Thursday, May 22, 2014

BHUMI PURA....

Hak Asasi Bermigrasi
Salah satu aspek terpenting bila kita berbicara daerah perbatasan tentu berkaitan dengan masuk dan keluarnya orang dari satu negara ke negara lain dengan melewati garis perbatasan. Kebebasan pergerakan manusia untuk berpindah antar negara merupakan suatu hak dasar atau asasi manusia yang dijamin dalam konstitusi. Hal ini diatur dalam Pasal 28E UUD 1945 (Amandemen), yang menentukan bahwa: “Setiap warga negara bebas untuk .... memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” Lebih lanjut, dalam Pasal 2 UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian disebutkan: “Setiap warga negara Indonesia berhak melakukan perjalanan masuk dan keluar wilayah Indonesia”. Sehingga dapat dipahami, kebebasan untuk bergerak melintas atau berpindah antar negara (hak berimigrasi) merupakan hak asasi manusia yang mendasar.

Namun untuk tertib hukum agar tidak melanggar hak orang lain, kebebasan tersebut perlu dilakukan pengaturan melalui pelbagai peraturan perundang-undangan tentang bagaimana caranya, prosedur serta persyaratan yang diperlukan. Oleh karena itu, negara perlu hadir untuk menjawab persoalan itu semua. 

Hadirnya Lembaga Imigrasi
Wilayah negara Indonesia yang sangat luas serta terbuka baik di daratan maupun perairan, memudahkan terjadinya lalu lintas pergerakan orang keluar masuk negara. Masuk dan keluar wilayah suatu negara mempunyai implikasi hukum yang sangat luas sehingga negara mempunyai kewajiban untuk mengatur tertib hukum lalu lintas orang antara negara. Hal ini bertujuan untuk menjamin penegakan hukum serta menjaga keamanan negara dari unsur-unsur yang merugikan kepentingan bangsa.

Potensi ancaman kedaulatan negara pun dapat saja terjadi. Ketertiban hukum diperlukan dengan maksud untuk melindungi setiap orang agar patuh terhadap hukum negara nya sendiri ataupun hukum negara lain. Untuk itu negara perlu mengatur tempat-tempat dimana saja bagi setiap orang untuk dapat masuk dan keluar wilayah Indonesia, serta instansi mana yang berwenang melakukan tugas tersebut. Peran negara dalam mengatur hal ihwal lalu lintas orang antara negara dan pengawasannya diemban oleh Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM RI.

Instrumen Hukum
Pengaturan terkait tempat masuk dan keluar wilayah negara telah ada sejak masa pemerintahan Hindia Belanda yang diatur dalam Toelatingsbesluit, Staatsblad 1916 Nomor 47, sebagai pelaksanaan dari ketentuan Pasal 160 ayat (1) Wet op de Staatsinrichting van Indonesia. Setelah kemerdekaan Indonesia kemudian diubah dan ditambah dengan Staatsblad 1949 Nomor 330 tentang Penetapan Izin Masuk dan Staatsblad 1949 Nomor 331 tentang Hak Bertempat Tinggal, Izin Masuk dan Pendaratan Orang Asing. Dalam ordonansi tersebut ditetapkan pelabuhan-pelabuhan pendaratan (pintu keluar masuk) wilayah negara seperti pelabuhan laut dan udara. Pelabuhan laut di antaranya adalah Belawan Deli, Bagan Siapi-Api, Tanjung Balai Kariumun, Tanjung Pinang, Jambi, Palembang, Muntok, Belinyu, Pangkal Pinang, Pontianak, Pemangkat, Tanjung Priok, Semarang, Surabaya, Ujung Pandang, dan Kupang. Sedangkan pelabuhan udara di antaranya adalah Medan, Palembang, Pangkal Pinang, Jakarta, Surabaya, Ujung Pandang, dan Kupang.

Instrumen hukum untuk mengatur lalu lintas orang antar negara Indonesia kini diatur dalam UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dan PP No. 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Peraturan perundangan tersebut mengatur antara lain tentang tempat masuk dan keluar wilayah negara yang disebut sebagai Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI). Pasal 1 angka 12 UU No. 6 Tahun 2011 menjelaskan: “Tempat Pemeriksaan Imigrasi adalah tempat pemeriksaan di pelabuhan laut, bandar udara, pos lintas batas, atau tempat lain sebagai tempat masuk dan keluar wilayah Indonesia”. Keberadaan TPI hanya dapat ditetapkan oleh Menteri Hukum dan HAM berdasarkan Keputusan Menteri (vide Pasal 3), bukan pihak lain. Institusi lain seperti Angkasa Pura, PT. Pelindo, hanya sebatas instrumen penyedia sarana dan prasarana fisik, tetapi kewenangan atau legalitas yang menyatakan sebagai tempat masuk dan keluar wilayah negara berada pada otoritas Imigrasi.

