Sunday, July 20, 2014

INDONESIA DARURAT IMIGRAN ILEGAL

Terminologi Imigran Ilegal
Imigran (ilegal) menurut Oxford Dictionary of Law dimaknai dengan: “...is the act of entering a country other than one’s native country with the intention of living there permanently”. Substansi dari pengertian di atas, yakni adanya maksud untuk tinggal menetap. Dengan demikain istilah tersebut harus dibedakan dengan orang asing yang berada di luar negaranya untuk berlibur atau berwisata semata. Sementara imigran menurut The Advanced Learner’s Dictionary of Current English diartikan sebagai a foreigner who comes into a country to live there permanently.
Di Indonesia, ada banyak penyebutan untuk istilah pengungsi. Pertama, imigran ilegal (illegal immigrant) yang dipakai oleh Interpol Indonesia. Kedua, pencari suaka. Ketiga, pendatang ilegal[1] yang dicetuskan oleh Menteri Luar Negeri, Hasan Wirajuda. Keempat, pengungsi sejati[2] dan pendatang biasa. Istilah ini digunakan oleh lembaga United Nations High Comission for Refugee (UNHCR). Kelima, pengungsi[3]. Keenam, sebutan manusia perahu karena adanya eksodus warga Vietnam yang bermigrasi menggunakan perahu. Ketujuh, migrant yang sering digunakan oleh lembaga International Organization for Migration (IOM). Kedelapan, sebutan vulnerable people dan vulnerable groups. Istilah ini digunakan IOM untuk menyebut orang-orang yang berhasil dievakuasi ketika pecah perang di Checnya.
Eksodus Imigran Ilegal ke Indonesia
Di Indonesia sendiri, topik seputar kaum migran (baca: imigran ilegal) telah menjadi tren beberapa tahun belakangan. Konflik di negara-negara Asia telah menyebabkan meningkatnya jumlah imigran yang datang ke Indonesia. Mayoritas dari mereka menjadikan Indonesia sebagai negara transit untuk melanjutkan perjalanan ke Australia. Permasalahan ini tidak hanya menjadi diskursus bagi negara yang meratifikasi Konvensi tentang Status Pengungsi, 28 Juli 1951 (selanjutnya disebut Konvensi 1951) beserta Protokol-nya 31 Januari 1967, tapi juga dunia, bahkan Indonesia yang sama sekali tidak dibebani tanggung jawab konvensi tersebut.
Walaupun bukan negara tujuan pengungsi, Indonesia dalam sejarahnya kerap kali dijadikan negara pelarian para pencari suaka. Sebagai contoh, fenomena yang terjadi sekitar tahun 1979, saat Indonesia kedatangan ratusan ribu pengungsi dari Vietnam, Laos, yang meninggalkan negara mereka akibat konflik bersenjata. Sampai kini, masalah migrasi di wilayah Indonesia ternyata masih terus berlanjut. Ribuan orang dari berbagai negara konflik terus masuk ke wilayah Indonesia, baik secara legal maupun ilegal, melalui darat, laut, maupun udara dengan menyatakan diri sebagai pencari suaka.
Kasus-kasus manusia perahu yang sering terdampar di perairan Indonesia sebelum sempat mencapai negara tujuan, frekuensinya semakin bertambah. Tidak dipungkiri, Indonesia telah menjadi negara transit pendatang imigran ilegal. Angkatan Laut Indonesia selama tahun 2009, sudah menangani 1.571 imigran. TNI AL sudah menangkap 493 imigran dari Sri Lanka, Myanmar, dan Afganistan yang tersebar di Lhoksumawe, Dumai, dan Mataram. Sejauh ini peran dari TNI dan Kementerian Pertahanan hanya sebatas upayan pencegahan masuknya imigran ilegal melalui perairan Indonesia. Sedangkan, upaya penanganan dan penanggulangan tetap berada dalam tupoksi Direktorat Jenderal Imigrasi (Ditjen Imigrasi), Kementerian Hukum dan HAM RI.
Menurut data yang dirilis oleh UNHCR per tahun 2014, jumlah imigran ilegal yang tinggal di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) seluruh Indonesia mencapai 8.262 orang. Sementara yang sudah memegang status pengungsi dan bisa tinggal di penampungan sebanyak 2.078 orang. Jumlah pencari suaka di Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2008, pencari suaka ke Indonesia masih berkisar 385 orang, sedangkan tahun 2013 sudah mencapai 8.332 orang. Adapun total imigran ilegal yang berada di wilayah Indonesia sampat bulan Maret 2014 kurang lebih sekitar 10.623 orang yang terdiri dari 7.218 orang pencari suaka dan sisanya 3.405 berstatus pengungsi. Angka tersebut diyakini akan semakin meningkat, mengingat konflik di negara bagian Afrika dan Asia terus berlangsung.
Mitra Salima Suryono, Public Information Officer UNHCR Indonesia, menuturkan meski  tidak menjadi negara pilihan utama dan bukan yang meratifikasi Konvensi 1951, nyatanya jumlah kedatangan penungsi dan pencari suaka ke Indonesia tiap tahun terus meningkat. Belum lagi biaya hidup yang juga harus ditanggung oleh UNHCR. Sepanjang tahun 2013 saja, dana yang harus dianggarkan mencapai US$ 8 juta.

