Wednesday, November 19, 2014

IMIGRAN ILEGAL, MIGRASI ATAU EKSPANSI?

Migrasi Internasional
 
Membicarakan Hukum Pengungsi Internasional harus juga dikaitkan dengan konteks Hukum Imigrasi Internasional. Masalah migrasi internasional telah menjadi persoalan yang dihadapi oleh setiap negara, baik negara berkembang maupun negara maju. Banyak negara maju membuat suatu parameter sendiri, yang kemudian menjadi standar universal dalam menghadapi persoalan mengenai migrasi internasional, di antaranya dari aspek hukum, ekonomi, sosial dan hak asasi manusia. Hal tersebut merupakan paradigma baru dalam mengatur persoalan migrasi agar tidak bersinggungan antar negara yang sama menghadapi persoalan mengenai migrasi internasional.
 
Pada umumnya negara-negara di dunia berpandangan bahwa masalah migrasi internasional tidak bisa diselesaikan secara parsial. Masalah ini harus dipecahkan dengan pola kerja sama internasional dengan mempertimbangkan secara kompleks.[1] Migrasi internasional tidak sekedar masalah perpindahan penduduk dari suatu negara ke negara lain, tetapi juga menyangkut dampak sosial-politik, status hukum, dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, diperlukan manajemen migrasi masing-masing negara baik secara teknis birokrasi, maupun dari aspek hukum.


Migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain melewati batas administratif (migrasi internal) atau batas politik/negara (migrasi internasional). Dengan kata lain, migrasi diartikan sebagai perpindahan yang relatif permanen dari suatu daerah (negara) ke daerah (negara) lain. Ada dua dimensi penting dalam penelaahan migrasi, yaitu dimensi ruang/daerah (spasial/locus) dan dimensi waktu (tempus). Jenis-jenis migrasi mencakup dua bidang. Pertama, migrasi internasional, yaitu perpindahan penduduk dari suatu negara ke negara lain. Migrasi ini lazim dilakukan oleh para pengungsi dan para pencari suaka internasional yang melewati dan menduduki suatu negara tertentu. Kedua, migrasi internal, yaitu perpindahan yang terjadi dalam satu negara, misalnya antar provinsi, antar kota/kabupaten, migrasi perdesaan ke perkotaaan atau suatu administratif lainnya yang lebih rendah daripada tingkat kabupaten, seperti kecamatan, kelurahan, dan seterusnya. Jenis migrasi ini terjadi antar unit administratif dalam satu negara. Seseorang dikatakan migran, jika dia tinggal di tempat yang baru atau berniat tinggal di tempat yang bari itu paling lama enam bulan lamanya.[2]
Terkait dengan migrasi internasional, maka hadirlah Hukum Imigrasi Internasional yang mengatur lalu lintas atau pergerakan manusia dari satu negara ke negara lain. Pengaturan lalu lintas penduduk tersebut berfokus pada pengawasan terhadap orang asing yang berada di negaranya. Pada pokoknya keimigrasian mengatur warga negara suatu negara saat keluar dari negaranya serta mengatur pula bagaimana orang dapat masuk ke negaranya. Hukum Imigrasi Internasional mencakup pula tata cara keimigrasian antar negara atau yang berlaku di negara-negara pada umumnya.

Urgensi Separatisme Instrumen Hukum
UNHCR dalam rekomendasinya, menyatakan bahwa perlu dilakukan pemisahan regulasi antara Undang-Undang tentang Keimigrasian dan (Rancangan) Undang-Undang tentang Perlindungan Pencari Suaka[3]. Pembedaan menjadi dua undang-undang yang terpisah ini didasarkan pada sifat yang berbeda dari perlindungan pengungsi jika dibandigkan dengan aturan-aturan umum dalam keimigrasian.
UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian tidak mengenal istilah pencari suaka atau pengungsi. Singkatnya, dalam undang-undang tersebut hanya mengatur keabsahan soal imigran legal dan ilegal. Terminologi pencari suaka dan pengungsi yang masuk ke wilayah Indonesia, harus dimaknai pada tidak didasarkan atas dokumen perjalanan dan dokumen keimigrasian yang sah, serta tidak melewati tempat pemeriksaan keimigrasian yang telah ditentukan, sehingga pada akhirnya mereka akan dikategorikan sebagai imigran ilegal.
Lain halnya, apabila regulasinya dibuat secara terpisah, dimana untuk pengaturan hukum terhadap pencari suaka dan pengungsi diatur secara khusus dalam aturan tertentu. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri telah mengamanatkan agar dibentuk Peraturan Presiden tentang Penanganan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi. Namun, hingga saat ini Perpres tersebut masih terus dilakukan pembahasan, sehingga ketentuan terhadap pencari suaka dan pengungsi akan tetap tunduk pada ketentuan keimigrasian. 
Menurut UU No. 6 Tahun 2011, status dan keberadaan imigran ilegal di Indonesia harus dilakukan tindakan administratif keimigrasian, ataupun tindak pidana keimigrasian, sesuai dengan derajat pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan. Prinsip-prinsip ini merupakan norma hukum baku, yang apabila diterapkan maka akan bertentangan dengan semangat perlindungan HAM dan prinsip kemanusiaan yang hendak diberlakukan bagi para pencari suaka dan pengungsi. Oleh karenanya, urgensi pemisahan regulasi perlindungan pencari suaka dan pengungsi menjadi suatu keniscayaan.
Negara-negara yang telah melakukan pemisahan regulasi tersebut, di antaranya Portugal, Brazil, dan Mozambique. Pemisahan instrumen perlindungan hukum bagi pencari suaka dan pengungsi dari aturan-aturan umum imigrasi, lebih kepada penekanan aspek kemanusiaan dan perlindungan khusus yang harus diberikan oleh negara dibandingkan dengan bentuk dan pola migrasi lainnya.
Penanganan Imigran Ilegal
Penyelesaian masalah imigran ilegal di wilayah Indonesia, khususnya yang mengaku sebagai pencari suaka (asylum seeker) dan pengungsi (refugee) semakin sering terjadi. Masuknya imigran ilegal ke wilayah Indonesia yang jumlahnya cenderung meningkat, dapat menimbulkan gangguan kehidupan sosial, politik, keamanan, dan ketertiban masyarakat. Tidak menutup kemungkinan mereka disusupi oleh kegiatan terorisme internasional, people smuggling, dan human trafficking atau kegiatan kriminal lainnya. Untuk mencegah terjadinya hal negatif yang mengancam kedaulatan negara tersebut, maka penanganan imigrai ilegal ini harus dilakukan dengan komprehensif berdasarkan asas kebijakan selektif (selective policy principle) melalui pengamanan (maximum security) di setiap perbatasan wilayah negara Indonesia.
Berdasarkan Pasal 27 Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, Kementerian Luar Negeri merupakan institusi terdepan dalam menangani kebijakan bagi orang asing yang menyatakan diri sebagai pencari suaka atau pengungsi. Namun secara teknis di lapangan, Direktorat Jenderal Imigrasi mejadi garda terdepan dalam menjaga kedaulatan dan pintu gerbang negara (bhumi pura wira wibawa) serta penegakan hukum keimigrasian terhadap lalu lintas orang (asing) yang keluar masuk wilayah Indonesia, baik itu secara sah ataupun tidak sah tanpa membedakan status pencari suaka, pengungsi, ataupun bukan.




