Tuesday, July 15, 2014

POTRET GLOBAL KAUM MIGRAN (ILEGAL) DI DUNIA

Imigran dan Sikap Anti-Humanisme
Tahukah anda siapa pemenang lomba kartun tahunan paling bergengsi di dunia tahun 2009 lalu yang rutin diselenggarakan oleh Yayasan Aydin Dogan Vakfi? Ya, pemenangnya adalah Alessandro Gatto asal Italia. Tahukah pula topik apa yang diangkat Alessandro Gatto dalam kartunnya? Ia membuat suatu humor satir yang menyangkut kisah kaum imigran ilegal. Topik itu menjadi pilihan  mayoritas dewan juri sehingga membuat ia berhak memperoleh first prize serta meraih uang senilai 9.000 dollar AS. 

Permasalahan kaum imigran ilegal memang menjadi perhatian global. Potret kaum imigran ilegal identik dengan kekerasan dan sikap tidak ramah dari negara tujuan. Tidak sedikit dari mereka yang mendapat perlakuan yang tidak beradab. Sikap anti-humanisme ini sering dilekatkan dengan “legenda Chupacabra”, yakni kisah mahluk sang penghisap darah. Dalam kisah orang-orang pelintas batas antara Meksiko – Amerika, memberikan gambaran bahwa kaum imigran ilegal tidak hanya berhadapan dengan polisi Amerika semata melainkan juga oleh mahluk Chupacabra. Makhluk ini berada di sekitar Gurun Sonora, di perbatasan Meksiko dan Amerika. Area itu luasnya sekitar 300.000 Km3 serta dikenal tandus dan sangat panas. Cirinya mereka yang meninggal dunia memiliki dua lubang dileher mereka. Hewan tersebut telah melegenda di sejumlah negara. Mulai dari Puerto Riko (Amerika Selatan) hingga Texas. Bahkan dilaporkan bahwa Chupacabra terdapat pula di Filipina. Sosok ini identik dengan kasus-kasus kematian kaum imigran dengan luka gigitan pada leher dan darah korbannya kemudian dihisap.   

Program Repatriasi
Ditengah adanya sikap anti-humanisme yang banyak dialami oleh para imigran, ada beberapa negara yang menerapkan kebijakan untuk memulangkan warga negara mereka ke negara asalnya, termasuk di antaranya para imigran ilegal. Kebijakan ini dinamakan program repatriasi. Proses repatriasi dilakukan melalui tiga tahap, yaitu identifikasi, pemindahan, dan pemulangan. Identifikasi dilakukan untuk menentukan kebenaran identitas status kewarganegaraan, status keimigrasian, dan kepastian hukum status hukum saat kembali ke negara asal.


Beberapa waktu lalu, media Australia melansir kisah imigran asal Inggris. Diberitakan bertahun-tahun ribuan anak Inggris mencari jati diri, sanak saudara mereka, dan juga jawaban atas dasar apa mereka dibuang ke negara-negara bekas jajahan Inggris. Pemerintah Inggris dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas pengiriman sekitar 150.000 anak-anak yatim ke Australia dan negara koloni Inggris lainnya, seperti Kanada dan Selandia Baru. Tony Blair (saat menjabat sebagai Perdana Menteri Inggris), dalam suatu kesempatan menyampaikan penyesalan dan memberikan bantuan pendanaan agar anak-anak yang dimigrasikan itu dapat kembali dengan keluarga atau sanak saudaranya di Inggris. Selama bertahun-tahun, Inggris berusaha mengembalikan ribuan anak-anak miskin tersebut. Inggris menyebutnya sebagai program repatriasi, yaitu pemulangan warga negara ke negara asalnya. Program ini dimulai pada tahun 1920 dan berakhir tahun 1967.