Mayoritas imigran dari Sri Lanka dan Afganistan sering menjadikan Provinsi Banten sebagai destinasi darurat untuk memasuki wilayah Indonesia. Sebagai daerah yang bersentuhan dengan Selat Sunda, Banten merupakan alur laut kepulauan Indonesia yang dilewati kapal berbendera Internasional. Daerah ini sering digunakan jalur pengungsian oleh para imigran. Tidak hanya itu, arus pengungsi dengan tujuan Australia ini juga mendapat pengawasan serius dari pihak Interpol. Menurut National Central Bureau Interpol Indonesia, Bidang Laison Officer dan Perbatasan, polisi akan terus memantau keberadaan para pengungsi di seluruh wilayah Indonesia. Selama ini penyelesaian kasus penyelunduan manusia menggunakan Proses Bali[4] yang disepakati bersama-sama negara kawasan pada tahun 2003. Masalah penyelundupan manusia bukan hanya menyangkut satu negara atau beilateral, melainkan masalah satu kawasan sehingga memerlukan kerjasama antara negara asal, negara transit, dan negara tujuan. Oleh karena itu diperlukan kerangka kerja yang dapat menjadi acuan bagi penyelesaian masalah yang tidak bersifat kasuistik.
Turn Back The Boat (Roll Back a Boat Policy)
Dewasa ini, masalah penanganan imigran ilegal menjadi topik serius bagi Indonesia dan Australia. Bukan hanya soal penanganan semata, tapi kebijakan Australia yang menolak kehadiran para imigran ini menjadi pokok bahasan yang berlarut-larut. Keengganan Australia dengan sikap tidak kooperatifnya, semakin membuat Indonesia berada dalam status darurat imigran ilegal.

Kebijakan Australia yang mendorong balik perahu (role back a boat policy) yang berisi imigran gelap ke wilayah Indonesia, telah melanggar prinsip kemanusiaan internasional yang telah ditetapkan PBB. Apalagi, belum lama ini Angkatan Laut Australia mengembalikan para pencari suaka dengan menggunakan kapal penyelamat mereka. Sebagai negara penandatangan Konvensi 1951, kebijakan itu seharusnya tidak dilakukan oleh Australia dibawah pemerintahan Tony Abbot.

Pada tanggal 15 Januari 2014, seorang anggota TNI Angkatan Laut menemukan sekoci bermerek Vanguard yang diyakini membawa kurang lebih 90 orang pencari suaka. Diberitakan tiga penumpang sekoci telah tewas di tengah hutan Cisarua. Sekoci yang berukuran 8,5 meter x 3,2 meter ini  ditemukan di Pantai Cikepuh, Kecamatan Ciemas, Sukabumi, Jawa Barat. Sekoci mewah itu dilengkapi sejumlah peralatan modern, seperti sabuk pengaman, pendingin udara, perlengkapan navigasi, pelampung, makanan dan minuman. Kecepatan mesin diesel kapal tersebut diperkirakan dapat mencapai 30 knot. Awalnya, sekoci tersebut dipakai oleh para imigran dengan tujuan Pulau Christmas, Australia. Namun pada akhirnya sekoci tersebut sengaja dikirimkan kembali oleh Angkatan Laut Australia ke perairan Indonesia, mengingat kebijakan Australia saat ini adalah menolak kehadiran “manusia perahu” untuk masuk ke teritoarialnya.
Australia tentu sadar atas posisi Indonesia saat ini. Indonesia bukanlah negara tujuan pengungsi. Lagipula sampai saat ini pun, Indonesia tidak meratifikasi Konvensi 1951 tentang Pengungsi, sehingga tidak ada kewajiban yang mengikat bagi Indonesia untuk menangani masalah imigran ilegal (pencari suaka dan pengungsi).
Status Darurat
Berdasarkan data intersepsi bulan Agustus 2013, ada 38 kasus ditemukan di berbagai wilayah Indonesia dengan total 958 orang. Jumlah tersebut tentu menambah angka yang sudah ada saat ini berkisar 3.800 orang, baik itu yang ditempatkan di Rudenim maupun tempat-tempat penampungan yang telah ditetapkan oleh Ditjen Imigrasi. Angka tersebut bukanlah angka pasti, sebab masih ada banyak imigran ilegal yang luput dari pengawasan Ditjen Imigrasi. Mereka tinggal menyebar dengan menyewa rumah-rumah warga atau tinggal di hotel bahkan apartemen di beberapa kota di Indonesia.
Dalam situsnya, detik.com memberitakan gelombang kedatangan imigran ke Indonesia masih berlanjut sampai sekarang. Kali ini di kecamatan Cibalong, Garut. Sebanyak 106 imigran etnis Rohingya yang berasal dari negara Myanmar terpergok dan diamankan oleh pihak kepolisian pada hari minggu (17/11/2013). Para imigran yang terdiri dari 67 pria, 16 wanita, dan 20 anak-anak, diduga hendak menyebrang ke Australia. Kini mereka semua telah diserahkan ke Kantor Imigrasi Klas II Tasikmalaya untuk dikembalikan ke negara asalnya.

Sudah sejak lama, Indonesia menghadapi masalah dengan orang-orang asing yang mengaku sebagai pencari suaka, untuk diproses statusnya sebagai pengungsi. Meski bukan sebagai negara tujuan, Indonesia sering dipakai sebagai negara transit karena posisi geografis Indonesia berada pada jalur menuju perlintasan negara tujuan suaka, yaitu Australia. Dari Indonesia, mereka berniat masuk ke negara tujuan suaka, rata-rara mereka berniat ke Australia, baik secara legal ataupun ilegal, dengan menggunakan status pengungsi yang dikeluarkan oleh UNHCR mewakili pemerintah Indonesia.
Kedatangan para imigran ilegal ke wilayah Indonesia ini jumlahnya terus meningkat, sehingga mulai menimbulkan kekhawatiran dan ketidaknyamanan serta berpeluang menimbulkan gangguan sosial, kemanan politik, bahkan ketertiban di masyarakat. Jumlah kedatangan mereka tidak sebanding dengan angka penyelesaian atau penempatan ke negara penerima (Australia), termasuk yang dipulangkan secara sukarela dan dideportasi dari wilayah Indonesia. Keberadaan mereka sangat rentan baik dari sisi status, ekonomi, serta psikologis sehingga berpeluang dimanfaatkan oleh jaringan penyelundupan manusia, perdagangan orang narkoba, serta kegiatan kriminal lain termasuk jaringan terorisme internasional. Hal ini bisa menimbulkan dampak serta berbagai masalah di Indonesia.

