Wednesday, October 8, 2014

PERLINDUNGAN HAM DALAM KONSEP HUKUM PENGUNGSI INTERNASIONAL

Perlindungan HAM Pengungsi
Esensi Hukum Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional mengatur kemanusiaan universal tanpa terikat atribut ruang dan waktu tertentu. Hal tersebut penting mengingat setiap negara tidak tertutup kemungkinan membicarakan Hukum HAM dalam konteks domestiknya. HAM dalam konteks hukum pengungsi setidaknya berhubungan dengan tiga hal. Pertama, perlindungan terhadap penduduk sipil akibat konflik bersenjata. Kedua, perlindungan secara umum yang diberikan kepada penduduk sipil dalam keadaan biasa. Ketiga, perlindungan terhadap pengungsi baik IDP’s maupun pengungsi lintas batas.

Hukum Internasional telah meletakkan kewajiban dasar bagi tingkah laku negara dalam melaksanakan perlindungan internasionalnya. Tindakan yang bertentangan dengannya akan melahirkan tanggung jawab internasional. Tanggung jawab internasional diartikan sebagai suatu perbuatan salah yang memiliki karakteristik internasional. Tanggung jawab demikian muncul manakala terdapat pelanggaran yang sungguh-sungguh terhadap hal-hal yang menyangkut perlindungan atas hak-hak asasi manusia, termasuk di dalamnya hak asasi pengungsi.

Dalam catatan perjalanan sejarah, khususnya terkait dengan kontribusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), peningkatan harkat derajat HAM terjadi sangat signifikan. Terdapat beberapa pasal yang menjadi benang merah dalam perlindungan dan penegakkan hak asasi manusia hingga dewasa ini. Pasal-pasal tersebut, yaitu Pasal 13 ayat (1) butir B yang menyebutkan “promoting international cooperation... and assisting in the realization of human rights and fundamental freedoms for all without distinctions as to race, sex language, or religion (memajukan kerjasama internasional... dan membantu pelaksanaan hak-hak manusia dan kebebasan-kebebasan dasar bagi semua manusia tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama).

Pada Pasal 55 butir (c) disebutkan ,”universal respect for, and observance of, human right and fundamental freedom for all without distinction as race, sex, language, or religion (penghormatan hak asasi manusia seantero jagad demikian pula pengejewantahannya serta kebebasan-kebebasan dasar bagi semua, tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama)”. Merujuk pada fungsi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB, pada Pasal 62 butir 2 disebutkan, “it may make reccomendations for the purpose of promoting respect for, and observance of, human rights and fundamental freedoms for all (Dewan... dapat memberikan rekomendasi untuk tujuan meningkatkan penghormatan dan penghargaan atas hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar bagi semua orang)”. Pada ketentuan tata tertib, Pasal 68 menyebutkan bahwa. “The economic and Social Council... set tup commission... for the promotion of human rights... (Dewan Ekonomi Sosial akan membentuk komisi... untuk memajukan hak asasi manusia...)”. Hal tersebut dikuatkan pada Pasal 76 butir C yang menyebutkan “to encourage respect for human rights and for fundamental freedoms for all without distinction as to race, sex, language, or religion... (mendorong penghormatan kepada hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama...)”.


Pengajuan suaka / permohonan pengungsi merupakan bagian dari HAM. Tentunya untuk hal tersebut memiliki alasan yang cukup untuk itu. Pasal 28 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain. Sementara itu Pasal 13 Paragraf 2 Deklarasi HAM PBB 1948 menyebutkan: “everyone has the right to leave any country, including his own, and to return to his country”. Hak atas kebebasan untuk memilih tempat tinggal atau negara ini kemudian di pertegas oleh Declaration of Territorial Asylum 1967 yang menyatakan:
  1.  Everyone has the right to seek and enjoy in other countries asylum from prosecution; 
  2. This right may not be involved in the case of prosecutions genuinely arising from non-political crimes or acts contrary to the purposes and principle of the United Nations.
     Dalam Declaration of Territorial Asylum 1967, penegasan kata kunci untuk memohon suaka adalah adanya ketakutan atau kekhawatiran akan menjadi korban dari suaut penyiksaan atau penganiayaan di suatu negara, sehingga ia memilih untuk mencari perlindungan ke suatu negara lain. Termasuk di dalamnya mereka yang merupakan pejuang atau orang-orang yang berjuang melawan kolonialisme. Namun, permohonan suaka ini hanya dibatasi untuk ketakutan yang timbul dari suatu kejahatan politik dan tidak untuk selain itu. Golongan yang akan ditolak untuk menerima suaka adalah mereka yang diduga telah melakukan kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.