TPI sebagai Pintu Gerbang Negara

Sasanti Imigrasi Indonesia adalah Bhumi Pura Wira Wibawa. Istilah tersebut berasal dari bahasa sansekerta, yang berarti Penjaga Pintu Gerbang Negara yang Berwibawa. Imigrasi merupakan otoritas sah yang diberi mandat oleh negara  untuk menjaga pintu gerbang negara (bhumi pura) tersebut. Istilah otentik pintu gerbang negara yang ditafsirkan oleh pembentuk undang-undang (wets gever) adalah TPI, sebagaimana yang telah ditentukan dalam UU No. 6 Tahun 2011. Urgensinya, keberadaan TPI dewasa ini memiliki peran strategis bagi lalu lintas masuk dan keluar orang di wilayah Indonesia.

Berdasarkan data yang penulis himpun dari website imigrasi.go.id per tanggal 22 Mei 2014, ada 203 Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia (konvensional dan tradisional), yang terdiri dari 91 pelabuhan laut, 33 bandar udara, dan 79 pos lintas batas di perbatasan darat. Dari sekian banyak pintu gerbang negara tersebut, 5 (lima) di antaranya berbatasan langsung dengan negara lain, yaitu: (1) Entikong, di Entikong, Kalbar (Indonesia-Malaysia, Negara Bagian Serawak); (2) Mato’ain, di Atambua, NTT (Indonesia-Timor Leste, Mainland); (3) Metameuk, di Atambua, NTT (Indonesia-Timor Leste); (4) Napan, di Atambua, NTT (Indonesia-Timor Leste, Enclave of Oecusse); dan (5) Skou, Jayapura, Papua (Indonesia-Papua New Guinea).



Mobilitas lalu lintas orang antara negara yang semakin tinggi di daerah perbatasan, memunculkan tuntutan untuk menambah lagi tempat keluar masuk wilayah negara. Namun, perlu dilakukan uji kelayakan apakah tempat tersebut layak atau tidak sebagai perlintasan antara negara. Dengan semakin banyaknya TPI, maka pintu gerbang negara pun semakin banyak. Logisnya, akan semakin banyak pintu gerbang negara yang harus dijaga. Oleh karena itu, perlu prinsip kehati-hatian untuk menentukan suatu tempat sebagai TPI, mengingat TPI berkaitan dengan wibawa dan kedaulatan negara.

Secara normatif, TPI merupakan tempat yang dilegalisasi oleh Menteri Hukum dan HAM sebagai pintu gerbang negara Indonesia. Sebagai jalur resmi, TPI memiliki kedudukan hukum (legal standing) yang sah di mata hukum. Sehingga, setiap orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia wajib melalui pemeriksaan yang dilakukan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi [vide Pasal 9 ayat (1)]. Bahkan, dalam Pasal 113 disebutkan: “Setiap orang yang dengan sengaja masuk atau keluar wilayah Indonesia yang tidak melalui pemeriksaan Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah).

TPI memiliki peran vital dan strategis sebagai pintu keluar masuk wilayah suatu negara. Keberadaan TPI, akan membawa tanggung jawab yang besar bagi mereka yang bertugas disana. Sebagai pintu gerbang negara, TPI merupakan representasi wibawa dan kedaulatan negara. Untuk menjaga TPI dan daerah perbatasan (baca: kedaulatan negara) dari ancaman negara lain, maka perlu dilakukan pengawasan baik di wilayah darat, laut dan udara oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI). Institusi ini secara organik melakukan pengawasan langsung dengan membentuk satuan-satuan di sepanjang garis perbatasan negara khususnya di perbatasan darat, melakukan patroli dengan kapal-kapal perang di wilayah perairan Indonesia, serta pemantauan kawasan udara Indonesia. Sedangkan tertib hukum terkait masuk dan keluar orang dari perbatasan negara menjadi tanggug jawab institusi Imigrasi.

TPI: Inner Border dan Outer Border
Pada umumnya, pelabuhan laut dan bandar udara merupakan pintu gerbang negara yang berada di dalam perbatasan negara (inner border). Sebaliknya, pintu gerbang negara seperti terminal darat atau pos lintas batas merupakan pintu gerbang negara yang berada di perbatasan negara sesungguhnya (outer border), karena langsung berbatasan dengan negara lain. Perbedaan istilah ini harus dipahami dengan baik, karena tidak sedikit masyarakat menyebutkan istilah inner border dan outer border dalam satu istilah, yaitu border.

Prosedur masuk dan keluar wilayah negara melalui inner border dan outer border, hampir sama di seluruh negara-negara di dunia. Misalnya, setiap orang yang masuk dan keluar wilayah negara harus memiliki dokumen perjalanan yang sah dari negara asalnya, memiliki visa untuk memasuki negara yang dituju, visa tersebut harus diberikan oleh pejabat dari pemerintahan negara yang dituju, orang yang akan masuk dan keluar wilayah negara tidak termasuk dalam daftar cekal (cegah dan tangkal), dan lain sebagainya. Prosedur ini merupakan prosedur standar yang wajib dimiliki hampir semua negara dunia. Namun dapat saja ada perubahan minor, tergantung situasi negara atau tingkat hubungan internasional suatu negara.

