Wednesday, July 24, 2013

LAHIRNYA SOSIOLOGI HUKUM



Sosiologi Hukum Sebagai Ilmu
Sosiologi hukum (sociology of law) merupakan ilmu yang relatif baru dalam displin ilmu kekinian. Namun, peran dan eksistensinya dalam mengembangkan ilmu hukum khususnya, tidak dapat terbantahkan lagi. Sebagai suatu ilmu, sosiologi hukum tentunya masih sangat dapat diperdebatkan keberadaannya. Dalam perspektif sosiolog, sosiologi hukum merupakan hasil dari modifikasi ilmu yang diharapkan dapat memeberikan kejelasan bagi masyarakat apa dan bagaimana ilmu hukum itu dari optik sosiologi. Sedangkan, ilmuwan hukum lebih memandang sosiologi hukum sebagai “supporting science” yang bertujuan untuk mendukung dan memberikan input pengetahuan baru dalam hukum itu sendiri. Sehingga, dapat menjadikan hukum tidak lagi sebatas norma yang berkaca mata kuda.

Tidak sedikit memang yang memandang sosiologi hukum bukan sebagai ilmu. Dalam kemunculannya sekitar awal abad ke-20, embrio sosiologi hukum tidaklah begitu jelas. Ia tidak dapat dikatakan sebagai cabang ilmu dari sosiologi, begitu juga dengan ilmu hukum. Banyak pendapat yang berkembang kalau sosiologi hukum merupakan alternatif moderat yang memfasilitasi arogansi sosiologi dan ilmu hukum.

Sosiologi >< Hukum
Dalam sejarahnya, sosiologi tidak dapat berfusi secara ilmiah dengan ilmu hukum. Keduanya mempunyai limitasi yang tegas, sehingga penterasi keilmuan pun tidak dapat berinfiltrasi. Sosiologi menganggap hukum merupakan subsistem dari sosiologi. Keberadaan ilmu hukum sejajar dan koordinatif dengan ilmu lain, seperti ilmu ekonomi, bahasa, budaya, politik, kesenian dan lain sebagainya. Hukum merupakan bagian dari masyrakat. Di masyarakatlah, hukum itu berkembang dan berbaur dengan ilmu lain. Ia tidak lebih tinggi dari sosiologi. Oleh karenanya, wajar ketika hukum tidak mempunyai legitimasi kuat di mata para sosiolog.

Begitu juga halnya, ketika ilmu hukum memandang sosiologi. Seorang jurist menganggap sosiologi hanya sebatas ilmu yang menjabarkan suatu keadaan dan fakta dalam masyarakat. Ia tidak dapat menjustifikasi ataupun memfalsifikasi keberadaan suatu peristiwa. Sebagai suatu ilmu, sosiologi bersifat empiris dan deskriptif. Inilah yang tidak disetujui oleh seorang ilmuwan hukum. Hukum haruslah berbicara norma. Norma yang tertuang dalam kaidah tertulis ataupun tidak. Cakupan ilmiahnya pun tidak dapat dilemparkan dalam koridor empiris. Oleh karenanya,  hukum diharuskan untuk bersikap preskriptif. Selain itu juga, para jurist berpendapat bahwa hukum adalah panglima. Eksistensi hukum jauh lebih bermartabat daripada masyarakat. Masyarakatlah yang diciptakan untuk mengabdi kepada hukum. Bukan hukum yang mengabdi kepada masyarakat. Dalam bahasa lain, masyarakatlah yang harus patuh dan taat kepada hukum, sehingga premis yang berkembang adalah hukum lebih superior dan masyarakat sudah pasti inferior. Oleh karenanya, asumsi yang dihasilkan adalah ilmu hukum dan sosiologi tidak dapat bersatu. Keduanya memiliki arogansi dan basis ilmiah yang sangat kuat. Sampai lahirnya sosiologi hukum pun, silang pendapat di kalangan para ahli kerap kali ditemukan, dan cenderung meruncing.

Dalam konteks yang tidak jauh berbeda, dalam pemikiran aliran hukum yang ekstrim sekalipun, pada dasarnya sangat menolak anasir dan penetrasi ilmu sosial (baca: sosiologi) dalam pengembangan ilmu hukum. Penganut aliran ini beranggapan bahwa dengan adanya kehadiran ilmu sosial, maka dapat membuat ilmu hukum kehilangan roh sejatinya. Mengapa? Karena ilmu hukum berasal, berkembang, berdinamika, dan berakhir dalam konsep norma. Konsep ini menolak kehadiran bahan non-hukum. Oleh karenanya, kemudian berkembanglah aliran dogmatik hukum, teori hukum murni, aliran positivistik, dan lain sebagainya. Para penganut aliran ini berpendapat bahwa, apabila hukum telah terkontaminasi ilmu sosial, maka ia tidak lagi menjadi hukum, melainkan ilmu sosial terhadap hukum.