Instrumen Internasional HAM bagi Pengungsi
Konvensi Tahun 1951 berikut Protokolnya Tahun 1967 secara substansial melindungi HAM pada pengungsi. Dengan demikian konvensi tersebut dikategorikan sebagai jenis-jenis HAM yang perlu dilindungi, khususnya bagi pengungsi. Hal demikian dibedakan oleh karena kondisi mereka yang khusus. Hukum HAM dibagi dalam tiga keadaan, yaitu: Pertama, Hukum HAM umum yang berlaku bagi semua orang dalam keadaan normal. Kedua, Hukum HAM yang diberlakukan dalam situasi perang dikenal dengan Hukum Humaniter[1]. Ketiga, Hukum HAM yang khusus diterapkan kepada pengungsi (dikenal dengan Hukum Pengungsi). Hukum HAM ini diterapkan kepada pengungsi karena berada di luar negaranya serta tidak ada yang melindungi.

Hukum Humaniter terdiri dari sekumpulan pembatasan oleh Hukum Internasional yang digunakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur perlakuan terhadap individu-individu pada saat berlangsungnya konflik-konfllik bersenjata.[2] Hukum Humaniter merupakan bagian dari Hukum Internasional maka efektifitas atau pemanfaatannya akan banyak ditentukan oleh impementasi di tingkat nasional. Dalam hal ini ,warga negara dan khususnya aparat negaralah yang akan memberikan kontribusi besar bagi implementasi tersebut.

Tujuan pokok dari Hukum Humaniter adalah mengurangi atau membatasi penderitaan individu-individu serta untuk membatasi kawasan konflik bersenjata. Oleh karenanya dalam Hukum Humaniter diadopsi kaidah-kaidah hukum perang yang berprikemanusiaan. Kewajiban untuk melaksanakan dan menegaskan Hukum Humaniter terletak pada negara. Namun demikian dalam pelaksanaannya melibatkan Komite Internasional Palang Merah (International of the Red Cross / ICRC) yang telah memperoleh mandat dari masyarakat internasional untuk membantu penegakan Hukum Humaniter sesuai dengan Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Konvensi Perang berikut Protokol tambahannya.[3]

Konvensi 1951 tentang Pengungsi mencantumkan daftar hak dan kebebasan asasi yang sangat dibutuhkan oleh pengungsi. Negara peserta konvensi wajib melaksanakan hak-hak dan kewajiban tersebut. Terdapat tahapan-tahapan yang harus dilaksanakan oleh negara pihak. 

Pertama, pengungsi yang masuk ke suatu negara tanpa dokumen lengkap mereka tidak akan dikenakan hukuman, selama mereka secepat-cepatnya melaporkan diri kepada pihak berwenang setempat. Biasanya di setiap negara terdapat processing centre sendiri yang tidak dicampur dengan CIQ (Customs, Immigration, and Quarantine)  walaupun keduanya diurus oleh instansi yang sama khususnya menangani orang asing.

