Monday, July 29, 2013

GO GREEN: GREEN CAMPUS AS A SOLUTION TO OVERCOME GLOBAL WARMING PROBLEMATICS





Go Green is one form of love on the environment. Go Green solicitation should be done as early as possible and applied starting from the small things. One form is the realization of the Go Green program "Campus Green". Campus is one of the targets or the appropriate vehicle for the realization of solicitation Go Green. Because the students is a major actor who holds the baton as the next generation who was instrumental to creating a healthy environment and friendly with humans (the agent of change).

Green campus that can be done in various ways, including the provision of bins categorized, ie for the category of organic waste and non-organic. It is intended that we can classify the types of waste can be recycled so as to savely together.

Action recycling of waste can be done by applying the principle of 4R. These principles include:
1.       Reduce (Reduce): do as much as possible the minimization of the goods or materials that we use;
2.       Reuse (Using again): as much as possible choose items that can be used again.Avoid the use of disposable goods (disposable, throw);
3.       Recycle (Recycling): as much as possible, the goods who is no longer useful, can be recycled;
4.       Replace (Replace): go back and check the goods we use everyday. Replace the goods that can only be used one with a more durable goods.
                           
In addition, the Green Campus program can also be done with a tree planting action.This activity can be implemented by requiring each of the academic community to plant one tree for the campus environment.

One example of a campus that successfully implement the Go Green program is the University of Indonesia (UI). Universita Indonesia (UI) is now ranked 15th of the arena UI Green Metric Ranking of World Universities 2010, followed by 95 universities from 35 countries worldwide. These forms of implementation of the Go Green program, among other things, the UI requires each new student to plant one tree in the campus environment, applying the organic waste and non-organic, as well as the provision of campus bicycle.

"Save our earth, save our children and grandchildren"



Palembang, Juli 2011
M. Alvi Syahrin


EKSISTENSI PRODUCT LIABILITY PRINCIPLE DALAM HUKUM PERLINDUNGAN DI INDKONSUMEN ONESIA





ABSTRAK
Setelah diundangkannya UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ada salah satu prinsip yang cukup memberikan angin segar bagi konsumen Indonesia adalah product liability principle yang berusaha menempatkan kedudukann konsumen agar lebih “sederajat” dengan pelaku usaha. Secara historis, product liability lahir karena ada ketidakseimbangan tanggung jawab antara produsen dan konsumen. Dengan adanya  lembaga ini produsen yang pada awalnya menerapkan startegi product oriented dalam pemasaran produknya harus mengubah strateginya menjadi consumer oriented. Produsen harus lebih berhati-hati dengan produknya, karena tanggung jawab dalam product liability ini menganut prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability). Hal tersebut tentunya beralasan, dimana selama ini konsumen selalu ditempatkan dalam posisi tawar menawar yang lemah (weak bargaining position). Sehingga  kemudian berkembang suatu istilah caveat emptor, konsumen selaku pembeli harus hati-hati.


Terminologi “product liability” masih tergolong baru dalam doktrin atau ilmu hukum Indonesia. Az. Nasution menerjemahkannya sebagai “tanggung gugat produk”. Adapun Agnes M. Toar menerjemahkannya sebagai “tanggung jawab produk”. Sedangkan Yusus Shofie menggunakan istilah “produk liability”.[1] Tanggung jawab produk (product liability) sebenarnya mengacu sebagai tanggung jawab produsen yang dalam istilah bahasa Jerman diisebut produzenten-haftung. Agnes M. Toar mengartikan tanggung jawab produk sebagai tanggung jawab para produsen untuk produk yang dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. Masih menurut beliau, kata produk diartikan sebagai barang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak (tetap). [2]

Menurut pandangan para ahli, adapun tujuan utama dari dunia hukum memperkenalkan product liability adalah untuk  memberikan perlindungan kepada konsumen (consumer protection) dan agar terdapat pembebanan resiko yang adil antara produsen dan konsumen (a fair apportionment of risk between producers and consumers).[3]

Pada prinsipnya tanggung jawab produk tersebut dapat bersifat kontraktual (perjanjian) atau berdasarkan undang-undang (gugatannya berdasarkan perbuatan melawan hukum), namun dalam tanggung jawab produk, penekannya lebih pada yang terakhir.[4] Pada dasarnya karakter dasar product liability adalah perbuatan melawan hukum (tort law), sehingga unsur-unsur yang harus dibuktikan oleh konsumen dalam melakukan gugatan kerugian kepada produsen atas dasar product liability adalah:[5]
a.    Perbuatan melawan hukum
b.   Kerugian yang dialami konsumen; dan
c. Hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dan kerugian yang dialami oleh konsumen.
Sedangkan unsur kesalahan atau kelalaian produsen tidak menjadi kewajiban konsumen untuk membuktikannya. Sebaliknya hal ini menjadi kewajiban produsen untuk membuktikan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian padanya atas dasar presumption guilty kecuali ia dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan kesalahan atau kelalaian (presumption of liability principle).

