Monday, March 24, 2014

REORIENTASI FUNGSI IMIGRASI INDONESIA

“Kami Imigrasi Indonesia. Siap melaksanakan tugas. Pengamanan negara dan penegakan hukum. Berbakti pada masyarakat. Berwibawa tegas dan ramah dalam memenuhi kewajiban. Menjaga pintu gerbang negara tuk mencapai adil dan makmur. Bhumi Pura Wira Wibawa. Sasanti Imigrasi Indonesia. Berlandaskan dasar negara. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45. Hadapilah tantangan dan cobaan. Menghambat jalannya pembangunan. Mengabdi dengan tulus dan suci. Demi kejayaan Indonesia”
(Mars Imigrasi Indonesia)

Pelayanan Prima
Imigrasi Indonesia yang berinduk pada Direktorat Jenderal Imigrasi (Ditjen Imigrasi) terus berupaya menjadikan lembaga ini menjadi lembaga kredibel di mata masyarakat dan dunia. Segala aspek terus dilakukan pembenahan. Tentu yang paling menjadi sorotan adalah kinerja pada aspek pelayanan Keimigrasian, dalam hal ini penerbitan Dokumen Perjalanan Republik Indonesia (DPRI) yaitu Paspor RI. Untuk mencapai perbaikan tersebut maka dikeluarkanlah beberapa kebijakan diantaranya penerbitan paspor selama satu hari kerja (one day service) di Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Jakarta Barat dan Jakarta Selatan, penerbitan paspor cukup sekali jalan (one stop service) di beberapa Kantor Imigrasi Kelasi I Khusus, pembayaran yang kini dilakukan di BNI, dan ketentuan yang melarang setiap petugas loket menggunakan handphone selama bertugas. Kebijakan ini dikeluarkan agar dapat memberikan pelayanan prima bagi masyarakat.


Imigrasi saat ini identik dengan pelayanan. Bahkan tidak sedikit masyarakat mengenal Kantor Imigrasi hanya sebatas tempat pembuatan paspor. Tentu pemahaman ini tidak salah dan tidak sepenuhnya benar. Para pemangku jabatan di Ditjen Imigrasi pasti menyadari bahwa pelayanan kepada masyarakat harus diutamakan. Apalagi selama ini sudah menjadi rahasia umum bahwa masih banyak pungutan liar yang dilakukan oleh petugas Imigrasi dalam proses penerbitan Paspor RI. Namun sekarang kondisinya berbeda. Masyarakat yang kritis, akses pengaduan yang kian mudah, belum lagi adanya pengawasan internal dan eksternal, membuat Kantor Imigrasi harus memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat.
Disorientasi Fungsi Imigrasi Indonesia
Namun di saat pelayanan yang selalu diutamakan untuk dilakukan pembenahan, kita selalu lupa bahwa fungsi utama dari Imigrasi adalah menjaga kedaulatan negara. Hal ini setidaknya dapat kita lihat pada syair Mars Imigrasi Indonesia, bahwa tugas Imigrasi Indonesia adalah pengamanan negara, penegakan hukum, dan berbakti pada masyarakat. Jelas kita pahami pengamanan negara dan penegakan hukum lah yang seharusnya menjadi fokus utama dari Imigrasi, bukan pelayanan. “Imigrasi harus dikembalikan kepada fitrahnya dalam menjaga pintu gerbang negara”, ujar Intji Diqa Pribadi (Kasi Lalintuskim Kantor Imigrasi Kelas II Muara Enim). 
Lebih lanjut, Ia menyatakan bahwa pada dasarnya pengamanan negara juga merupakan bentuk dari pengabdian Imigrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. “Bukankah melaksanakan pengamanan negara juga merupakan bentuk pelayanan kepada masyarakat?”, tegas Intji Diqa Pribadi saat ditemui di ruangan kerjanya.