Kedua, adanya larangan bagi negara pihak untuk mengembalikan pengungsi atau mereka yang mengklaim dirinya sebagai pencari suaka ke negara asal secara paksa. Hal ini berhubungan dengan prinsip yang mutlak harus dipatuhi oleh negara pihak yaitu tidak mengembalikan pengungsi ke negara asal dimana ia merasa terancam keselamatan dan kebebasannya (non-refoulement principle). Selain yang mutlak seperti itu terdapat pula yang kondisionil berupa pengusiran yang berarti pengembalian ke negara asal atau dapat ke negara mana saja. Negara pihak hanya boleh melakukan pengusiran apabila dilakukan atas pertimbangan keamanan nasional dan ketertiban umum.[4] Contoh mengganggu ketertiban umum, pengungsi tersebut melakukan teror terhadap sebagian warga negara pihak maka baru dapat dilakukan pengusiran. Pengusiran baru dapat diberlakukan apabila yang bersangkutan terbukti sebagai pelaku tindak kejahatan dai negara asalnya atau melakukan kejahatan di negara yang dituju atau dimana ia berada.

Hukum Pengungsi untuk beberapa hal merujuk pada Transnational Organized Crime Convention (TOCC) telah menetapkan secara limitatif kejahatan-kejahatan yang termasuk lingkup kejahatan transnasional terorganisasi. Kriminalisasi terorisme tidak termasuk dalam TOCC melainkan diatur dalam Konvensi tersendiri.[5] Kelompok ahli tentang kejahatan transnasional dari CSCAP Study Group on Transnational menyatakan aktivitas kejahatan transnasional salah satunya meliputi imigran ilegal (termasuk di dalamnya persoalan pengungsi).


Dewasa ini, potensi ancaman yang dilakukan kelompok kejahatan yang mempunyai jaringan dengan berbagai aktivitas ilegal semakin besar. Hal demikian dipandang akan mengganggu kehidupan masyarakat baik nasional maupun global. Oleh karena itu masyarakat internasional dan para pakar di bidang kejahatan telah mengadakan konfrensi di bawah bantuan PBB. Konfrensi tersebut menghasilkan Konvensi PBB Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi (United Nations Convention Against Transnational Organized Crime) dari tanggal 12-15 Desember 2000 di Palermo. Konvensi ini merupakan tindak lanjut dari rekomendasi Komisi Pencegahan Kejahatan dan Dewan Ekonomi dan Sosial (The Commission on Crime Prevention and Criminal Justice and the Economic and Social Council). Rekomendasi tersebut kemudian diadopsi oleh Resolusi Majelis Umum PBB yang kemudian membentuk Komite Ad Hoc dan diadakan konfrensi mengenai kejahatan transnasional.

Komisi Ad Hoc mengadakan sidang di Wina dan menyatakan perlu dilakukan pembuatan konvensi menentang kejahatan transnasional terorganisasi. Konvensi tersebut merupakan instrumen internasional pertama yag akan menjadi tonggak sejarah dalam rangka usaha masyarakat internasional menentang kejahatan transnasional teroraganisasi. Sidang kedua Komisi Ad Hoc berlangsung di Wina dengan agenda membahas draft Konvensi Pasal 1-3 dan mendiskusikan instrumen hukum tentang perdagangan perempuan dan anak. Sidang ini juga membahas draf Protocol to Prevent, Suppress, and Punish Trafficking in Women and Childern. Komite Ad Hoc melanjutkan sidang ketiga di Wina dengan membahas draf konvensi TOC dan instrumen-instrumen tambahannya, yaitu Protokol menentang manufaktur dan perdagangan gelap senjata api, suku cadang, komponen, dan amunisinya. Sidang keempat dilaksanakan di Wina dengan agenda meneruskan pembahasan draf konvensi serta dua instrumen tambahan. Kedua aturan tersebut mencakup insturumen hukum menentang perdagangan perempuan dan anak-anak (Legal Instrumen Against Traffiking in Women and Childern) serta instrumen hukum menentang pengangkutan ilegal migran termasuk melalui laut (Legal Instrumen Ilegal Traffiking in The Transporting of Migrants Including by Sea). Konvensi Palermo dilengkapi dengan dua instrumen tambahan yaitu Protokol to Prevent, Suppres, and Punish Traffickingiin Women and Childern serta Protocol Against the Smuggling of Migrants by Land, Sea, and Air.