Dalam hukum perlindungan konsumen berkembang suatu asas bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual (the privity of contract). Artinya, pelaku usaha tidak dapat dipersalahkan atas hal-hal diluar yang diperjanjikan dan konsumen hanya dapat menggugat berdasarkan wanprestasi (contractual liability). Fenomena kontrak baku (standard contarct) yang banyak beredar di masyarakat merupakan petunjuk yang jelas betapa tidak berdayanya konsumen menghadapi dominasi pelaku usaha sehingga menempatkan konsumen berada dalam posisi tawar menawar yang lemah (weak bargaining position). Belum lagi ditambah adanya klausul eksonerasi dari pelaku usaha yang dicantumkan dalam kontrak tersebut. Hal tersebut tentu saja akan bertendensi kepada istilah “take it or leave it” yang tentunya akan merugikan konsumen.

Namun demikian, dengan adanya prinsip tanggung jawab produsen yang dianut dalam hukum perlindungan konsumen Indonesia saat ini, setidaknya menjadi angin segar bagi konsumen Indonesia yang mayoritas pengetahuan dan pendidikan atas informasi suatu produk masih sangat rendah bila dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya. Sehingga asumsi yang menyatakan bahwa “pembeli adalah raja” dapat benar-benar terealisasikan.

Ada beberapa landasan yang dapat dilakukan sebagai dasar gugatan untuk tanggung jawab produk, antara lain:[6]
1.     Pelanggaran jaminan (breach of warranty);
2.     Kelalaian;
3.     Tanggung jawab mutlak (strict liability)

Pelanggaran jaminan berkaitan dengan jaminan pelaku usaha (khususnya produsen), bahwa barang yang dihasilkan atau dijual tidak mengandung cacat. Pengertian cacat bisa terjadi dalam konstruksi barang (construction defect), desain (design defects), dan/atau pelabelan (labeling defect). Namun yang perlu diperhatikan cacat yang dimaksud juga termasuk cacat yang tersembunyi (hidden effect).

Adapun yang dimaksud dengan kelalaian adalah (neglience) adalah bila si pelaku usaha yang digugat itu gagal menunjukan ia cukup berhati-hati (reasonable care) dalam membuat, menyimpan, mengawasi, memperbaiki, memasang label, atau mendistribusikan suatu barang. Sebagai contoh, “kasus biscuit beracun” (CV Gabisco) pada Oktober 1989, juag bermula dari  kelalaian (negleince) pada waktu penyimpanan bahan ammonium bicarbonate di gedung, yang diletakan berdekatan dengan racun anion nitrit sehingga menimbulkan korban 141 jiwa konsumen tidak berdosa, 35 orang diantaranya meninggal dunia.[7]

Dalam KUHPerdata, ketentuan tentang tanggung jawab produk ini sebenarnya sudah dikenal, yaitu dalam Pasal 1504. Pasal ini berkaitan denagn Pasal-pasal 1322, 1473, 1474, 1491, 1504 sampai dengan 1511. Dalam UUPK, ketentuan yang mengisyaratkan adanya tanggung jawab produk tersebut dimuat dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 11. Pelanggaran terhadap pasal-pasal tersebut (mulai dari pasal 8) dikategorikan sebagai tindak pidana menurut ketentuan Pasal 62 UUPK. Pasal 19 ayat (1) UUPK secara lebih tegas merumuskan tanggung jawab produk ini dengan menyatakan: “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.” Walaupun secara umum ada perlindungan terhadap cacat tersembunyi, Pasal 19 ayat (3) UUPK memberi batasan waktu penggantian sampai tujuh hari setelah tanggal transaksi konsumen. Cacat tersembunyi yang ditemukan setelah masa garansi berakhir, juga tidak lagi menjadi tanggung jawab pelaku usaha (Pasal 227 UUPK).[8]