Bicara repatriasi juga pernah dialami Indonesia. Pada tahun 2009, sebanyak 644 orang Indonesia direpatriasi secara sukarela dari Papua Nugini. Mereka dipulangkan ke sejumlah daerah di Papua dan Papua Barat. Para repatrian tersebut dipulangkan dalam dua tahap, yaitu melalui Wewak ke Jayapura sebanyak 125 orang dan melalui Port Moresby ke Jayapura sebanyak 192 orang. Awalnya mereka melarikan diri dari Irian Jaya pada tahun 1970-an dan 1984 karena gejolak politik dan kekerasan yang terjadi di Papua Nugini. Mereka kembali ke Indonesia karena sebagian besar dari mereka terpuruk dan terancam dari lahan pemukiman ilegal. Disamping itu, adanya ketidakpastian pencapaian perjuangan Organisasi Papua Merdeka (OPM) juga memperkuat niat mereka untuk kembali ke Indonesia. 

Kaum Imigran di Selandia Baru
Pada tahun 2002, The National Business Review – HP Invest melakukan jejak pendapat terhadap 750 warga negara Selandia Baru  tentang imigran asal Asia. Hasilnya, 45% responden berpendapat jumlah imigran Asia sudah cukup. Dari 4 juta penduduk Selandia Baru, sebanyak 3,21 juta jiwa adalah warga Eropa atau keturunan Eropa. Sisanya, 624.000 jiwa adalah suku Maori, 404.000 jiwa Asia, dan 302.000 adalah penduduk pasifik. [1]


Di Selandia Baru, istilah imigran mengacu pada orang-orang yang lahir di luar negara tersebut. Imigan masuk ke Selandia Baru melalui beberapa program keimigrasian. Program tersebut mencakup tiga pintu. Pintu pertama, program yang didasarkan pada keterampilan dan bisnis. Pada program ini, imigran memiliki kualifikasi pengalaman kerja dan usianya masih produktif. Pintu kedua, program yang didasarkan pada sponsor dari keluarga dekat. Mereka dapat menjadi warga negara dengan cara mengajukan permohonan menjadi warga negara Selandia Baru dengan jaminan keluarga yang telah berada di sana sebelumnya. Pintu ketiga, program yang didasarkan pada masalah kemanusiaan atau internasional. Dalam kategori ini, imigran dipandang mengalami masalah kemanusiaan serius di negara asalnya dan ada penduduk Selandia Baru yang mau menjamin untuk menampungnya.

Kasus Kapal Tampa
Kasus imigran ilegal yang cukup mendapat perhatian dunia, dialami oleh sebuah kapal barang bernama “Tampa” yang berbendera Norwegia pada tahun 2003. Kapal tersebut telah menolong 434 penumpang yang berada di perairan internasional. Awalnya penumpang yang ditolong tersebut berasal dari Kapal Motor Indonesia bernama “Kapal Palapa”. Penumpang kapal tersebut sebagian besar berasal dari negara Afganistan dan sisanya dari Pakistan dan Sri Lanka. Setelah mereka diselamatkan Kapal Tampa dari Kapal Palapa yang tenggelam, mereka memaksa Kapten Kapal untuk membawanya ke Pulau Christmas yang masuk ke wilayah Australia. Semua penumpang mengklaim bahwa mereka adalah pelarian politik (pencari suaka).

Keberadaan penumpang Kapal Tampa baru dapat diterima di negara Australia apabila mereka berstatus sebagai pengungsi. Untuk hal itu harus terlebih dahulu ditentukan berdasarkan syarat-syarat yang ada pada Konvensi Tahun 1951 tentang Pengungsi (selanjutnya disebut Konvensi 1951). Pada saat kejadian Australia menolak dengan mendasarkan pada anggapan bahwa mereka bukan pengungsi sebagaimana ditentukan Konvensi 1951. Australia lebih menganggap mereka sebagai orang-orang yang ingin memperbaiki nasib kehidupannya (motif ekonomi) yang tidak pernah didapatkan di negara asalnya.