Instrumen internasional lainnya terkait dengan Konvensi Tahun 1951 adalah Protokol Perdagangan Orang (Protokol to Prevent, Suppress, and Punish Trafficking in Women and Childern). Protokol tersebut merupakan tambahan terhadap Konvensi TOC. Tujuan dan Protokol itu sendiri dijelaskan pada Pasal 2 yang berbunyi:

The purposes of this protocol: (a) To prevent and combat trafficking in persons, paying particular attention to women and childern, (b) To protect and assist the victims of such trafficking with full respect for their human rights; and (c) To promote coorperation among States Parties in order to meet those objectives.”

Adapun tujuan dari Protokol mencakup tiga hal. Pertama mencegah dan memerangi perdagangan orang khususnya perempuan dan anak. Kedua, melindungi dan membantu korban perdagangan dengan memperhatikan hak-hak asasi mereka. Ketiga, meningkatkan kerja sama antara negara peserta untuk mencapai ujuan.

Ruang lingkup penerapannya terdapat pada Pasal 4 Protokol yang menyatakan:

This Protocol shall apply,except as otherwise stated herein, to the prevention, investigation, and prosecution of the offences established in accordance with article 5 of this Protocol, where those ofences are transnational in nature and involvean organized criminal group, as well as to the protection of victims of such offences.”

Imtiya, protokol ini harus diberlakukan pada pencegahan penyidikan, dan penuntutan terhadap kejahatan yang diatur oleh Pasal 5. Kejahatan yang sifatnya transnasional dan melibatkan kelompok kejahatan teroraganisasi, serta adanya perlindungan terhadap korban kejahatan ini. Adapun jenis kejahatan yang disebutkan pada Pasal 4 tersebut dijelaskan oleh Pasal 5 butir 1 Protokol yang menyebutkan bahwa:

Each State Party shall adopt such legislative and other measures as may be necesary to establish as criminal offences the conduct set forth in article 3 of this Protocol, when committed intentionally.”

Pasal tersebut di atas mengisyaratkan bahwa setiap negara peserta harus membuat peraturan perundang-undangan yang menyatakan perdagangan orang sebagai suatu kejahatan baik pada pelakuny , orang yang ikut serta maupun orang yang mengatur atau memberikan arahan untuk melakukan kejahatan perdagangan orang.

Aspek perdagangan orang tercakup pada Pasal 3 yang menyebutkan:

“... Trafficking on person shall means the reruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of persons, bye mans of the threat or use of force or other forms of coercion of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of position of vulberability or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purpose of explotation.”

Pasal di atas menyebutkan bahwa proses terjadinya perdagangan orang, yaitu mulai dari perekrutan, pengangkutan, pemindahan, persembunyian di pelabuhan. Pada proses pengangkutan dari satu negara ke negara lain memerlukan dokumen perjalanan yang dikeluarkan oleh imigrasi.

Pada Pasal 7 meminta agar negara peserta konvensi untuk membuat peraturan perundang-undangan yang mengizinkan korban perdagangan orang untuk tinggal baik sementara maupun permanen dalam kasus-kasus tertentu dan negara peserta untuk mempertimbangkan faktor kemanusiaan dan simpati kepada korban kejahatan. Hal tersebut eksplisit dinyatakan sebagai berikut:

 “in addition to taking measures pursuant to article 6 of this Protocol each States Party shall consider adopting legislative or other appropriate measures that permit victims of trafficiking in persons to remain in its territory, temporarily or permanently, in appropriate cases.”

Persoalan di perbatasan negara-negara, Pasal 11 ayat (1) mengatur semua negara peserta harus memperkuat pengawasan di perbatasan yang diperlukan guna mencegah dan mendeteksi perdagangan manusia. Setiap negara peserta harus membuat peraturan atau upaya-upaya tepat lainnya untuk mencegah alat transportasi yang dioperasikan pengangkut komersial dari tindakan kejahatan perdagangan manusia.