Secara internasional, penanganan pengungsi diatur dalam Konvensi tentang Status Pengungsi, 28 Juli 1951 (selanjutnya disebut Konvensi 1951) beserta Protokol-nya 31 Januari 1967. Namun, sampai dengan saat ini Konvensi tersebut beserta Protokolnya belum diratifikasi. Begitu juga, Peraturan Presiden tentang Penanganan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi sebagai pelaksanaan mandat dari UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri belum disahkan. Aturan yang diterapkan kepada mereka pencari suaka dan pengungsi sampai saat ini masih terbatas pada UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Konsekuensi logis dan yuridisnya adalah mereka dikategorikan sebagai orang asing yang melanggar hukum keimigrasian Indonesia dan keberadaannya di Indonesia adalah ilegal. Oleh karena itu, berdasarkan norma hukum yang berlaku, mereka harus ditolak masuk ke Indonesia. Namun, bagi mereka yang sudah terlanjur berada di Indonesia, segera dikeluarkan dari wilayah Indonesia, baik itu dipulangkan kembali ke negara asal (refoulment principle) ataupun tindakan pen-deportasi-an.
Namun, penerapan hukum untuk menolak dan mengeluarkan imigran ilegal harus juga mempertimbangkan aspek hak asasi manusia, seperti apa yang telah diamanatkan dalam UUD 1945 dan instrumen hukum internasional yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia. Penolakan orang asing untuk masuk ke Indonesia dilakukan di Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) dengan mengembalikan mereka ke bandara keberangkatan terakhir sebelum masuk ke Indonesia. Bagi mereka yang sudah terlanjur masuk dan berada di wilayah Indonesia, maka dilakukan tindakan deportasi ke negara asalnya, atau dipindahkan secara sukarela ke negara asal atau negara pihak ketiga melalui proses yang melibatkan United Nations High Commissioner for Refugee (UNHCR). Selama menunggu proses deportasi, mereka ditempatkan di Rumah Detensi Imigrasi atau tempat lain yang ditentukan Imigrasi. Sejauh ini sebagian dari para imigran ilegal ditempatkan di di 13 Rumah Detensi Imigrasi dan sebagian di penampungan di luar Rumah Detensi Imigrasi yang difasilitasi oleh UNHCR dan Internasional Organization for Migration (IOM) yang ditetapkan dan disupervisi oleh Kantor Imigrasi.
Ekspansi Terstruktur
Minimnya sarana dan prasarana, sumber daya manusia, dan anggaran merupakan tantangan bagi jajaran imigrasi dalam melakukan strategi penanganan imigran ilegal di wilayah Indonesia. Optimalisasi penanganan imigrai ilegal dilakukan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi melalui koordinasi, baik dalam lingkungan Kementerian Hukum dan HAM, maupun antar instansi terkait serta lembaga resmi yang menangani pengungsi seperti UNHCR dan IOM.
Beragam upaya telah dilakukan guna menanggulangi ekspansi imigran ilegal yang masuk ke wilayah Indonesia. Upaya pre-emptif, preventif, dan represif terus dilakukan secara stimultan. Direktorat Jenderal Imigrasi (Kementerian Hukum dan HAM) sebagai institusi yang berhadapan langsung dengan para imigran ilegal telah mengeluarkan pelbagai instrumen hukum dalam menghadapi persoalan tersebut, di antaranya: Surat Edaran Direktur Jenderal Imigrasi Nomor: F-IL.01.10-1297 tentang Penanganan Imigran Ilegal dan Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor IMI-1487.UM.08.05 Tahun 2010 yang ditandatangani pada tanggal 17 September 2010.
Namun, usaha yang dilakukan tidak sebanding dengan semakin banyaknya keberadaan imigran ilegal di Indonesia, baik itu mengaku sebagai pencari suaka ataupun berstatus pengungsi. Kelebihan kapasitas di hampir semua Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) atau Ruang Detensi Imigrasi, menjadi tolak ukur bahwa angka imigran ilegal di Indonesia setiap tahun semakin meningkat. Penempatan mereka di luar Rudenim, yaitu di community house, atau tempat penampungan sementara yang ditunjuk oleh Pemerintah Daerah setempat, tidak dapat menyelesaikan persoalan. Belum lagi biaya hidup yang harus dikeluarkan oleh pemerintah, tentu akan menimbulkan kecemburuan sosial di tengah masyarakat yang kondisi ekonominya semakin terjepit akibat dampak kenaikan harga BBM.
Rudenim merupakan unit pelaksana teknis yang menjalankan fungsi keimigrasian untuk menampung sementara para Deteni yang akan dikenakan tindakan administrasi keimigrasian. Namun faktanya, mayoritas penghuni Rudenim adalah mereka para pengungsi dan pencari suaka yang hendak menuju Australia. Indonesialah yang kemudian dijadikan sebagai negara transit, bahkan tidak mungkin mayoritas dari mereka memang sedari awal menjadikan Indonesia sebagai negara tujuan, mengingat Australia kini lebih selektif bagi para “manusia perahu”.
Kedatangan para imigran ke Austtralia dalam jumlah besar kini telah dirasakan mengganggu oleh pemerintah Australia. Menurut ahli kependudukan Australia, pertumbuhan penduduk Australia bukan dipicu oleh angka kelahiran, melainkan karena migrasi penduduk yang daang ke Australia. Diperkirakan migrasi telah menyumbang pertumbuhan penduduk sekitar 60% sedangkan proporsi kelahiran justru menurun dari 60% menjadi 40%.
Menurut Australian Department of Immigration and Citizenship, dalam empat tahun terakhir terjadi peningkatan pencari suaka yang kebanyakan datang menggunakan perahu melewati perairan Indonesia. Pada tahun 2010 ada sebanyak 6.535 orang yang masuk ke wilayah Australia, kemudian pada tahun 2011 sekitar 4.565 orang, lalu pada tahun 2012 menjadi 17.202, dan melonjak pada tahun 2013 yang mencapi kurang lebih 20.000 orang lebih.
Politik hukum keimigrasian Australia kini tidak memungkinkan bagi para pencari suaka dan pengungsi untuk dapat masuk ke wilayah kedaulatan Australia. Kebijakan turn back the boat dan penempatan ke negara ketiga (Papua Nugini dan Selandia Baru) bagi para pencari suaka pemberian visa sementara selama tiga tahun (bukan izin menetap), dan sebaginya, merupakan bagian dari janji Tony Abbot dalam kampanye-nya dalam pemilihan Perdana Menteri Australia beberapa waktu lalu. Bahkan reallitas, Australia kini sangat selektif bahkan terkesan membatasi masuknya para imigran, baik itu yand datang secara legal, ataupun ilegal (manusia perahu). Kebijakan-kebijakan tidak populer Australia ini tentu akan merugikan Indonesia yang berdampak pada stabilitas dan kedaulatan negara.