            [1] Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung: 2009, hlm. 294
         [2] Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Penerbit Gramedia Widiasarana Indonesia, Edisi Revisi 2006, hlm 80
         [3] Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta: 2008, hlm 99
            [4] Shidarta, op. cit.,  hlm 80
         [5] Yusuf Shofie, op. cit., hlm 299
            [6] Shidarta, op.cit., hlm 81
            [7] Yusuf Shofie, op. cit., hlm 303
         [8] Shidarta, op.cit., hlm 81-82

 Palembang, November 2009
M. Alvi Syahrin

BEBERAPA PROBLEMATIKA IMPLEMENTASI PRINSIP RAHASIA BANK DALAM DUNIA PERBANKAN INDONESIA




Pendahuluan
Dalam dunia perbankan terdapat salah satu prinsip yang cukup penting dalam pelaksanaan suatu kegiatan perbankan. Prinsip tersebut adalah prinsip rahasia bank. Prinsip rahasia bank bukan merupakan prinsip baru dalam dunia perbankan. Prinsip ini sama tuanya dengan keberadaan perbankan itu sendiri. Sebagai misal, adanya pengaturan masalah rahasia bank dibidang keuangan dalam KUHPerdata Jerman serta di kota-kota Italia bagian utara.

Secara yuridis formal (hukum positif Indonesia), prinsip rahasia bank ini diatur dalam Pasal 40 UU No. 7 Tahun 1992 jo. UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Berdasarkan Pasal 1 angka 28 UU No. 10 Tahun 1998 menyatakan bahwa rahasia bank ialah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.

Sebelum diatur dalam kedua Undang-undang tersebut, terlebih dahulu prinsip tersebut telah diatur dalam UU No. 23 Prp 1960 tentang Rahasia Bank dan UU No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan.

Layaknya beberapa prinsip perbankan lainnya, relevansi prinsip perbankan dalam implementasinya berkaitan dengan dunia perbankan memang tidak selalu berjalan dengan mulus. Pertentangan antara das solen dan das sein merupakan suatu hal yang lumrah dalam suatu penerapannya tersebut. Berikut beberapa problematika eksistensi prinsip perbankan dalam dunia perbankan:

Apakah Prinsip Rahasia Bank Berlaku terhadap Mantan Nasabah?
Di dalam praktek perbankan atau praktek bisnis, sangat lazim seorang nasabah berpindah-pindah atau berganti-ganti bank, seperti juga adalah lazim seorang nasabah mempunyai simpanan pada beberapa bank. Sehingga timbul pertanyaan dibenak kita, apakah bank masih terikat terhadap kewajiban prinsip rahasia bank setelah nasabahnya tidak lagi menjadi nasabah bank yang bersangkutan? Berkenaan dengan hal tersebut, ternyata UU No. 7 Tahun 1992 maupun UU No. 10 Tahun 1998 sama sekali tidak diatur baik itu secara umum ataupu khusus.

Namun, mengingat tujuan dari diadakannya ketentuan mengenai kewajiban rahasia bank, adalah untuk menjaga kerahasiaan dari si nasabah penyimpan maka sebaiknya undang-undang perbankan Indonesia menentukan kewajiban rahasia bank tetap diberlakukan sekalipun nasabah yang bersangkutan telah tidak lagi menjadi nasabah bank yang bersangkutan. Sehingga dengan demikian kerahasiaan tersebut memang dapat terjaga secara efektif walaupun si nasabah tersebut sudah tidak lagi menjadi nasabah di bank yang bersangkutan.

Apakah Prinsip Rahasia Bank Berlaku Terhadap Mantan Pegawai Bank?
Seorang pegawai bank, ada kemungkinan tak selamanya menjadi pegawai bank tersebut, bisa karena telah tiba masa pensiun, keluar dan menjadi pegawai di perusahaan lain, meninggal dan sebagainya. Pada krisis moneter, banyak pegawai bank yang terkena PHK karena bank-nya terkena likuidasi.

Pertanyaan yang muncul, apakah mantan pegawai bank masih tetap terkena oleh kewajiban memegang teguh rahasia bank yang menjadi kewajibannya sewaktu yang bersangkutan masih menjadi pegawai aktif di bank yang bersangkutan? Ternyata Undang-undang no.7/1992 maupun Undang-undang no.10/1998 tak mengaturnya.

