ABSTRAK
Potret masalah
perindutsrian bukan merupakan hal yang asing dalam konsep pembangunan global.
Di Indonesia sendiri, geliat industri mulai terasa, ketika Presiden Soeharto
mencanangkan ideologi pembangunan yang dikenal sebagai “developmentarisme”.
Namun seiring berjalannya pembangunan perindustrian tersebut, maka problematika
yang dihadapi pun nyatanya tidak sedikit. Misalnya, perangkat hukum yang belum
memadai sehingga belum dapat meningkatkan iklim peridustrian yang kondusif.
Kemudian masalah relevansi dampak perindustrian terhadap ekologi lingkungan
hidup. Selanjutnya konsep CSR yang dilakukan oleh pihak perindustrian yang
masih belum mencapai maksimalisasi tujuan sebenarnya. Juga masalah perizinan
yang dinilai oleh pelaku perindustrian masih berbelit-belit pada beberapa
birokrasi. Yang terakhir, beberapa masalah yang dihadapi oleh pelaku industri
kreatif dalam kaitannya dengan pembangunan perindustrian.
Kata kunci:
Problematika, Perindustrian, Indonesia
Pendahuluan
Potret masalah perindutsrian bukan merupakan hal yang asing dalam
konsep pembangunan global. Secara historis, cikal bakal gejolak masalah
perindustrian sejatinya dimulai pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19,
dimana Inggris mempelopori suatu gerakan yang cukup fenomenal yaitu revolusi indutsri
yang pertama kali diperkenalkan oleh Friedrich Engels dan Louis Auguste Blanqui.
Revulusi industri sendiri berarti adanya
suatu perubahan secara fundamental terhadap konsep transrformasi produksi perindustrian
dari masa tenaga manusia (pekerja) menjadi teknologi mekanika.
Di Indonesia sendiri, geliat industri mulai terasa, ketika Presiden
Soeharto mencanangkan ideologi pembangunan yang dikenal sebagai “developmentarisme”,
dimana pada masa itu hampir semua kegiatan bernegara difokuskan kepada pembangunan
bangsa baik itu fisik ataupun non-fisik. Khusus untuk pembangunan fisik, maka
perlu dikaji lebih mendalam apakah dampak sejarah yang kita hadapi bersama kala
itu memang telah mencerminkan konsep pembangunan yang ideal atau tidak. Mengapa
hal ini perlu menjadi perdebatan penting, karena tidak lain konsep-konsep
pembangunan terdahulu mempunyai relevansi dasar bagi pencanangan konsep
perindustrian di masa yang akan datang.
Industri dan Instrumen Hukum
Instrument hukum menjadi suatu element penting dalam membangun
iklim perindustrian yang kondusif. Hukum menjadi pilar penting disaat
intensitas perindustrian mengalami kelesuan aktivitas. Pembangunan hukum perlu
menjadi sorotan bersama, agar terwujudnya perindustrian yang lebih maju dan
bersaing. Padmo Wahjono menuturkan bahwa membangun hukum berarti membentuk
suatu tata hukum beserta perangkat yang berkaitan dengan tegaknya kehidupan
tata hukum tersebut. Oleh karena itu, membangun hukum di Indonesia pada saat
sekarang maupun di masa yang akan datang, bukanlah sekedar berdasaran teori
hukum yang universal dan canggih, melainkan sangat dipenagruhi oleh pandangan
hidup kelompok (yang nyata), sehingga diperoleh suaut hukum yang hidup dalam
arti sesuai dengan asprasi masyarakat sehingga tidak menumbuhkan
“yuristen recht” (Padmo Wahjono,
1989: 1).
Dari pernyataan klasik Padmo Wahjono tersebut maka dapat kita
yakini bahwa hukum akan menjadi suatu tatanan cara pandang masyarakat apabila
didasarkan pada teori-teori hukum dan perkembangan sosiologis dari masyarkat.
Relevansinya dengan pembangunan industri sudah jelas bahwa perindustrian
mempunyai kaitan erat dengan instrument hukum yang ada. Permasalahan indutri
yang terjadi selama ini adalah manifestasi dari adanya benturan antara konsep
pembangunan perindustrian dan aturan-aturan yang ada. Perangkat hukum yang ada
sering kali tidak membuat para pelaku industri merasa nyaman, padahal aturan
hukum merupakan salah satu instrument bagi pemerintah untuk memberikan jaminan
kepastian hukum bagi para pelaku industri. Banyak aturan-aturan yang ada malah
membuat mereka merasa enggan untuk melakukan kegiatan perindustrian.. Tentunya
hal ini akan berdampak sistemik terhadap konsep pembangunan yang telah
diformulasikan oleh pemerintah sebelumnya.
Dampak Relevansi Industri Terhadap Lingkungan Hidup
Permasalahan
yang terjadi pada dunia perindustrian bukan hanya diterjemahkan dalam konsep
yang sederhana seperti yang diuraikan diatas, melainkan lebih kompleks.