Fenomena demikian, akan menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi Indonesia, khususnya Direktorat Jenderal Imigrasi yang akan berhadapan langsung dengan para imigran ilegal. Sampai saat ini, Indonesia bukanlah negara yang meratifikasi Konvensi tentang Status Pengungsi, 28 Juli 1951 (selanjutnya disebut Konvensi 1951) beserta Protokol-nya 31 Januari 1967. Konsekuensi logis dan yuridisnya, Indonesia tidak dibebani tanggung jawab apapun terhadap keberadaan para pencari suaka dan pengungsi. Lain halnya, dengan Australia yang telah meratifikasi konvensi tersebut. Dengan beralasan atas nama HAM, rasanya sulit untuk diterima dengan akal sehat, agar Indonesia berkewajiban atas penanganan imigran ilegal, mengingat Indonesia bukanlah negara dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi (non welfare state). Oleh karena itu, keberadaan imigran ilegal di Indonesia pastinya akan membawa dampak bagi tatanan nilai dan kehidupan bangsa Indonesia, yaitu ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, dan keamanan, serta potensi keimigrasian.
Dampak secara ideologi. Keberadaan imigran ilegal (baca: pencari suaka dan pengungsi) di Indonesia, akan berdampak pada falsafah dan pandangan hidup negara Indonesia. Perbedaan latar belakang bangsa, bahasa, dan budaya tentu berpotensi merubah cara pandang dam kehidupan masyarakat. Nilai-nilai bangsa yang selama ini menjadi kesepakatan bersama, akan tercancam apabila pola dan perilaku yang dibawa oleh para imigran ilegal tidak sesuai dengan Pancasila sebagai ide bangsa (staat idee).
Dampak secara politik. Dengan semakin banyaknya manusia perahu yang melintasi perairan Indonesia, lalu semakin maraknya kasus penyelundupan manusia dan perdagangan orang yang menjadikan Australia sebagai negara tujuan, maka menyebabkan hubungan bilateral antara Indonesia dan Australia menjadi tidak harmonis. Belum lagi adanya kasus penyadapan yang dilakukan oleh Australia terhadap pemerintahan Indonesia, akan membuat situasi menjadi memanas. Roll back a boat policy dan politik hukum keimigrasian yang tidak populer dari Australia terhadap para imigran (legal dan ilegal), akan memicu ketidakharmonisan hubungan di antara kedua negara, bahkan bagi negara pihak ketiga penerima pencari suaka dan pengunsi (Papua Nugini dan Selandia Baru).
Dampak secara ekonomi. Para imigran ilegal, baik itu pengungsi ataupun pencari suaka, bahkan yang melibatkan jaringan penyelundupan manusia, ataupun perdagangan orang sekalipun, yang masuk wilayah Indonesia secara tidak sah telah mempengaruhi pendapatan negara dari sekor pemberian visa. Dalam kasus ini negara akan dirugikan, dimana setiap orang asing yang masuk wilayah Indonesia harus menggunakan visa (kecuali bagi negara tertentu) , sehingga akan mengurangi devisa negara.
Dampak secara sosial budaya. Adanya perbedaan fisik, bahasa, dan budaya akan mempengaruhi sistem sosial dan budaya masyarakat Indonesia. Mayoritas pencari suaka dan pegungsi yang masuk ke wilayah Indonesia adalah berasal dari negara kawasan asia selatan, asia tengah, dan asia barat, dan afrika yang merupakan negara rawan konflik. Perilaku mereka cenderung agresif dan sukar diatur. Hal ini tentu akan meresahkan warga sekitar, yang daerahnya dijadikan tempat penampungan sementara diluar Rudenim. Belum lagi pengaruh agama dan kepercayaan yang dibawa dari negara asal. Kemudian kecemburuan sosial yang mungkin akan timbul akibat adanya perlakuan berbeda (baca: eksklusif) yang diberikan oleh pemerintah Indonesia terhadap pencari suaka dan pengungsi. 
Dampak keamanan pertahanan dan keamanan nasional. Menurut  prinsip hukum UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, bagi Orang asing yang masuk wilayah Indonesia harus memiliki dokumen perjalanan dan dokumen keimigrasian yang sah dan masih berlaku, serta melewati tempat pemeriksaan keimigrasian yang telah ditentukan oleh Keputusan Menteri. Pencari suaka dan pengungsi tidak memenuhi prinsip hukum tersebut, yang mengakibatkan mereka masuk ke wilayah Indonesia secara ilegal. Negara Indonesia adalah negara berdaulat. Lantas, terhadap praktek dan perilaku tersebut apakah Indonesia masih dapat dikatakan sebagai negara berdaulat? Potensi kerawasan nasional menjadi ancaman nyata, mengingat eksodus imigran ilegal setiap tahun semakin meningkat.
Dampak potensi keimigrasian. Pola dan praktik ekspansi imigran ilegal ke Indonesia membawa konsekuensi keimigrasian tersendiri, terutama pada aspek pelanggaran dan kejahatan keimigrasian, yang meliputi pemalsuan dokumen perjalanan (paspor), pemalsuan visa, izin tinggal, bahkan penyalahgunaan izin tinggal. Modus-modus demikian harus menjadi perhatian serius bagi Imigrasi Indonesia, guna mengantisipasi masuknya imigran ilegal ke wilayah Indonesia
Dampak dampak tersebut diatas, harus menjadi fokus dan perhatian bersama. Indonesia merupakan negara strategis bagi para imigran ilegal (baca: pencari suaka dan pengungsi). Sehingga menjadi suatu fakta tak terbantahkan, apabila Indonesia kini dijadikan sebagai negara tujuan imigran ilegal. Menjadikan Indonesia sebagai negara transit untuk ke Australia, hanya dalih dan modus belaka. Apalagi Australia saat ini sangat selektif bahkan secara tegas sudah menolak kehadiran para imigran, baik itu legal dan ilegal. Oleh karena itu, imigran ilegal memanfaatkan kelemahan posisi Indonesia tersebut, agar dapat masuk ke wilayah Indonesia atas dasar HAM. Inilah yang menjadi tantangan serius yang harus dihadapi, khususnya bagi Imigrasi Indonesia, karena baik buruknya wibawa dan citra negara, merupakan tugas utama dalam menjaga kedaulatan negara.
Muara Enim, November 2014
M. Alvi Syahrin


[1] Ahmad Zaini, Migrasi Internasional dan Kebijakan Perbatasan AS
[2] Chotib, Migrasi: Kajian Kependudukan dan Ketenagakerjaan, Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
[3] Hingga saat ini, pembahasan Rancangan Peraturan Presiden tentang Penanganan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi terus dilakukan. Pembahasan ini melibatkan beberapa instantsi terkaitt, di antaranya Direktorat Jenderal Imigrasi, Kepolisian, TNI, dan sebagainya, yang dikomandoi oleh Kementerian Politik, Hukum dan Kemananan.

IMIGRAN ILEGAL DAN HAM UNIVERSAL

Eksistensi HAM Universal
Hukum Internasional dalam beberapa hal berkorelasi dengan Hukum Hak Asasi Manusia (HAM). HAM memuat beberapa prinsip universal, di antaranya tidak dapat dicabut dengan cara apapun, integral, kesetaraan, serta tanpa diskriminasi. Hukum HAM Internasional dimaksudkan sebagai hukum mengenai perlindungan terhadap hak-hak individu, atau kelompok yang dilindungai secara internasional dari pelanggaran, terutama yang dilakukan pemerintah atau aparat suatu negara. Hukum HAM Internasional dalam kajiannya dilakukan melalui dua pendekatan. Pertama, dari aspek yang mencakup teoritis, instrumen, dan lembaga. Kedua, aspek lain yang mengkaji HAM dalam perspektif historis, politis, dan filosofis. Pendekatan teoritik dalam memetakan Hukum Pengungsi berfungsi menjadi suatu alat analisis guna mendapatkan jawaban tentatif terhadap masalah-masalah pengungsi yang selama ini terjadi. Teori menjadi dasar bagi dibangunnya suat paradigma sekaligus dibuatnya suatu model bagi perlindungan pengungsi.
HAM (dalam negara modern) merupakan hal yang relatif baru. Sejak perjanjian Westpalia 1648 sampai lahirnya Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Tahun 1945, persoalan HAM belum menjadi agenda internasional. Baru beberapa dekade setelah Perang Dunia II berakhir, masalah HAM dibicarakan dalam pertemuan-pertemuan bilateral dan multilateral. Dalam pertumbuhannya, Hukum HAM Internasional dapat dianggap sebagai yang pertama membangun paradigma tentang arti penting HAM. Hal tersebut dilandasi pemikiran masa lalu bahwa persoalan moral dan hukum dipandang sebagai sesuatu yang terpisah. Berdasarkan Hukum HAM Internasional, bentuk konstituen HAM adalah hukum, bukan politik. Hukum-lah yang menjadi dasar pondasi, kerangka, dan konsep HAM (modern).
Batu tonggak Hukum HAM terhitung sejak disahkannya Piagam PBB serta Deklarasi Universal HAM Tahun 1948. Deklarasi Universal HAM Tahun 1948 bukanlah merupakan hukum yang mengikat. Namun demikian, Deklarasi HAM tersebut telah melandasi pembentukan norma-norma HAM internasional yang diwujudkan dalam berbagai bentuk perjanjian internasional yang secara hukum mengikat negara-negara pihak.



Batasan dan pembagian bidang, jenis, dan macam HAM dunia mencakup enam kelompok. Pertama, hak asasi pribadi (personal rights). Termasuk di dalamnya adalah hak kebebasan untuk bergerak, hak berpergian dan berpindah-pindah tempat (hak bermigrasi), hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat, hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan, serta hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing.