Fenomena atas penolakan sebagian warga Bogor terhadap keberadaan para imigran yang tinggal di sekitar Cisarua, Bogor, konon berawal dari ketidaknyamanan warga yang mulai terganggu dengan keberadaan para imigran menurut masyarakat setempat, perilaku imigran semakin seenaknya, bahkan mulai mengabaikan masalah hukum di Indonesia.
Keresahan atas sikap dan perilaku imigran ilegal juga terjadi di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Sebanyak 25 imigran ilegal asal Timur Tengah ditangkap aparat Kepolisian setempat karena tidak membayar sewa Hotel Grenia yang mereka pakai menginap sejak tanggal 24 Agustus hingga 9 September 2013. Akibatnya, pemilik hotel mengalami kerugian sekitar Rp. 42,9 juta.

Masalah imigran ilegal di Indonesia tidak hanya berhenti pada titik ini. Masalah biaya hidup dan tempat tinggal  para imigran ilegal juga menjadi sorotan. Para pencari suaka mendapat tunjangan biaya hidup sekitar 1,2 juta rupiah per orang, per bulan. Bila satu keluarga terdiri dari sepasang suami-istri dengan dua orang anak, maka dalam satu bulan mereka bisa mendapatkan sekitar 4,8 juta rupiah. Bila berdasarkan data terakhir yang dirilis UNHCR, jumlah imigran ilegal ini ada sekitar 10.340, lalu dikalikan 1,2 juta rupiah per bulan, maka 12,4 milyar rupiah yang harus dikeluarkan oleh pemerintah dan IOM untuk membiayai kehidupan para imigran ilegal. Sungguh nominal yang fantastis ditengah angka kemiskinan masyarakat Indonesia yang semakin meningkat.
Dalam “Forum Komunikasi Antar Instansi di Wilayah Kota Depok dalam Rangka Imigran Gelap dan Pencari Suaka di Indonesia”, yang diselenggarakan oleh Kantor Imigrasi Klas II Depok di Hotel Mirah, Bogor tanggal 12 September 2013, salah satu perwakilan dari kecamatan di Kabupaten Bogor menanyakan keberadaan serta status dana biaya hidup para imigran tersebut. Di tengah antrian berdesakan warga masyarakat mengambil dana BLSM yang (hanya) sekitar 150 ribu rupiah, maka biaya hidup para imigran itu menjadi sangat mewah dan “menggiurkan”. Ada kecurigaan dari pihak kecamatan bahwa dana tersebut berasal dari dana pemerintah Indonesia.

Mengutip pernyataan dari Yusril Ihza Mahendra dalam kicauan twitternya (19/11/2013), bahwa penanganan imigran ilegal harus diperhatikan secara proposial mengingat, karena masih banyak warga Indonesia sendiri yang kehidupan ekonominya belum layak. “Padahal rakyat kita sendiri saja miskin, kok masih harus menahan dan menampung begitu banyak imigran asing yang mau ke Australia”, tegas Yusril.
Dilema Indonesia
Dalam Pasal 8 ayat (2) UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (yang sebelumnya menggantikan UU No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian), telah ditentukan bahwa setiap orang asing yang masuk dan keluar wilayah Indonesia wajib memiliki Visa yang sah dan masih berlaku, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-Undang ini dan perjanjian internasional. Pasal 9 juga menegaskan bahwa setiap orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia wajib melalui pemeriksaan yang dilakukan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi. Ketentuan selengkapnya dapat dibaca pada Bab III UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Atas dasar hukum inilah, maka setiap imigran yang masuk wilayah Indonesia tidak berdasarkan aturan dimaksud, disebut sebagai imigran ilegal, sehingga dapat dikenakan sanksi pidana. Dalam Pasal 113 UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian disebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja masuk atau keluar wilayah Indonesia yang tidak melalui pemeriksaan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Namun dalam das sein (kenyataan), perlakuannya akan berbeda ketika pihak Imigrasi Indonesia berhadapan dengan pencari suaka dan pengungsi yang dalam perjalananya hendak ke negara tujuan, yaitu Australia. Apalagi Indonesia sejauh ini belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967, sehingga Indonesia tidak memiliki kewajiban apapun terkait dengan keberadaan imigran ilegal ini.
Namun, dengan mengatasnamakan alasan kemanusiaan dan HAM, maka Indonesia seolah terikat akan kewajiban itu. Belum lagi dengan adanya IOM (yang disinyalir merupakan organisasi afiliasi Australia untuk “menampung” imigran ilegal di Indonesia yang hendak ke Australia), semakin membuat posisi Indonesia menjadi sulit. Adanya beberapa instrumen hukum yang mengatur soal penanganan imigran ilegal, tentu membuat keadaan semakin serba dilematis. Sebut saja, Perdirjenim No.IMI-1489.UM.08.05 Tahun 2010 tentang Penanganan Imigran Ilegal, TAP MPR No.XVII/MPR/1998 yang berisikan Piagam Hak Asasi Manusia, UUD 1945 (Amandemen) yang berorientasi pada HAM, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asas iManusia, UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, UU No. 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi, dan juga diratifikasinya 7 dari 8 International Human Right Treaties, antara lain: CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), CRC (Convention on the Rights of the Child), ICCPR (International Convenant on Civil and Political Rights), ICESCR (International Convenant on Economic, Social, and Cultural Rights), CAT (Convenant Against Torture), (ICERD (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination), dan CRPD (Convention on the Rights of Persons with Disability). Instrumen hukum baik nasional dan internasional itu, tentu menjadi suatu dilema yang berat bagi Indonesia, dalam penanganan imigran ilegal. Padahal telah jelas, bahwa dalam UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dan tidak diratifkasnya Konvensi 1951 dan Protokol 1967, membuat Indonesia dalam posisi tidak ada kewajiban terhadap penanganan imigran ilegal.
Kasus Penyelundupan Manusia
Persoalan imigran ilegal semakin dipersulit dengan adanya penyelundupan manusia (people smuggling) yang semakin meningkat jumlahnya. Dino Pati Jalal (saat menjabat sebagai Juru Bicara Presiden RI) pernah mengatakan kepada pers bahwa Indonesia dan Australia belum memiliki kerangka kerjasama untuk mengatasi penyelundupan manusia yang akhir-akhir ini sering terjadi di perairan kedua negara. Para pihak yang terkait diantaranya Imigrasi, Angkatan Laut, dan Kepolisan masih sebatas melakukan penanganan yang bersifat represif. Kerangka kerjasama perlu dilakukan dalam mengatasi masalah imigran ilegal yang menempatkan Indonesia sebagai negara transit dan Australia sebagai negara tujuan.

