Wednesday, July 24, 2013

WAJAH PROBLEMATIKA PERINDUSTRIAN DI INDONESIA



 
ABSTRAK
Potret masalah perindutsrian bukan merupakan hal yang asing dalam konsep pembangunan global. Di Indonesia sendiri, geliat industri mulai terasa, ketika Presiden Soeharto mencanangkan ideologi pembangunan yang dikenal sebagai “developmentarisme”. Namun seiring berjalannya pembangunan perindustrian tersebut, maka problematika yang dihadapi pun nyatanya tidak sedikit. Misalnya, perangkat hukum yang belum memadai sehingga belum dapat meningkatkan iklim peridustrian yang kondusif. Kemudian masalah relevansi dampak perindustrian terhadap ekologi lingkungan hidup. Selanjutnya konsep CSR yang dilakukan oleh pihak perindustrian yang masih belum mencapai maksimalisasi tujuan sebenarnya. Juga masalah perizinan yang dinilai oleh pelaku perindustrian masih berbelit-belit pada beberapa birokrasi. Yang terakhir, beberapa masalah yang dihadapi oleh pelaku industri kreatif dalam kaitannya dengan pembangunan perindustrian.
Kata kunci: Problematika, Perindustrian, Indonesia




Pendahuluan
Potret masalah perindutsrian bukan merupakan hal yang asing dalam konsep pembangunan global. Secara historis, cikal bakal gejolak masalah perindustrian sejatinya dimulai pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, dimana Inggris mempelopori suatu gerakan yang cukup fenomenal yaitu revolusi indutsri yang pertama kali diperkenalkan oleh Friedrich Engels dan Louis Auguste Blanqui. Revulusi industri sendiri berarti  adanya suatu perubahan secara fundamental terhadap konsep transrformasi produksi perindustrian dari masa tenaga manusia (pekerja) menjadi teknologi mekanika.

Di Indonesia sendiri, geliat industri mulai terasa, ketika Presiden Soeharto mencanangkan ideologi pembangunan yang dikenal sebagai “developmentarisme”, dimana pada masa itu hampir semua kegiatan bernegara difokuskan kepada pembangunan bangsa baik itu fisik ataupun non-fisik. Khusus untuk pembangunan fisik, maka perlu dikaji lebih mendalam apakah dampak sejarah yang kita hadapi bersama kala itu memang telah mencerminkan konsep pembangunan yang ideal atau tidak. Mengapa hal ini perlu menjadi perdebatan penting, karena tidak lain konsep-konsep pembangunan terdahulu mempunyai relevansi dasar bagi pencanangan konsep perindustrian di masa yang akan datang.

Industri dan Instrumen Hukum
Instrument hukum menjadi suatu element penting dalam membangun iklim perindustrian yang kondusif. Hukum menjadi pilar penting disaat intensitas perindustrian mengalami kelesuan aktivitas. Pembangunan hukum perlu menjadi sorotan bersama, agar terwujudnya perindustrian yang lebih maju dan bersaing. Padmo Wahjono menuturkan bahwa membangun hukum berarti membentuk suatu tata hukum beserta perangkat yang berkaitan dengan tegaknya kehidupan tata hukum tersebut. Oleh karena itu, membangun hukum di Indonesia pada saat sekarang maupun di masa yang akan datang, bukanlah sekedar berdasaran teori hukum yang universal dan canggih, melainkan sangat dipenagruhi oleh pandangan hidup kelompok (yang nyata), sehingga diperoleh suaut hukum yang hidup dalam arti sesuai dengan asprasi  masyarakat  sehingga  tidak  menumbuhkan  “yuristen recht” (Padmo Wahjono, 1989: 1).

Dari pernyataan klasik Padmo Wahjono tersebut maka dapat kita yakini bahwa hukum akan menjadi suatu tatanan cara pandang masyarakat apabila didasarkan pada teori-teori hukum dan perkembangan sosiologis dari masyarkat. Relevansinya dengan pembangunan industri sudah jelas bahwa perindustrian mempunyai kaitan erat dengan instrument hukum yang ada. Permasalahan indutri yang terjadi selama ini adalah manifestasi dari adanya benturan antara konsep pembangunan perindustrian dan aturan-aturan yang ada. Perangkat hukum yang ada sering kali tidak membuat para pelaku industri merasa nyaman, padahal aturan hukum merupakan salah satu instrument bagi pemerintah untuk memberikan jaminan kepastian hukum bagi para pelaku industri. Banyak aturan-aturan yang ada malah membuat mereka merasa enggan untuk melakukan kegiatan perindustrian.. Tentunya hal ini akan berdampak sistemik terhadap konsep pembangunan yang telah diformulasikan oleh pemerintah sebelumnya.

