Wednesday, July 24, 2013

REVOLUSI ILMU HUKUM (+ILMU SOSIAL)



Legisme Hukum
Melihat hukum dalam kerangka ideal, maka kita akan melihat dan menemukan sosok hukum yang kaku dan konvensional. Hukum yang terkungkung dalam dimensi yang normatif dan dogmatik. Pemahamannya pun cenderung tidak progresif, dan malah terkesan lamban. Hukum tidak menjadi suatu panglima, melainkan prajurit yang berada dalam bayang-bayang panglima. Sejatinya itulah kondisi ilmu hukum, tepanya pada pra-revolusi hukum di masa abad ke-19.

Hukum sering kali ditafsirkan sebagai undang-undang. Hukum selain undang-undang bukanlah disebut sebagai hukum. Ia baru dapat dikategorikan sebagai hukum, apabila dijewantahkan dalam format tertulis. Hukum tertulis-lah yang disebut sebagai hukum. Selain itu tentunya bukan menjadi objek kajian hukum.

Paham ini berkembang di dataran eropa (kontinental) yang dipelopori oleh para kaum prolektat Prancis. Sistem ini menghendaki adanya kodifikasi sistem hukum, guna memperluas pengaruh hukum tertulis pada masanya. Paham ini kian berpengaruh dan menjadi besar, ketika banyak negara eropa mulai melakukan ekspansi imperialisme pada negara jajahannya. Dengan menerapkan asas konkordansi, maka secara tidak langsung negara jajahan seperti Indonesia juga “dipaksakan” untuk bertransformasi untuk menggunakan hukum tertulis.

Itulah sejarah singkat keberadaan ilmu hukum dalam konteks tertulis. Di Indonesia sendiri, paham ini lebih dikenal dengan sebutan aliran positivistik atau aliran legisme, yang banyak dianut oleh para pemikir hukum pidana. Memang tidak ada salahnya dengan kajian aliran ini. Namun, banyak pihak yang menyayangkan. Dengan semakin berkembangnya zaman, sudah seharusnya hukum harus ikut berubah mengikuti alur dan watak masyarakat. Sehingga paham hitam putih norma, harus mulai ditinggalkan.

Hukum tertulis inilah yang mengakibatkan potret hukum menjadi terbelakang. Ia hanya berorientasi pada cakupan kepastian hukum. Sedangkan dalam pergaulan hukum dunia, kepastian hukum ini telah lambat laun mulai ditinggalkan. Masyarakat tidak peduli dengan aturan tertulis. Mereka lebih menghendaki agar hukum dapat lebih bersahabat. Dalam arti, hukum harus sejalan dengan alam pikir masyarakat bersangkutan. Keberlangsungan hukum tidak dapat dipaksakan begitu saja. Ia memiliki rumus dan formula tertentu, agar mencapai hukum yang paripurna. Dan sayangnya ini tidak terjadi dalam formasi hukum nasional Indonesia.

Kita tidak usah pergi jauh-jauh ke luar negeri untuk mengkaji hukum dalam arti yang luas. Cukup datang ke Indonesia, maka kita akan merasakan atmosfer ketegangan hukum yang begitu kentara. Indonesia diibaratkan sebagai negara bermata pisau dua. Satu sisi, ia memiliki potensi untuk berkembang bersama hukum yang progresif, namun di sisi lain, apabila tidak dikelola dengan baik, maka hal ini dapat menjadi bencana. Padahal Satjipto Rahardjo, seorang begawan sosiologi hukum, berpendapat bahwa “Indonesia adalah laboratorium hukum dan sosial dunia”.

Begitulah sepenggal paragraf yang melatar belakangi paham hukum tertulis yang membuat perkembangan hukum di Indonesia menjadi inkonsistensi. Hukum tidak dapat berkembang secara maksimal. Namun, jangan terlalu cepat untuk menarik kesimpulan bahwa sistem hukumnya yang salah. Kita perlu berpikir jernih dan memandang jauh ke depan. Hukum yang baik adalah hukum yang diambil dari akar budaya masyarakatnya. Bukan konkordansi hukum, apalagi transpalantasi hukum yang marak belakangan ini.

Revolusi Ilmu Hukum (+Ilmu Sosial)
Hukum perlu fondasi kuat untuk dapat konsisten menghadapi berbagai problema masyarakat. Sejauh ini, hukum hanya menjadi mesin penguasa, sehingga taji hukum menjadi sangat rigit dan konvensional. Tidak ada sisi humanis di dalamnya. Kalaupun ada itu merupakan transplantasi dari hukum barat, yang dicangkokkan mentah-mentah ke dalam sistem hukum Indonesia. Tentunya resiko terkecil adalah adanya penolakan. Bukankah begitu seharusnya? Dan itulah yang terjadi saat ini.