Ada dua kasus besar yang cukup mendapat perhatian serius di masa itu, yaitu kasus eks penumpang Kapal Tampa (tahun 2003) dan kasus eks penumpang Kapal Ocean Viking (tahun 2009). Kedua kasus tersebut terkait dengan eksodus para pencari suaka Afganistan, Pakistan dan Sri Lanka yang hendak bermigrasi ke Australia karena korban politik di negaranya masing-masing. Namun, pada akhirnya keberadaan mereka ditolak Australia dengan berbagai macam alasan seperti, beda yurisdiksi, beda bendera kapal, status pengungsi yang belum jelas dan lain sebagainya.

Penyelundupan manusia menjadi isu penting, khususnya bagi Indonesia dan Australia. Di Australia sendiri, kubu pemerintah dan kubu oposisi terlibat perdebatan sengit terkait serbuan ribuan orang pencari suaka asing yang datang secara bergelombang lewat laut ke Australia. Mereka menyelundup ke Australia dan Selandia Baru umumnya dengan tujuan mengubah nasib. Sebagai negara yang meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967, tentu secara prinsip hukum internasional, Australia berkewajiban untuk bertanggung jawab atas keberadaan pengungsi dan pencari suaka tersebut. Lain halnya dengan Indonesia yang tidak meratifikasi, sehingga tidak ada beban tanggung jawab layaknya Australia. Namun disisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa permasalahan pengungsi dan pencari suaka berkaitan erat dengan isu kemanusiaan. Inilah yang menjadi dilema yang harus dihadapi oleh Indonesia dan Australia.
Selama awal tahun 2009, sekitar 1.650 pencari suaka tiba di Australia. Sebanyak 1.060 orang dan sembilan awak kapal ditahan di Pulau Christmas. Australia juga terpaksa menambah kapasitas pusat tahanan di Pulau Christmas akibat kedatangan para pencari suaka ilegal yang cenderung meningkat. Selain itu, tindakan keras dilakukan Australia terhadap pihak-pihak yang membantu kaum migran ini sampai ke negaranya.

Pada bulan April tahun 2009, dua pelaut Indonesia dijatuhi hukuman lima tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi Wilayah Australia Utara setelah terbukti menyelundupkan 49 pencari suaka asal Afghanistan dalam satu kapal. Pelaut tersebut ditangkap setelah operasi yang dilakukan pejabat perbatasan Australia. Beberapa nelayan terluka ketika kapal terbakar di wilayah perairan Ashmore Reef, barat laut ke Australia. Pelaku yang keduanya baru berusia 19 tahun tersebut mengaku mendapat upah US$ 560, jika berhasil membawa setiap pengungsi Afganistan dengan kapal laut ke Australia.
Kasus serupa juga dikabarkan oleh bbc.co.uk pada tanggal 5 Juli 2014, bahwa Pengadilan di Perth telah menghukum dua warga Indonesia dengan hukuman sembilan tahun penjara, karena terbukti berperan dalam penyelundupan manusia yang menyebabkan lebih dari 100 orang tenggelam. Keduanya adalah awak kapal dari perahu motor yang tenggelam di Samudra Hindia tahun 2012 dalam perjalanan dari Indonesia ke Australia dengan membawa 200 lebih pengungsi asal Afghanistan dan Pakistan
Imigran Lebih Memilih Jalur Indonesia
Penyelundupan imigran ilegal sudah menjadi persoalan Indonesia sejak lama. Perairan di Jawa Timur merupakan salah satu yang sering dijadikan sebagai jalur menuju negara tujuan mereka, yakni Australia.  Mengapa kasus penangkapan imigran gelap ini terus berulang? 
Tri Nuke Pudjiastuti, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan, para imigran gelap ini  memiliki kesan bahwa masuk wilayah Indonesia dapat dilakukan dengan mudah. “Inilah menjadi salah satu alasan kuat bagi para imigran gelap untuk memanfaatkan Indonesia sebagai negara transit dari tujuannya ke Australia,” ujar Tri Nuke. 

Alasan utama lainnya,  posisi strategis Indonesia sebagai negara yang berbatasan langsung dengan Australia. Untuk bisa memasuki Australia, rute paling memungkinkan (dari banyak kasus yang terjadi) adalah melalui darat dan laut dibandingkan lewat udara. Di samping itu, bentuk negara Indonesia yang sebagian besar adalah kepulauan, menjadikan para imigran dapat masuk dari berbagai pintu wilayah Indonesia.
Dari kasus-kasus yang ada, para imigran yang tertangkap lebih banyak masuk ke Indonesia melalui jalur darat yaitu dari Malaysia, lalu masuk ke pulau Sumatera, ke Jawa dengan Jawa Barat bagian selatan (Serang) dan Jawa Timur bagian selatan sebagai pintu keluarnya untuk menuju Pulau Christmas.  Jalur darat dan laut tersebut sering pula dikombinasikan dengan jalur udara, mengingat banyak para imigran yang tertangkap di Bandara Pulau Batam, di Propinsi Riau maupun di Surabaya.
Sejarahnya, alasan para imigran memilih Australia sebagai negara tujuan,  karena penduduk Australia terakumulasi dari migrasi. Sebagian besar penduduk Australia merupakan imigrasi dari berbagai negara. Penduduk aslinya suku Aborigin justru tersingkir. Lagipula, Australia ada negara penandatangan Konvensi 1951, sehingga membuat para imigran termotivasi untuk mendapat penghidupan yang layak di sana.
Rancangan Perpres?
Terdapat dua kerangka solusi bagi Indonesia dalam menangani masalah kaum migran ini. Pertama, perlunya kerja sama internasional terutama dengan negara-negara terdekat, seperti Malaysia, Singapura, Filipina, dan Australia. Kedua, perlu kerjasama dengan badan-badan internasional yang menangani imigran, seperti UNHCR dan IOM. Disamping kedua hal tersebut, pemerintah saat ini telah menyusun Rancangan Peraturan Presiden (Rancangan Perpres) [5] untuk panduan penanganan orang asing pencari suaka dan pengungsi, sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, beserta Rancangan Standar Prosedur Operasional-nya. 