Secara yuridis, Pasal 1 angka (1) UU No. 6 Tahun 2011 menegaskan sebagai berikut:“Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar Wilayah Indonesia serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan negara”. Dengan demikian jelas bahwa beban orientasi fungsi Imigrasi Indonesia lebih kepada menjaga pintu gerbang negara dari setiap potensi ancaman orang asing. Sehingga fungsi pengawasan harus diutamakan, demi tercapainya kedaulatan negara. Negara yang berdaulat merupakan cerminan berfungsinya Imigrasi di negara tersebut.
Sepertinya kita telah lupa bahwa banyak Imigrasi di dunia kini fokus kepada sisi pengamanan negara, layaknya Australia yang selalu reaktif dan antisipatif terhadap datangnya imigran ilegal dan pencari suaka. Lain halnya di Indonesia yang masih mengandalkan pelayanan sebagai fungsi utama Imigrasi. Sehingga memberi kesan, tugas Imigrasi hanya sebatas membuat Paspor RI. Padahal fungsi pelayanan merupakan satu dari bagian besar rangkaian tugas pokok yang harus diemban oleh Imigrasi Indonesia. “Apabila kita buat perbandingan, maka persentase antara penegakan hukum (baca: pengamanan negara) dan pelayanan adalah 70% berbanding 30%, bukan malah sebaliknya”, ujar Mahmudi (Kasubsi Infokim Kantor Imigrasi Kelas II Muara Enim).
Kebijakan one day service dan one stop service dalam perpanjangan paspor dan penerbitan paspor baru akan menyimpan permasalahan tersendiri. Masyarakat mungkin akan dipermudah dalam urusan pelayanan. Namun, bagi pihak Imigrasi dapat saja akan menimbulkan permasalahan baru. Kesulitan terbesar ada pada data kependudukan yang belum akurat, tepat, dan jelas. Walaupun sudah menerapkan sistem e-KTP, seorang warga negara Indonesia dapat saja memiliki 2 (dua) E-KTP yang berbeda. Temuan-temuan tersebut mungkin saja terjadi, mengingat sistem kependudukan kita belum terintegrasi dengan baik. Konsekuensi logisnya, hal ini dapat menyulitkan tugas dan fungsi Imigrasi sebagai "sektor hilir" dalam menerbitkan paspor.

Selanjutnya, bagaimana ketika telah diterbitkannya paspor dalam satu hari tersebut, kemudian ada surat permohonan dari pihak Kepolisian, Kejaksaan, atau dari KPK yang meminta kepada Imigrasi untuk melakukan pencegahan berpergian keluar negeri bagi pihak pemegang paspor tersebut dikarenakan sedang terlibat kasus tindak pidana tertentu? Apabila ini terjadi, tentu pihak Imigrasi yang akan disalahkan. Yang perlu menjadi perhatian bersama, Imigrasi bukanlah lembaga yang berorientasi pada keuntungan (profit oriented) dan tidak menekankan pada target dalam menjual produknya (baca: penerbitan paspor). Hal ini berbeda seperti lembaga perbankan ataupun BUMN yang menjual suatu produk untuk mengejar keuntungan. Oleh karena itu, diperlukan prinsip kehati-hatian dalam penerbitan paspor. Makna dari pelayanan prima tidak hanya memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, tetapi juga harus memperhatikan aspek hukum lain di dalamnya.
Praktisnya, pemangku jabatan di Ditjen Imigrasi secara sadar atau tidak sadar telah terjebak pada fungsi pelayanan semata. Apakah karena pelayanan telah menjadi sumber Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), sehingga kita lalai dalam menjalankan fungsi pengamanan negara dan penegakan hukum? Merujuk pada Tri Fungsi Imigrasi, yaitu (i) penegakan hukum, (ii) pelayanan masyarakat, (iii) aparat keamanan dan fasilitator pembangunan, semakin jelas bahwa fungsi utama Imigrasi bukanlah pelayanan, tetapi penegakan hukum. Lagi-lagi kita terjebak pada pemahaman yang keliru.
Perbandingan di Negara Lain
Yang perlu diperhatikan, sebagian besar negara-negara di dunia tidak lagi menjadikan Imigrasi sebagai Instansi yang menerbitkan paspor. Untuk Paspor China diterbitkan oleh Ministry of Foreign Afairs of the People’s Republic of China, Paspor Korea diterbitkan oleh Ministry of Foreign Affairs and Trade, Paspor Thailand dan Jepang diterbitkan oleh lembaga yang sama, yaitu Ministry of Foreign Affairs, Paspor Singapura diterbitkan oleh Ministry of Home Affairs, dan masih banyak lagi. Lain halnya di Indonesia, dimana Paspor RI diterbitkan oleh Kantor Imigrasi setempat (Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukumd dan HAM RI). Ini menjadi anomali, karena sejatinya fungsi utama Imigrasi bukanlah sebatas menerbitkan paspor, tetapi lebih dari itu. Hal inilah yang disadari oleh Imigrasi negara lain bahwa fungsi Imigrasi harus ditempatkan pada posisi yang terhormat dan berwibawa, yaitu berperan dalam menjaga kedaulatan negara.

