Friday, April 4, 2014

REFLEKSI HUBUNGAN NEGARA, WARGA NEGARA, DAN KEIMIGRASIAN

Teori Terjadinya Negara
Salah satu unsur yang paling hakiki dalam suatu negara adalah warga negara. Negara ada demi warga negaranya. Terutama jika kita mengacu kepada paham demokrasi, yang dianut oleh pelbagai negara modern dewasa ini. Eksistensi negara adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
George Jellinek sebagaimana dijelaskan dalam bukunya yang berjudul Allgemeine Staatslehre (Ilmu Negara Umum), menyatakan bahwa hubungan Negara dan warga negara dapat dilihat dari Teori Terjadinya Negara secara Primer (Primaire Staats Wording). Terjadinya negara secara primer adalah teori yang membahas tentang terjadinya negara yang tidak dihubungkan dengan negara yang telah ada sebelumnya. Menurut teori ini ada empat fase perkembangan negara, yaitu fase genootshap (genossenschaft), fase reich (rijk), fase staat, fase democratische natie dan dictatuur (dictatum).
Pada fase genootshap (genossenschaft) merupakan perkelompokan dari orang-orang yang menggabungkan dirinya untuk kepentingan bersama, dan disandarkan pada persamaan. Mereka menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan yang sama dan kepemimpinan dipilih dari yang terkemuka diantara yang sama. Jadi yang terpenting pada masa ini adalah unsur warga negara.
Fase reich (rijk) merupakan kelompok orang-orang yang menggabungkan diri dari pada fase genootshap (genossenschaft), dan telah sadar akan hak milik atas tanah, sehingga muncullah tuan yang berkuasa atas tanah. Jadi yang terpenting pada masa ini adalah unsur wilayah.
Kemudian pada fase staat, masyarakat telah sadar dari tidak bernegara menjadi bernegara dan mereka telah sadar bahwa mereka berada pada satu kelompok. Jadi yang penting pada masa ini adalah ketiga unsur dari negara yaitu bangsa, wilayah dan pemerintahan yang berdaulat sudah terpenuhi.
Selanjutnya phase democratische natie, merupakan perkembangan dari fase staat, dimana democratische natie ini terbentuk atas dasar kesadaran demokrasi nasional, kesadaran akan adanya kedaulatan ditangan rakyat. Mengenai fase dictatuur timbul dua pendapat, yaitu bentuk dictatuur merupakan perkembangan daripada democratische natie. Selain itu pendapat lain menyatakan bahwa bentuk dictatuur bukan merupakan perkembangan daripada democratische natie tetapi merupakan variasi atau penyelewengan daripada democratische natie.
Warga Negara sebagai Unsur Negara
Warga negara adalah anggota negara. Sebagai anggota suatu negara, seorang warga negara mempunyai kedudukan yang khusus terhadap negaranya. Ia mempunyai hubungan hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik terhadap negaranya. Hal inilah yang membedakan antara warga negara dan orang asing.
Dengan demikian masalah kewarganegaraan ini jelas merupakan salah satu masalah yang bersifat prinsipal dalam kehidupan bernegara. Tidaklah mungkin suatu negara dapat berdiri tanpa adanya warga negara, begitu juga sebaliknya. Hal ini secara jelas dikemukakan dalam Pasal 1 Montevideo Convention 1933: On the Rights and Duties of States, yang menyatakan:
The state as a person of international law should possess the folowing qualifications: a permanent population, a defined territory, a government, a capacity to enter into relations with other states.” (“Negara sebagai subjek hukum internasional harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: rakyat yang permanen, wilayah yang tertentu, pemerintahan, kapasitas untuk terjun ke dalam hubungan negara-negara lain”)
Adalah hak masing-masing negara untuk menentukan siapa saja yang dapat menjadi warga negaranya. Dalam hal ini setiap negara berdaulat, hampir tidak ada pembatasan. Namun demikian suatu negara harus tetap menghormati prinsip-prinsip umum hukum internasional. Sudargo Gautama memberi beberapa contoh sebagai berikut: (i) Tidak masuk akal jika Indonesia menetapkan bahwa setiap orang Eskimo di Kutub Utara adalah Warga Negara Indonesia; dan (ii) Penetapan kewarganegaraan atas dasar agama semata-mata atauapun kesamaan bahasa atau warna kulit, juga bertentangan dengan prinsip hukum internasional seperti termaksud di atas.
Sebaliknya, suatu negara juga tidak dapat menentukan siapa yang merupakan warga negara dari negara lain. Sebab ini berarti melanggar kedaulatan negara lain.
Korelasi (Hukum) Kewarganegaraan dan (Hukum) Keimigrasian
Setelah semua unsur negara terpenuhi, maka terbentuklah apa yang disebut sebagai negara. Kemudian dalam perjalanannya, timbul persoalan siapa yang disebut sebagai warga negara, bagaimana prosedur memperoleh atau kehilangan kewarganegaraan, bagaimana prosedur memperoleh kewarganegaraan yang telah hilang, dan lain sebagainya. Pada tahapan ini lah maka diperlukan instumen hukum kewarganegaraan yang kini diatur dalam UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang sebelumnya menggantikan UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaran Republik Indonesia.