Terkait dengan Rancangan Perpres tersebut, sejauh ini telah dilakukan pembahasan oleh pihak-pihak terkait, seperti TNI, Kepolisian, Ditjen Imigrasi, yang dipimpin oleh Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan RI. Namun, keberadaan Rancangan Perpres tersebut mendapat catatan dan kritik dari pihak Imigrasi Indonesia. UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian tidak mengenal istilah pencari suaka, bahkan pengungsi sekalipun. Sehingga apabila Rancangan Perpres tersebut akhirnya disahkan oleh Presiden, maka akan memberatkan Imigrasi sebagai institusi penjaga pintu gerbang negara yang akan berhadapan langsung dalam penanganan orang asing pencari suaka dan pengungsi.[6] Bila merujuk pada UU No. 6 Tahun 2011, maka penanganan orang asing pencari suaka dan pengungsi akan dikategorikan sebagai imigran ilegal, karena secara prosedur, mereka telah masuk wilayah Indonesia dengan tidak memiliki dokumen perjalanan dan visa yang sah, serta tidak melalui Tempat Pemeriksaan Imigrasi yang telah ditentukan.
Adanya Rancangan Perpres tersebut bukan berarti permasalahan penanganan imigran ilegal menjadi selesai. Masih banyak tantangan yang dihadapi Indonesia. Secara prinsip, pemerintah Indonesia belum mampu untuk melaksanakan pasal-pasal dalam ketentuan tersebut, karena Indonesia bukan negara yang meratifikasi Konvensi 1951. Lagipula, desakan masyarakat untuk menolak kehadiran mereka juga pasti akan terjadi.
Untuk penanganan pencari suaka dan pengungsi ke depannya akan dibebankan melalui APBN. Tentu, ini akan menimbulkan reaksi keras dari masyarakat. Negara seperti Singapura, Malaysia, bahkan Australia sekalipun yang secara finansial merupakan negara mapan, dengan tegas menolak kehadiran pencari suaka dan pengungsi. Menurut data yang dilansir bps.go.id per Maret 2014, penduduk miskin Indonesia berjumlah 28.280.010 orang. Itu berarti sekitar 11,25% penduduk Indonesia saat ini berada dibawah garis kemiskinan. Lantas, dengan realita kondisi seperti ini, apakah pantas Indonesia lebih mementingkan nasib orang lain (baca: pencari suaka dan pengungsi), daripada masyarakat sendiri?
Oleh karena itu, persoalan penanganan imigran ilegal, ibarat memakan buah simalakama. Di satu sisi, Indonesia tidak berkewajiban menangani imigran ilegal (baca: pencari suaka dan pengungsi), karena tidak menandatangani Konvensi 1951 tentang Pengungsi beserta Protokol 1967. Tapi di sisi lain permasalahan ini berkaitan erat dengan aspek kemanusian, yang telah menjadi diskusi global. Belum lagi kebijakan “turn back the boat” dari Australia ke perairan Indonesia, semakin membuat Indonesia berada dalam posisi yang sulit. Dialektika semacam ini, cepat atau lambat akan merugikan Indonesia sebagai negara yang berdaulat. Tidak adanya kepastian hukum, tentu berdampak pada penanganan imigran ilegal ke depannya. Sehingga, tidak berlebihan apabila penulis menyatakan Indonesia saat ini berada dalam status darurat (kedatangan) imigran ilegal. (alvi)
Muara Enim, Juli 2014
M. Alvi Syahrin



[1] Lihat Harian Umum Kompas, tanggal 29 Agustus 2001
[2] Lihat Harian Umum Kompas, tanggal 5 September 2001
[3] Lihat Harian Umum Kompas, tanggal 30 Agustus 2001
[4] Proses Bali merupakan penyebutan lain dari Bali Process Minesterial Meeting. Hal tersebut merupakan kerjasama kawasan. Kerjasama ini melibatkan Indonesia, Malaysia, dan Papua Nugini. Proses ini terkait pengaturan bilateral dalam bentuk perjanjian transfer kooperatif dimana pencari suaka yang tiba melalui laut di Australia selanjutnya ditransfer. Sebagai kompensasinya, Australia membantu program kemanusiaan serta bertanggung jawab atas beban guna menampung kembali para pengungsi tersebut.
[5] Pasal 25 UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri mengamanatkan untuk dibentuknya Keputusan Presiden terkait kebijakan masalah pengungsi di luar negeri. Namun nomenklatur aturan tersebut akhirnya diubah menjadi Peraturan Presiden, berdasarkan Pasal 7 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
[6] Catatan dan kritik terhadap Rancangan Perpres tersebut akan penulis uraikan dalam tulisan berikutnya. 

Tuesday, July 15, 2014

POTRET GLOBAL KAUM MIGRAN (ILEGAL) DI DUNIA

Imigran dan Sikap Anti-Humanisme
Tahukah anda siapa pemenang lomba kartun tahunan paling bergengsi di dunia tahun 2009 lalu yang rutin diselenggarakan oleh Yayasan Aydin Dogan Vakfi? Ya, pemenangnya adalah Alessandro Gatto asal Italia. Tahukah pula topik apa yang diangkat Alessandro Gatto dalam kartunnya? Ia membuat suatu humor satir yang menyangkut kisah kaum imigran ilegal. Topik itu menjadi pilihan  mayoritas dewan juri sehingga membuat ia berhak memperoleh first prize serta meraih uang senilai 9.000 dollar AS. 