Di beberapa negara lain juga, dibedakan antara instansi yang menerbitkan paspor dan instansi yang memiliki tugas utama dalam pengamanan negara. Tidak disamakan seperti di Indonesia, yang semuanya dibawah naungan Ditjen Imigrasi. Seperti China yang memiliki lembaga National Immigration Agency of the Ministry of the Interior (NIA), Korea memiliki Korea Immigration Service, Australia memiliki Department of Immigration and Citizenship, Inggris memiliki The United Kingdom Immigration Service, Singapura memiliki Immigration & Checkpoint Authority, dan masih banyak lagi.
Mengembalikan Wibawa Imigrasi
Dalam Mars Imigrasi terdapat redaksi kata sebagai berikut: “...berwibawa, tegas, dan ramah...”. Ini memberi pesan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsi setiap petugas imigrasi harus dapat menjaga wibawa dan bersikap tegas dalam menjaga pintu gerbang negara dan bersikap ramah dalam memberikan pelayanan. Jadi sebetulnya yang lebih diprioritaskan bukanlah pelayanan, melainkan menjaga kedaulatan negara.
Kasus hilangnya Pesawat Malaysia Air MH370 beberapa waktu lalu, tidak terlepas dari lengahnya fungsi pengawasan keimigrasian Malaysia, yang telah lalai meloloskan 2 (dua) paspor palsu yang diduga hasil curian. Dapat dibayangkan, bagaimana bila hal itu terjadi di Indonesia? Bagaimana dapat berkerja maksimal dalam menjaga pintu gerbang negara, apabila dukungan selama ini hanya ditujukan untuk perbaikan pelayanan semata?
Hal ini tentu menjadi sorotan kita bersama. Indonesia merupakan negara yang sangat strategis bagi para imigran ilegal ataupun para pencari suaka yang hendak ke Australia. Banyak para pencari suaka yang pada awalnya hanya singgah ke Indonesia untuk melanjutkan perjalanan ke Australia, malah menetap tinggal di Indonesia. Kondisi ini semakin pelik ketika Australia telah melakukan kerja sama dengan Papua Nugini, untuk mengalihkan para pencari suaka yang masuk ke Australia untuk dikirim ke negara pihak ketiga. Sehingga akibatnya semakin banyak para pencari suaka yang mengubah tujuan negara suaka dari Australia ke Indonesia.