Kedua, hak asasi politik (political rights). Tercakup ke dalam kelompok ini adalah hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan, hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan, hak membuat dan mendirikan partai politik dan organisasi politik / kemasyarakatan lainnya, serta hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi. 
Ketiga, hak asasi hukum (legal equality rights). Termasuk ke dalam kelompok hak ini seperti mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan, hak untuk menjadi pegawai negeri sipil, serta hak mendapat layanan dan perlindungan hukum. 
Keempat, hak asasi ekonomi (property rights). Hak-hak tersebut seperti hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli, hak kebebasan megadakan perjanjian, hak kebebasan menyelenggarakan sewa menyewa, utang piutang, hak kebebasan untuk memiliki sesuatu, serta hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak.
Kelima, hak asasi peradilan (procedural rights). Hak-hak tersebut seperti hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan, hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, pengangkapan, penahanan, dan penyelilidikan, serta penyidikan di mata hukum. 
Keenam, hak asasi sosial budaya (social cultrure rights). Hak tersebut mencakup hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan, hak mendapatkan pengajaran, serta hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat.
Esensi Hukum HAM Internasional mengatur kemanusiaan universal tanpa terikat atribut ruang dan waktu tertentu. Hal tersebut penting mengingat setiap negara tidak tertutup kemungkinan membicarakan Hukum HAM dalam konteks domestiknya. HAM dalam konteks hukum pengungsi setidaknya berhubungan dengan tiga hal. Pertama, perlindungan terhadap penduduk sipil akibat konflik bersenjata. Kedua, perlindungan secara umum yang diberikan kepada penduduk sipil dalam keadaan biasa. Ketiga, perlindungan terhadap pengungsi baik IDP’s maupun pengungsi lintas batas.
Hukum Internasional telah meletakkan kewajiban dasar bagi tingkah laku negara dalam melaksanakan perlindungan internasionalnya. Tindakan yang bertentangan dengan hal tersebut akan melahirkan tanggung jawab internasional. Tanggung jawab internasional demikian diartikan sebagai suatu perbuatan yang memiliki dampak dan karakteristik internasional. Tanggung jawab tersebut muncul manakala terdapat pelanggaran yang sungguh-sungguh terhadap hal-hal yang menyangkut perlindungan atas hak-hak asasi manusia, termasuk di dalamnya hak asasi pengungsi.
Perjalanan sejarah terkait dengan kontribusi PBB dalam peningkatan harkat derajat HAM sangat signifikan. Terdapat beberapa pasal yang menjadi benang merah dalam perlindungan dan penegakan HAM hingga dewasa ini. Pasal-pasal tersebut, yaitu Pasal 13 ayat (1) butir b yang menyebutkan “promoting international cooperation... and assisting in the realization of human rights and fundamental freedoms for all without distinction as to race, sex, language, or religion” (memajukan kerja sama internasional... dan membantu pelaksanaan hak-hak manusia dan kebebasan-kebebasan dasar bagi semua manusia tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama).
Pasal 55 butir c menyebutkan, “universal respect for, and observance of human right and fundamental for all without distinction as race, sex language, or religion” (penghormatan hak asasi manusia secara keseluruhan, demikian pula pengejewantahannya serta kebebasan-kebebasan dasar bagi semua, tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama). Merujuk pada fungsi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB, pada Pasal 62 butir 2 disebutkan, “It may make recommendation for the purporse of promoting respect for and observance of, human rights and fundamental freedoms for all” (Dewan... dapat memberikan rekomendasi untuk tujuan meningkatkan penghormatan dan penghargaan atas hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar bagi semua orang). Pada ketentuan tata tertib, Pasal 68 menyebutkan bahwa: “The economic and Social Council... set up commission... for the promotion of human rights...” (Dewan Ekonomi Sosial akan membentuk komisi,,, untuk memajukan hak asas manusia...). Hal tersebut dikuatkan pada Pasal 76 butir c yang menyebutkan, “to encourage respect for human rights and for fundamental freedoms for all without distinction as to race, sex, language, or religion...” (mendorong penghormatan kepada hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama...).
Perlindungan HAM Pengungsi dalam Instrumen Hukum (Internasional dan Nasional)
Konvensi tentang Status Pengungsi, 28 Juli 1951 (selanjutnya disebut Konvensi 1951) beserta Protokol-nya 31 Januari 1967 secara substansial melindungi HAM para pengungsi. Dengan demikian Konvensi tersebut dikategorikan sebagai instrumen hukum yang lahir dan berorientasi pada pemenuhan atas HAM bagi pengungsi, mengingat kondisi mereka yang membutuhkan penanganan khusus.
Hukum HAM dibagi dalam tiga keadaan. Pertama, Hukum HAM umum yang berlaku bagi semua orang dalam keadaan normal. Kedua, Hukum HAM yang diberlakukan dalam situasi perang, yang dikenal dengan Hukum Humaniter[1]. Ketiga,, Hukum HAM yang khusus diterapkan kepada pengungsi (dikenal sebagai Hukum Pengungsi). Hukum HAM ini diterapkan kepada pengungsi karena status hukum yang berada di luar negaranya serta tidak ada yang melindungi.
Hukum Humaniter terdiri dari sekumpulan-sekumpulan pembatasan oleh Hukum Internasional yang digunakan sebagai prinsip-prinisp yang mengatur perlakuan terhadap individu-individu pada saat berlangsungnya konflik-konflik bersenjata. Hukum Humaniter merupakan bagian dari Hukum Internasional, oleh karenanya efektifitas atau pemanfaatannya akan banyak ditentukan oleh implementasi di tingkat nasional. Dalam hal ini, warga negara dan aparat negaralah yang akan memberikan kontribusi besar bagi implementasi tersebut.
Tujuan pokok dari Hukum Humaniter adalah mengurangi atau membatasi penderitaan individu-individu serta untuk membatasi kawasan konflik bersenjata. Oleh karenanya, dalam Hukum Humaniter diadopsi kaidah-kaidah hukum perang yang berperikemanusiaan. Kewajiban untuk melaksanakan dan menegakkan Hukum Humaniter terletak pada negara. Namun demikian dalam pelaksanaannya melibatkan Komite Internasional Palang Merah (International of the Red Cross / ICRC) yang telah memperoleh mandat dari masyarakat internasional untuk membantu penegakan hukum humaniter sesuai dengan Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang berikut Protokol tambahannya.[2]



Indonesia secara khusus memuat HAM dalam TAP MPR XVII/MPR/1998. Selain itu, melalui amandemen, HAM juga telah diintrodusir dalam UUD 1945 Bab X Pasal 28A-J. Sebagai bagian dari dunia internasional, Indonesia juga telah meratifikasi beberapa konvensi internasional, seperti Konvensi Anti Diskriminasi Hak-Hak Perempuan, Konvensi Anti Diskriminasi Ras, Hak Anak, Hak Ekonomi, dan Sosial Budaya serta Hak Sosial dan Politik. Namun, Indonesia merupakan penganut ajaran dualis yang memisahkan antara Hukum Internasional dengan hukum nasional sehingga apabila sebuah konvensi internasional belum diratifikasi, maka tidak bersifat mengikat bagi hukum nasional.
Setiap konvensi internasional yang telah diratifikasi memiliki dua jenis kewajiban, yaitu kewajiban tindakan dan kewajiban proses. Kewajiban tindakan meliputi tindakan menghormati, melindungi, dan memenuhi. Sedangkan, untuk kewajiban proses terdiri atas anti diskriminasi, peran serta masyarakat dan kemajuan yang memadai.
Mekanisme pertanggungjawaban tethadap perjanjian internasional yang telah diratifikasi hraus dilakukan negara tanpa kecuali. Mekanisme yang disebut dengan Universal Periodic Review (UPR) ini mengedepankan dialog sejati dan kerjasama, mengedepankan peningkatan kapasitas suatu negara dalam melaksanakan komitmen pemajuan dan perlindungan HAM. Mekanisme ini tidak boleh memberatkan negara yang dikaji serta tidak timpang tindih dan duplikasi dengan mekanisme yang lain. Indonesia mengirimkan laporan melalui mekanisme UPR. Kewajiban pelaporan treaty bodies dan UPR yang telah dilakukan Indonesia memunculkan kewajiban untuk terus meningkatkan upaya kemajuan dan perlindungan HAM.
Paradoksial dan Realitas HAM Pengungsi
Pengajuan suaka / permohonan pengungsi merupakan bagian dari HAM, dengan catatan memiliki alasan (hukum) yang cukup untuk itu. Pasal 28 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa: “Setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain”. Sementara itu Pasal 13 Paragraf 2 Deklarasi HAM PBB 1948 menyebutkan: “Everyone has the right to leave any country, including his own, and to return to his country”. Hak atas kebebasan untuk memilih tempat tinggal atau negara ini kemudian dipertegas oleh Declaration of Territorial Asylum 1967 yang menyatakan:
  1. Everyone has the right to seek and to enjoy in other countries asylum from persecution;
  2. This right may not to be involved in the case of prosecutions genuinely arising from non-political crimes or acts contrary to the puprposes and principles of the United Nations.
Penegasan kata kunci dari Declaration of Territorial Asylum 1967 untuk memohon suaka adalah adanya ketakutan atau kekhawatiran akan menjadi korban dari suatu penyiksaan atau penganiayaan di suatu negara, sehingga ia memilih untuk mencari perlindungan ke suatu negara lain. Termasuk di dalamnya mereka yang merupakan pejuang atau orang-orang yang berjuang melawan kolonialisme. Namun yang perlu diperhatikan, permohonan suaka ini hanya dibatasi untuk ketakutan yang timbul dari suatu kejahatan politik dan tidak untuk selain itu. Permohonan tersebut akan ditolak, apabila berlawan dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip dari PBB. Termasuk dalam golongan yang akan ditolak untuk menerima suaka adalah mereka yang diduga telah melakukan kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Namun perjuangan atas perlindungan HAM (internasional) terhadap pencari suaka dan pengunsi jangan sampai disalahgunakan atau ditafsirkan secara salah oleh pihak tertentu. Tidak sedikit mereka masuk ke suatu negara atas nama HAM, lalu kemudian malah mengganggu ketertiban dan HAM di negara tersebut. Inilah yang terjadi di Indonesia. Eksodus yang dilakukan pencari suaka dan pengungsi baik itu secara personal ataupun kolektif (menggunakan agen) masuk ke wilayah Indonesia akan mengancam HAM masyarakat Indonesia.



