Wednesday, July 24, 2013

RELEVANSI HUKUM ADAT DI ERA GLOBAL: DISTORSI IDEALIKA DAN REALITA


Degradasi Nilai Hukum Adat
Banyak pihak yang menyimpulkan bahwa mempelajari hukum adat adalah orang yang tidak mengikuti perkembangan  zaman. Orang yang mempelajari hukum adat dianggap kuno. Bahkan saat ini saja, kita sulit untuk menemukan dosen atau orang yang menaruh perhatian lebih terhadap hukum adat. Lebih dari itu, dalam pandangan orang yang positivistik, hukum adat dipandang bukan sebagai hukum dalam konteks sebenarnya, melainkan hanya kaidah yang berisikan norma yang membicarakan hal yang ideal. Ia tidak dapat dikualifikasikan sebagai ajaran hukum modern yang sesuai dengan tuntutan abad globalisasi.

Kira-kira seperti itulah gambaran eksistensi hukum adat di tengah kehidupan bernegara di Republik Indonesia yang kita cintai ini. Hukum adat kini telah hilang jati dirinya sebagai landasan dasar berbangsa. Sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat beratus-ratus tahun lalu, tidak salah apabila kita tetap mempertahankan hukum adat sebagai bagian dari sistem dan struktur hukum di Indonesia. Bukankah konstitusi kita telah mengakui keberadaan hukum adat dalam rumusan pasal-pasal nya? Lalu apa yang salah, sehingga kita seakan durhaka terhadap pendiri bangsa ini. Tidak lain karena kita sudah melupakan nilai-nilai adi luhum (nilai yang lebih tinggi dari nilai luhur) yang terdapat dalam hukum adat yang kemudian dikristalisasikan dan dijewantahkan dalam sila-sila Pancasila.

Dewasa ini, masyarakat kita (mungkin termasuk penulis sendiri) mungkin sudah lupa bahkan tidak peduli lagi dengan apa itu hukum adat. Hukum adat hanya ditafsirkan sebagai warisan hukum kuno yang tidak relevan dengan perkembangan globalisasi. Hukum adat hanya dianggap sebagai hukum pelengkap yang hanya dipakai ketika diperlukan saja. Ia tidak menjadi dasar berpikir bagaimana bangsa ini sejatinya didirikan atas keberagaman adat. Sebagai bukti, di hampir setiap fakultas hukum, hukum adat hanya diberikan porsi sks (sistem kredit semerter) dalam batas minimal, yaitu 2 sks. Yang lebih memprihatinkan, ketika sudah memasuki tahap pemilihan pembidangan hukum, maka tidak ada satu pun mahasiswa/i yang berminat untuk menekuni hukum adat. Sehingga tidak heran apabila, regenarasi pengajaran hukum adat mengalami staganasi yang luar biasa dan tentunya ini akan berdampak bagaimana eksistensi hukum adat di Indonesia ke depannya.

Relevansi Hukum Adat di Era Global: Tantangan Atas Realita
Terkait dengan relevansi hukum adat di era global, maka perbincangan dalam beberapa halaman kertas ini, tidak akan cukup untuk membahasnya. Dalam tantangan global yang semakin mengancam, maka hukum adat mengalami dilema paradigma. Di satu sisi mempertahankan hukum adat menjadi suatu kewajiban bangsa yang tidak dapat ditawar-tawar lagi, tapi di sisi lain mempertahankan hukum adat ibarat bumerang bagi pemerintah dalam melakukan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Inilah yang akan menjadi diskursus kontemporer yang kita alami sekarang.

Dalam mengahadapi era globalisasi, dimana untuk mengikuti pola menjadi suatu yang terelakkan lagi, maka keberlangsungan hukum adat menjadi sangat penting. Pada posisi ini, ia tidak lagi sebatas hukum asli indonesia yang harus dijaga keberadaannya, tapi lebih dari itu, hukum adat seyogya-nya memiliki fungsi sebagai “alat filter” bagi masuknya pengaruh asing di Indonesia. Filterisasi inilah yang pada saat ini tidak dimiliki oleh kita sebagai bangsa yang besar. Hukum adat menjadi tidak berdaya ketika dihadapkan pada intervensi asing. Ini dikarenakan hukum adat tidak dipelajari, dipahami, dan diterapkan secara mendalam oleh masyarakat.