Misalnya kaitan antara pembangunan perindustrian terhadap sistem ekologi
lingkungan hidup. Maksudnya, semakin banyaknya pembangunan perindustrian dewasa
ini tidak diiringi dengan pelestarian terhadap sektor lingkungan. Adanya konsep
“profit oriented” semakin menasbihkan bahwa keuntungan atas
perindustrian adalah diatas segalanya. Padahal telah jelas dalam ketentuan
Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menegaskan bahwa perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efesiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandiiran,
serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional (cetak
hitam oleh penulis). Ketentuan tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam Pasal
22 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang
berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal.
Pembangunan
konsep perindustrian yang keliru tentunya akan berdampak pada runtuhnya stabilitas
lingkungan, khususnya pencemaran udara (N.H.T Siahaan, 1987: 54). Pembangunan industri
sendiri mempunyai dua sisi yang berbeda. Dimana dapat meningkatkan kualitas
hidup masyarakat disekitar atau malah menciptakan pencemaran udara (salah
satunya) yang diakibatkan oleh kegiatan manusia (Jurnal Simbur Cahaya, 1998:
411). Oleh karena itu kegiatan pembangunan perindustrian yang telah dilakukan
haruslah merujuk pada konsep ekologi pembangunan yang ada. Jangan sampai,
dengan semakin meningkatnya kegitatan pembangunan perindustrian tidak diikuti
dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang baik.
Terkait dengan
relevansi antara pembangunan perindustrian dan lingkungan hidup, maka yang juga
perlu diperhatikan adalah konsep tata ruang yang ada sebagaimana yang diatur
dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dimana dalam pembangunan
perindustrian harulah memperhatikan dan mengkaji tata ruang dari wilayah
bersangkutan. Hal ini tentunya bertujuan untuk membuat suatu mekanika sistem
perindustrian menjadi lebih baik. Namun, seringkali industri-industri besar
yang ada dengan sengaja “bermukim” di wilayah yang padat penduduk, sehingga
berdampak pada rusaknya keseimbangan eksosistem dan ekologi dari wilayah yang
bersangkutan. Tentunya hal semacam ini menjadi suatu realita problematika yang
wajib diselesaikan oleh pemerintah. Apakah hal ini terkait dengan
penyalahgunaan pemberian perizinan atau memang pelaku industri tersebut yang
nakal dengan mencoba-coba menerobos aturan-aturan yang ada
.
Konsep CSR
sebagai Pemanis
Permasalahan
dalam pembangunan perindustrian selanjutnya adalah pertanggunjawaban sosial
dari pelaku industri terhadap masyarakat sekitar (Corporate Social Responsibility).
CSR sendiri berarti komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam
pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan karyawan perusahaan, keluarga
karyawan tersebut, berikut komunitas setempat (local) dan masyarakat
secara keseluruhan dalam rangka menigkatkan kualitas hidup (The World
Business Council for Suistanable Development).
Namun, dalam
prakteknya belum banyak perusahaan industri yang menerapkan CSR.
Berdasarkan survey kompas pada 2007, menyatakan bahwa 70% perusahanan industri
di Indonesia belum melaksanakan CSR. Dikarenakan masih banyak yang
menganggap CSR adalah beban dalam operasi produksi suatu industri.
Apabila kita telisik lebih jauh, maka konsep CSR yang diatur dalam Pasal
74 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ini, hanya digunakan oleh
pelaku industri untuk “mengkampanyekan” industri mereka kepada para masyarakat
dengan dalih untuk melakukan kegiatan tanggung jawab sosial. Bahkan, Ridwan
Mukti (Bupati Musi Rawas) dalam kesempatannya menghadiri Seminar Nasional Pertambangan
FH UNSRI, menyatakan bahwa CSR dan Community Development hanyalah
sebagai “sweater” (pemanis-pen), tidak lebih.
Reza Rahman
menuturkan ada empat kritikan yang biasanya ditujukan pada pelaku industri
sebagai pelaksana CSR, antara lain: (i) CSR hanyalah strategi marketing
korporat yang tujuannya untuk mendongkrak profit, (ii) korporat berlindung
dibalik program CSR untuk mendapatkan promosi melalui pembelian media
space, (iii) program CSR hanyalah sekumpulan kegiatan public
relation yang biasanya melakukan lip service dan mengarah pada
kebohongan publik, dan (iv) CSR adalah kegiatan yang utopis, tidak dapat
dilakukan oleh sebuah korporat yang berbasis profit oriented (Reza
Rahman, 2009: 97-99). Dengan demikian, masalah perindustrian kaitannya dengan
implementasi terhadap konsep CSR perlu dikaji lebih dalam. Dikarenakan akan
menghambat laju pertumbuhan pembangunan perindutrian di masa datang.