Faktanya dewasa ini, para pencari suaka dan pengungsi yang masuk ke wilayah Indonesia dengan dalil hendak ke negara Australia sebagai negara tujuan, hanya sebatas modus operandi semata. Sedari awal negara tujuan mereka adalah Indonesia. Mereka sadar bahwa untuk masuk ke wilayah kedaulatan Australia dengan menggunakan perahu / kapal, tentu menimbulkan resiko tinggi. Selain mengancam jiwa selama di perjalanan, mereka juga akan berhadapan langsung dengan otoritas militer Australia yang menjaga di sepanjang perbatasan Australia dan Indonesia.
Australia kini bukan negara yang ramah terhadap para pencari suaka dan pengungsi. Kebijakan roll back a boat (mendorong kembali perahu pencari suaka ke perairan Indonesia) yang diterapkan oleh Pemerintah Australia merupakan bagian dari program anti imigran ilegal yang disuarakan oleh Tony Abbot dalam kampanyenya dalam pemilihan Perdana Menteri beberapa waktu yang lalu. Terhadap mereka yang telah mendapat status pengungsi dari UNHCR dan masuk ke wilayah Australia, maka akan segera dipindahkan ke negara ketiga, yaitu Papua Nugini.
Melihat realitas demikian, maka para pencari suaka dan pengungsi harus kembali berpikir ulang bila tetap memaksakan niat untuk pergi ke Australia. Sehingga, saat ini Indonesialah yang memungkinkan untuk dijadikan sebagai negara tujuan. Sebagai negara yang diapit oleh dua benua dan dua samudera, posisi Indonesia menjadi sangat strategis terhadap ekspansi para pencari suaka dan pengungsi yang mayoritas didominasi oleh negara-negara konflik dari kawasan asia selatan, tengah, dan kawasan afrika. Tentu, sikap “hirjah” nya mereka ini, akan berdampak langsung terhadap kedaulatan negara Indonesia, yang lambat laun akan mempengaruhi tatanan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan bangsa. Potensi ancaman ini harus sesegera mungkin dideteksi dan ditanggulangi oleh instansi terkait, bil-khusus Imigrasi Indonesia sebagai otoritas terdepan dalam menjaga wibawa pintu gerbang negara (bhumi pura wira wibawa).
Muara Enim, November 2014
M. Alvi Syahrin

[1] Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk mengurangi penderitaan berlebihan dari perperangan. Konvensi Jenewa 1949 sebagai instrumen Hukum Humaniter Inernasional dengan tegas membuat aturan-aturan pokok yang harus ditaati oleh setiap negara yang terlibat dalam konflik bersenjata. Lebih khusus, Konvensi Jenewa III 1949 mengatur prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi tawanan perang, karena sejatinya hubungan perang bukanlah hubungan individu melainkan hubungan negara sebagai subjek hukum internasional. Konflik bersenjata internasional merupakan pertempuran anara angkaran bersenjata dari dua atau lebiuh negara, karena itu hubungan perang merupakan hubungan negara dengan negara, maka hukum perang merupakan bagian dari hukum internasional. Huku Humaniter Internasional merupakan manifestasi prinsip dasar serta aturan mengenai pembatasan penggunaan kekerasan dalam situasi perang.
[2] Empat Konvensi Jenewa tentang perlindungan korban perang sebagaimana termuat dalam “Terjemahan Konvensi Jenewa 1949 yang disusun dan diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan Departemen Kehakiman pada Agustus 1999 adalah sebagai berikut: Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan yang Luka dan Sakit dalam Angkatan Bersenjata di Medan Pertempuran (Konvensi I), Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan Anggota Bersenjata di Laut yang Luka Sakit dan Korban Karam (Konvensi II), Konvesi Jenewa mengenai Perlakuan Tawanan  Perang  (Konvensi III), Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Orang Sipil di Waktu Perang (Konvensi IV). Adapun Protokol tambahannya, yaitu Protokol Tambahan I Tahun 1977 tentang Perlindungan Korban pada waktu Sengketa Bersenjata Internasional (Protokol Tambahan I) dan Protokol Tambahan II Tahun 1977 tentang Perlindungan Korban pada waktu Sengketa Bersenjata Non Internasional  (Protokol Tambahan II).

Tuesday, November 11, 2014

PROBLEMATIKA PASAL 185 KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) TENTANG AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM DI INDONESIA

Penyelundupan Hukum KHI?

Kompilasi Hukum Islam (KHI) kini telah berusia 19 (sembilan belas) tahun sejak dikeluarkan di Jakarta pada tanggal 10 Juni 1991. Walaupun masih dalam bentuk Inpres No. 1 Tahun 1991, namun eksistensi dari KHI itu sendiri masih cukup diperhitungkan. Setidaknya membantu para hakim dalam mencari sumber hukum Islam yang tepat dan dapat menghindari disvarietas mahzab dalam praktek sehari-hari.

Khusus menghadapi perkara kewarisan dan putusan-putusan hakim pada Peradilan Agama, keheranan akan isi KHI dan penerapannya semula dipandang sebagai suatu hasil ijtihad baru Ulama Indonesia. Meskipun menyimpang dari Fiqh Ulama Mujtahid, namun semua itu tetap dipandang sebagai suatu hal yang benar-benar telah disepakati seluruh Ulama Indonesia dalam lokakarya. Dan juga mustahil bagi para Ulama bersepakat tentang hal yang tidak diridhai Allah (karena ulama adalah pewaris Nabi).

Allah Ta’ala berfirman:[1]


Artinya: "Dan katakanlah bahwa yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap."

Namun, ternyata Buku II tentang Hukum Kewarisan dalam KHI bukanlah hasil kesepakatan Ulama, dan tidak lain lebih dari sebuah rekayasa dari sekelompok orang-orang dalam Tim Penyusun KHI, yaitu dengan cara menyelundupkan hukum-hukum yang mereka inginkan, diluar pengetahuan Ulama yang duduk di dalam Tim Perumus Hukum Kewarisan tersebut (sebanyak 48 Ulama terkemuka di Indonesia).

Cara-cara yang tidak terpuji ini, selain menjerumuskan nama baik Ulama yang sangat kita hormati dan kita segani, juga suatu tindakan yang sangat berani menentang hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya. Dalam hal ini, penyelundupan hukum tersebut adalah adanya aturan tentang “ahli waris pengganti”, dimana pada waktu perumusan sama sekali tidak disepakati untuk dimasukkan, namun kemudian tercantum dalam Buku II KHI. Ketua Tim Perumus Hukum Kewarisan telah menyatakan bahwa ahli waris pengganti tidak ada dalam draft rumusan, namun tiba-tiba setelah lahir Inpres muncul dalam Pasal 185 KHI.

