemarketing, yaitu perdagangan jarak jauh dengan menggunakan media internet, dimana suatu perdagangan tidak lagi membutuhkan pertemuan antar pelaku bisnis. Yahya Ahmad Zein, Loc. cit
[75] Ade Maman Suherman, Loc. cit
[76] M. Arsyad Sanusi I, hlm. 151
[77] Ibid.
[78] Ibid., hlm. 152
[79] Yahya Ahmad Zein, 2009, Kontrak Elektronik dan Penyelesaian Sengketa Bisnis E-Commerce: Dalam Transaksi Nasional dan Internasional, Bandung: Mandar Maju, hlm. 54
[80] M. Arsyad Sanusi II, hlm. 20
[81] Ibid.
[82] Edmon Makarim, 2004, Kompilasi Hukum Telematika, Cet-2, Jakata: PT. RajaGrafindo Persada, hlm. 225
[83] M. Arsyad Sanusi I, hlm. 154
[84] Ibid.
[85] Elvira Syamsir dalam http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/1786497-sains-normal-dan-revolusi-sains/#ixzz1gHAasYbT. Diakses pada hari Rabu (14/12/2011), pukul 15.33 WIB

Palembang, Oktober 2011
M. Alvi Syahrin

No comments:

Post a Comment