Permasalahan kaum imigran ilegal memang menjadi perhatian global. Potret kaum imigran ilegal identik dengan kekerasan dan sikap tidak ramah dari negara tujuan. Tidak sedikit dari mereka yang mendapat perlakuan yang tidak beradab. Sikap anti-humanisme ini sering dilekatkan dengan “legenda Chupacabra”, yakni kisah mahluk sang penghisap darah. Dalam kisah orang-orang pelintas batas antara Meksiko – Amerika, memberikan gambaran bahwa kaum imigran ilegal tidak hanya berhadapan dengan polisi Amerika semata melainkan juga oleh mahluk Chupacabra. Makhluk ini berada di sekitar Gurun Sonora, di perbatasan Meksiko dan Amerika. Area itu luasnya sekitar 300.000 Km3 serta dikenal tandus dan sangat panas. Cirinya mereka yang meninggal dunia memiliki dua lubang dileher mereka. Hewan tersebut telah melegenda di sejumlah negara. Mulai dari Puerto Riko (Amerika Selatan) hingga Texas. Bahkan dilaporkan bahwa Chupacabra terdapat pula di Filipina. Sosok ini identik dengan kasus-kasus kematian kaum imigran dengan luka gigitan pada leher dan darah korbannya kemudian dihisap.   

Program Repatriasi
Ditengah adanya sikap anti-humanisme yang banyak dialami oleh para imigran, ada beberapa negara yang menerapkan kebijakan untuk memulangkan warga negara mereka ke negara asalnya, termasuk di antaranya para imigran ilegal. Kebijakan ini dinamakan program repatriasi. Proses repatriasi dilakukan melalui tiga tahap, yaitu identifikasi, pemindahan, dan pemulangan. Identifikasi dilakukan untuk menentukan kebenaran identitas status kewarganegaraan, status keimigrasian, dan kepastian hukum status hukum saat kembali ke negara asal.


Beberapa waktu lalu, media Australia melansir kisah imigran asal Inggris. Diberitakan bertahun-tahun ribuan anak Inggris mencari jati diri, sanak saudara mereka, dan juga jawaban atas dasar apa mereka dibuang ke negara-negara bekas jajahan Inggris. Pemerintah Inggris dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas pengiriman sekitar 150.000 anak-anak yatim ke Australia dan negara koloni Inggris lainnya, seperti Kanada dan Selandia Baru. Tony Blair (saat menjabat sebagai Perdana Menteri Inggris), dalam suatu kesempatan menyampaikan penyesalan dan memberikan bantuan pendanaan agar anak-anak yang dimigrasikan itu dapat kembali dengan keluarga atau sanak saudaranya di Inggris. Selama bertahun-tahun, Inggris berusaha mengembalikan ribuan anak-anak miskin tersebut. Inggris menyebutnya sebagai program repatriasi, yaitu pemulangan warga negara ke negara asalnya. Program ini dimulai pada tahun 1920 dan berakhir tahun 1967.

Bicara repatriasi juga pernah dialami Indonesia. Pada tahun 2009, sebanyak 644 orang Indonesia direpatriasi secara sukarela dari Papua Nugini. Mereka dipulangkan ke sejumlah daerah di Papua dan Papua Barat. Para repatrian tersebut dipulangkan dalam dua tahap, yaitu melalui Wewak ke Jayapura sebanyak 125 orang dan melalui Port Moresby ke Jayapura sebanyak 192 orang. Awalnya mereka melarikan diri dari Irian Jaya pada tahun 1970-an dan 1984 karena gejolak politik dan kekerasan yang terjadi di Papua Nugini. Mereka kembali ke Indonesia karena sebagian besar dari mereka terpuruk dan terancam dari lahan pemukiman ilegal. Disamping itu, adanya ketidakpastian pencapaian perjuangan Organisasi Papua Merdeka (OPM) juga memperkuat niat mereka untuk kembali ke Indonesia. 

Kaum Imigran di Selandia Baru
Pada tahun 2002, The National Business Review – HP Invest melakukan jejak pendapat terhadap 750 warga negara Selandia Baru  tentang imigran asal Asia. Hasilnya, 45% responden berpendapat jumlah imigran Asia sudah cukup. Dari 4 juta penduduk Selandia Baru, sebanyak 3,21 juta jiwa adalah warga Eropa atau keturunan Eropa. Sisanya, 624.000 jiwa adalah suku Maori, 404.000 jiwa Asia, dan 302.000 adalah penduduk pasifik. [1]


Di Selandia Baru, istilah imigran mengacu pada orang-orang yang lahir di luar negara tersebut. Imigan masuk ke Selandia Baru melalui beberapa program keimigrasian. Program tersebut mencakup tiga pintu. Pintu pertama, program yang didasarkan pada keterampilan dan bisnis. Pada program ini, imigran memiliki kualifikasi pengalaman kerja dan usianya masih produktif. Pintu kedua, program yang didasarkan pada sponsor dari keluarga dekat. Mereka dapat menjadi warga negara dengan cara mengajukan permohonan menjadi warga negara Selandia Baru dengan jaminan keluarga yang telah berada di sana sebelumnya. Pintu ketiga, program yang didasarkan pada masalah kemanusiaan atau internasional. Dalam kategori ini, imigran dipandang mengalami masalah kemanusiaan serius di negara asalnya dan ada penduduk Selandia Baru yang mau menjamin untuk menampungnya.

Kasus Kapal Tampa
Kasus imigran ilegal yang cukup mendapat perhatian dunia, dialami oleh sebuah kapal barang bernama “Tampa” yang berbendera Norwegia pada tahun 2003. Kapal tersebut telah menolong 434 penumpang yang berada di perairan internasional. Awalnya penumpang yang ditolong tersebut berasal dari Kapal Motor Indonesia bernama “Kapal Palapa”. Penumpang kapal tersebut sebagian besar berasal dari negara Afganistan dan sisanya dari Pakistan dan Sri Lanka. Setelah mereka diselamatkan Kapal Tampa dari Kapal Palapa yang tenggelam, mereka memaksa Kapten Kapal untuk membawanya ke Pulau Christmas yang masuk ke wilayah Australia. Semua penumpang mengklaim bahwa mereka adalah pelarian politik (pencari suaka).

Keberadaan penumpang Kapal Tampa baru dapat diterima di negara Australia apabila mereka berstatus sebagai pengungsi. Untuk hal itu harus terlebih dahulu ditentukan berdasarkan syarat-syarat yang ada pada Konvensi Tahun 1951 tentang Pengungsi (selanjutnya disebut Konvensi 1951). Pada saat kejadian Australia menolak dengan mendasarkan pada anggapan bahwa mereka bukan pengungsi sebagaimana ditentukan Konvensi 1951. Australia lebih menganggap mereka sebagai orang-orang yang ingin memperbaiki nasib kehidupannya (motif ekonomi) yang tidak pernah didapatkan di negara asalnya.


Australia tidak mengakui bahwa posisi tenggelamnya Kapal Palapa saat ditolong Kapal Tampa tidak berada di Pulau Chsistmas. Oleh karenanya, menurut pihak Australia tidak masuk pada wilayah negaranya. Australia beranggapan bahwa posisi tenggelamnya Kapal berada di wilayah Banten, Jawa Barat. Oleh karena itu masuk dalam yurisdiksi Indonesia. Menurut pihak Australia, Indonesia-lah yang harus menyelesaikan masalah ke-434 penumpang kapal tersebut. Di sisi lain Australia juga berpendapat Norwegia juga harus bertanggung jawab, karena bendera Kapal Tampa adalah negara Norwegia.

Adanya penolakan dari Australia tersebut, akan berdampak pada status para pencari suaka Kapal Tampa. Apabila dapat dibuktikan bahwa seluruh penumpang Kapal Tampa itu adalah pencari suaka, maka menurut asas non-refoulment, mereka tidak boleh dikembalikan ke negara asalnya dengan alasan apapun. Yang menjadi catatan, sejauh ini Indonesia belum meratifikasi Konvensi 1951. Konsekuensi yuridisnya, Indonesia dapat menolak kehadiran mereka atas dasar apapun. Namun, sering kali Indonesia selalu dibebankan atas kewajiban kemanusiaan. Inilah yang menjadi dilema bagi Indonesia dalam penanganan imigran ilegal.

Pengungsi Sri Lanka
Sejak awal kemerdekaan pada tahun 1948, Sri Lanka dilanda prahara antar etnik. Mereka yang terlibat adalah etnis Sinhal dan etnis Tamil. Warga etnis Tamil yang mendiami Srilank bagian utara merupakan minoritas dan dikuasai oleh etnis Sinhala. Diskriminasi itu terasa dalam bidang pendidikan, pekerjaan, dan politik. Pada Undang-Undang Sri Lanka ditentukan bahwa bahasa yang digunakan adalah bahasa Sinhala, dan agama resmi negara adalah Budha, sementara etnis Tamil umumnya beragama Hindu.

Atas dasar kejadian inilah yang kemudian menimbulkan sikap sakit hati pada sebagian kaum entis Tamil. Pada tahun 1976, dipelopori oleh Velupillai Prabhakaran dibangun sebuah organisasi perlawanan dengan menamakan diri sebagai Liberation Tigers of Tamil Eelam (LTTE). Awalnya organisasi pergerakan itu lebih dikenal di Indonesia dengan sebutan Tiger New Tamiol (TNT) pada tahun 1972. Tujuan dari organisasi pergerakan tersebut yaitu tercapainya kemerdekaan bagi negara Tamil.


Sebenarnya telah ada perjanjian antara India dan Sri Lanka pada tahun 1987 untuk mengatasi kemungkinan terjadinya pertikaian antar kedua etnis tersebut. Perwujudannya dilakukan melalui pembentukan Dewan Provinsi di sebelah utara dan timur Pulau Ceylon. Pada perjanjian tersebut disepakati bahwa Dewan Provinsi diberikan kewenangan untuk membentuk kesatuan polisi sendiri, pengaturan dan penggunaan tanah serta mendapat alokasi dana pembangunan dari pemerintah. Korban tewas sejak konflik mencapai 70.000 orang.

Seseorang dianggap teroris hanya karena menggunakan bahasa Tamil. Etnik Sinhala yang mengendalikan lapangan pekerjaan. Bahasa etnis Sinhala menjadi bahasa resmi negara sejak tahun 1956. Hal ini telah membuat etnis Tamil yang tidak dapat berbahasa Sinhala bersitegang dan tidak mendapat pekerjaan. Proses anti-humanisme inilah yang kemudian membuat etnis Tamil bermigrasi ke negara lain, khususnya Australia dengan harapan mendapatkan kehidupan yang lebih baik.


Namun, pemberitaan terakhir yang dirilis oleh bbc.co.uk, dikabarkan lebih dari 200 pencari suaka asal Tamil yang ditolak kedatangannya oleh otoritas perbatasan Australia di Samudra Hindia (05/07/2014). Dua perahu yang membawa pencari suaka tersebut akhirnya diserahkan kembali ke angakatan laut Sri Lanka. Tentu sikap Australia telah melanggar prinsip hukum internasional, non-refoulment, yang telah ditentukan dalam Konvensi 1951. Sejauh ini pemerintah Australia masih belum berkomentar dengan alasan operasional dan menolak dimintai konfirmasi terkait dengan sikap tidak populernya tersebut.


Penyelundupan Manusia di Nigeria
Kasus imigran ilegal juga terjadi di Nigeria. Menurut Kementerian Kehakiman Nigeria yang dilansir oleh reuters.com, sebanyak 500 imigran gelap berhasil ditangkap pihak keamanan Nigeria dalam empat bulan terakhir ketika mereka mencoba melewati Gurun Sahara menuju Alzajair (03/06/2014). Para imigran yang sebagian besar berasal dari Afrika Utara ini hendak menuju Alzajair lantaran disana mereka bisa mencari rezeki dengan mengemis di pelataran masjid.




Sementara itu, setidaknya 39 orang yang 29 orang diantaranya perempuan, telah ditahan atas tuduhan pergadangan manusia di Kota Arlit. Pemerintah Nigeria saat ini sangat kewalahan mengahalangi dan menegur para pelaku perdagangan manusia ini yang semakin meningkat.