Sudah saatnya, pasal-pasal hukum kewarisan dalam KHI yang menyalahi nash dikaji ulang oleh Ulama Indonesia, dan mempertahankan pasal-pasal yang sesuai dengan nash, serta menyempurnakan hal-hal yang perlu diperbaiki. Demikian pula putusan-putusan terdahulu yang oleh sebagian hakim dianggap sebagai yurisprudensi, sedangkan putusan tersebut jelas-jelas menentang nash, untuk diatur lebih lanjut dalam KHI.

Berdasarkan uraian diatas, maka isu hukum yang menarik untuk dibahas adalah terkait dengan kedudukan ahli waris pengganti. Apakah ketentuan ini, memang telah sesuai dengan keinginan para mujtahid ulama kita yang tergabung dalam Tim Perumus Hukum Kewarisan ataukah ada unsur penyelundupan hukum yang terkandung didalamnya(?).

Ketentuan Ahli Waris Pengganti dalam Buku II KHI tentang Hukum Kewarisan Islam adalah Penyelundupan Hukum

Baik nash Al-Quran dan Al-Sunnah maupun kitab-kitab Fiqh Ulama Mujtahid tidak mengatur bagian ahli waris pengganti. Pasal 185 KHI bersumber dari ajaran Hazairin dalam bukunya Kewarisan Bilateral menurut Al-Quran, dimana beliau menggolongkan ahli waris menjadi ahli waris keutamaan, ahli waris penggantian, dan ahli waris mawali.

Tentang penggantian dalam Pasal 841 KUHPeradata dinyatakan sebagai berikut:

“penggantian menurut hak kepada seorang yang menggantikan untuk bertindak sebagai pengganti, dalam derajat dan dalam segala hak orang yang diganti.”

Pasal 185 KHI meskipun tidak sama persis dengan KUHPerdata tersebut, akan tetapi muatannya adalah sama. Pasal tersebut menyatakan bahwa:
  1. Ahli waris yang meninggal dunia terlebih dahulu daripada si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173;
  2. Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
Sebagaimana diketahui bahwa ahli waris pengganti bersumber dari KUHPerdata, atau rekayasa dengan memasukkan hukum adat ala Hazairin ke dalam hukum Islam (teori receptie), dan bukan bersumber dari Al-Quran dan Al-Sunnah.
 
Ahmad Syalaby dalam bukunya Tarikh al-Tasyari’ al-Islamy mengisahkan betapa amat hati-hatinya para sahabat r.a dalam melangkah kepada sesuatu permasalahan yang Rasulullah Saw tidak lakukan, tentang hukum sesuatu kejadian atau peristiwa yang sebelumnya tidak terdapat ketentuan hukum dari Al-Quran dan Al-Sunnah.

Berpikir dengan sungguh-sungguh haruslah dengan alat kelengkapan seperti menguasai segala sesuatu tentang Al-Quran dan Ilmu Tafsir, menguasai kaidah-kaidah hukum (qawaid al-fiqhhiyah), mengetahui bahasa arab secara mendalam. Hasil pemikiran tersebut bersifat perorangan dan tidak mengikat atau memaksa orang lain untuk mengikutinya, kecuali itiba’, yaitu mengikuti buah pikiran tersebut setelah mengetahui sumber-sumber pengambilannya (misalnya: dilarang taklid buta yaitu mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber pengambilannya, dan tersesat jalan bagi mereka yang mengikuti pendapat yang bersumber dari KUHPerdata ataupun hukum adat).

Demikian pula tidak tertutup kemungkinan terjadi perbedaan pendapat antara satu mujtahid dengan mujtahid lainnya, bila kita yakini pendapat-pendapat tersebut bersendikan kepada nash-nash yang ada kemudian mereka meng-qiyas-kan atau menggunakan alasan sebab turunnya ayat atau sebab wujud hadist, atau dengan kaidah bahasa, atas kejadian yang tidak terdapat nashnya tersebut, dan pendapat-pendapat tersebut telah sesuai dengan kadiah hukum yang benar, maka hal tersebut haruslah dipandang sebagai “rahmah-inna di-ikhtilafi ummati rahmah”. Kecuali nash-nash sebagaimana praktek Umar r.a yang tidak sesuai dengan praktek masyarakat yaitu nash yang perlu dita’wil, nash yang lahir dari suatu keadaan yang sedang dihadapi dan bersifat kasuisits, dan sebagainya.[2]
 
Yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah betapa sangat hati-hatinya para sahabat utama Rasulullah dalam melangkah ke satu perbuatan yang sangat baik dan terpuji, sedangkan pekerjaan sedemikian itu tidak dilakukan oleh Rasulullah Saw.

Terkait dengan adanya pencantuman ketentuan ahli waris pengganti, maka dapat diketahui adanya bantahan dari Prof. Wasit Aulawo, MA dan Prof. Dr. Daud Ali di hadapan peserta pendidikan Hakim Senior Angkatan II Tahun 1992/1993 di Tugu Bogor.[3] Juga bantahan dari K.H. Azhar Basyir, MA dihadapan Majelis Ta’limnya di Yogyakarta, dan pengecekkan langsung dari beberapa ulama yang duduk dalam Tim Perumus tentang “ahli waris pengganti”. Dengan demikian, dapat diyakini bahwa ketentuan Pasal 185 KHI tidak lain adalah hasil rekayasa, bukan atas hasil kesepakatan Ulama.

Atas dasar fakta itulah, dapat diyakini bahwa Pasal 185 KHI bukanlah hasil kesepakatan Ulama Indonesia, karena selain telah dibantah oleh Tokoh atau Ulama yang duduk dalam Tim Perumus Hukum Kewarisan, maka sumber ketentuan tersebut tidak lain adalah KUHPerdata atau teori Hazairin yang didasarkan atas hukum adat, sehingga bertentangan dengan ajaran Al-Quran dan Al-Sunnah.

Berikut 10 (sepuluh) fakta ketidaklogisan pemikiran Hazairin yang masuk dalam KHI, yaitu:[4]

1. Beliau adalah almamater[5] dari sekolah atau perguruan penjajah Belanda: HIS (di Bengkulu), MULO (di Padang), AMS (di Bandung), Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan Pascasarjana (Doktor) dengan disertasi “De Rejangs” di bawah bimbingan Ter Haar BZN (seorang guru besar Belanda).

2. Diangkat menjadi aparat penjajah (Hakim pada Landraad di Sibolga) dan dengan tugas tambahan menjadi “penyelidik hukum adat batak, sehingga oleh masyarakat Bata dia mendapat gelar “pahlawan”.

3. Pada masa pendudukan Jepang, Hazairin tetap bertugas di Sibolga sebagai Penasehat hukum, konotasinya tetap bersengkokol dengan penjajah;

4. Berikut beberapa judul buku karangan Hazairi, yaitu (i) Hukum Kewarisan Bilateral Menurut AL-Quran, Tintamas, Jakarta, 1961, (ii) Hadith Kewarisan dan Sistem Bilateral, Tintamas, Jakarta, 1962, (iii) Hukum Islam dan Masjarakat, Bulan Bintang, Jakarta, 1963, (iv) Hukum Keluarga Nasional, Tintamas, Jakarta 1968, dan (v) Hendak Kemana Hukum Islam?, Tintamas, Jakarta, 1976.