Pemulangan korban perdagangan orang diatur pada Pasal 8 ayat (1) yang meminta negara peserta (negara asal) di mana korban adalah wara negaranya atua orang yang mempunyai hak tinggal permanen ketika memasuki negara penerima tersebut harus memfasilitasi dan menerima berkenaan dengan pengamanan korban, memulangkannya tanpa penundaan berarti. Pada pasal 8 ayat (2) dinyatakan bahwa ketika suatu negara peserta mengambalikan korban ke negara peserta di mana korban adalah warga negarnya atau mempunyai hak tinggal permanen, pemulangan tersebut harus memperhatikan keselamatan koban dan status atas setiap proses hukum bahwa orang tersebut adalah korban kejahatan. Selain itu neara peserta dapat meminta negara peserta lain untuk menjelaskan apakah korban adalah warga negaranya atau bukan. Demikian pula apabila korban yang tidak memiliki dokumen memadai, negara peseta harus mengeluarkan dokumen perjalanan atau otorisasi lainnya yang diperlukan untuk mempermudah orang itu pergi dan memasuki kembali negaranya.

Muara Enim, Oktober 2014
M. Alvi Syahrin

[1] Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk mengurani penderitaan berlebihan dari perperangan. Konvensi Jenewa 1949 sebagai instrumen Hukum Humaniter Internasional dengan tegas membuat aturan-aturan pokok yang harus ditaati oleh setiap negara yang terlibat dalam konflik bersenjata. Lebih khusus, Konvensi Jenewa III 1949 mengatur prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi tawanan perang, karena sejatinya hubungan perang bukanlah hubungan individu melainkan hubungan negara sebaga subjek Hukum Internasional. Konflik bersenjata internasional merupakan pertempuran antara angkatan bersenjata dari dua atau lebih negara, karena itu hubungan perang merupakan hubungan negara dengan negara, maka hukum perang merupakan bagian dari Hukum Internasional. Hukum Humaniter Internasional merupakan sejumlah prinsip dasar serta aturan mengenai pembatasan penggunaan kekerasan dalam situasi perang.
[2] Hukum Humaniter sering pula disebut dengan hukum perang. Perang dalam pengertian umum adalah suatu pertandingan antara dua negara atau lebih terutama dengan angkatan bersenjatanya.
[3] Empat Konvensi Jenewa tentang perlindungan korban perang sebagaimana termuat dalam “Terjemahan Konvensi Jenewa 1949 yang disusun dan diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan Departemen Kehakiman pada Agustus 1999 adalah sebagai berikut: Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan yang Luka dan Sakit dalam Angkatan Bersenjata di Medan Pertempuran (Konvensi I), Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan Anggota Bersenjata di Laut yang Luka Sakit dan Korban Karam (Konvensi II), Konvesi Jenewa mengenai Perlakuan Tawanan  Perang  (Konvensi III), Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Orang Sipil di Waktu Perang (Konvensi IV). Adapun Protokol tambahannya, yaitu Protokol Tambahan I Tahun 1977 tentang Perlindungan Korban pada waktu Sengketa Bersenjata Internasional (Protokol Tambahan I) dan Protokol Tambahan II Tahun 1977 tentang Perlindungan Korban pada waktu Sengketa Bersenjata Non Internasional  (Protokol Tambahan II).
[4] Ketertiban umum terkait dengan kepentingan umum. Secara harfiah frase kepentingan umum mengandung arti sangat perlu atau sangat utama. Kata umum mengandung arti keseluruhan (untuk siapa saja, khalayak manusia atau masyarakat luas). Kepentingan umum mengandung makna kepentingan negara / bangsa dan masyarakat luas. Dalam pendapat lain dikemukakan bahwa kepentingan umum harus diartikan sebagai kepentingan di semua aspek dalam bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat dalam arti yang seluas-luasnya dan yang menyangkut kepentingan hajat hidup masyarakat luas. Pengertian “kepentingan umum” menurut ilmu bahasa tidak dapat dijadikan pengertian yuridis. Namun demikian, tetap dapat dijadikan refrensi untuk menemukan pengertian yang diinginkan. Hal demikian dapat erjadi sebab dalam ilmu hukum (di dalam proses pembentukannya) tidak dapat berdiri sendiri dan berjalan lepas dari ilmu sosial lainnya.
[5] Terorisme telah diatur tersendiri dalam International Convention for The Suppress of Terrorist Bombing dan International Convention forT he Suppression of The Financing of Terorism. Indonesia telah menjadi peserta pada dua konvensi tersebut sejak 23 Maret 2006.