Dampak Relevansi Industri Terhadap Lingkungan Hidup
Permasalahan yang terjadi pada dunia perindustrian bukan hanya diterjemahkan dalam konsep yang sederhana seperti yang diuraikan diatas, melainkan lebih kompleks. Misalnya kaitan antara pembangunan perindustrian terhadap sistem ekologi lingkungan hidup. Maksudnya, semakin banyaknya pembangunan perindustrian dewasa ini tidak diiringi dengan pelestarian terhadap sektor lingkungan. Adanya konsep “profit oriented” semakin menasbihkan bahwa keuntungan atas perindustrian adalah diatas segalanya. Padahal telah jelas dalam ketentuan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menegaskan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efesiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandiiran, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional (cetak hitam oleh penulis). Ketentuan tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam Pasal 22 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal.

Pembangunan konsep perindustrian yang keliru tentunya akan berdampak pada runtuhnya stabilitas lingkungan, khususnya pencemaran udara (N.H.T Siahaan, 1987: 54). Pembangunan industri sendiri mempunyai dua sisi yang berbeda. Dimana dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat disekitar atau malah menciptakan pencemaran udara (salah satunya) yang diakibatkan oleh kegiatan manusia (Jurnal Simbur Cahaya, 1998: 411). Oleh karena itu kegiatan pembangunan perindustrian yang telah dilakukan haruslah merujuk pada konsep ekologi pembangunan yang ada. Jangan sampai, dengan semakin meningkatnya kegitatan pembangunan perindustrian tidak diikuti dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang baik.

Terkait dengan relevansi antara pembangunan perindustrian dan lingkungan hidup, maka yang juga perlu diperhatikan adalah konsep tata ruang yang ada sebagaimana yang diatur dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dimana dalam pembangunan perindustrian harulah memperhatikan dan mengkaji tata ruang dari wilayah bersangkutan. Hal ini tentunya bertujuan untuk membuat suatu mekanika sistem perindustrian menjadi lebih baik. Namun, seringkali industri-industri besar yang ada dengan sengaja “bermukim” di wilayah yang padat penduduk, sehingga berdampak pada rusaknya keseimbangan eksosistem dan ekologi dari wilayah yang bersangkutan. Tentunya hal semacam ini menjadi suatu realita problematika yang wajib diselesaikan oleh pemerintah. Apakah hal ini terkait dengan penyalahgunaan pemberian perizinan atau memang pelaku industri tersebut yang nakal dengan mencoba-coba menerobos aturan-aturan yang ada
.
Konsep CSR sebagai Pemanis
Permasalahan dalam pembangunan perindustrian selanjutnya adalah pertanggunjawaban sosial dari pelaku industri terhadap masyarakat sekitar (Corporate Social Responsibility). CSR sendiri berarti komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut komunitas setempat (local) dan masyarakat secara keseluruhan dalam rangka menigkatkan kualitas hidup (The World Business Council for Suistanable Development).

Namun, dalam prakteknya belum banyak perusahaan industri yang menerapkan CSR. Berdasarkan survey kompas pada 2007, menyatakan bahwa 70% perusahanan industri di Indonesia belum melaksanakan CSR. Dikarenakan masih banyak yang menganggap CSR adalah beban dalam operasi produksi suatu industri. Apabila kita telisik lebih jauh, maka konsep CSR yang diatur dalam Pasal 74 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ini, hanya digunakan oleh pelaku industri untuk “mengkampanyekan” industri mereka kepada para masyarakat dengan dalih untuk melakukan kegiatan tanggung jawab sosial. Bahkan, Ridwan Mukti (Bupati Musi Rawas) dalam kesempatannya menghadiri Seminar Nasional Pertambangan FH UNSRI, menyatakan bahwa CSR dan Community Development hanyalah sebagai “sweater” (pemanis-pen), tidak lebih.

Reza Rahman menuturkan ada empat kritikan yang biasanya ditujukan pada pelaku industri sebagai pelaksana CSR, antara lain: (i) CSR hanyalah strategi marketing korporat yang tujuannya untuk mendongkrak profit, (ii) korporat berlindung dibalik program CSR untuk mendapatkan promosi melalui pembelian media space, (iii) program CSR hanyalah sekumpulan kegiatan public relation yang biasanya melakukan lip service dan mengarah pada kebohongan publik, dan (iv) CSR adalah kegiatan yang utopis, tidak dapat dilakukan oleh sebuah korporat yang berbasis profit oriented (Reza Rahman, 2009: 97-99). Dengan demikian, masalah perindustrian kaitannya dengan implementasi terhadap konsep CSR perlu dikaji lebih dalam. Dikarenakan akan menghambat laju pertumbuhan pembangunan perindutrian di masa datang.