Dalam Islam diajarkan bahwa setiap memulai sesuatu pekerjaan yang baik hendaklah dimulai dengan “basmalah”. Kemudian “Hamdalah” yaitu pujian kepada Allah Ta’ala, sebagai pengakuan bahwa kepada Allah-lah kita memuji, karena Dia-lah yang berhak menerima pujian, sebab sifat-Nyalah setinggi-tinggi sifat. Dan diiringi dengan shalawat bagi Rasulullah Muhammad Saw[6], agar kita beroleh syafa’at dari beliau di yaum al-masyhar, serta salam sejahtera bagi keluarga dan sahabat-sahabat beliau r.a. Namun, sayang tidak satupun buku karangan beliau tersebut memuji Allah dan apalagi shalawat serta salam. Padahal selintas kita melihat bahwa judulnya terkesan sebagai buku yang berisi tentang ajaran agama Islam;

5. Kalimat pertama dalam “pendahuluan” beliau mengatakan karangan ini adalah suatu ijtihad untuk menguraikan hukum kewarisan dalam Al-Quran setjara bilateral…..[7]. Beliau mengaku sebagai seorang Mujtahid. Pengakuan seperti ini boleh jadi sah-sah saja. Hal ini pernah disebutkan dalam suatu hadist yang mengisahkan Rasulullah Saw pada waktu itu hendak mengutus Mu’adz bin  Jabal menjadi Qadhi di Kuffah. Namun apakah ilmu pengatahuan Hazairin sudah memadai di bidang Al-Quran dan As-Sunnah sudah cukup memadai? Bila kita menilik latar belakang pendidikan beliau di atas sebelumnya, dimana ia dididik oleh Pemerintah kolonial Belanda dan disiplin ilmu di bidang “hukum adat”, maka tidak ada keterangan kepada siapa Hazairin belajar ilmu Al-Quran, ilmu As-Sunnah, ushul al-FIqh, kaidah-kaidah bahasa Arab, dan persyaratan berijtihad lainnya. Sehingga mustahil dapat diterima pengakuannya bahwa ia adalah seorang mujtahid.

6. Alinea III dalam Pendahuluan” dikatakan bahwa:

“dari hasil studi saja mengenai fiqh Ahlu-sunnah, jang telah masuk di Indonesia ini agaknya sudah lebih dari tudjuh abad saja, jang mendapat kesan bahwa ada konflik antara hukum fiqh tersebut dengan hukum adat. Konflik yang berkepandjangan sampai sekarang. Fiqh Ahlu-Sunnah terbentuk dalam masjarakat Arab jang bersendikan sistem kekeluargaan jang patrilineal dalam suatu masa di dalam sedjarah dimana ilmu mengenai bentuk-bentuk kemasjarakatan ini belum berkembang. Sehingga mujtahid-mujtahid Ahlu-Sunnah djuga belum mungkin memperoleh bahan-bahan perbandingan menenai pelbagai sistem kewarisan jang dapat dijumpai dalam pelbagai bentuk masjarakat itu”.

Nampak jelas bahwa pola pikir teori receptie, sangat mengakar kedalam pola pikir beliau. Dimana hukum yang berlaku bagi rakyat pribumi adalah hukum adat. Menurutnya, Fiqh Islam tidak cocok bagi masyarakat adat di Indonesia, dan  hanya cocok untuk bagi masyarakat arab. Hukum Islam baru dapat diterima, apabila telah sesuai dengan Hukum adat mereka;
 
7. Teori “Receptie Exit” yang dikemukakan oleh Hazairin sebagai pernyataan kontra produktif, karena beliau tidak membarenginya dengan pernyataan bahwa hukum adat baru dapat diterima apabila tidak bertentangan dengan hukum Islam atau beliau meninggalkan hukum adat (yang menjadi alat ukur penjajah Belanda untuk dapat menerima hukum Islam);

8. Pemikiran-pemikiran Hazairin berlandaskan pada hukum adat bukan bersumber pada Al-Quran atau As-Sunnah, yang berbeda dengan para Ulama Mujtahid yang menghasilkan hukum dari dalil-dalilnya. Dalam hal ini beliau menyatakan:

“Dengan terhapusnya pelbagai larangan mengenai kawin sepupu itu, larangan mana dalam masjarakat jang patrilineal dan matrilineal adalah untuk seluruhnja atau hampir seluruhnja paralel dengan larangan kawin se-klan, maka akan ikut terhapus pula-lah larangan perkawinan se-klan dalam masjarakat jang patrilineal dan matrilineal itu, dimana berarti menanggalkan sjarat exogami itu, dan djika klan telah tumbang maka akan timbulah masjarakat jang bilateral. Djuga dari ajat-ajat kewarisan dalam Al-Quran dapat setjara langsung diambil kenyataan bahwa sistem kekeluargaan menurut Al-Quran adalah bilateral”.

Teori klan ala Hazairin ini bertujuan untuk menghapuskan garis patrilenal atau matrilineal. Dengan dasar inilah beliau menolak fiqh para Ulama Mujtahid yang berlandaskan Al-Quran dan As-Sunnah, karena menurut Hazairin, fiqh-fiqh tersebut memakai sistem patrilenal; 

9. Pengahapusan “ashabah” dalam ajaran KHI, juga mengacu kepada ajaran hukum kewarisan Hazairin, dimana beliau mengemukakan sebagai berikut:

“Ketentuan Al-Quran mengenai fara’id itu menimbulkan penggolongan ahli waris dalam dzawu ‘il faraid. Jang bukan dzawu ‘il faraid ini dibagi oleh Ahlu-Sunnah atas dua golongan, yaitu pertama ‘asabat jang diperintji lagi dalam ‘asabat bi nafshihi, ‘asabat bi ghairi dan ‘asabat ma’al-ghairi. Semuanja itu orang-orang jang termasuk pengertian anggauta-anggauta suatu kekeluargaan jang patrilineal, dan kedua dzawu-‘ilfara’id dan bukan ‘asabat dan pada umumnya terdiri dari orang-orang jang termasuk anggauta-anggauta keluarga patrilineal pihak menantu laki-laki atau anggauta-anggauta keluarga pihak ajah dari mak. Pembagian menurut Ahlu-‘il-Sunnah itu mudah dipahamkan djika orang dapat berpikir menurut alam fikiran masjarakat jang patrilineal. Hubungan antara ‘asabat dengan dzawu-‘larham itu dapat dalam batas-batas tertentu dibandingkan dengan hubungan antara kahanggi disatu pihak dengan mora dan anak boru dilain pihak pada orang batak. 

Saja sendiri membagi ahli waris menurut Al-Quran itu dalam tiga djenis, yaitu dzawu-‘ilfara’id, dzawu-iqarabat  dan mawali. Pembagian jang saja adakan dalam tiga djenis ini adalah berhubungan langsung dengan soal apakah Ql-Quran mengenai atau tidak akan garis pokok keutamaan dan garis pokok penggantian seperti dikenal dalam sistem kewarisan jang individual dalam masjarakat jang bilateral di Indonesia”.[8]

Dicetak tebal pada pertanyaan beliau: “apakah Al-Quran mengenal atau tidak”, adalah suatu sinisme pengikut teori receptive terhadap Hukum Islam yang berlandaskan Al-Quran dimana menganut sistem kekeluargaan patrilineal. Garis pokok keutamaan yang mengahapuskan adanya “ashabah”,[9] anak perempuan sendirian atau beberapa orang dapat menghabisi seluruh harta: hal ini menjadi bagian Hukum Kewarisan Kompilasi Hukum Isalam, dan Garis Pokok penggantian yang melahirkan adanya “ahli waris pengganti” (Hazairin menjiplak dari Pasal 841 KUHPerdata) dan “hajib mahjub” hilang dari Kompilasi Hukum Islam. Banyak ahli waris yang berhak mendapat harta warisan menurut Al-Quran dan Al-Sunnah, menjadi hapus karena mengacu kepada pasal-pasal yang bersumber dari hukum adat tersebut;

10. Dalam seminar Tahun 1963, ketika menjawab  sanggahan Prof. Thaha, MA, antara lain menyatakan:

“djika dalam suatu masjarakat jang homogen didjumpai lebih dari satu matjam perkawinan, maka sungguh benar bahwa setiap matjam perkawinan itu dapat membawakan suatu variasi dalam hak kewarisan anak-anak atau hak kewarisan fihak mak atau fihak ajah, hal mana ternjata dalam masjarakat adat teristimewa dalam masjarakat jang patrilineal tetapi mungkin djuga dalam masjarakat bilateral dan masjarakat matrilineal. Disini tidak ada waktu saja untuk menguraikan hal-hal tersebut. Tetapi dalam hukum berlandaskan Al-Quran tjuma ada satu matjam sistem perkawinan, sehingga sistim kewarisannja karena itu hanja mungkin satu matjam pula”.

Cemoohan (cetak tebal di atas) tidak selayaknya ditujukan kepada Allah yang menurunkan Kitab petunjuk bagi umat beriman, hujatan kepada Allah yang hanya mengenal satu macam sistem perkawinan (sistem patrilineal saja), dapat diartkan bahwa Allah tidak melihat ada bermacam-macam sistem perkawinan.