Australia tidak mengakui bahwa posisi tenggelamnya Kapal Palapa saat ditolong Kapal Tampa tidak berada di Pulau Chsistmas. Oleh karenanya, menurut pihak Australia tidak masuk pada wilayah negaranya. Australia beranggapan bahwa posisi tenggelamnya Kapal berada di wilayah Banten, Jawa Barat. Oleh karena itu masuk dalam yurisdiksi Indonesia. Menurut pihak Australia, Indonesia-lah yang harus menyelesaikan masalah ke-434 penumpang kapal tersebut. Di sisi lain Australia juga berpendapat Norwegia juga harus bertanggung jawab, karena bendera Kapal Tampa adalah negara Norwegia.

Adanya penolakan dari Australia tersebut, akan berdampak pada status para pencari suaka Kapal Tampa. Apabila dapat dibuktikan bahwa seluruh penumpang Kapal Tampa itu adalah pencari suaka, maka menurut asas non-refoulment, mereka tidak boleh dikembalikan ke negara asalnya dengan alasan apapun. Yang menjadi catatan, sejauh ini Indonesia belum meratifikasi Konvensi 1951. Konsekuensi yuridisnya, Indonesia dapat menolak kehadiran mereka atas dasar apapun. Namun, sering kali Indonesia selalu dibebankan atas kewajiban kemanusiaan. Inilah yang menjadi dilema bagi Indonesia dalam penanganan imigran ilegal.

Pengungsi Sri Lanka
Sejak awal kemerdekaan pada tahun 1948, Sri Lanka dilanda prahara antar etnik. Mereka yang terlibat adalah etnis Sinhal dan etnis Tamil. Warga etnis Tamil yang mendiami Srilank bagian utara merupakan minoritas dan dikuasai oleh etnis Sinhala. Diskriminasi itu terasa dalam bidang pendidikan, pekerjaan, dan politik. Pada Undang-Undang Sri Lanka ditentukan bahwa bahasa yang digunakan adalah bahasa Sinhala, dan agama resmi negara adalah Budha, sementara etnis Tamil umumnya beragama Hindu.

Atas dasar kejadian inilah yang kemudian menimbulkan sikap sakit hati pada sebagian kaum entis Tamil. Pada tahun 1976, dipelopori oleh Velupillai Prabhakaran dibangun sebuah organisasi perlawanan dengan menamakan diri sebagai Liberation Tigers of Tamil Eelam (LTTE). Awalnya organisasi pergerakan itu lebih dikenal di Indonesia dengan sebutan Tiger New Tamiol (TNT) pada tahun 1972. Tujuan dari organisasi pergerakan tersebut yaitu tercapainya kemerdekaan bagi negara Tamil.


Sebenarnya telah ada perjanjian antara India dan Sri Lanka pada tahun 1987 untuk mengatasi kemungkinan terjadinya pertikaian antar kedua etnis tersebut. Perwujudannya dilakukan melalui pembentukan Dewan Provinsi di sebelah utara dan timur Pulau Ceylon. Pada perjanjian tersebut disepakati bahwa Dewan Provinsi diberikan kewenangan untuk membentuk kesatuan polisi sendiri, pengaturan dan penggunaan tanah serta mendapat alokasi dana pembangunan dari pemerintah. Korban tewas sejak konflik mencapai 70.000 orang.

Seseorang dianggap teroris hanya karena menggunakan bahasa Tamil. Etnik Sinhala yang mengendalikan lapangan pekerjaan. Bahasa etnis Sinhala menjadi bahasa resmi negara sejak tahun 1956. Hal ini telah membuat etnis Tamil yang tidak dapat berbahasa Sinhala bersitegang dan tidak mendapat pekerjaan. Proses anti-humanisme inilah yang kemudian membuat etnis Tamil bermigrasi ke negara lain, khususnya Australia dengan harapan mendapatkan kehidupan yang lebih baik.