Nigeria semakin gencar melakukan penindakan terhadap kasus perdagangan manusia setelah pada akhir tahun 2013 lalu 92 imigran tewas di Gurun Sahara saat melakukan perjalanan menuju Alzajair. Sementara itu, hingga saat ini lebih dari 12 imigran belum diketahui nasibnya setelah ditinggalkan oleh penyelundupnya di Gurun Sahara


Gelombang Imigran Menyerbu Italia

Italia kembali dihadapkan para persoalan imigran gelap asal Afrika. Pada Senin, 12 Mei 2014, sebuah kapal yang penuh oleh imigran tenggelam di Laut Mediterania, sektiar 160 kilometer dari selatan Pulau Lampedusa yang juga tak jauh dari perairan Libya. Daily Times menyebutkan sebanyak 206 orang berhasil diselamatkan dari kapal ini, sedangkan 17 orang lainnya ditemukan tewas.


Kejadian ini merupakan insiden terbaru dari serangkaian tragedi di Laut Mediterania yang melibatkan imigran. Lebih dari 4000 imigran mencapai pantai Italia dengan menumpangi kapal penyelundup. Italia merasa kewalahan dengan gelombang imigran yang terus mengalir. Perdana Menteri Italia Matteo Renzi mendesak Uni Eropa untuk memberikan bantuan lebih dalam penanganan imigran, seperti menempatkan kapal-kapal patroli di wilayah perairan.

Uni Eropa Kebanjiran Imigran Ilegal

Kebijakan Uni Eropa mengenai Sistem Umum Suaka Eropa bagi pencari suaka kini memasuki babak baru. Sistem tersebut memang menjadi angin segar bagi para pencari suaka. Namun gelombang pencari suaka menjadi tak terbendung hingga akhirnya menimbulkan permasalahan. “Masalahnya selalu (terkait) dengan akses dan suaka”, kata Volker Tusk, Direktur Lembaga Pengungsi UNHCR.

Sepanjang tahun 2013, ratusan imigan ilegal meninggal saat berusaha masuk ke Eropa dengan perahu melalu Lampedusa, sebuah pulau di Italia yang berada di sebelah selatan Sisilia. Wilayah tersebut merupakan gerbang ke Eropa untuk migrasi terlarang lewat jalur laut bagi para pencari suaka dari sejumlah negara Timur Tengah dan Afrika yang didera konflik.

Tak sampai disitu, kebijakan “open system” juga membuat sejumlah pencari suaka mencoba memasuki wilayah Eropa dengan cara ilegal menggunakan penyelundup yang terorganisir. Dengan bantuan penyelundup, mereka akhirnya bisa menggunakan paspor palsu. Beberapa bahkan masuk Eropa tanpa dokumen resmi. Oleh karena itu, Uni Eropa kini dapat bersikap lebih jeli lagi dalam menangani masalah pencari suaka. Jangan sampai pencari kedamaian ini justru bermasalah dengan hukum. Padahal jika mereka bisa masuk Eropa secara legal, perlindungan internasional akan benar-benar mereka dapatkan.

Konflik dan Perang Saudara di Negara Asal

Perlu dipahami, pada masa dan pasca perang dunia kedua, mayoritas eksodus imigran ilegal ke negara tujuan biasanya dilatarbelakangi atas motif non-ekonomi. Mereka melarikan diri dari negara asal karena adanya perang saudara atau penindasan, bahkan genosida. Motif-motif tradisional inilah yang memotivasi arus imigran ilegal di dunia. Namun memasuki abad milenium, motif imigran ilegal kini lebih bernuansa ekonomi. Mereka rela meninggalkan negara asalnya, agar memperoleh kehidupan yang lebih baik di negara tujuan.
Pada Tahun 2012, diperkirakan ada sekitar 750.000 etnis rohingya yang mengalami penindasan dan kekerasan di Myanmar. Sejak tahun 1982, militer Myanmar telah melucuti kewarganegaraan bagi etnis rohinya, yang menyebabkan mereka kini kehilangan kewarganegaraan. Hal inilah yang kemudian, menyebabkan meningkatknya jumlah imigran rohingya di dunia. 


Kasus imigran ilegal juga dialami oleh warga Kolombia karena adanya konflik bersenjata selama puluhan tahun. Setidaknya satu dari setiap sepuluh warga kolombia sekarang tinggal di luar negeri. Sebagai contoh, warga Kolombia yang telah bermigrasi ke Spanyol telah tumbuh secara luar biasa. Pada tahun 1993 ada  sekitar 7.000 warga kolombia di Spanyol, pada tahun 2000 ada 80.000 orang, dan hingga puncaknya tahun 2003 yang mencapai 244.000 orang.

Berdasarkan data yang dirilis oleh US Department of Homeland Security menunjukkan bahwa Kolombia adalah negara keempat terbesar yang “menyumbang” imigran ilegal ke Amerika Serikat. Lebih lanjut, negara lain yang menjadi sumber melonjaknya jumlah angka imigran ilegal di Amerika Serikat adalah El Savador. El Savador adalah negara yang mengalami emigrasi besar sebagai akibat dari perang saudara. Setidaknya sepertiga dari populasi negara El Savador kini tinggal di luar negeri, yaitu Amerika Serikat.


Sejarahnya, status imigran ilegal berkaitan dengan status pencari suaka. Mereka kebanyakan adalah korban pelarian konflik dari negara asal. Secara yuridis, para pencari suaka ini akan mendapat jaminan dari negara tujuan, apabila telah mendapat status pengungsi dari UNHCR. Apabila tidak, maka keberadaan mereka dianggap sebagai imigran ilegal, yang selanjutnya akan dilakukan deportasi. Namun, Pasal 31 Konvensi 1951 tentang Pengungsi menegaskan bahwa negara yang meratifikasi konvensi tersebut dilarang dengan tegas untuk memberikan hukuman kepada pengungsi baik ilegal ataupun tidak, yang datang langsung dari negara mereka yang damai ataupun yang kebebasannya terancam. Ketentuan inilah yang harus dipahami, ditaati, dan dilaksanakan oleh semua negara peratifikasi Konvensi 1951, tanpa terkecuali. (alvi)

Muara Enim, Juli 2014
M. Alvi Syahrin



[1] Harian Umum Kompas, Imigran: Wajah Asia di Selandia Baru, laporan dibuat pada tanggal 2 Oktober 2009