POSISI DAN PERKEMBANGAN HUKUM PENGUNGSI INTERNASIONAL


Dimana Letak Hukum Pengungsi Internasional?
Hukum Pengungsi Internasional merupakan bagian dari Hukum Internasional. Namun apakah Hukum Pengungsi Internasional merupakan bagian langsung dari Hukum Imigrasi Internasional ataukah Hukum Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional, hingga sekarang masih menjadi perdebatan. Ia merupakan bagian dari Hukum Imigrasi Internasional jika didekati melalui perspektif perpindahan / mobilitas manusia antar negara. Namun, Hukum Pengungsi Internasional menjadi bagian dari Hukum HAM Internasional karena ia pada akhirnya fokus pada perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia. Hukum Pengungsi tidak lahir jika tidak ada objeknya, yaitu pengungsi. Pengungsi itu sendiri terdiri dari 2 (dua) konteks, yaitu perpindahan penduduk dari suatu negara masuk ke negara lain serta berpindah dari satu daerah ke daerah lain yang masih berada dalam negara itu.

Permasalahan pengungsi saat ini sudah menjadi kepedulian bersama masyarakat Internasional. Cikal bakal dan fokus kepedulian sangat terasa terutama usai perang dunia kedua. Beribu-ribu orang mengungsi, khususnya negara-negara yang kalah pada perang dunia kedua. Lahirnya Konvensi tentang Status Pengungsi, 28 Juli 1951 (selanjutnya disebut Konvensi 1951) beserta Protokol-nya 31 Januari 1967 juga merupakan bukti sekaligus kepedulian negara-negara di dunia untuk mengatasi permasalahan tersebut. Sejak itu pulalah pengaturan pengungsi masuk dalam bagian perbincangan Hukum Internasional. Dengan demikian membicarakan Hukum Pengungsi Internasional akan lebih optimal jika memahaminya dari perspektif Hukum Internasional. Hukum Internasional diposisikan sebagai payung hukumnya. Hukum Internasional itu sendiri memiliki sejarah panjang bahkan sama tuanya dengan hukum nasional negara-negara. Ia tumbuh dan berkembang dari kontribusi hukum-hukum nasional itu sendiri.

Sebagaimana pada perkembangan ilmu hukum lainnya, Hukum Internasional pun memiliki cabang-cabang pengembangannnya. Hukum Pengungsi Internasional sendiri merupakan bagian dari Hukum Internasional.[1] Hubungan antara Hukum Internasional dengan Hukum Pengungsi Internasional terletak pada jenis lapangan hukumnya. Aturan-aturan yang bermacam-macam dapat digolongkan menjadi lapangan hukum tertentu. Terkhusus untuk Hukum Pengungsi Internasional, mengingat dan mempertimbangkan bahwa ia dikelompokan menjadi sebuah aturan hukum internal tertentu yang bersifat bulat, homogen, dan berkepribadian maka secara tersendiri dikenal dengan sebutan Hukum Pengungsi Internasional. 

Hukum Pengungsi Internasional dan Perkembangannya
Dalam penelusuran historis, pembentukan Hukum Pengungsi Internasional berjalan setahap demi setahap berdasarkan pengalaman-pengalaman pengungsian terutama di Eropa. Hukum Pengungsi mulai tumbuh di era tahun 1920-an. Pertumbuhan dan perkembangan dari Hukum Pengungsi yang tadinya hanya sebatas memberikan bantuan humaniter bagi kelangsungan hidupnya saja. Pada perkembangannya kemudian menjadi penyelesaian secara tetap dan berjalan panjang. Sejak tahun 1951 dilakukan pembakuan. Mulai saat itu pulalah pengungsi dalam format universal diakomodir secara global.