Namun, pemberitaan terakhir yang dirilis oleh bbc.co.uk, dikabarkan lebih dari 200 pencari suaka asal Tamil yang ditolak kedatangannya oleh otoritas perbatasan Australia di Samudra Hindia (05/07/2014). Dua perahu yang membawa pencari suaka tersebut akhirnya diserahkan kembali ke angakatan laut Sri Lanka. Tentu sikap Australia telah melanggar prinsip hukum internasional, non-refoulment, yang telah ditentukan dalam Konvensi 1951. Sejauh ini pemerintah Australia masih belum berkomentar dengan alasan operasional dan menolak dimintai konfirmasi terkait dengan sikap tidak populernya tersebut.


Penyelundupan Manusia di Nigeria
Kasus imigran ilegal juga terjadi di Nigeria. Menurut Kementerian Kehakiman Nigeria yang dilansir oleh reuters.com, sebanyak 500 imigran gelap berhasil ditangkap pihak keamanan Nigeria dalam empat bulan terakhir ketika mereka mencoba melewati Gurun Sahara menuju Alzajair (03/06/2014). Para imigran yang sebagian besar berasal dari Afrika Utara ini hendak menuju Alzajair lantaran disana mereka bisa mencari rezeki dengan mengemis di pelataran masjid.




Sementara itu, setidaknya 39 orang yang 29 orang diantaranya perempuan, telah ditahan atas tuduhan pergadangan manusia di Kota Arlit. Pemerintah Nigeria saat ini sangat kewalahan mengahalangi dan menegur para pelaku perdagangan manusia ini yang semakin meningkat.

Nigeria semakin gencar melakukan penindakan terhadap kasus perdagangan manusia setelah pada akhir tahun 2013 lalu 92 imigran tewas di Gurun Sahara saat melakukan perjalanan menuju Alzajair. Sementara itu, hingga saat ini lebih dari 12 imigran belum diketahui nasibnya setelah ditinggalkan oleh penyelundupnya di Gurun Sahara


Gelombang Imigran Menyerbu Italia

Italia kembali dihadapkan para persoalan imigran gelap asal Afrika. Pada Senin, 12 Mei 2014, sebuah kapal yang penuh oleh imigran tenggelam di Laut Mediterania, sektiar 160 kilometer dari selatan Pulau Lampedusa yang juga tak jauh dari perairan Libya. Daily Times menyebutkan sebanyak 206 orang berhasil diselamatkan dari kapal ini, sedangkan 17 orang lainnya ditemukan tewas.


Kejadian ini merupakan insiden terbaru dari serangkaian tragedi di Laut Mediterania yang melibatkan imigran. Lebih dari 4000 imigran mencapai pantai Italia dengan menumpangi kapal penyelundup. Italia merasa kewalahan dengan gelombang imigran yang terus mengalir. Perdana Menteri Italia Matteo Renzi mendesak Uni Eropa untuk memberikan bantuan lebih dalam penanganan imigran, seperti menempatkan kapal-kapal patroli di wilayah perairan.

Uni Eropa Kebanjiran Imigran Ilegal

Kebijakan Uni Eropa mengenai Sistem Umum Suaka Eropa bagi pencari suaka kini memasuki babak baru. Sistem tersebut memang menjadi angin segar bagi para pencari suaka. Namun gelombang pencari suaka menjadi tak terbendung hingga akhirnya menimbulkan permasalahan. “Masalahnya selalu (terkait) dengan akses dan suaka”, kata Volker Tusk, Direktur Lembaga Pengungsi UNHCR.

Sepanjang tahun 2013, ratusan imigan ilegal meninggal saat berusaha masuk ke Eropa dengan perahu melalu Lampedusa, sebuah pulau di Italia yang berada di sebelah selatan Sisilia. Wilayah tersebut merupakan gerbang ke Eropa untuk migrasi terlarang lewat jalur laut bagi para pencari suaka dari sejumlah negara Timur Tengah dan Afrika yang didera konflik.