Mafia Perizinan
Permasalahan selanjutnya adalah adanya kesulitan bagi pelaku industri baik domestik maupun lokal untuk mendapatkan izin industry, seperti SIUP, SITU,  IMB, dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan rumitnya proses birokrasi yang diterapkan, sehingga membuat pelaku industri merasa malas untuk melakukan kegiatan perindustriannya di Indonesia. Bukan menjadi rahasia umum, bila untuk mendapatkan izin kegiatan perindustrian membutuhkan waktu yang cukup lama itu pun belum ditambah dengan money on the table kepada para aparat bersangkutan. Walaupun, telah dimuatnya ketentuan “pelayanan terpadu satu pintu” (one stop service) yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, namun implemtasi konsep tersebut belumlah memuaskan. Apabila ini tidak di tindak lanjuti serius untuk membasmi “mafia perizinan”, maka tentunya akan menghambat laju pembangunan perindustrian di Indoneisa.

Mengkreatifkan Industri Kreatif

Dunia perindustrian di Indonesia memang mengalami pasang surut. Hal ini tidak lain disebabkan oleh beberapa faktor yang menjadi kendala dalam pengembangan kegiatan industri tersebut. Selain masalah perindustrian sebagaimana yang diuraikan diatas, maka yang juga perlu mendapatkan perhatian serius adalah permasalahan dalam pembangunan perindustrian di bidang ekonomi kreatif. Menurut John Howkins (2001) dalam bukunya The Creative Economy: How People Make Money From Ideas, mengartikan ekonomi kreatif sebagai segala kegiatan ekonomi yang menjadikan kreativitas (kekayaan intelektual), budaya dan warisan budaya maupun lingkungan sebagai tumpuan masa depan. Masih menurut John, budaya kreatif hanya dapat tumbuh di lingkungan yang kondusif terhadap 3 hal: talent, teknologi, dan tolerant.


Dari hasil studi tahun 2009, industri ekonomi kreatif Indonesia masih didominasi oleh dua subsektor utama yaitu Fashion (46,5%) dan Kerajinan (24,1%). Sedangkan subsektor industri kreatif yang rata-rata (2002-2008) pertumbuhannya diatas pertumbuhan ekonomi nasional secara berturut-turut adalah piranti lunak (16,9%), permainan interaktif (13,9%), musik (13,4%), periklanan (13,4%), seni pertunjukan (7,67%), Televisi dan radio (7,57%) dan arsitektur (6,4%).

Dalam rencana pengembangan industri ekonomi kreatif terdapat lima permasalahan utama, antara lain: (i) kuantitas dan kualitas sumber daya insani sebagai pelaku dalam industri kreatif yang belum memadai, (ii) belum adanya iklim kondusif untuk memulai dan menjalankan usaha di industri kreatif, (iii) minimnya penghargaan/apresiasi terhadap insan kreatif Indonesia dan karya kreatif yang dihasilkan, (iv) lambannya percepatan tumbuhnya teknologi informasi dan komunikasi, (v) lembaga pembiayaan yang belum berpihak kepada pelaku industri kreatif. Belum adanya skema pembiayaan industri ekonomi kreatif menyebabkan perbankan dan lembaga pembiayaan bukan bank kesulitan untuk menentukan jaminan untuk industri kreatif. Jaminan dari industri kreatif, yang bentuk awalnya adalah ide, dianggap masih belum dapat diterima sehingga banyak industri kreatif akhirnya dimasukkan ke dalam kategori UKM yang dianggap lebih diterima karena skema pembiayaannya sudah lebih terarah (Makalah Siti Zahrah Sariningrum, 2009: 14).

Dengan demikian, untuk meningkatkan intensitas dan gairah industri di bidang ekonomi kratif maka pemerintah diharuskan membuat beberapa langkah terobosan. Pertama, menyiapkan insentif untuk memacu pertumbuhan industri kreatif berbasis budaya. Insentif itu mencakup perlindungan produk budaya, pajak, kemudahan memperoleh dana pengembangan, fasilitas pemasaran dan promosi, hingga pertumbuhan pasar domestik dan internasional. Kedua, membuat roadmap industri kreatif yang melibatkan berbagai departemen dan kalangan. Ketiga, membuat program komprehensif untuk menggerakkan industri kreatif melalui pendidikan, pengembangan SDM, desain, mutu dan pengembangan pasar. Keempat, memberikan perlindungan hukum dan insentif bagi karya industri kreatif. Beberapa contoh produk industri kreatif yang dilindungi HKI-nya (Hak atas Kekayaan Intelektual), diantaranya buku, tulisan, drama, tari, koreografi, karya seni rupa, lagu atau musik, dan arsitektur. Produk lainnya adalah paten terhadap suatu penemuan, merek produk atau jasa, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu dan rahasia dagang. Kelima, pemerintah diharuskan membentuk Indonesian Creative Council yang akan menjadi jembatan untuk menyediakan fasilitas bagi para pelaku industri kreatif (Makalah Siti Zahrah Sariningrum, 2009: 13). Apabila semua hal diatas benar-benar dijalankan oleh pemerintah, maka tentunya akan meningkatkan estimasi aktivitas perindustrian Indonesia khususnya dibidang ekonomi kreatif.

Palembang, Maret 2010
M. Alvi Syahrin

No comments:

Post a Comment