Monday, August 19, 2013

PRINSIP TANGGUNG JAWAB PRODUK MENURUT UU NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN: STUDI KASUS KOSMETIK ILEGAL


Latar Belakang
Setelah diundangkannya UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ada salah satu prinsip yang cukup memberikan angin segar bagi konsumen Indonesia yaitu product liability principle yang berusaha menempatkan kedudukan konsumen agar lebih “sederajat” dengan pelaku usaha.

Secara historis, product liability lahir karena adanya ketidakseimbangan tanggung jawab antara produsen dan konsumen. Dengan adanya  lembaga ini produsen yang pada awalnya menerapkan startegi product oriented dalam pemasaran produknya harus mengubah strateginya menjadi consumer oriented. Produsen harus lebih berhati-hati dengan produknya, karena tanggung jawab dalam product liability ini menganut prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability).[1] Hal tersebut tentunya beralasan, dimana selama ini konsumen selalu ditempatkan dalam posisi tawar menawar yang lemah (weak bargaining position). Sehingga  kemudian berkembang suatu istilah caveat emptor, yaitu bahwa konsumen selaku pembeli harus hati-hati.

Perkembangan sejarah dunia kemudian mencatat tumbuhnya kesadaran dunia akan martabat manusia yang perlu dihormati. Hak-hak asasi manusia diperjuangkan dan diberi tempat yang tinggi dalam peradaban manusia. Tuntutan penghormatan akan hak-hak asasi ini melanda juga dunia industri dan peradagangan, sehingga mengakibatkan bergesernya adagium caveat emptor menjadi caveat venditor bahwa produsenlah yang harus cermat dan berhati-hati dalam menghasilkan dan memaarkan barang-barangnya.

Adagium caveat venditor mewajibkan pabrik dan produsen sebagai penjual bersikap cermat, agar barang-barang hasil produksinya tidak mendatangkan kerugian bagi kesehatan dan keselamatan konsumen, karena pihak konsumen memiliki hak asasi untuk mendapatkan barang-barang yang tidak mengandung cacat. Dalam suasana perdagangan inilah product liability sebagai instrument hukum perlindungan konsumen lahir.[2] Atas dasar hak ini, maka produsen harus memberi jaminan serta pertanggungjawabannya terhadap barang yang akan diproduksi.[3]

Namun tidak semudah membalikan telapak tangan agar prinsip yang tergolong baru ini dapat diimplemenitasikan dengan baik oleh para pelaku usaha. Walapun prinsip tersebut telah dinormakan dalam bentuk produk hukum, namun dalam praktik perdagangan, hal-hal yang bertolak belakang masih sering dijumpai dalam masyarakat. Para pelaku usaha berdalih bahwa mereka belum mengetahui bahwa kewajiban dan tanggung jawab mereka sekarang ini telah diatur dalam Undang-undang. Selama ini mereka menganggap bahwa dalam tradisi dan kebiasaan berbisnis, pembeli-lah yang seharusnya lebih proaktif dalam melakukan transaksi jual beli, bukan sebaliknya.

Banyak kendala-kendala yang dihadapi dalam mewujudkan prinsip tersebut agar dapat diterapkan secara adil dan tepat. Penegakan hukum terhadap kelangsungan prinsip ini apabila para pelaku usaha tidak mentaatinya juga perlu dipertanyakan. Efektifitas prinsip ini dalam penerapannya juga menjadi tanda tanya besar. Tidak terlaksananya prinsip ini juga tidak hanya dapat dibebankan kepada in bad faith dari para pelaku usaha saja, tapi juga dari para konsumen. Dari beberapa hasil penelitian, menyatakan bahwa banyak para konsumen yang enggan atau malah takut untuk melaporkan tindakan para pelaku usaha terhadap kerugian yang dialami terhadap barang-barang yang mereka beli dari pelaku usaha. Jangan berpikir untuk membebankan para pelaku usaha untuk melakukan ganti kerugian, untuk melanjutkan ke persidangan pun tidak. Inilah yang menjadi kendala besar, mengapa efektifitas dari pelaksanaan tanggung jawab produk masih sangat minim

Dalam tulisan ini, penulis akan membatasi ruang lingkup tanggung jawab produk yang berkenaan dengan tindakan para pelaku usaha dalam memproduksi, mengedarkan serta menjual suatu barang terhadap kosmetik illegal.

Merupakan hal yang lumrah bahwa pasar Indonesia menjadi salah satu sasaran utama para pelaku usaha dalam melakukan “aksinya” mengedarkan kosmetiki illegal. Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), menyimpulkan bahwa setidaknya ada sekitar tujuh puluh jenis produk kosmetik dari berbagai merek mengandung bahan berbahaya yang bisa memicu gangguan syarat, mengganggu perkembangan janin, serta memicu penyakit kanker.[4] Peredaran kosmetik illegal tersebut tidak hanya terjadi di daerah-derah terpencil, tetapi juga telah merambah berbagai tempat, mulai dari pasar tradisional, pasar modern, supermarket, dan salon kecantikan.

Dengan sudah akutnya peredaran kosmetik illegal tersebut, semakin memperparah stigma dunia terhadap Indonesia sebagai target pasar “percobaan”. Tidak berlebihan memang, karena mayoritas pendidikan akan pengetahuan suatu produk (d.h.i kosmetik) sangatlah minim. Kesempatan inilah yang berusaha dimanfaatkan oleh para pelaku usaha. Hal tersebut diperparah dengan tindakan yang seolah-olah lepas tangan dari para pelaku usaha. Secara psikologis, konsumen tidak dapat berbuat apa terhadap intervensi yang dilakukan oleh para pelaku usaha. Dengan demikian, walaupun secara yuridis tanggung jawab produk telah diatur sedemikian rupa dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun efektifitas serta kesadaran dari para pelaku usaha masih sangat minim.

Perumusan Masalah
Sehubungan dengan latar belakang sebagaimana diuraikan diatas, maka dapatlah ditarik beberapa indentifikasi permasalahan yang akan diangkat dalam makalah ini, antara lain:
  1. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya peredaran kosmetik illegal?
  2. Bagaimana efektifitas pelaksanaan prinsip tanggung jawab produk menurut UU No. 8 Tahun 1999 terhadap kasus kosmetik ilegal?


Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Peredaran Kosmetik Ilegal
Sebagaimana diketahui bahwa peredaran kosmetik illegal merupakan salah satu peredaran produk yang sangat mengkhawatirkan. Bukan hanya dari sisi pendapatan negara yang akan terus defisit dengan keberadaan kosmetik ilegal tersebut, tapi juga akan sangat merugikan kesehatan dari para konsumen yang menggunakannya.

Tidak mengherankan memang, apabila pasar Indonesia merupakan salah satu target bagi para pelaku usaha yang ingin “mencoba” hasil produksi kosmetik yang notabane-nya sebagian besar merupakan produk gagal. Ataupun bahkan memang kosmetik tersebut memang sengaja dibuat sedemikian rupa untuk menekan biaya produksi yang terbilang mahal apabila diproduksi berdasarkan sistem standarisasi yang ada.

Peredaran kosmetik illegal kini tidak hanya merambah kalangan menengah kebawah, tapi juga kalangan menengah keatas. Hal tersebut terjadi karena semakin tingginya tingkat pengetahuan para pelaku usaha yang berusaha untuk membuat produk kosmetik illegal yang menyerupai merek aslinya. Sebagian besar masuknya kosmetik illegal ke pasaran Indonesia berasal dari China ataupun Taiwan.[5] Bahkan produk yang berasal dari kedua negara tersebut, telah melakukan pemalsuan register, sehingga terlihat seperti telah berizin namun ternyata setelah diteliti register tersebut palsu.

Melihat beberapa fakta-fakta yang berkaitan dengan peredaran kosmetik illegal tersebut, maka dapatlah diteliti beberapa faktor-faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi, antara lain:

1. Minimnya pengetahuan dan pendidikan konsumen berkaitan dengan kosmetik illegal
Bukan hal baru lagi apabila pengetahuan akan pendidikan para konsumen Indonesia khususnya terhadap kosmetik sangatlah rendah. Hal ini dipicu oleh beberapa faktor-faktor yang tidak hanya disebabkan oleh pola pikir konsumen itu sendiri tapi juga tanggung jawab dari pelaku usaha untuk dapat memberikan pengetahuan dan pendidikan terhadap konsumen.

Bedasarkan Pasal 4 huruf f UUPK menyatakan bahwa hak konsumen adalah hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.  Melihat ketentuan tersebut, kita dihadapkan oleh dua sisi yang saling bertentangan. Pertama, telah disebutkan bahwa hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan merupakan salah satu hak dari konsumen. Kedua, secara tersirat dan ini juga berlaku di dalam praktik lapangan bahwa hak para konsumen sering kali dibatasi oleh kewajiban konsumen untuk selalu berhati-hati dalam melakukan transaksi.[6]

Begitu juga dalam hal peredaran kosmetik ilegal yang berkaitan dengan aspek perlindungan konsumen. Para konsumen sering kali tidak mengetahui atau dapat dikatakan tidak mau tahu mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan produk kosmetik yang dibelinya tersebut. Kebanyakan dari mereka, setelah membeli langsung digunakan tanpa adanya konfirmasi ataupun verifikasi berkaitan dengan zat-zat yang mungkin dapat membahayakan kesehatannya tersebut. Inilah yang mengakibatkan timbulnya suatu permasalahan yang merupakan manifestasi dari “keteledoran” para konsumen.

Berdasarkan penelitian Yayasan Perlindungan Konsumen Indonesia (YLKI), bahwa yang perlu diperhatikan oleh masyarakat (konsumen) dalam membeli konsumen adalah tanda register yang biasanya terdapat di balik kemasannya. Sebagai contoh, kosmetik produksi dalam negeri, tanda kosmetiknya adalah CD dan harus diikuti dengan angka 10 digit. Sedangkan untuk kosmetik impor tandanya adalah CL yang harus diikuti pula dengan angka 10 digit. Selain itu juga konsumen harus memperhatikan distributornya atau importinya untuk kosmetik impor. Sedangkan untuk produk kosmetik dalam negeri adalah produsennya. Dan juga yang penting diperhatikan oleh konsumen adalah pengantar produk yang berbahasa Indonesia.[7] Jadi sekalipun kosmetik tersebut itu produk impor diharuskan untuk menggunakan bahasa Indonesia. Tidak boleh memakai bahasa asing. Bilamana terdapat produk kosmetik dalam bahasa asing tanpa ada pengantar bahasa Indonesia, berarti produk tersebut telah melanggar. Dalam peraturannya telah disebutkan bahwa semua barang yang beredar di Indonesia harus berbahasa Indonesia. Sehingga timbul suatu tendensitas bahwa  konsumen diwajibkan untuk selalu berhati-hati. Dengan demikian pendidikan dan pengetahuan konsumen terhadap suatu produk kosmetik sangatlah diperlukan.

Berkaitan dengan bahasa pengantar ini, seringkali djumpai dalam praktik bahwa mayoritas produk kosmetik illegal tersebut kesemuanya menggunakan bahasa asing. Biasanya kosmetik yang berjenis tersebut “didatangkan” secara illegal oleh pelaku usaha atau yang lebih dikenal dengan “black market”.

Setidaknya ada dua alasan mengapa pelaku usaha memasok kosmetik illegal tersebut untuk dapat dipasarkan di Indonesia. Pertama, kosmetik tersebut telah jelas-jelas mengandung bahan-bahan yang berbahaya yang dapat merugikan para konsumen. Secara yuridis, kosmetik demikian (kosmetik oplosan) tidak dapat “lolos” dari standar yang telah ditetapkan oleh Dewan Standarisasi Nasional.[8] Kedua, kosmetik tersebut memang dapat dikatakan sebagai kosmetik yang aman untuk dikonsumsi oleh para konsumen, tetapi dengan harga kosmetik yang begitu mahal, maka membuat para pelaku usaha melakukan penyelundupan terhadap kosmetik tersebut. Atau dengan kata lain, para pelaku usaha tersebut melakukan pemalsuan dokumen berkaitan dengan kosmetik tersebut. Dengan demikian, kata-kata illegal yang melekat pada kata “kosmetik illegal”, sejatinya dapat ditafsirkan menjadi dua pengertian. Hal ini penting, agar masyarakat tidak terjebak dalam suatu kesalahan sistemik dalam menafsirkan kata ilegal tersebut.

Dalam praktik, para konsumen sering kali menganggap bahwa kosmetik illegal adalah kosmetik yang didatangkan secara selundupan. Sehingga, hal-hal yang berkaitan dengan zat-zat yang terdapat dalam kosmetik tersebut tidaklah menjadi suatu prioritas. Masyarakat terkesan enggan untuk mengetahui lebih mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kandungan dalam kosmetik tersebut. Mereka selalu beranggapan bahwa kandungan kosmetik tersebut adalah baik, bukan sebaliknya. Inilah yang membedakan perilaku konsumen Indonesia secara keseluruhan bila dibandingkan dengan konsumen “orang barat”. 

Namun, inilah yang menjadi sorotan dalam hal peningkatan pembinaan dan pendidikan atas suatu produk terhadap konsumen yang tentunya telah diakomodir dalam Pasal 4 huruf f UUPK.

2. Minimnya pengawasan dari badan pengawas obat dan makanan (BPOM)
Sebagai negara yang diapit oleh dua benua (Asia dan Afrika) serta dua samudra, maka pasar perdagangan di Indonesia dapat diaktakan cukup riskan. Betapa tidak, dengan laju arus yang begitu dinamis, maka tidak dapat dipungkiri akan berimbas kepada tingkat kualitas dan kuantitas produk yang masuk kedalam pasar Indonesia, termasuk diantaranya adalah kosmetik illegal.

Sebagai suatu badan yang diberikan kewenangan oleh Pemerintah untuk melakukan pengawasan terhadap suatu produk yang terdapat dalam pasar perdagangan Indonesia, sudah sewajarnya-lah, apabila BPOM menjelma sebagai suatu institusi pemerintah yang berwenang untuk menentukan apakah suatu produk (baca: kosmetik) tersebut layak atau tidak untuk dikonsumsi oleh para konsumen. Tidak heran apabila BPOM yang dulunya tidak begitu diperhitungkan sebagai suatu Institusi yang mengawasi suatu produk kosmetik yang beredar, kini secara tidak langsung telah menjadi suatu perbincangan hangat untuk diketahui.

Sebagaimana diketahui bahwa BPOM bertugas untuk melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan (baca: kosemtetik) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[9] Tugas inilah yang seharusnya dilakukan oleh BPOM. Namun seringkali dalam praktek, efektifitas pelaksananan tugas tersebut terkesan apa adanya.

Namun dengan begitu besarnya harapan masyarakat Indonesia pada umumnya dan para konsumen pada khususnya kepada BPOM , ternyata belumlah diimbangi dengan kinerja yang baik dari BPOM itu sendiri. Begitu juga halnya terhadap pengawasan kosmetik illegal. Seringkali BPOM merasa “kecolongan” dengan semakin maraknya peredaran kosmetik illegal tersebut.

Dengan demikian, tidak mengherankan apabila salah satu penyebab semakin maraknya peredaran kosmetik illegal di kalangan masyarakat sekarang adalah minimnya pengawasan yang dilakukan oleh BPOM itu sendiri. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh BPOM selama rentan waktu Januari hingga April 2009, setidaknya ada sekitar 952 item kosmetik tidak sah (illegal) dengan jumlah sekitar 122.978 buah. Tidak hanya itu, selama kwartal pertama tahun 2009, BPOM juga telah memeriksa 358 tempat penjualan kosmetik (sarana) dan menemukan 100 lainnya yang melakukan pelanggaran distribusi kosmetik. Selanjutnya selama triwulan pertama tahun 2009, BPOM juga telah melakukan sampling dan pengujian terhadap 764 sampel kosmetika serta menemukan 119 diantaranya tidak memenuhi syarat mutu.[10]

Berdasarkan keterangan tersebut, memang telah terjadi suatu intensitas peningkatan pengawasan yang telah dilakukan oleh BPOM sehingga setidaknya dapat sedikit menghentikan laju peredaran kosmetik illegal. Namun “upaya sadar” tersebut terkesan terlambat karena peredaran kosmetik illegal tersebut sudah seperti layaknya peredaran gas di udara dimana sangat cepat untuk berbaur kedalam masyrakat.

Namun demikian, tidak ada sesuatu hal yang terlambat. Walaupun kinerja BPOM itu sendiri kalah cepat dengan peredaran kosmetik illegal tapi setidaknya telah ada apaya maksimal yang dilakukan oleh BPOM. Hal tersebut tidak berlebihan, karena latar belakang didirikannya BPOM adalah sebagai suatu alat control bagi pemerintah terhadap adanya peredaran suatu produk terutama yang berkaitan dengan kosmetik illegal.

            Bila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 29 UUPK yang menyatakan bahwa Pemerintah bertanggung jawab atas penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Dalam rumusan pasal tersebut jelas bahwa tanggung jawab atas suatu penyelenggaraan konsumen yang ditujukan untuk menjamin hak konsumen sebagaimana dimaksu dalam Pasal 4 UUPK yang dimanifestasikan kedalam bentuk pengawaan merupakan tanggung jawab Pemerintah yang kemudian didelegasikan kepada BPOM. Sehingga konsekuensi yuridisnya dengan semakin menjamurnya perkembangan dan peredaran kosmetik illegal di dalam masyarakat secara tidak langsung menjadi suatu tanggung jawab moral serta hukum dari Pemerintah itu sendiri.

       3. Harga kosmetik asli lebih mahal
Bukan menjadi hal baru lagi apabila kosmetik original lebih mahal bila dibandingkan dengan kosmetik non-original. Di dalam masyarakat pun harga kedua jenis kosmetik tersebut juga ibarat langit dan bumi. Tidak mengeherankan memang, apabila kecenderungan kosmetik illegal ternyata lebih murah daripada kosmetik legal. Bahkan kualitas-nya pun juga sangat jauh berbeda. Sehingga dapat dipastikan bahwa apabila kosmetik yang harganya jauh lebih “miring” dari harga aslinya maka kosmetik tersebut illegal dan mengandung bahan-bahan berbahaya yang tentunya akan berdampak pada gangguan kesehatan.

Banyak faktor-faktor yang menyebabkan mengapa para pelaku usaha lebih memilih untuk menjual kosmetik illegal bila dibandingkan dengan kosmeteik yang sifatnya legal yang tentunya akan berdampak pada kuantitas harga. Diantaranya adalah besarnya biaya bea masuk dan pajak yang harus dibayar oleh para pelaku usaha. Kadang kala, dalam beberapa suatu kesempatan, pengenaan bea masuk tersebut dapat berjumlah dua kali lipat dari harga kosmetik tersebut. Selain itu juga, adanya tindakan tidak kooperatif dari pelaku usaha untuk tidak melakukan standarisasi terhadap produk kosmetik-nya tersebut. Dengan dilakukannya cara tersebut maka usaha yang dilakukan oleh para pelakun usaha untuk menekan harga produksi agar jauh lebih murah. Hal ini lah yang kemudian memicu para pelaku usaha untuk menjual kosmetik tersebut melalui black market yang tentunya akan menambah stigma buruk bahwa produk kosmetik yang dijual dengan harga murah tendensitas-nya adalah kosmetik illegal dan mengandung bahan-bahan berbahaya.

Namun nampaknya suatu kebiasaan masyarakt Indonesia khusunya para konsumen untuk lebih membeli kosmetik dengan harga murah telah melembaga dan menjadi suatu kristalisasi dalam kehidupannya. Prinsip yang mengatakan bahwa “lebih baik membeli produk murah dan mendapatkan kualitas baik” nampaknya sudah tidak relevan lagi. Hal tersebut dikarenakan untuk mendapatkan suatu produk (baca: kosmetik) yang mempunyai kualitas baik haruslah membutuhkan biaya produksi yang tidak sedikit.

Selain itu juga yang perlu diperhatikan oleh masyarakat bahwa banyak produk kosmetik yang sudah mempunyai nama (terkenal) tapi djual dengan harga “miring”. Inilah yang terkadang tidak disadari oleh para konsumen Indonesia. Mereka menganggap bahwa merek dari suatu produk lebih diutamakan dari kuantitas harganya. Memang harga yang cukup mahal tidak dapat menjamin bahwa produk tersebut aman untuk dipakai.[11] Namun, apabila kita merujuk pada beberapa hasil penelitian dan pengawasan dari BPOM bahwa kecenderungan kosmetik yang memiliki harga yang jauh lebih murah dari produk asli-nya ataupun jauh dibawah harga pasar produk pada umumnya maka kosmetik tersebut dapat dikategorikan sebgai kosmetik illegal.

Masyarakat hendaknya harus lebih bijak dalam memilih suatu produk untuk dikonsumsi, khusunya para wanita. Para wanita sering kali terjebak pada harga-haraga produk yang cukup menggiurkan. Harga murah dan hasil “cespleng” jangan menjadi suatu acuan dalam membeli kosmetik. Justru harga murah dan hasil “cespleng” dalam tempo singkat 2 atau 3 bulan bahkan hanya beberapa minggu, patut dicurigai dapat saja kosmetik itu merupakan kosmetik ilegal dan mengandung bahan-bahan berbahaya.

Efektifitas Pelaksanaan Prinsip Tanggung Jawab Produk Menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap Kasus Kosmetik Ilegal
Sebagaimana diketahui bahwa tanggung jawab produk (produk liability) merupakan salah satu prinsip yang diakomodir dalam UUPK. Secara historis, jelas bahwa prinsip ini tergolong prinsip yang masih sangat baru di telinga para konsumen Indonesia. Sehingga sangat lumrah apabila eksistensi dan efektifitas dari prinsip ini menjadi salah satu pembicaraan yang hangat bagi para kalangan tidak hanya para konsumen.

Dalam perkembangannya, prinsip ini berkaitan erat dengan prinsip tanggung jawab mutlak. Sehingga konsekuensinya adalah bahwa dengan adanya prinsip ini maka produsen harus berhati-hati dengan produknya, karena tanggung jawab dalam product liability ini menganut prinsip tanggung jawab mutlak.[12] Jadi jelaslah bahwa dalam hal ini, produsen harus lebih pro aktif dalam memproteksi produksi dan distribusi produknya tersebut untuk dijual kepada para konsumen.

Berkaitan dengan permasalahan kosmetik illegal yang marak beberapa tahun ini, nampaknya keberadaan dari prinsip ini untuk setidaknya lebih “mendukung” perolehan hak-hak konsumen untuk mendapatkan perlindungan semakin jauh dari harapan. Banyak sekali hal-hal yang mendasari penghambatan dari efektifitas prinsip tersebut khusunya menyangkut permaslahan kosmetik ilegal. Apakah itu didasari oleh pola pikir konsumen itu sendiri atapun pengaruh intervensi pelaku usaha. Sehingga dalam hal ini konsumen selalu ditempatkan pada posisi yang tidak diuntungkan, karena konsumen diharuskan untuk selalu bersikap hati-hati dalam membeli suatu produk (baca: kosmetik).

Berikut beberapa faktor-faktor yang menyebabkan kurang efektifnya prinsip tanggung jawab produk yang berkaitan dengan kosmetik illegal:

      1. Masih banyak konsumen yang tidak mengajukan gugatan atas tanggung jawab produk terhadap kosmetik ilegal
Sebagaimana layaknya gugatan[13], maka hal tersebut merupakan hak dari konsumen itu sendiri untuk mengajukan ganti rugi terhadap pelaku usaha yang telah menjual kosmetik ilegal. Namun, karena sifat gugatan tersebut adalah “hak” jadi tidak ada paksaan bagi konsumen untuk mengajukan gugatan tersebut.

Hal inilah yang sangat disayangkan. Walaupun sifatnya hanya berupa hak, tapi dengan adanya hak itulah maka hak-hak konsumen untuk mendapatkan perlindungan yang telah dijamin oleh UUPK dapat terealisasi. Banyak alasan mengapa para konsumen yang dirugikan tidak mengajukan gugatan terhadap tanggung jawab produk tersebut. Diantaranya adalah karena mayoritas konsumen kosmetik ilegal merupakan masyarakat kalangan ekonomi menengah keatas, sehingga mereka akan merasa malu apabila mengajukan gugatan ganti rugi kepada pelaku usaha ke pengadilan. Mereka juga tidak mau apabila masalah yang berkaitan dengan permasalahan pribadi layaknya akibat pemakaian kosmetik ilegal tersebut sampai diketahui oleh orang banyak atau bahkan dipublikasi media massa.

Berdasarkan penilitian yang dilakukan oleh Yayasan Perlindungan Konsumen Indonesia (YLKI), bahwa sebagian besar konsumen yang dirugikan akibat pemakian kosmetik ilegal lebih berkeinginan langsung berobat ke dokter kulit.[14] Mereka lebih baik “mengadu” kepada dokter, dikarenakan rahasia mereka akan akibat yang diderita dari penggunaan kosmetik ilegal tidak akan dipublikasi layaknya apabila mereka mengadu kepada YLKI. Sehingga dapat dipastikan tingkat pengaduan konsumen yang dirugikan kepada YLKI sangatlah minim.

Tidak hanya itu, para konsumen yang tidak mengajukan gugatan tersebut juga dipengaruhi oleh ketidakpahaman mereka terhadap mekanisme yang harus dihadapi dalam konteks beracara di pengadilan. Hal tersebut berkaitan dengan minimnya pengetahuan dan pendidikan para konsumen yang sekaligus mempengaruhi tingkat kesadaran hukumnya.[15] Oleh karena itu sangat diperlukan peranan beberapa lembaga-lembaga swadaya masyarakat agar dapat melakukan penyuluhan terhadap mereka yang dirugikan akibat tingkah laku para pelaku usaha.

Selanjutnya banyak para konsumen yang tidak mengajukan gugatan adalah karena belum memperoleh suatu bukti yang memadai. Untuk mendapatkan suatu bukti dan merentangkannya di pengadilan tidaklah mudah. Karena selain korban/konsumen kosmetik ilegal harus dapat membuktikan adanya hubungan kausalaitas antara perbuatan pelaku usaha dengan kerugian konsumen, pelaku usaha juga dapat mengajukan kontra dalil yang dapat melawan bukti yang diajukan konsumen.[16]

Jadi, setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan para konsumen tidak mengajukan gugatan atas tanggung jawab produk kosmetik ilegal kepada para pelaku usaha. Hal inilah yang seharusnya diperhatikan oleh pemerintah agar setidaknya efektifitas dari impleentasi tanggung jawab produk tersebut dapat terlaksana dengan baik.

2. Kedudukan pelaku usaha yang lebih kuat dibandingkan dengan konsumen
Dalam dunia bisnis, setidaknya ada dua pihak yang terlibat didalamnya yaitu pelaku usaha (penjual) dan konsumen (pembeli). Secara kontekstual kedudukan kedua pihak ini adalah seimbang dimana para pihak mempunyai kedudukan yang sama dalam melakukan transaksi. Namun, kedudukan seimbang tersebut hanya berlaku dalam suatu kondisi yang dapat menguntungkan si pelaku usaha.

Seharusnya terhadap kosumen yang dirugikan atas produk kosmetik ilegal tersebut mengajukan gugatan ganti rugi ke pengadilan. Tapi dalam tatanan praktis, banyak sekali para konsumen yang mencabut atau enggan melakukan hal tersebut dengan berbagai macam alasan salah satunya adalah pemahaman yang menyatakan bahwa kedudukan pelaku usaha lebih kuat dibandingkan dengan konsumen. Tidak mengherankan memang apabila sudut pandang kosumen selalu di-nomordua-kan, karena dalam hubungan tersebut konsumenlah yang membutuhkan pelaku usaha bukan sebaliknya.

Konsumen selalu diibaratkan seperti “pemohon” yang hendak menginginkan sesuatu kepada pelaku usaha. Dengan adanya kondisi sosiologis yang dialegtis tersebut maka sudah barang tentu kedudukan penjual sedikit lebih diatas dari konsumen. Sehingga hal inilah yang dapat mengahambat efektifitas dari implementasi dari prinsip tanggung jawab produk tersebut.

Seringkali konsumen merasakan adanya suatu tekanan secara psikis dari para pelaku usaha apabila tetap mempermasalahkan prinsip tanggung jawab produk tersebut. Konsumen kosmetik ilegal khususnya yang memilki kondisi ekonomi menengah kebawah akan merasakan suatu ketakutan apabila berhadapan dengan si pelaku usaha. Tidak berlebihan memang, karena mayoritas pelaku usaha itu sendiri adalah berasal dari kalangan ekonomi menengah keatas. Dapat dipastikan, konsumen akan mengalami suatu intervensi tidak hanya yang bersifat material tapi juga immaterial. Sebagai contoh, terhadap konsumen yang memilki kedudukan ekonomi lemah biasanya mereka tidak memiliki banyak kemampuan untuk menyewa pengacara, memeriksakan bukti yang didapat ke laboratorium atau membayar ongkos perkara.[17]

Tidak hanya itu, faktor pendidikan dan pengetahuan konsumen yang rendah terhadap kosmetik menjadi salah satu penyebab terjadinya suatu ketimpangan antara kedudukan konsumen dan pelaku usaha. Saat ini saja pendidikan dan pengetahuan konsumen atas kosmetik ilegal masih sangat memprihatinkan. Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa banyak diantara konsuem adalah seseorang yang memilki latar belakang akademis yang cukup baik namun itu tidak berlaku dalam konteks dunia bisnis. Terkadang para pelaku usaha lebih banyak mendominasi hal tersebut.

Persepsi yang menyatakan bahwa kedudukan pelaku usaha lebih tinggi atau kuat bila dibandingkan dengan konsumen bukan merupakan suatu yang baru. Hal tersebut setidaknya didasari oleh pemikiran teori caveat emptor, dimana konsumen harus lebih berhati-hati dan perlu mendapat informasi yang cukup sebelum memutuskan untuk membeli atau memakai barang dan/atau jasa (baca: kosmetik) dari pelaku usaha. Dengan adanya pemahaman teorits seperti ini maka dalam transaksi secara hukum keduanya dalam kedudukan berimbang namun yang lebih mengetahui keadaaan dan sifat suatu produk adalah pelaku usaha.

Sebaliknya, konsumen biasanya tidak mengetahui sifat dan keadaan suatu barang yang akan dibelinya. Secara ekonomi, kedudukan konsumen lebih lemah dibandingkan dengan kedudukan pelaku usaha. Selain itu konsumen mempunyai banyak keterbatasan ketika akan menuntut haknya jika menganut teori ini. Berdasarkan teori tersebut, secara tersirat menyatakan bahwa pada dasarnya kedudukan pelaku usaha lebih kuat dibandingkan konsumen dengan berbagai macam argumentasi yang cukup masuk akal.

Dengan demikian, berkembangnya suatu persepsi dan pemahaman yang menyatakan kedudukan pelaku usaha lebih kuat dibandingkan dengan konsumen inilah yang akan membawa dampak terhambatnya pelaksanaan dari prinsip tanggungjawab produk tersebut. Konsumen terlihat seperti “macan ompong” ketika akan berhadapan dengan pelaku usaha yang telah membawa dirinya mengalami kerugian atas pemakaian kosmetik ilegal.


DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU:
Celina Tri Siwi Kistiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen, PT Citra Aditya Bakti
Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, PT Citra      Aditya             Bakti, Bandung: 2009
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Gramedia Widiasarana Indonesia, Edisi      Revisi 2006
Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT Raja Grafindo     Persada
Subekti,  Hukum Perjanjian, PT Intermassa, Jakarta
N.H.T Siahaan, Hukum Perlindungan Konsumen: Perlindungan Konsumen dan Tanggung            Jawab Produk, Penerbit Pantai Rei

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Keputusan Presiden No. 13 Tahun 1997
Keputusan Presiden Nomor 103 tahun 2001

INTERNET:
http://bioglodedejusha2.multiply.com/journal/item/2
http://bioglodedejusha2.multiply.com/journal/item/2

http://www.sinarharapan.co.id/.../bpom-sita-70-jenis-kosmetik-berbahaya/?.

  

DAFTAR 27 KOSMETIK BERBAHAYA BERDASARKAN HASIL UJI LABORATORIUM YANG DILAKUKAN BPOM PADA TAHUN 2007:[18]


1. Doctor Kayama (Whitening Day Cream) diproduksi oleh CV. Estetika Karya Pratama, Jakarta mengandung merkuri.

2. Doctor Kayama (Whitening Night Cream) diproduksi oleh CV. Estetika Karya Pratama, Jakarta mengandung merkuri.

3. MRC Putri Salju Cream diproduksi oleh CV. Ngongoh Cosmetic, Bekasi mengandung retinoic acid.

4. MRC PS Crystal Cream diproduksi oleh CV. Ngongoh Cosmetic, Bekasi mengandung retinoic acid.

5. Blossom Day Cream, tak diketahui produsennya, mengandung Merkuri.

6.Blossom Night Cream, tak diketahui produsennya, mengandung Merkuri.

7. Cream Malam, distributor Lily Cosmetics, Yogyakarta mengandung Merkuri.

8. Day Cream Vitamin E Herbal diproduksi PT. Locos, Bandung mengandung Merkuri.

9. Locos Anti Flek Vit.E dan Herbal diproduksi PT. Locos, Bandung mengandung Merkuri.

10. Night Cream Vitamin E Herbal diproduksi PT. Locos, Bandung mengandung Merkuri.

11. Kosmetik Ibu Sari Krim Siang, tidak ada produsennya, mengandung Merkuri.

12. Krim Malam, tidak ada produsennya, mengandung Merkuri.

13. Meei Yung (putih) diimpor dari Huang Zhou mengandung Merkuri.

14. Meei Yung (kuning) diimpor dari Huang Zhou mengandung Merkuri.

15. New Rody Special (putih) diimpor dari Shenzhen, China mengandung Merkuri.

16. New Rody Special (kuning) diimpor dari Shenzen, China mengandung Merkuri.

17. Shee Na Whitening Pearl Cream dari Atlie Cosmetic mengandung Merkuri

18. Aily Cake 2 in 1 Eye Shadow "01", tidak ada produsennya, mengandung merah K.3.

19. Baolishi Eye Shadow diproduksi dari Baolishi Group Hongkong mengandung Rhodamin B (merah K.10).

20. Cameo Make Up Kit 3 in 1 Two Way Cake dan Multi Eye Shadow dan Blush dari Tailamei Cosmetic Industrial Company mengandung Rhodamin B.

21. Cressida Eye Shadow, tak ada produsennya, mengandung Rhodamin B.

22. KAI Eye Shadoq dan Blush On mengandung Rhodamin B.

23. Meixue Yizu Eye Shadow diproduksi oleh Meixue Cosmetic Co.Ltd mengandung Merah K.10.

24. Noubeier Blusher diproduksi oleh Taizhou Xhongcun Tianyuan mengandung Merah K 3.

25. Noubeier Blush On mengandung merah K 3 dan Rhodamin B.

26. Noubeier Pro-make up Blusher No.5 diproduksi oleh Taizhou Zhongcun Tianyuan Daily-Use Chemivals Co Ltd mengandung merah K3.

27. Sutsyu Eye Shadow diproduksi oleh Sutsyu Corp Tokyo mengandung Merah K3.

Merek Kosmetik Berbahaya yang Dilarang Beredar:[19]

1. Yen Lye YL II Day Cream CL: No. pendaftaran palsu; produsen Yu Lin Co. Ltd Taipei, Taiwan; positif Mercuri/Hg
2. Yi Fuli Day dan Night Cream CL. 1006890202: No. pendaftaran palsu; tidak ada produsen, positif Mercuri/Hg
3. ARCHE Pearl Cream: tidak terdaftar; tidak ada produsen, positif Mercuri/Hg
4. Cecily Beauty Cream New Formula: tidak terdaftar; mengandung Mercuri (Hg)
5. Cream Mutiara (pagi) dan Cream Kuning (malam): tidak terdaftar; berasal dari Hongkong, positif Mercuri (Hg)
6. 6 CB Spesial Whitening Come Beauty Pearl Cream: tidak terdaftar; asal Taiwan; positif Mercuri (Hg)
7. Donna Peapis Crème, Tidak terdaftar, Produsen Donna Cosmetic, positif mengandung Hg (Merkuri)
8. Krem Kuning dan putih (aksara Cina), tidak terdaftar, tidak tercantum produsen/importir, mengandung Hg (Merkuri)
9. Leeya Whitening Daily dan Night Use, tidak terdaftar, asal Cina, mengandung Hg (Merkuri) & Kadar Hidrokuinon: 2,62%




                [1] Celina Tri Siwi Kistiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, hlm 99
                [2] Ibid., hlm 101
                [3] Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen, PT Citra Aditya Bakti, hlm 236               
                [4] www.sinarharapan.co.id/.../bpom-sita-70-jenis-kosmetik-berbahaya/?.
                [5] http://bioglodedejusha2.multiply.com/journal/item/2
                [6] Baca Celina Tri Siwi Kistiyanti, Op. cit., hlm 100
                [7] http://bioglodedejusha2.multiply.com/journal/item/2
                [8] Diatur Keputusan Presiden No. 13 Tahun 1997 yang disempurnakan dengan Keputusan Presiden No. 166 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah dan yang terakhir dengan Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001, merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen dengan tugas pokok mengembangkan dan membina kegiatan standardisasi di Indonesia
                [9] Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 103 tahun 2001, Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) ditetapkan sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang bertanggung jawab kepada Presiden.
                [11] Lihat http://202.57.16.35/2008/id/berita_detail.asp?idwil=0&nNewsId=31517. Setidaknya ada dua orang artis papan atas Indonesia yang menjadi korban dari kosmetik illegal dengan harga yang cukup mahal, yaitu sekitar Rp 2,5 juta.
                [12] Celina Tri Siwi Kistiyanti, Op. cit., hlm 99
                [13] Baca ketentuan Pasal 19 UUPK.
                [14] http://bioglodedejusha2.multiply.com/journal/item/2
                [15] Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. cit., hlm 186
                [16] N.H.T Siahaan, Hukum Perlindungan Konsumen: Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Penerbit Pantai Rei, Desember 2005, hlm 175
                [17] Ibid., hlm 175
                [19] http://bioglodedejusha2.multiply.com/journal/item/2

Palembang, Desember 2009
M. Alvi Syahrin

1 comment:

  1. Benar kaka...sekarang apalagi dengan terbukanya persaingan dengan adanya sosial media yg menjadi wadah penjualan ada kemungkinan kosmetik ilegal dan bahkan bisa meracik sendiri tanpa dasar dan juga tanpa ada izin dari BPOM

    ReplyDelete