Tak sampai disitu, kebijakan “open system” juga membuat sejumlah pencari suaka mencoba memasuki wilayah Eropa dengan cara ilegal menggunakan penyelundup yang terorganisir. Dengan bantuan penyelundup, mereka akhirnya bisa menggunakan paspor palsu. Beberapa bahkan masuk Eropa tanpa dokumen resmi. Oleh karena itu, Uni Eropa kini dapat bersikap lebih jeli lagi dalam menangani masalah pencari suaka. Jangan sampai pencari kedamaian ini justru bermasalah dengan hukum. Padahal jika mereka bisa masuk Eropa secara legal, perlindungan internasional akan benar-benar mereka dapatkan.

Konflik dan Perang Saudara di Negara Asal

Perlu dipahami, pada masa dan pasca perang dunia kedua, mayoritas eksodus imigran ilegal ke negara tujuan biasanya dilatarbelakangi atas motif non-ekonomi. Mereka melarikan diri dari negara asal karena adanya perang saudara atau penindasan, bahkan genosida. Motif-motif tradisional inilah yang memotivasi arus imigran ilegal di dunia. Namun memasuki abad milenium, motif imigran ilegal kini lebih bernuansa ekonomi. Mereka rela meninggalkan negara asalnya, agar memperoleh kehidupan yang lebih baik di negara tujuan.
Pada Tahun 2012, diperkirakan ada sekitar 750.000 etnis rohingya yang mengalami penindasan dan kekerasan di Myanmar. Sejak tahun 1982, militer Myanmar telah melucuti kewarganegaraan bagi etnis rohinya, yang menyebabkan mereka kini kehilangan kewarganegaraan. Hal inilah yang kemudian, menyebabkan meningkatknya jumlah imigran rohingya di dunia. 


Kasus imigran ilegal juga dialami oleh warga Kolombia karena adanya konflik bersenjata selama puluhan tahun. Setidaknya satu dari setiap sepuluh warga kolombia sekarang tinggal di luar negeri. Sebagai contoh, warga Kolombia yang telah bermigrasi ke Spanyol telah tumbuh secara luar biasa. Pada tahun 1993 ada  sekitar 7.000 warga kolombia di Spanyol, pada tahun 2000 ada 80.000 orang, dan hingga puncaknya tahun 2003 yang mencapai 244.000 orang.

Berdasarkan data yang dirilis oleh US Department of Homeland Security menunjukkan bahwa Kolombia adalah negara keempat terbesar yang “menyumbang” imigran ilegal ke Amerika Serikat. Lebih lanjut, negara lain yang menjadi sumber melonjaknya jumlah angka imigran ilegal di Amerika Serikat adalah El Savador. El Savador adalah negara yang mengalami emigrasi besar sebagai akibat dari perang saudara. Setidaknya sepertiga dari populasi negara El Savador kini tinggal di luar negeri, yaitu Amerika Serikat.


Sejarahnya, status imigran ilegal berkaitan dengan status pencari suaka. Mereka kebanyakan adalah korban pelarian konflik dari negara asal. Secara yuridis, para pencari suaka ini akan mendapat jaminan dari negara tujuan, apabila telah mendapat status pengungsi dari UNHCR. Apabila tidak, maka keberadaan mereka dianggap sebagai imigran ilegal, yang selanjutnya akan dilakukan deportasi. Namun, Pasal 31 Konvensi 1951 tentang Pengungsi menegaskan bahwa negara yang meratifikasi konvensi tersebut dilarang dengan tegas untuk memberikan hukuman kepada pengungsi baik ilegal ataupun tidak, yang datang langsung dari negara mereka yang damai ataupun yang kebebasannya terancam. Ketentuan inilah yang harus dipahami, ditaati, dan dilaksanakan oleh semua negara peratifikasi Konvensi 1951, tanpa terkecuali. (alvi)

Muara Enim, Juli 2014
M. Alvi Syahrin



[1] Harian Umum Kompas, Imigran: Wajah Asia di Selandia Baru, laporan dibuat pada tanggal 2 Oktober 2009

No comments:

Post a Comment