Melihat dialektika demikian, ditambah arus globalisasi yang semakin meningkat, diperlukan lembaga Imigrasi yang fokus dan berkosentrasi dalam menjaga kedaulatan negara. Tidak sedikit orang asing yang masuk wilayah Indonesia yang membawa motif tertentu, apakah itu sebagai agen human traficking, bandar narkoba, agen mata-mata negara lain (spyonase), dan sebagainya. Hal ini apabila tidak segera diantisipasi tentu akan menjadi permasalahan besar di kemudian hari. “Negara ini terlalu lemah dalam mengawasi kegiatan orang asing di Indonesia, bahkan cenderung terlalu toleran kepada mereka”, tegas Trisulo Petaling (Kasi Wasdakim Kantor Imigrasi Kelas II Muara Enim). Oleh karenanya menjadi suatu keniscayaan apabila fungsi imigrasi di bidang penegakan hukum harus lebih dimaksimalkan.
Dengan melihat beragam masalah dalam konteks tersebut, maka kita perlu mengembalikan fungsi imigrasi yang sebenarnya. Pengawasan dan penegakan hukum dalam menjaga kedaulatan negara perlu dikedepankan. Lahirnya UU No. 6 Tahun 2011 tetang Keimigrasian yang menggantikan UU No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, merupakan buah pikir pembentuk undang-undang (wets gever) yang menginginkan agar bagaimana Imigrasi Indonesia dapat menjalankan fungsi utamanya di bidang pengamanan negara. Apabila kita kaji substansi pasal-pasal yang terdapat dalam UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, maka anatomi yuridisnya ada sekitar 60 % hingga 80% ketentuan hukum yang berbicara masalah pengamanan negara dan penegakan hukum, bukan pelayanan (baca: penerbitan paspor).
Kalau dapat saya sebutkan satu dari sekian banyak ketentuan hukum dalam UU No. 6 Tahun 2011 yang menjadi “khas Imigrasi” tentu Pasal 75 ayat (1) UU No 6 Tahun 2011. Pasal tersebut menyatakan bahwa“Pejabat Imigrasi berwenang melakukan Tindakan Adminstratif Keimigrasian terhadap Orang Asing yang berada di Wilayah Indonesia yang melakukan kegiatan berbahaya dan patut diduga membahayakan keamanan dan ketertiban umum atau tidak menghormati atau tidak menaati peraturan perundang-undangan”. Disadari atau tidak, pasal ini merupakan aturan hukum yang menjadi dasar bagi setiap Pejabat Imigrasi untuk dapat secara maksimal mengawal dan menjaga pintu gerbang negara dari setiap ancaman orang asing yang hendak masuk ke wilayah Indonesia.
Berdasarkan pasal ini, setiap Pejabat Imigrasi dapat melakukan tindakan administratif berupa pencatuman dalam daftar pencegahan atau penangkalan, pembatasan, perubahan, atau pembatalan Izin Tinggal, pengenaan biaya beban, bahkan melakukan deportasi dari wilayah Indonesia (vide Pasal 75 ayat 2 UU No. 6 Tahun 2011). Pejabat Imigrasi yang melakukan tindakan administratif dimaksud, dapat bersandar pada klausul “dugaan” semata, atau menganggap orang asing tersebut tidak memiliki manfaat (asas kemanfaatan) bagi negara Indonesia, berdasarkan asas kebijakan selektif (selective policy priniciple). Jadi dalam hal ini tidak berlaku asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence principle). Hal ini berbeda apabila kita samakan dengan proses pro justitia (penegakan hukum) di bidang hukum lain yang harus berdasarkan 2 (dua) alat bukti yang sah dan keyakinan hakim (Pasal 183 KUHAP). Disinilah letak hak ekslusif (previlege rigths) setiap Pejabat Imigrasi yang tidak dimiliki oleh penegak hukum di instansi lainnya.
Saluran hukum demikian haruslah dipahami dan diimplementasikan dengan paripurna. Hukum Keimigrasian Indonesia merupakan cerminan harga diri bangsa. Adagium populer menyebutkan: “Seseorang tidak akan disebut besar, kalau ia tidak membesarkan dirinya sendiri”. Oleh karena itu UU No. 6 Tahun 2011 beserta peraturan pelaksana lainnya dapat menjadi penentu, apakah Imigrasi Indonesia berwibawa atau tidak di mata internasional. Sehingga dalam konteks ini, pengawasan terhadap orang asing menjadi hal yang penting.  “Seharusnya fungsi pengawasan harus diutamakan”, ujar Rendra Mauliansyah (Kasubsi Waskim Kantor Imigrasi Kelas II Muara Enim).
Re-orientasi Fungsi Imigrasi
Menurut saya, cara berpikir kita soal fungsi Imigrasi perlu diluruskan kembali. Kembalikanlah fungsi Imigrasi kepada ruh-nya. Jangan karena pelayanan memberikan sumbangsih kepada pendapatan negara, lalu kita terlena kepada fungsi utama. Saya secara pribadi merasa bangga ketika proses tertangkapnya Anggoro Wijoyo di China oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas kasus tindak pidana korupsi Sistem komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Kementerian Kehutanan, tidak terlepas dari peran serta Atase Imigrasi Indonesia di China. Tentu keberhasilan ini menjadi oase di tengah ketidakpercayaan publik terhadap kinerja lembaga hukum di Indonesia, tidak terkecuali Imigrasi.

Tentu masih banyak yang harus dibenahi oleh Ditjen Imigrasi sebagai lembaga tertinggi yang mengurusi hal ihwal Keimigrasian di Indonesia dalam menjalankan fungsi pengamanan negara. Di antaranya, meningkatkan kualitas dan kuantitas petugas Imigrasi di daerah perbatasan, dukungan moral dan politik dari pemangku jabatan, perbaikan sarana dan prasarana, serta fasilitas Keimigrasian di Tempat Pemeriksaan Imigrasi, meningkatkan kerja sama dan koordinasi lintas lembaga, dan menjalankan norma UU No. 6 Tahun 2011 beserta peraturan pelaksana lainnya dengan sungguh-sungguh. Jadikanlah Imigrasi sebagai lembaga yang terhormat dan berwibawa, layaknya semboyan Imigrasi: Bhumi Pura Wira Wibawa (Menjaga Pintu Gerbang Negara dengan Kewibawaan). Bravo Imigrasi. (ALVI)

Muara Enim, Maret 2014
M. Alvi Syahrin