Hukum Pengungsi selalu dipahami dalam kerangka Hukum Pengungsi Internasional. Di negara-negara maju kajian tentang Hukum Pengungsi sudah merupakan bahasan yang spesifik.[2] Sejak tahun 1950-an kajian terhadap Hukum Pengungsi lebih intens terutama pada pembakuan istilah-istilah. Pada kurun 1920 sampai 1950-an defenisi “pengungsi” diterapkan secara parsial dan spesifik per negara atau per kelompok. Untuk membahasanya lebih jelas harus dimulai dengan pembahasan kerangka induknya, yakni Hukum Internasional terlebih dahulu.

Dalam konteks “perlindungan”, di samping rezim Hukum Pengungsi Internasional, terhadap eksistensi pengungsi maka terdapat empat rezim Hukum Internasional yang terhubung. Keempat rezim hukum tersebut meliputi Hukum Pengungsi Internasional, Hukum Hak Asasi Internasional, Hukum Humaniter Internasional, serta Hukum Pidana Internasional. Bagannya sebagai berikut:


Adapun legal frame work terhadap hukum pengungsi internasional, UNHCR telah membakukannya dengan mencakup:


Perlindungan terhadap pengungsi dapat dalam berbagai bentuk. Secara garis besar penyebab terjadinya pengungsi serta bentuk perlindungan yang diberikan adalah sebagai berikut:



Hukum Pengungsi: Hukum HAM dan Hukum Imigrasi
Hukum Internasional senantiasa berkorelasi dengan Hukum HAM Internasional. Hukum HAM Internasional dimaksudkan sebagai hukum mengenai perlindungan terhadap hak-hak individu atau kelompok yang dilindungi secara internasional dari pelanggaran , terutama yang dilakukan pemerintah atau aparat suatu negara. Hukum HAM Internasional dalam kajiannya dilakukan melalui dua pendekatan. Pertama, dari aspek yang mencakup teoritis, instrumen, dan lembaga. Kedua, aspek lain yang mengkaji HAM dalam perspektif historis, politis, dan filosofis. Pendekatan teoritik dalam memetakan Hukum Pengungsi Internasional berfungsi menjadi suatu alat analisis guna mendapatkan jawaban tentatif terhadap masalah-masalah pengungsi yang selama ini terjadi. Teori menjadi dasar bagi dibangunnya suatu peradigma sekaligus dibuatnya suatu model bagi perlindungan pengungsi.

Sedangkan, Hukum Imigrasi Internasional mengatur lalu lintas atau pergerakan manusia dari satu negara ke negara lain. Pengaturan lalu lintas penduduk tersebut berfokus pada pengawasan terhadap orang asing yang berada di negaranya. Pada pokoknya keimigrasian mengatutr warga negara suatu negara saat keluar dari negaranya serta mengatur pula bagaimana orang dapat masuk antar negara atau yang berlaku di negara-negara pada umumnya, termasuk di dalamnya pengungsi sebagai objek keimigrasian.
Muara Enim, Oktober 2014
M. Alvi Syahrin

[1] Menyebut istilah “Hukum Internasional” pada pengertian yang luas mencakup “Hukum Perdata Internasional” dan “Hukum Internasional Publik”. Namun dalam pemahaman pembelajar hukum apabila disebut “Hukum Internasional”, maka pengertian yang dituju ialah “Hukum Internasional Publik”.
[2] Hal tersebut dapat dibuktikan dengan terbitnya jurnal yang khusus membahas tentang dinamika dan analisis tentang hukum pengungsi. Misalnya, International Journal of Refugee Law yang diterbitkan Oxford University Press. Disamping itu terbit pula beberapa buku yang membahas tentang pengungsi dalam perspektif Hukum Internasional.