Begitu juga penganut aliran ilmu sosial memandang ilmu hukum. Mahzab ini pada hakikatnya ingin membantu dan memperbaiki konsep hukum, yang apabila selama ini hanya berkutat pada teori dan domatik hukum. Pandangan inilah yang kemudian mencoba memandang hukum itu pada tatanan realitas. Sehingga perbaikan dan pembaharuan hukum menjadi lebih maksimal.

Namun, beginilah pertentangan ilmiah yang tejadi pada masa itu. Mereka tidak dapat bersatu dalam pemikiran akademis, karena masing-masing memiliki basis ilmiah yang sangat kuat. Ilmu hukum dan aliran-alirannya berkembang dan bertahan pada pemikirannya sendiri, begitu juga dengan ilmu sosial.

Sosiologi + Hukum = Sosiologi Hukum
Hingga pada awal abad ke-20, semuanya menjadi moderat, ketika semakin banyak dan kompleksnya permasalahan di masyarakat. Hal ini mendesak para ilmuwan untuk memberi sikap yang sedikit lunak. Tuntutan untuk meleburkan sosiologi dan hukum menjadi suatu ilmu baru menjadi tuntutan progresif pada zamannya. Tokoh-tokoh sosiologi dan hukum pun, tak ragu untuk menyatukan pendapat. Max Webber, Aguste Comte, Philippe Nonet, Roscoe Pound, Oliver Holmes, merupakan sedikit tokoh sosiolgi hukum yang kini dijadikan sebagai ilmuwan pembaharuan. Di Indonesia pun, kita mengenal sosok seorang Soerjono Soekanto, Mochtar Koesoematmadja, Satjipto Rahardjo, dan lainnya yang dikenal sebagai bapak sosiologi hukum Indonesia. Bahkan nama belakangan yang disebut, telah melahirkan teori “hukum progresif”, yang menurutnya lebih memandang dan memaksakan hukum untuk bersikap revoulsioner. Hukum menurutnya haruslah bebas. Dalam makna lain, hukum merupakan pembebasan dari logika dan peraturan. Hukum haruslah untuk masyarakat, bukan sebaliknya. Begitulah sedikit pemikiran Satjipto Rahardjo yang memandang hukum dalam optik sosiologi (baca: sosiologi hukum).

Peran dan keberadaan sosiologi hukum dalam percaturan ilmiah di Indonesia, cukup progresif dan revolusioner. Dengan adanya sosiologi hukum, maka para jurist tidak lagi memandang hukum sebagai suatu alat yang mengunci nilai-nilai kemanusiaan. Sosiologi hukum memberikan wacana yang segar, sehingga hukum menjadi lebih humanis.

Contoh konkrit, diterapkan dan dimaksimalkannya paham sosiologi hukum, tercermin dalam penjatuhan vonis oleh Hakim Bismar Siregar terhadap perkara pemerkosaan di yurisdiksi Pengadilan Negeri Medan, walaupun toh akhirnya putusan Bismar tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Medan. Tapi setidaknya ini membuktikan bahwa dengan adanya sosiologi hukum, maka secara tidak langsung akan berdampak pada perbaikan sistem hukum itu sendiri.

Dalam sosiologi hukum, diajarkan bahwa hukum diciptakan untuk masyarakat. Hukum bukanlah mesin penguasa, seperti yang diutarakan oleh John Austin. Dan hakim juga bukan corong dari hukum (baca: undang-undang). Maka sejatinya keadilan hukum, lebih dioptimalkan daripada kepastian hukum guna memberikan manfaat yang lebih banyak kepada masyarakat. Itulah yang menjadi konsen dari sosiologi hukum.

Dalam tulisan ini, tidak akan dibeberkan apa dan bagaimana sosiologi hukum itu. Tapi, lebih menekankan letak historis dari kemunculan sosiologi hukum itu sendiri. Ditengah perdebatan yang panjang, kini ia menjadi ilmu yang tidak dapat dipisahkan dalam studi hukum. Kalau dulu, banyak penelitian hukum yang konservatif dengan memelihara nilai-nilai dogmatis, tapi kini ia semakin variatif. Dengan keanekaragaman tersebut, maka output yang dihasilkan tentunya akan berdampak pada kemajuan ilmu hukum itu sendiri. Pembaharuan hukum dan penemuan hukum tidak akan tercapai tanpa memandang masyarakat sebagai objek. Itulah yang disorot oleh sosiologi hukum, dalam persepektif yang lebih sederhana.

Maka dari itu, kesimpulan yang dapat disajikan dalam tulisan ini adalah bahwa di antara hukum dan masyarakat terdapat celah kecil yang sangat tipis eksistensinya. Ia sangat rentan dipengaruhi dan mempengaruhi keduanya. Ia cenderung tidak diperhatikan, tapi sangat menentukan dan dibutuhkan untuk perkembangan ilmu. Itulah yang disebut SOSIOLOGI HUKUM.

Palembang, November 2011
M. Alvi Syahrin

2 comments: