Wednesday, November 20, 2013

AUSTRALIA MENYADAP, IMIGRASI BERSIKAP

Berawal dari Status Facebook...
Berawal dari sebuah status facebook milik Bapak Intji Diqa Pribadi, Amd.Im., SH (Kasi Lalintuskim Kanim Kelas II Muara Enim) yang bertuliskan: “Penyadapan = Perubahan Kebijakan Imigran Ilegal”, menjadi inspirasi bagi saya untuk membuat sebuah tulisan singkat. Status ini menarik perhatian saya, karena kasus penyadapan yang dilakukan oleh Pemerintah Australia terhadap beberapa pejabat pemerintahan Indonesia saat ini (sebut saja Presiden RI, First Lady, dan beberapa menteri pada Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I) akan memiliki relevansi yang kuat dalam menentukan arah kebijakan penanganan imigran ilegal ke depan.

Kasus penyadapan yang dilakukan oleh Australia kini telah menjadi diskursus hangat baik itu oleh media, pemerintahan, akademisi, bahkan masyarakat. Beragam aksi protes dan kontra terhadap sikap australia telah dilontarkan oleh pemerintah kita. Walaupun terkesan lamban dan cenderung kurang reaktif atas kejadiaan ini, setidaknya dapat menjadi jawaban bahwa Indonesia tidak berdiam diri dan menegaskan bahwa Indonesia bukanlah negara yang dapat diremehkan.

Penyadapan dalam dunia intelijen, sejatinya bukanlah perkara yang krusial. Penyadapan kerap dilakukan oleh berbagai negara dalam rangka menghimpun informasi guna mencari tahu kelemahan negara (lawan) lain, ataupun memperkuat sistem keamanan negara yang bersangkutan. Penyadapan merupakan hal yang lumrah. Tapi menjadi hal yang aneh apabila, penyadapan dilakukan oleh negara yang dalam setiap forum internasional menyatakan dirinya (Australia) sebagai negara sahabat dari Indonesia. Lantas apakah ini hanya lip service balaka?

Dalam beberapa kesempatan, Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) beserta Menteri Luar Negeri, Marti Natalegawa, telah menyampaikan beberapa kekecewaannya terhadap kasus ini. Mereka berpendapat bahwa Australia bukanlah tetangga yang baik. Australia yang kita nilai sebagai negara sahabat, ternyata malah mengkhianati. Sungguh telah menciderai nilai demokrasi yang telah disepakati bersama.

Hal ini semakin diperparah dengan pernyataan Perdana Menteri Australia, Tony Abbot, yang menyatakan tidak dan tidak akan pernah meminta maaf kepada Indonesia atas insiden ini. Sungguh menjadi pukulan telak bagi Indonesia. Sejatinya, isu penyadapan yang dilakukan oleh Australia terhadap petinggi negara ini pada tahun 2009, dapat dijadikan sebagai momentum untuk meninjau kembali semua kerja sama yang telah dilakukan bersama Australia, baik itu dalam bidang ekonomi, politik, sosial,ataupun militer.

Isu Sensitif
Dalam tulisan ini saya tidak akan banyak membahas soal penyadapan dan isu lainnya. Sudah cukup banyak media yang mengupas hal itu. Namun, dari sekian banyak berita terkait dengan sikap kontra Indonesia terhadap penyadapan yang dilakukan Australia, tidak ada yang menyinggung soal sikap pemerintah Indonesia dan Australia dalam menangani kebijakan imigran ilegal. Padahal isu sensitif ini dapat menjadi bagian dari posisi tawar Indonesia terhadap Australia, mengingat Indonesia merupakan negara transit bagi pencari suaka (asylum seeker) ataupun pengungsi (refugee) yang hendak ke Australia sebagai negara tujuan.

Masalah penanganan imigran ilegal merupakan masalah besar baik itu bagi Australia ataupun Indonesia sendiri. Kita ketahui bersama bahwa Indonesia sampai saat ini belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 terkait masalah pengungsi, sehingga konsekuensi yuridisnya, Indonesia tidak memiliki kewajiban apapun terhadap penanganan imigran ilegal, baik itu pengungsi ataupun pencari suaka. Oleh karenanya, dalam menangani kasus pencari suaka dan pengungsi, pemerintah Indonesia meminta bantuan kepada Organisasi Urusan Pengungsi PBB, yaitu United Nations High Commisioner for Refugees (UNHCR) dan International Organization of Migration (IOM). Lain halnya dengan Australia yang telah meratifikasi aturan ini, sehingga mereka terikat untuk melaksanakan kewajiban tersebut.

Sebagai negara yang memiliki letak geografis yang sangat strategis, maka Indonesia kerap “disinggahi” oleh para pencari suaka ataupun pengungsi untuk bermigrasi ke Australia. Mereka yang hendak menuju ke Australia sebagai negara tujuan, tentu harus melewati Indonesia. Di antara mereka mayoritas berasal dari negara konflik (bagian afrika, ataupun asia selatan). Sehingga tidak heran apabila Indonesia dipandang sebagai negara yang ramah terhadap masuknya imigran.

Masalah Serius Bagi Indonesia
Indonesia dan Australia tentu sadar akan hal ini. Selain Australia yang menyimpan masalah terhadap datangnya arus imigran ilegal ini, Indonesia pun juga menghadapi hal yang sama. Sebagai contoh, fenomena yang terjadi sekitar tahun 1979, saat Indonesia kedatangan ratusan ribu pengungsi dari Vietnam, Laos, yang meninggalkan negara mereka akibat konflik bersenjata. Sampai kini, masalah migrasi di wilayah Indonesia ternyata masih terus berlanjut. Ribuan orang dari berbagai negara konflik terus masuk ke wilayah Indonesia, baik secara legal maupun ilegal, melalui darat, laut, maupun udara dengan menyatakan diri sebagai pencari suaka.

Berdasarkan data intersepsi bulan Agustus 2013, ada 38 kasus ditemukan diberbagai wilayah Indonesia dengan total 958 orang. Jumlah tersebut tentu menambah angka yang sudah ada saat ini berkisar 3.800 orang, baik itu yang ditempatkan di Rumah Detensi Imigrasi maupun tempat-tempat penampungan yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi (Ditjen Imigrasi). Angka tersebut bukanlah angka pasti, sebab masih ada banyak imigran ilegal yang luput dari pengawasan Ditjen Imigrasi. Mereka tinggal menyebar dengan menyewa rumah-rumah warga atau tinggal di hotel bahkan apartemen di beberapa kota di Indonesia.

Berdasarkan pemberitaan dari detik.com, gelombang kedatangan imigran ke Indonesia masih berlanjut sampai sekarang. Kali ini di kecamatan Cibalong, Garut. Sebanyak 106 imigran etnis Rohingya yang berasal dari negara Myanmar terpergok dan diamankan oleh pihak kepolisian pada hari minggu (17/11/2013). Para imigran yang terdiri dari 67 pria, 16 wanita, dan 20 anak-anak, diduga hendak menyebrang ke Australia. Kini mereka semua telah diserahkan ke Kantor Imigrasi Kelas II Tasikmalaya untuk dikembalikan ke negara asalnya.

Sudah sejak lama, Indonesia menghadapi masalah dengan orang-orang asing yang mengaku sebagai pencari suaka, untuk diproses statusnya sebagai pengungsi. Meski bukan sebagai negara tujuan, Indonesia sering dipakai sebagai negara transit karena posisi geografis Indonesia berada pada jalur menuju perlintasan negara tujuan suaka, yaitu Australia. Dari Indonesia, mereka berniat masuk ke negara tujuan suaka, rata-rara mereka berniat ke Australia, baik secara legal ataupun ilegal, dengan menggunakan status pengungsi yang dikeluarkan oleh UNHCR mewakili pemerintah Indonesia.

Kedatangan para imigran ilegal ke wilayah Indonesia ini jumlahnya terus meningkat, sehingga mulai menimbulkan kekhawatiran dan ketidaknyamanan serta berpeluang menimbulkan gangguan sosial, kemanan politik, bahkan ketertiban di masyarakat. Jumlah kedatangan mereka tidak sebanding dengan angka penyelesaian atau penempatan ke negara penerima (Australia), termasuk yang dipulangkan secara sukarela dan dideportasi dari wilayah Indonesia. Keberadaan mereka sangat rentan baik dari sisi status, ekonomi, serta psikologis sehingga berpeluang dimanfaatkan oleh jaringan penyelundupan manusia, perdagangan orang narkoba, serta kegiatan kriminal lain termasuk jaringan terorisme internasional. Hal ini bisa menimbulkan dampak serta berbagai masalah di Indonesia.

Fenomena atas penolakan sebagian warga Bogor terhadap keberadaan para imigran yang tinggal di sekitar Cisarua, Bogor, konon berawal dari ketidaknyamanan warga yang mulai terganggu dengan keberadaan para imigran menurut masyarakat setempat, perilaku imigran semakin seenaknya, bahkan mulai mengabaikan masalah hukum di Indonesia.

Masalah imigran ilegal di Indonesia tidak hanya berhenti pada titik ini. Masalah biaya hidup dan tempat tinggal  para imigran ilegal juga menjadi sorotan. Para pencari suaka mendapat tunjangan biaya hidup sekitar 1,2 juta rupiah per orang, per bulan. Bila satu keluarga terdiri dari sepasang suami-istri dengan dua orang anak, maka dalam satu bulan mereka bisa mendapatkan sekitar 4,8 juta rupiah.

Dalam “Forum Komunikasi Antar Instansi di Wilayah Kota Depok dalam Rangka Imigran Gelap dan Pencari Suaka di Indonesia”, yang diselenggarakan oleh Kantor Imigrasi Kelas II Depok di Hotel Mirah, Bogor tanggal 12 September 2013, salah satu perwakilan dari kecamatan di Kabupaten Bogor menanyakan keberadaan serta status dana biaya hidup para imigran tersebut. Di tengah antrian berdesakan warga masyarakat mengambil dana BLSM yang (hanya) sekitar 150 ribu rupiah, maka biaya hidup para imigran itu menjadi sangat mewah dan “menggiurkan”. Ada kecurigaan dari pihak kecamatan bahwa dana tersebut berasal dari dana pemerintah Indonesia.

Mengutip pernyataan dari Yusril Ihza Mahendra dalam kicauan twitternya hari selasa kemarin (19/11/2013), bahwa penanganan imigran ilegal harus diperhatikan secara proposial mengingat, masih banyak warga Indonesia sendiri yang kehidupan ekonominya belum layak. “Padahal rakyat kita sendiri saja miskin, kok masih harus menahan dan menampung begitu banyak imigran asing yang mau ke Australia”, tegas Yusril.

Dilema Indonesia
Dalam Pasal 8 ayat (2) UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (yang sebelumnya menggantikan UU No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian), telah menentukan bahwa setiap orang asing yang masuk dan keluar wilayah Indonesia wajib memiliki Visa yang sah dan masih berlaku, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-Undang ini dan perjanjian internasional. Pasal 9 juga menegaskan bahwa setiap orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia wajib melalui pemeriksaan yang dilakukan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi. Ketentuan selengkapnya dapat dibaca pada Bab III UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.

Atas dasar hukum inilah, maka setiap imigran masuk wilayah Indonesia tidak berdasarkan aturan dimaksud, maka disebut sebagai imigran ilegal, sehingga dapat dikenakan sanksi pidana. Dalam Pasal 113 UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian disebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja masuk atau keluar wilayah Indonesia yang tidak melalui pemeriksaan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Namun dalam das sein (kenyataan) nya, perlakuan akan berbeda ketika pihak Imigrasi Indonesia berhadapan dengan pencari suaka dan pengungsi yang dalam perjalananya hendak ke negara tujuan, yaitu Australia. Apalagi Indonesia sejauh ini belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang Pengungsi, sehingga Indonesia tidak memiliki kewajiban apapun terkait dengan keberadaan imigran ilegal ini.

Namun, dengan mengatasnamakan alasan kemanusiaan dan HAM, maka Indonesia seolah terikat akan kewajiban itu. Belum lagi dengan adanya IOM (yang disinyalir merupakan organisasi buatan Australia untuk “menampung” imigran ilegal di Indonesia yang hendak ke Australia), semakin membuat posisi Indonesia menjadi sulit. Adanya beberapa instrumen hukum yang mengatur soal penanganan imigran ilegal, tentu membuat keadaan semakin serba dilematis. Sebut saja, Perdirjenim No.IMI-1489.UM.08.05 Tahun 2010 tentang Penanganan Imigran Ilegal, TAP MPR No.XVII/MPR/1998 yang berisikan Piagam Hak Asasi Manusia, UUD 1945 (Amandemen) yang berorientasi pada HAM, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asas iManusia, UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, UU No. 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi, dan juga diratifikasinya 7 dari 8 International Human Right Treaties, antara lain: CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), CRC (Convention on the Rights of the Child), ICCPR (International Convenant on Civil and Political Rights), ICESCR (International Convenant on Economic, Social, and Cultural Rights), CAT (Convenant Against Torture), (ICERD (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination), dan CRPD (Convention on the Rights of Persons with Disability). Instrumen hukum baik nasional dan internasional itu, tentu menjadi suatu dilema yang berat bagi Indonesia, dalam penanganan imigran ilegal. Padahal telah jelas, bahwa dalam UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dan tidak diratifkasnya Konvensi 1951 dan Protokol 1967, membuat Indonesia dalam posisi tidak ada kewajiban terhadap penanganan imigran ilegal.

Re-orientasi Kebijakan Australia
Masalah imigran ilegal juga menjadi permasalahan besar bagi Australia yang kerap menjadi negara tujuan. Banyak alasan orang bermigrasi ke Australia, namun rata-rata mereka datang ke Australia untuk memperoleh masa depan yang lebih baik bagi dirinya keluarga, juga bagi keturunannya. Dengan beragam bangsa dan banyak kebudayaan yang berbeda. Australia kemudian tumbuh sebagai negara multikulturalisme, negeri dengan banyak kebudayaan. Ada toleransi terhadap kebudayaan dan bangsa yang berlainan, karena hukum Australia melindungi orang dari diskriminasi ras.

Menurut Biro Statistik Australia, penduduk Australia pada hari selasa tanggal 23 April 2013 akan menjadi 23 juta jiwa. Australia mencatat tingkat pertumbuhan penduduk sekitar 1,7 persen. Berarti, setiap hari penduduk Australia bertambah sekitar 1.048 jiwa. Bagi negara maju, pertumbuhan penduduk Australia termasuk tinggi, bahkan lebih tinggi dari India yang memiliki pertumbuhan penduduk sekitar 1,4 persen.

Namun menurut ahli kependudukan Australia, pertumbuhan penduduk Australia bukan dipicu oleh angka kelahiran, melainkan karena migrasi penduduk yang datang ke Australia. Diperkirakan migrasi telah menyokong pertumbuhan penduduk sekitar 60 persen, sedang proprosi kelahiran justru menurun dari 60 persen menjadi 40 persen.

Kedatangan para imigran ke Australia dalam jumlah besar kini mulai dirasakan mengganggu oleh pemerintah Australia. Menurut Australian Department of Immigration and Citizenship, otoritas yang berwenang mengurusi soal keimigrasian dan kewarganegaraan di Australia, dalam 4 tahun terakhir terjadi peningkatan pencari suaka yang kebanyakan datang dengan perahu melalui perairan dari wilayah Indonesia. Pada tahun 2010  ada sebanyak 6.535 orang, tahun 2011 sekitar 4.565 orang, tahun 2012 melonjak menjadi 17.202 orang dan sampai dengan Juli tahun 2013, sudah mencapai 15.182 orang.

Tony Abbot, Perdana Menteri Australia, sempat menggunakan isu sensitif ini dalam kampanyenya dalam pemilihan Perdana Menteri Australia yang baru. Dia berjanji untuk menerapkan kebijakan baru, yaitu “perang melawan penyelundupan manusia” ke wilayah Australia. Selain itu, Tony Abbot juga akan menerapkan visa sementara, bukan izin menetap, bagi para imigran yang telah diproses menjadi pengungsi. Visa tersebut berlaku selama tiga tahun dan akan dicabut bila sudah tidak sesuai lagi.

Atas dasar inilah, maka Australia merubah kebijakannya dalam menghadapi persoalan para imigran. Namun, kebijakan Australia terhadap imigran ilegal ini tentunya berbeda dengan beberapa tahun bahkan puluhan tahun yang lalu, disaat Australia masih membutuhkan invansi penduduk dalam jumlah yang besar. Australia kini sangat selektif bahkan terkesan membatasi masuknya para imigran, baik itu secara legal ataupun ilegal. Belum lagi terkait dengan kebijakan bagi setiap pencari suaka yang masuk dan telah berada di Australia, yang akan dialihkan langsung ke negara ketiga, yaitu Papua Nugini. Kebijakan ini tentu akan merugikan Indonesia sebagai negara transit bagi mereka yang sedari awal  hendak ke negara tujuan, yaitu Australia.

Perubahan Kebijakan Penanganan Imigran Ilegal
Dalam konteks ini, tentu benang merahnya adalah Australia sangat berkepentingan terhadap Indonesia. Indonesia dipandang sebagai negara pertama yang dapat menahan masuknya arus imigran ilegal yang tidak diharapkan oleh Australia. Australia menganggap Indonesia memilii peran strategis, untuk menangkal para imigran ilegal masuk ke wilayah Australia. Tidak sedikit dari mereka berlayar menggunakan perahu (sehingga ada sebutan “manusia perahu”) untuk berlayar menuju ke Australia sebagai negara tujuan akhir. Mereka menganggap Australia sebagai negara yang dapat menjanjikan kebahagiaan hidup, yang tidak mereka dapat di negara mereka sebelumnya.

Baru-baru ini Pemerintah Australia mengeluarkan kebijakan baru terkait masalah pencari suaka yang masuk negaranya. Australia melibatkan Pemerintah Papua Nugini dalam sebuah kesepakatan bersama yang ditanda tangani tanggal 19 Juli 2013. Kebijakan tersebut memuat bahwa pencari suaka yang tiba di Australia dengan mengguakan perahu, akan langsung dikirim ke Papua Nugini, sebagai negara ketiga. Mereka akan diproses untuk ditempatkan (secara permanen) di Papua Nugini, bukan di Australia. Kebijakan tersebut dibuat, untuk menghambat tindak kejahatan penyelundupan manusia ke Australia, terutama oleh pencari suaka yang datang di pantai-pantai Australia dengan memakai perahu.

Hal ini tentu berpengaruh terhadap situasi di Indonesia. Para imigran yang semula merencakan masuk ke Australia menggunakan perahu ada kemungkinan membatalkan niat mereka. Syukur bila mau dipulangkan kembali ke negara mereka secara suka rela. Namun bagaimana jika mereka “berminat tinggal” di Indonesia? Atau mereka akan menempuh jalur legal lewat UNHCR, dengan menunggu status sebagai pengungsi yang minimal memakan waktu 2 tahun?

Lalu bagaimana bila setelah mendapat status sebagai pengungsi, UNHCR menempatkan mereka ke negara ketiga tidak ke Australia? Apakah kebijakan pemerintah Australia menolak pencari suaka perahu merupakan kebijakan final atau pemerintah Australia masih bisa menerima pengungsi atas rekomendasi dari UNHCR? Bagi Indonesia apakah ini bukan sebuah “bom waktu”?

Kini, penanganan imigran ilegal kembali menjadi isu yang hangat antara Indonesia dan Australia setelah ada puluhan imigran yang diselamatkan oleh pihak Australia di perairan perbatasan Indonesia dan Australia. Otoritas imigrasi Australia meminta Indonesia menampung para imigran tersebut karena diklaim ditangkap di wilayah perairan Indonesia. Namun, Indonesia menolak dengan alasan ekonomi dan sosial. Ada temuan yang berkembang bahwa para imigran itu memang sengaja digiring oleh pihak Australia untuk masuk ke perairan Indonesia. Kejadian ini menjadi sinyal bahwa sejatinya Australia telah merubah orientasinya dalam penangananan para imigran. Tentu ini akan berdampak buruk pada hubungan diplomatik antara Indonesia dan Australia, yang kini diperparah dengan berkembangnya kasus penyadapan.

Reaksi Pemerintah atas Kasus Penyadapan
Dari sekian banyak reaksi kontra pemerintah soal penyadapan yang dilakukan Australia terhadap Indonesia, yang membuat saya tertarik adalah pernyataan Presiden SBY dalam pidatonya yang menyikapi soal penanganan imigran ilegal dan penyelundupan manusia (people smugling). Dalam pidatonya tersebut, Presiden SBY menyatakan akan meninjau kembali (review) beberapa perjanjian kerja sama strategis dengan Australia. Berikut isi pidato Presiden SBY dalam point 2 terkait dengan peninjauan kembali beberapa kerjasama strategis dengan Australia:

“....Saya juga minta dihentikan sementara yang disebut dengan coordinated military operations. Saudara tahu bahwa menghadapi permasalahan bersama people smugling yang merepotkan Indonesia dan Australia, kita punya kerjasama yang disebut coordinated military operations. Coordinated control di wilayah lautan. Ini saya meminta dihentikan dulu, sampai semuanya jelas. Tidak mungkin kita melanjutkan semuanya itu kalau kita tidak yakin tidak ada penyadapan terhadap tentara Indonesia, terhadap kita yang secara bersama-sama justru mengemban tugas untuk kepentingan kedua negara....”

Menyitir pernyataan Burhanuddin Muhtadi (Peneliti LSI) dalam acara “Gesture” di tvOne tadi malam (21/11/2013) yang menyatakan bahwa Australia kini dalam posisi yang sulit apabila Indonesia memutuskan perjanjian kerja sama soal penanganan imigran ilegal dan people smugling. “Australia sebenarnya dalam posisi yang sulit. Akan menjadi sebuah bencana bagi Australia, apabila Indonesia menghentikan perjanjian bilateral dengan Australia soal people smugling. Belum lagi soal imigran ilegal. Padahal penegakan hukum terkait dengan kedua kasus itu adalah “jualannya” Tony Abbot dalam kampanyenya dalam pemilihanPerdana Menteri Australia kemarin”, tegas Burhanuddin. Menurut saya, apabila ini terbukti terjadi, maka akan menjadi persoalan serius bagi Australia ke depannya.

Penyadapan = Perubahan Kebijakan Penanganan Imigran Ilegal
Tentu hal ini akan menjadi masalah krusial bagi Indonesia, mengingat Indonesia sendiri tidak memiliki kewajiban apapun dalam menangani masalah imigran ilegal. Oleh karenanya, terkait dengan adanya kasus penyadapan yang dilakukan oleh pihak Australia terhadap pejabat di pemerintahan Indonesia, harus dijadikan momentum bagi Indonesia sendiri untuk meninjau kembali kebijakan penanganan para imigran ilegal. Kiranya ini dapat menjadi momentum yang pas bagi pemerintah Indonesia untuk menaikkan nilai dan posisi tawar (bargaining position) terhadap Australia yang hingga kini belum memberikan reaksi serius ataupun pernyataan permintaan maaf atas adanya kasus penyadapan tersebut.

Indonesia harus jeli memanfaatkan situasi ini. Australia tentu sangat berkepentingan dengan Indonesia. Ditambah lagi adanya kasus penyadapan, yang semakin membuat Australia dalam posisi sulit. Setidaknya apabila memang diperlukan, Indonesia dapat mengancam pihak Australia dengan skeneario bahwa setiap pencari suaka dan pengungsi yang masuk dan berada di Indonesia, akan langsung dikirim ke Australia. Tentu hal ini tidak diinginkan oleh Australia mengingat akan berdampak luas pada eksistensi Australia sebagai negara yang meratifikasi Konvensi 1951 dan protokol 1967 tentang pengungsi. Oleh karenanya pembahasan ini menjadi penting bagi Indonesia dalam menyikapi kasus penyadapan, setidaknya menjadi alternatif ancaman bagi Australia yang bersikap arogan terhadap Indonesia. (ALVI)

Muara Enim, November 2013
M. Alvi Syahrin

2 comments:

  1. Sangat menarik isu yang diangkat Mas Alvi, sering kali kita lupa akan identitas diri kita sebagai negara berdaulat. Kedaulatan adalah hal yang mutlak bagi suatu negara (indonesia) termasuk kedaulatan menegakkan hukum kita sendiri. Pada prinsipnya permasalahan imigran ilegal telah diatur di dalam Undang-Undang No 6 tahun 2011 tentang keimigrasian akan tetapi dalam tahap implementasi kita cenderung terlena akan bantuan2 dan doktrin2 berbau HAM yang lambat laun telah merenggut kedaulatan kita sendiri dengan adanya perjanjian2 bilateral yang cenderung mengatur kita untuk mengikuti kebijakan menguntungkan Australia. HAM bukan lah suatu hal yang salah akan tetapi patut diingat bahwa negara juga perlu melindungi HAM masyarakatnya sendiri. Negara dianalogikan sebagai orangtua dan rakyat Indonesia adalah anaknya. Coba kita bayangkan ketika orangtua selalu memberikan prioritas terhadap orang lain sedangkan anaknya sendiri tidak terurus, apakah hal itu merupakan contoh orangtua yang baik? semoga tulisan ini dapat membangkitkan kita semua akan posisi strategis imigrasi dalam menjaga tegaknya kedaulatan negara.. wassalam

    ReplyDelete
  2. Ini semua berkat ilmu dan wawasan yang pak intji berikan. Terima kasih pak.

    Ada satu hal yang membuat kita kaget, ternyata menurut hasil temuan Bappenas, selama ini Indonesia telah menerima bantuan dana kurang lebih 5 triliyun dari Australia. Tentu semua ini tidak ada yang gratis. Belum lagi masalah HAM yang bapak sampaikan tadi. Sungguh ironis memang.

    Tapi kiranya momentum ini dapat dijadikan bagi bangsa Indonesia untuk menegakkan kembali kedaulatannya, khususnya peran imigrasi dalam menjaga pintu masuk dan keluar wilayaj RI. Isu strategisnya tentu soal imigran ilegal dan people smugling.

    Menyitir pernyataan Burhanuddin Muhtadi (Peneliti LSI) dalam acara Gestur di tvONE malam ini yang menyatakan bahwa: terkait masalah penyadapan, Australia sebenarnya dalam posisi yang sulit. Akan menjadi sebuah bencana bagi Australia apabila Indonesia menghentikan perjanjian bilateral dengan Australia soal people smugling. Belum lagi soal imigran ilegal. Padahal penegakan hukum terkait people smugling dan imigran ilegal adalah "jualannya" Tony Abbot dalam kampanye pemilihan Perdana Menteri di Australia kemarin.

    Lalu pernyataan SBY dalam pidatonya: perjanjian kerja sama Indonesia dan Australia terkait dengan people smugling untuk sementara dihentikan.

    Semoga ini menjadi titik tolak perubahan kebijakan ya pak.

    ReplyDelete