Mafia Perizinan
Permasalahan
selanjutnya adalah adanya kesulitan bagi pelaku industri baik domestik maupun
lokal untuk mendapatkan izin industry, seperti SIUP, SITU, IMB, dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan
rumitnya proses birokrasi yang diterapkan, sehingga membuat pelaku industri
merasa malas untuk melakukan kegiatan perindustriannya di Indonesia. Bukan
menjadi rahasia umum, bila untuk mendapatkan izin kegiatan perindustrian
membutuhkan waktu yang cukup lama itu pun belum ditambah dengan money on the
table kepada para aparat bersangkutan. Walaupun, telah dimuatnya ketentuan
“pelayanan terpadu satu pintu” (one stop service) yang diatur dalam UU
No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, namun implemtasi konsep tersebut
belumlah memuaskan. Apabila ini tidak di tindak lanjuti serius untuk membasmi
“mafia perizinan”, maka tentunya akan menghambat laju pembangunan perindustrian
di Indoneisa.
Mengkreatifkan Industri Kreatif
Dunia
perindustrian di Indonesia memang mengalami pasang surut. Hal ini tidak lain
disebabkan oleh beberapa faktor yang menjadi kendala dalam pengembangan
kegiatan industri tersebut. Selain masalah perindustrian sebagaimana yang
diuraikan diatas, maka yang juga perlu mendapatkan perhatian serius adalah
permasalahan dalam pembangunan perindustrian di bidang ekonomi kreatif. Menurut John Howkins (2001) dalam bukunya The Creative Economy: How People Make Money From Ideas, mengartikan
ekonomi kreatif sebagai segala kegiatan
ekonomi yang menjadikan kreativitas (kekayaan intelektual), budaya dan warisan
budaya maupun lingkungan sebagai tumpuan masa depan. Masih menurut John, budaya kreatif hanya dapat tumbuh di lingkungan yang kondusif terhadap 3 hal: talent, teknologi, dan tolerant.
Dari hasil studi tahun 2009, industri ekonomi kreatif Indonesia masih didominasi oleh dua subsektor utama yaitu Fashion (46,5%) dan Kerajinan (24,1%).
Sedangkan subsektor industri kreatif yang rata-rata (2002-2008) pertumbuhannya
diatas pertumbuhan ekonomi nasional secara berturut-turut adalah piranti lunak
(16,9%), permainan interaktif (13,9%), musik (13,4%), periklanan (13,4%), seni
pertunjukan (7,67%), Televisi dan radio (7,57%) dan arsitektur (6,4%).
Dalam rencana pengembangan industri
ekonomi kreatif terdapat lima permasalahan
utama, antara lain: (i) kuantitas dan kualitas sumber daya insani
sebagai pelaku dalam industri kreatif
yang belum memadai, (ii) belum
adanya iklim kondusif untuk memulai dan menjalankan
usaha di industri kreatif,
(iii) minimnya penghargaan/apresiasi terhadap insan kreatif
Indonesia dan karya kreatif yang dihasilkan, (iv) lambannya percepatan tumbuhnya teknologi informasi dan komunikasi, (v) lembaga pembiayaan yang belum berpihak kepada pelaku industri kreatif. Belum adanya skema pembiayaan
industri ekonomi kreatif menyebabkan perbankan dan lembaga
pembiayaan bukan bank kesulitan untuk menentukan jaminan untuk industri
kreatif. Jaminan dari industri kreatif, yang bentuk awalnya adalah ide,
dianggap masih belum dapat diterima sehingga banyak industri kreatif akhirnya
dimasukkan ke dalam kategori UKM yang dianggap lebih diterima karena skema
pembiayaannya sudah lebih terarah (Makalah Siti Zahrah Sariningrum, 2009: 14).
Dengan demikian, untuk meningkatkan intensitas dan gairah industri di
bidang ekonomi kratif maka pemerintah diharuskan membuat beberapa langkah
terobosan. Pertama, menyiapkan insentif untuk memacu pertumbuhan industri
kreatif berbasis budaya. Insentif itu mencakup perlindungan produk budaya,
pajak, kemudahan memperoleh dana pengembangan, fasilitas pemasaran dan promosi,
hingga pertumbuhan pasar domestik dan internasional. Kedua, membuat roadmap
industri kreatif yang melibatkan berbagai departemen dan kalangan. Ketiga,
membuat program komprehensif untuk menggerakkan industri kreatif melalui
pendidikan, pengembangan SDM, desain, mutu dan pengembangan pasar. Keempat,
memberikan perlindungan hukum dan insentif bagi karya industri kreatif.
Beberapa contoh produk industri kreatif yang dilindungi HKI-nya (Hak atas
Kekayaan Intelektual), diantaranya buku, tulisan, drama, tari, koreografi,
karya seni rupa, lagu atau musik, dan arsitektur. Produk lainnya adalah paten
terhadap suatu penemuan, merek produk atau jasa, desain industri, desain tata
letak sirkuit terpadu dan rahasia dagang. Kelima, pemerintah diharuskan
membentuk Indonesian
Creative Council yang akan menjadi jembatan untuk menyediakan
fasilitas bagi para pelaku industri kreatif (Makalah Siti Zahrah Sariningrum, 2009: 13). Apabila semua hal diatas benar-benar dijalankan oleh pemerintah, maka
tentunya akan meningkatkan estimasi aktivitas perindustrian Indonesia khususnya
dibidang ekonomi kreatif.
Palembang, Maret 2010
M. Alvi Syahrin
No comments:
Post a Comment