Sabab al-nuzul disyariatkannya hukum kewarisan, bahwa isteri Sa’ad bin ar-Rabi’ mengahadap Rasulullah Saw dan berkata: “Yaa Rasulullah, kedua puteri ini anak Sa’ad bin ar-Rabi’ yang ikut berperang di Perang Uhud bersama tuan dan dia telah gugur sebagai syahid. Paman kedua anak ini mengambil harta peninggalan Sa’ad dan tidak berisisa sama sekali, sedangkan kedua anak ini akan sukar mendapatkan jodoh bila tidak berharta”. Rasulullah Saw bersabda: “Allah akan memutusan hukumnya”. Maka turunlah Surah An-Nisa’ (IV): 11-12. Dengan turunnya ayat itu terhapuslah adat jahiliyah yang tidak memberikan pusaka para wanita dan anak laki-laki yang masih kecil. Jelas disini syariat kewarisan diwahyukan Allah guna menghapuskan adat-istiadat kaum jahiliyah.

Sebaliknya Hazairin justru mempertentangkan Al-Quran dengan hukum adat. Pendapat Hazairin tentang sistem bilateral bukan patrilineal sebagaimana pendapat Ulama Fiqh, seharusnya beliau memperhatikan ayat-ayat Al-Quran selain ayat-ayat tentang kewarisan, antara lain sebagai berikut:

Bahwa rezeki kaum perempuan:[10]
  1. Mendapat harta warisan (meskipun lebih kecil bila dibandingkan dengan laki-laki);
  2. Mendapat hibah; 
  3. Emas kawin tidak dapat diusik sedikit pun tanpa seizin isteri.[11] Dimana hal tersebut merupakan pemberian yang tidak disertai dengan harapan mendapatkan imbalan apapun, tanpa ada tawar menawar seperti lazimnya yang berlaku dalam jual beli, mahar menjadi milik isteri untuk selama-lamanya;
  4. Harta-harta pemberian suami, seperti: perhiasan, kendaraan, rumah, dan lain-lain;[12]
  5. Nafaqah yang merupakan kewajiban suami menafkahi isterinya, memenuhi kebutuhan makan  dan minum, pakaian, tempat tinggal, pengobatan, dan kebutuhan rumah tangga lainnya sesuai kemampuan suami;[13]
  6. Isteri boleh membantu meringankan beban suaminya atas dasar kerelaan, bahkan suami yang miskin sedangkan isterinya menghasilkan harta kekayaan, dapat memberi zakat kepada suaminya, akan tetapi tidak sebaliknya, karena isteri berada dalam tanggungan suami, bila isteri merelakan sebagian mahar yang menjadi milknya, (bagian dari mahar tersebut wujudnya telah diganti menjadi makanan) dan suami boleh memakannya;[14]
  7. Nafkah iddah dan mut’ah bagi isteri-isteri yang dithalak oleh suaminya.[15] 
Apabila Hazairin mengetahui uraian diatas dan diperkuat dengan dalil-dalil yang sahih yang memberi rezeki secara khusus kepada kaum perempuan, yang tidak saja melalui waris–mewarisi, kelebihan-kelebihan yang tidak diberikan kepada kaum lelaki, tentu akan membuat dirinya dapat memahami konsep-konsep Al-Quran secara utuh dan tidak secara parsial, serta tidak menuduh Ulama Mujtahid berpola pikir patrilineal.

Sebagai perbandingan adalah negara Mesir, dimana mengutip dari peraturan perundang-undangan Mesir, bahwa ahli waris yang meninggal terlebih dahulu dari pewaris atau bahwa cucu (yang orang tuanya meninggal lebih dahulu dari kakek atau neneknya) memperoleh “wasiat wajibah”.

Simpulan dan Saran

Baik nash Al-Quran dan Al-Sunnah maupun kitab-kitab Fiqh Ulama Mujtahid tidak mengatur bagian ahli waris pengganti. Hal ini juga telah dibantah oleh beberapa Ulama yang tergabung dalam Tim Perumus Hukum Kewarisan KHI. Adanya ketentuan “ahli waris pengganti” dalam Pasal 185 KHI dinilai merupakan suatu penyelundupan hukum yang sama sekali tidak berdasar dan tidak sesuai dengan kesepakatan para Ulama sebelumnya

Bila diteliti lebih jauh, ketentuan tersebut tidak ada bedanya dengan ketentuan Pasal 841 KUHPerdata yang juga mengatur tentang ahli waris pengganti. Sehingga, hal tersebut tidak lain adalah suatu rekayasa hukum yang dilatarbelakangi oleh pemikiran Hazairin ke dalam hukum Islam (teori receptive) dan bukan bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah. Hal tersebut juga dapat dibuktikan dengan adanya 10 (sepuluh) fakta-fakta yang telah dikemukakan bahwa ia tidak dapat disebut sebagai seorang mujtahid, sehingga pemikirannya yang merumuskan ketentuan ahli waris pengganti adalah keliru.  

Sebagai suatu kumpulan aturan-aturan yang bersendikan hukum Islam, KHI hendaknya menjadi suatu pedoman yang luhur dalam menyelesaikan suatu perkara. Konsekuensi logisnya, maka penyempurnaan dalam aturan-aturan yang terkandung didalamnya haruslah menjadi prioritas utama. Adanya ketentuan ahli waris pengganti dalam Pasal 185 KHI, menjadi suatu pukulan telak bagi umat Islam secara keseluruhan. Oleh karena itu, untuk meminimalisir hal demikian (walaupun baru disadari saat ini), maka perubahan (amanademen) pasal tersebut menjadi suatu urgensi dalam prioritas perbaikan hukum dewasa ini. Pemerintah sebagai “ulil amri” haruslah bersikap tanggap dan cerdas dalam mengatasi hal ini, sehingga tidak menimbulkan kekacauan yang lebih besar lagi dikemudian hari.
Muara Enim, Oktober 2014
M. Alvi Syahrin


Foot Note
[1] QS. Al-Isra: 81
[2] Hal tersebut diantaranya: Umar r.a tidak memotong tangan pencuri yang mencuri makanan karena dalam keadaan terpaksa (akibat kelaparan), dan hukuman bagi pencuri massal, apakah semua harus dijatuhi hukuman, maka beliau berpendapat “semua”. Dan beliau menyetujui pendapat Ali r.a tentang pembunuhan seseorang yang dilakukan oleh 2 (dua) orang pembunuh dan keduanya diberlakukan hukumann qishash.
[3] Samarcondu Nawawi dan Muzani, Surat Kesaksian (terlampir)
[4] Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Makalah disampaikan dalam acara seminar sehari yang diselenggarakan oleh PPHI2M di Jakarta, Hari Jum’at tanggal 19 Februari 2010, hal 15
[5] Bagir Manan, Pidato Wisuda Bhakti KPT Riau. Bahwa almamater diartikan sebagai tempat ibu menyusui, dimana hasil dari menyusu menjadi darah daging.
[6] QS. Al-Ahzab: 33
[7] Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Quran, Tintamas, Jakarta, 1961, hal 1
[8] Hazairin, Hukum Kewarisan Nasional, Tintamas, Jakarta, 1968, hal 15
[9] Ibid., hal 29-34
[10] Huzaimah Tahido Yanggo, Hak-hak SIpil dan Kedudukan Perempuan di Aceh, GTZ, hlm 20-21
[11] QS. An-Nisa’: 20, 21, 35
[12] QS. An-Nisa’: 34
[13] QS. Al-Baqarah: 233; QS. Ath-Thalaq: 7
[14] QS. An-Nisa’: 4
[15] QS. Al-Baqarah: 236-237


Bahan Bacaan
Buku-Buku

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Quran, Tintamas, Jakarta, 1961

Hazairin, Hukum Kewarisan Nasional, Tintamas, Jakarta, 1968
Huzaimah Tahido Yanggo, Hak-hak SIpil dan Kedudukan Perempuan di Aceh, GTZ

Makalah
Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Makalah, 19 Februari 2010

Peraturan Perundang-Undangan
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

Al-Quran
QS. Al-Baqarah: 233, 236 dan 237
QS. An-Nisa’: 4, 20, 21, 34, dan 35
QS. Al-Isra: 81
QS. Al-Ahzab: 33
QS. Ath-Thalaq: 7



Lampiran