Berikut adalah contoh ketika hukum adat dapat melakukan filterisasi nilai global, tapi akan menghambat misi pemerintah dalam menciptakan pembangunan global, yaitu bagaimana norma-norma dalam paket UU HAKI tidak berjalan efektif di Indonesia. Hal ini dikarenakan, semangat dan jiwa yang terkandung dalam UU itu bukanlah berasal dari nilai-nilai yang terkandung dalam hukum adat. Masyarakat Indonesia (dalam beberapa wilayah tertentu) masih menganut dan memahami nilai “kolektivistik-spiritualistik”. Nilai ini menggiring masyarakat agar untuk bersikap saling tolong menolong dalam menciptakan susana kebersamaan (nilai kolektivistik), sehingga bagi mereka sendiri hal ini akan mendekatkan diri kepada sang pencipta (spritualistik). Nah kemudian, sebagai bagian dari tuntutan global, maka kehadiran paket UU HAKI tentunya ingin melindungi hak-hak komersial bagi setiap individu (nilai individuailistik – komersialistik) dalam menciptakan sesuatu hal yang baru. Apabila kutub nilai global ini dihadapkan, maka akan menciptakan pertarungan nilai yang tidak akan bertemu. Sehingga tidak heran apabila paket UU HAKI ini tidak akan berjalan efektif di Indonesia, karena pengaruh hukum adat di beberapa wilayah tertentu masih tetap terjaga.

Contoh realita lain adalah, bagaimana usaha masyarakat Minang (Sumatera Barat) untuk tetap mempertahankan nilai-nilai hukum adat di wilayahnya. Kita sudah mahfum apabila investasi di Sumatera Barat tidak berjalan efektif dan cenderung stganan, sehingga pembangunan di provinsi ini tertinggal jauh untuk level Pulau Sumatera. Ini bukan karena Sumatera Barat tidak memiliki potensi investasi, tetapi yang menjadi permasalahan adalah masyarakat adat disana tetap menjunjung tinggi nilai adat. Sehingga untuk BUMN sekelas PT. Semen Padang pun harus rela melakukan “profit sharing” kepada masyarakat setempat, karena PT. Semen Padang telah menggunakan tanah ulayat dalam melakukan aktivitas produksi-nya.

Begitu juga sebaliknya ketika nilai global dapat mengintervensi nilai hukum adat. Kita ambil contoh kasus populer belakangan ini, yaitu kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Kabupaten Mesuji (Sumsel – Lampung). Kejahatan luar biasa ini tidak akan terjadi seandainya kita kembali pada nilai-nilai yang terkandung dalam hukum adat itu sendiri (baca: Pancasila). Secara sederhana, hal ini dilatarbelakangi adanya pengambil-alihan tanah adat oleh perusahaan perkebunan secara sepihak, sehingga menimbulkan reaksi protes oleh warga yang kemudian berhadapan dengan PAM Swakarsa dari pihak perusahaan. Alhasil tindakan kekerasan pun tidak terelakkan lagi.

Konflik agraria semacam ini, pada dasarnya tidak hanya terjadi di Kabupaten Mesuji saja, tapi dapat penulis pastikan hampir semua daerah di Indonesia juga mengahadapi problem yang sama. Dan akar permasalahannya pun sama, yaitu tidak adanya “political will” yang sunguh-sungguh dari pemerintah untuk melindungi dan menghargai hukum adat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem hukum di Indonesia.

Seharusnya kita tidak dapat menyalahkan pengaruh globalisasi dalam konteks kekinian. Setiap negara tentunya tidak dapat menafikan keberadaan negara lain. Sehingga bukan menjadi hal tabu apabila terdapat akulturasi dan intervensi budaya asing untuk masuk dalam tatanan budaya Indonesia. Tapi kita juga perlu memperkuat dan mempertahankan nilai hukum adat, agar kita tidak terlalu jauh mengikuti arus global.

Contoh menarik yang dapat kita jadikan pelajaran adalah bagaimana Jepang yang mampu memasuki abad modern dengan tetap mempertahankan dan menjaga kepribadian sosial dan kulturalnya. Kemampuan tersebut menempatkan Jepang dalam posisi yang serba sulit. Pada satu sisi harus menerima dan menggunakan institusi modern (birokrasi, demokrasi, dan hukum), tapi di sisi lain mempertahankan hukum adat nya menjadi hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu, untuk tetap mempertahankan “ke-jepangan-nya” tersebut, maka bangsa ini menciptakan berbagai konstruksi nilai agar bisa dengan aman “mendamaikan” Jepang dengan modernitas dan pengaruh barat.