Beberapa negara menentukan bahwa mantan pengurus dan pegawai bank terikat oleh kewajiban rahasia bank. Ada yang menentukan keterikatannya itu berakhir setelah beberapa tahun sejak saat yang bersangkutan berhenti sebagai pengurus atau pegawai bank, ada pula yang menentukan kewajiban tersebut melekat terus sampai seumur hidup.

Dengan demikian, terhadap mantan pegawai bank yang sudah tidak lagi bekerja pada bank yang bersangkutan maka berlaku juga prinsip kerahasaiaan tersebut. Hal tersebut tidak lain adalah untuk melindungi kepentingan dari bank itu sendiri ataupun nasabah penyimpan. Karena mungkin saja mantan pegawai tersebut memiliki motif dan itikad tidak baik (te kwader trouw-in bad faith) untuk mebocorkan rahasia identitias dan simpanan si nasabah kepada bank lain.

Apakah Prinsip Rahasia Bank berlaku Terhadap Kredit Macet?
Terdapat perbedaan pendapat diantara para sarjana tentang apakah kredit dari seorang nasabah termasuk dalam ruang lingkup rahasia bank sehingga tidak boleh dibuka oleh bank yang bersangkutan. Dalam hal ini, Undang-Undang Perbankan yang lama, yaitu UU No. 7 Tahun 1992 tidak memberikan indikasi apa-apa tentang hal ini.

Namun, dengan dikeluarkannya Undang-Undang Perbankan yang baru, yaitu UU No. 10 Tahun 1998, dengan tegas ditentukan bahwa yang termasuk ke dalm kategori rahasia bank hanyalah informasi mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya itu. Jadi informasi mengenai nasabah debitur atau kreditur tidak tergolong ke dalam kategori rahasia bank tersebut (lihat Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bank dapat saja memberikan keterangan kepada khalayak banyak mengenai informasi dari debitur berkenaan dengan kredit macet-nya tersebut.

Siapa Saja Pihak-pihak yang Berkewajiban Untuk Memegang Teguh Prinsip Rahasia Bank?
Telah dijelaskan diatas bahwa rahasia bank harus tetap menjadi tanggung jawab pihak bank untuk tidak membocorkannya kepada pihak lain, walaupun ada beberapa alasan pengecualian prinsip tersebut [baca Pasal 41, 41A, 42, 43, 44, 44A ayat (1), dan 44 ayat (2) UU No. 10 Tahun 1998]
Adapun pihak-pihak secara eksplisit yang berkewajiban untuk memegang teguh prinsip rahasia bank berdasarkan Pasal 40 jo. Pasal 47 UU No. 10 Tahun 1998, antara lain:
-          Anggota Dewan Komisaris Bank;
-          Anggota Direksi Bank;
-          Pegawai Bank; serta
-          Pihak Terafiliasi Lainnya dari Bank (baca Pasal 1 angka 22 UU No. 10 tahun 1998)
 
Apakah Pengecualian Prinsip Rahasia Bank Juga Berlaku Terhadap Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)?
Pengecualian prinsip rahasia bank yang telah ditentukan dalam Undang-undang Perbankan tidak berlaku terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang secara yuridis diberikan kewanangan dalam membuka rahasia bank. Kewenangan tersebut didasarkan pada Surat Mahkamah Agung No. KMA/694/R.45/XII/2004 perihal pertimbangan hukum atas pelakasanaan kewenangan KPK terkait dengan ketentuan rahasia bank yang merupakan jawaban atas Surat Gubernur Bank Indonesia No. 6/2/GBI/DHk/Rahasia.

Dalam Surat Keputusan dari Mahkamah agung tersebut, memuat penegasan hukum bahwa Pasal 12 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK merupakan ketentuan khusus (lex specialis) yang memberikan kewenangan kepada KPK dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Misalnya, dalam hal menyelidiki rekening nasabah yang diduga sebagai hasil kejahatan (money laundering).

Atas dasar tersebut, maka prosedur izin membuka rahasia bank sebagaiamana diatur dalam pasal 29 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 42 UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 menjadi tidak berlaku bagi KPK.

Kesimpulan
Ketentuan mengenai rahasia bank ini merupakan suatu hal yang sangat penting peranannya bagi nasabah penyimpan maupun bank itu sendiri. Beberapa fakta problematika yang terjadi dalam penerapannya, merupakan suatu hal yang lumrah dan wajar yang terjadi. Secara tidak disadari akan menjadi bagian dari suatu proses perbankan itu sendiri kedepannya.

 Palembang, April 2010
M. Alvi Syahrin