Dalam konteks internasional dan derasnya arus globalisasi, maka lalu lintas masuk dan keluar warga negara dari satu negara ke negara lain (imigrasi) menjadi suatu keniscayaan. Sebagai negara yang berdaulat, setiap negara tentu memiliki standar hukum nasional-nya masing-masing. Pada tahap inilah, maka Hukum Keimigrasian hadir untuk mengakomodir persoalan itu. Masalah keimigrasian kini telah diatur dalam UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, yang menggantikan UU No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian.
Melihat diskursus diatas, kemudian timbulah korelasi yang erat antara (hukum) kewarganegaraan dan (hukum) keimigrasian. Misalnya, terkait dengan masalah persyaratan untuk menjadi warga negara Indonesia, hal ihwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar wilayah suatu negara, pengawasan orang asing di wilayah negara yang bersangkutan, dan sebagainya. Negara dalam hal ini berperan besar dalam mengatur lalu lintas orang, terutama dihubungkan dengan pembedaan antara warga negaranya dan orang asing. Warga negara mempunyai hak untuk keluar-masuk negaranya. Sementara orang asing praktis hanya berhak untuk keluar. Demikian pula hak dan kewajiban seorang warga negara di negaranya, akan jauh berbeda dari hak dan kewajiban orang asing. Atas dasar itu, berbicara tentang masalah kewarganegaraan tentu akan tidak terlepas dari masalah keimigrasian pula.
Misalnya terkait dengan persoalan lalu lintas orang yang masuk atau keluar wilayah Republik Indonesia, maka kita perlu membedakan mana seorang warga negara Indonesia dan warga negara Asing. Pasal 2 UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian menyatakan bahwa: “Setiap warga negara Indonesia berhak melakukan perjalanan keluar dan masuk Wilayah Indonesia”. Namun, memahami norma hukum tersebut tidak dapat dilakukan secara parsial. Perlu juga dipahami apa yang dimaksud dengan warga negara Indonesia terlebih dahulu. Pasal 2 UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia menyebutkan: “Yang menjadi warga negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara”. Lalu yang menjadi pertanyaan, siapakah yang dimaksud dengan “orang-orang bangsa Indonesia asli’? Apakah mereka yang menetap terlama di suatu daerah tertentu? Ataukah mereka yang disebut sebagai kelompok suku pedalaman? Penjelasan Pasal 2 UU No. 12 Tahun 2006 menjelaskan sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan orang-orang bangsa Indonesia asli adalah orang Indonesia yang menjad warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri”. Lebih lanjut, Pasal 4 UU No. 12 Tahun 2006 juga menentukan siapa-siapa saja yang disebut sebagai warga negara Indonesia.
Selanjutnya, telah diatur bahwa setiap warga negara Asing dapat diberikan izin tinggal tetap untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk waktu yang tidak terbatas sepanjang izinnya tidak dibatalkan oleh Menteri (Hukum dan HAM RI) atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk (vide Pasal 59 ayat (1) jo. Pasal 55 UU No. 6 Tahun 2011). Dalam perjalanan, izin tinggal tetap tersebut dapat berakhir demi hukum, apabila yang bersangkutan telah memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia (vide Pasal 62 ayat (1) huruf c UU No. 6 Tahun 2011). Ketentuan norma UU No. 6 Tahun 2011 tersebut diatas memiliki korelasi UU No. 12 Tahun 2006, khususnya terkait dengan masalah pewarganegaraan (vide Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2006). Berdasarkan Pasal 9 huruf b UU No. 12 Tahun 2006, ditentukan bahwa: “Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon (warga negara asing) jika memenuhi persyaratan pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut”. Oleh karenanya, berbicara persyaratan permohonan pewarganegaraan maka akan berbicara juga masalah izin tinggal tetap pemohon yang bersangkutan, apakah sah atau tidak menurut hukum. Kedua norma tersebut memiliki keterkaitan sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Non-Eksklusivitas Hukum Keimigrasian
Dalam persinggungan norma hukum demikian, maka dapat dimengerti bahwa eksistensi antara UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dan UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia tidak dapat berdiri sendiri. Keduanya memiliki hubungan norma yang bersinggungan. Pemahaman struktur, substansi, dan konstruksi hukum, harus ditempatkan dalam konteks hukum progresif, yang memandang hukum dalam banyak sisi. Satjipto Rahardjo (Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Diponegoro) menegaskan bahwa hukum progresif menghendaki agar hukum tidak bersifat otonom, tapi heteronom. Hukum harus berkaitan dengan anasir-anasir bidang hukum lainnya, bahkan ilmu sosial sekalipun. Sehingga dalam kesimpulan penulis, Hukum Keimigrasian (baca: UU No. 6 Tahun 2011) bukanlah bidang hukum yang eksklusif dan berdiri sendiri. Hukum Keimigrasian harus ditempatkan sebagai sub-ordinasi dari sistem hukum nasional, sehingga di antara sub-sub hukum tersebut akan memiliki keterkaitan satu sama lain. (alvi)

Muara Enim, April 2014
M. Alvi Syahrin

No comments:

Post a Comment