Hukum menjadi konvensional, bukanlah hal baru. Konsep hukum ini berkembang dan bertahan dari awal imperialisme berdiri di Indonesia. Eksesnya baru dirasakan, ketika hukum dihadirkan dalam tataran reformasi pada saat ini. Hukum menjadi tidak berdaya. Ia jauh ketinggalan dari masyarakat.

Oleh karenanya, revolusi hukum menjadi sangat penting, ketika masyarakat menghendaki adanya kesesuaian antara tekstual norma terhadap watak dan perilaku masyarakat. Memang, sejatinya hukum merupakan mesin norma yang sangat bersifat dogmatik. Hukum tidak terikat oleh anasir-anasir sosial. Ia tidak berselingkuh dengan faktor non-hukum. Itulah yang dikembangkan oleh aliran postivistik. Namun, untuk membuat ilmu hukum menjadi lebih hidup dan relevan dalam pergaulan masyarakat, maka hukum harus merubah paradigmanya. Ia harus berevolusi, seperti adanya penolakan berlakunya hukum gereja pada zaman romawi kuno. Oleh karenanya, urgensi perubahan perspektif hukum sangatlah mendesak.

Seperti yang dikemukakan oleh Philippe Nonet, bahwa untuk menjadikan ilmu hukum itu menjadi lebih relevan, humanis, dan berlaku inklusif kepada masyarakat, maka ilmu hukum harus toleran terhadap perkembangan sosial, ekonomi, dan politik. Ia tidak boleh bersifat arogan. Arogansi hukum secara ilmiah, akan dapat mematikan ilmu hukum sendiri. Hukum tidaklah bersifat statis. Ia harus dinamis. Ketika hukum menjadi statis, atau dalam istilah lain mengalami stagnisasi ilmiah, maka disinilah letak penting penetrasi ilmu sosial terhadap hukum. Ilmu sosial sangatlah penting untuk membantu ilmu hukum menjadi lebih baik. Memang, banyak ahli berpendapat kedua bidang ilmu ini tidak dapat berdifusi. Tapi bukan itu permasalahannya. Ketika arogansi dua ilmu ini menukik tajam, maka tentulah hukum yang akan dirugikan. Ilmu hukum tidak dapat berdiri sendiri. Ia membutuhkan ilmu lain untuk menjabarkan apa dan bagaimana ilmu hukum itu.

Masuknya ilmu sosial ke dalam ilmu hukum baru terjadi pada awal abad ke-20. Timbulnya aliran realisme hukum, sosiologi hukum, sosio-legal, critical legal studies, dan hukum progresif di Indinonesia, menjadi bukti bahwa ilmu sosial mulai diperhatikan dan diperhitungkan oleh para ilmuwan hukum. Ini harusnya dapat disadari sejak lama. Hukum yang baik adalah hukum yang berafiliasi dengan masyarakat. Ia tidak boleh bekerja sendiri. Arogansi inilah yang malah akan membuat hukum terjebak dalam paradigmanya sendiri. Adanya pengaruh sosial dan tarik menarik dalam interaksi sosial, akan membuat hukum menjadi lebih kaya makna. Apabila perdebatan selama ini, yang menganggap hukum ada seni (perspektif sosiologi) dan memandang sosiologi adalah kajian pengalaman empiri (perspektif hukum), diharapkan dapat segera mereda. Berdamai secara ilmiah lebih diutamakan. Sehingga timbulnya sosiologi hukum dalam disiplin ilmu baru, menjadi sangat penting sebagai solusi moderat di antara keduanya.

Memasuki abad ke-21, maka kerterkatian antara ilmu sosial dan ilmu hukum menjadi sangat erat. Keduanya saling mempengaruhi (walaupun menurut penulis, ilmu sosial-lah yang dominan dalam mempengaruhi hukum) demi terwujudnya peradaban yang dinamis. Dalam konteks ini, maka lahirlah apa yang dinamakan klasifikasi hukum yang diuraikan oleh Phillippe Nonet dan Philip Selznick. Mereka membagi hukum menjadi tiga tipe, yakni hukum represif, hukum otonom, dan hukum responsif. Kemudian muncul aliran realisme yang dipelopori oleh Roscoe Pound dan Oliver Holmes, seorang Hakim Agung Amerika. Bahkan Holmes menyatakan bahwa hukum yang baik tidak lahir dalam konteks hitam putihnya peraturan, tapi hukum yang berasal dari pengalaman hakim dalam memutus suatu perkara. Dan masih banyak lagi produktisasi dari berdifusinya ilmu sosial dan ilmu hukum.

Manfaat yang dapat kita ambil dari hal ini, tentunya untuk melepaskan diri dari belenggu kepastian hukum dan mengarah kepada keadilan hukum. Kepastian hukum merupakan tendesius dari arogansi ilmu hukum. Sedangkan keadilan hukum lebih melihat kepada perspektif masyarakat. Sehingga harapan ini dapat terwujud dengan semakin harmonisnya hubungan antara ilmu sosial dan ilmu hukum ke depannya. Semoga.

Palembang, September 2011

M. Alvi Syahrin

No comments:

Post a Comment