Misalnya dibuatlah metode konstruksi “omote” dan “ura”, atau depan dan belakang. Maksudnya, hal-hal yang datang dari dunia luar hanya boleh bergerak di ranah omote, tetapi tidak masuk sampai ke ranah ura. Dalam hukum kemudian dibangun konstruksi “tatemae  dan “honne”, dimana hukum modern hanya akan diterima sebagai “tatemae” (formal acceptance), tetapi tidak sampai ke tingkat “honne” (nurani Jepang). Hal tersebut menyebabkan Jepang harus melakukan “Japanese Twist” untuk mempertahankan ke-jepangan-nya. Atau dalam kalimat sederhana, Jepang menciptakan prinsip: “ambil semua yang baik-baik dari barat, kemudian buang jauh-jauh hal yang buruk dari barat”. Hal ini lah yang sampai saat ini  belum dapat diterapkan secara komprehensif oleh bangsa Indonesia. Pemahaman yang masih minim dalam kehidupan sehari-hari menjadi salah satu faktor dominan melemahnya penerapan hukum adat di Indonesia.

Persepsi yang berkembang selama ini menyatakan bahwa dengan tetap menggunakan hukum adat, maka suatu negara tidak akan pernah menjadi negara maju. Negara yang masih menjunjung nilai hukum tradisional dipastikan tidak dapat bersaing di kancah internasional. Namun, apabila kita melihat kiprah Malaysia, Amerika, Inggris, dan negara-negara Common Law lainnya, maka hipotesa demikian dapat dengan mudah dipatahkan. Persoalannya bukan terletak pada sistem hukum adatnya, tetapi bagaimana hukum adat (hukum tidak tertulis) itu dapat diselaraskan dengan tuntuntan penerapan hukum modern (hukum positivistik). Relevansi di antara keduanya memiliki kaitan yang sangat erat. Sekarang tinggal bagaimana pemerintah dapat menyerasikan keduanya dalam format aturan yang progresif.

Kita dapat lihat bagaimana, Inggris dengan “customary law” (hukum kebiasaan) nya dapat bersaing di percaturan global. Lantas apakah kita dengan mudah menyalahkan hukum adat lalu meninggalkannya? Bukan itu solusi yang diharapkan. Seharusnya, sebelum republik ini sepakat untuk terjun di konteks global, maka sudah menjadi kewajiban agar pemerintah menguatkan terlebih dahulu sendi-sendi kehidupan masyarakat adat yang ada di daerah. Dengan adanya pemahaman dan penguatan secara struktural, maka fungsi hukum adat sebagai alat filterisasi dapat berjalan dengan semestinya. Bukan dengan cara terburu-buru meratifikasi Konvensi Internasional, tetapi fondasi masyarakat kita lemah.

Tawaran Solusi Progresif
Atas dasar tersebut, maka setidaknya ada 4 (empat) solusi progresif yang penulis tawarkan dalam “meredakan” konflik antara pengaruh globalisasi terhadap ekistensi hukum adat. Pertama, menjadikan mata kuliah hukum adat sebagai mata kuliah wajib di setiap fakultas hukum di Indonesia. Dengan adanya keharusan seperti ini, maka akan menjadi stimulasi bagi para mahasiswa, tidak terkecuali para dosen agar tetap memasukan nilai hukum adat dalam setiap kegiatan ilmiahnya. Kedua, tidak melakuan indoktrinasi hukum adat (baca: Pancasila) dalam setiap level pengajaran, melainkan pengamalan nilai-nilai adat dalam kegiatan sehari-hari. Ketiga, pemberian porsi lebih terhadap nilai-nilai hukum adat dalam setiap perumusan aturan hukum di Indonesia. Apabila persentase selama ini lebih menunjukan arogansi hukum modern (baca: hukum barat) dalam setiap pembuatan aturan hukum, maka logika tersebut harus diubah. Setidaknya 40% berbanding 60% setiap aturan hukum di Indonesia harus memuat ketentaun hukum adat. Empat, melakukan moratorium investasi asing di berbagai sektor strategis

Apabila, keempat model ini dapat diterapkan denga baik, maka konflik horizontal yang terjadi selama ini dapat diminimalisir secara bertahap. Walaupun kita tidak dapat menafikan keberadaan hukum modern sebagai tuntutan dari perkembangan globalisasi, tetapi hukum adat sebagai hukum asli Indonesia juga harus mendapatkan perhatian lebih, agar terciptanya keserasian hukum di tengah masyarakat.

Palembang, November 2011

M. Alvi Syahrin

No comments:

Post a Comment