Standar dan prosedur yang dilakukan oleh negara-negara dunia tersebut, dapat dikategorikan sebagai prosedur lalu lintas antar negara yang bersifat konvensional. Namun ada juga perlintasan yang bersifat tradisional seperti praktik lalu lintas orang di pos-pos lintas batas (outer border, di daerah perbatasan riil).


Berikut penulis sajikan perbedaan antara perlintasan konvensional dan tradisional: (a) Perlintasan konvensional terbuka untuk umum, dimana seluruh warga negara dari negara manapun selama memenuhi syarat sah dapat melintas TPI yang telah ditetapkan, sedangkan perlintasan tradisional terbatas hanya bagi masyarakat di daerah perbatasan dengan syarat yang dipermudah; (b) Perlintasan konvensional menggunakan dokumen perjalanan yang diakui oleh seluruh negara (passport), sedangkan perlintasan tradisional menggunakan dokumen yang hanya diakui oleh kedua negara berbatasan (kartu pas lintas batas); (c) Perlintasan konvensional berada pada perbatasan dalam (inner border) seperti pelabuhan udara, pelabuhan laut dan terminal perbatasan. Sedangkan perlintasan tradisional terdapat diluar tempat-tempat tersebut dan beberapa di antaranya menjadi satu. Sebagai contoh, Pos Lintas Batas Entikong, Skow, Mota Ain, Mota Masin, Napan, Marore, Miangas, dan Nunukan; (d) Perlintasan konvensional dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM (sepihak), sedangkan perlintasan tradisional dibentuk berdasarkan kesepakatan bilateral negara berbatasan.

Wibawa TPI
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki jalur perlintasan yang harus dijaga. Itu merupakan konsekuensi logis yang harus diterima. Banyaknya TPI, membuat mobilitas lalu lintas orang masuk dan keluar wilayah negara semakin tinggi, baik itu melalui perlintasan konvensional ataupun tradisional. Khusus untuk perlintasan tradisional, perlintasan ini berbatasan langsung dengan negara tetangga, sehingga harus mendapat perhatian serius dari pemerintah. Wibawa pos lintas batas di beberapa daerah perbatasan akan menjadi cerminan negara secara keseluruhan. Menjaga dan melalukan pengawasan di perlintasan TPI, sama pentingnya dengan menjaga keutuhan negara. Karena sejatinya, eksistensi TPI adalah wibawa dan kedaulatan bangsa. (alvi)


Muara Enim, Mei 2014
M. Alvi Syahrin


Thursday, May 15, 2014

MEMAKSIMALKAN PERAN IMIGRASI DI DAERAH PERBATASAN

Archipelago State
Berdasarkan Deklarasi Juanda, tanggal 13 Desember 1957, Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan (archipelago state). Sebagai negara yang diapit oleh dua benua dan dua samudera, Indonesia memiliki tantangan sendiri dalam melakukan implementasi fungsi keimigrasian. Setidaknya ada sepuluh negara yang berbatasan langsung ataupun tidak langsung dengan Indonesia, baik itu perbatasan darat ataupun laut.

Berdasarkan data yang penulis himpun dari website imigrasi.go.id per tanggal 22 Mei 2014, ada 203 Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia (konvensional dan tradisional), yang terdiri dari 91 pelabuhan laut, 33 bandar udara, dan 79 pos lintas batas. Keberadaan TPI sebanyak ini tentu membuat peran institusi Imigrasi menjadi sangat penting. Sejauh ini mungkin Indonesia merupakan negara dengan tempat pemeriksaan imigrasi terbanyak di dunia. Luar biasa bukan?

Daerah Perbatasan dan TPI Tradisonal
Sebagai daerah yang paling banyak memiliki TPI tradisional, melakukan fungsi keimigrasian di daerah perbatasan tentu tidak mudah bila kita bandingkan dengan TPI konvensional yang rata-rata berada di daerah “layak huni”. Selama ini daerah perbatasan di Indonesia seringkali  luput dari perhatian pemerintah. Menjadi bagian dari wilayah yang tertinggal, sudah pasti daerah tersebut sangat minim infrastruktur untuk mendukung pembangunannya. Pembangunan daerah perbatasan hanya menjadi janji komoditas politik bagi setiap pemangku kepentingan. Ekstrimnya, baik dan buruknya kondisi pembangunan di daerah perbatasan negara, sama dengan buruknya wajah negara Indonesia secara keseluruhan.



Pemerintah secara holistik, belum mampu mengangkat citra daerah perbatasan sebagai cerminan negara. Daerah perbatasan tetaplah daerah perbatasan, yang selalu tertinggal dengan segenap kekurangannya. Terkait dengan fungsi keimigrasian sebagai lembaga penjaga pintu gerbang negara, Imigrasi telah berusaha menjalankan tugasnya secara maksimal. Oleh karenanya, bertugas di daerah perbatasan tentu menjadi suatu kewajiban setiap petugas imigrasi. Banyak hambatan yang ditemui, baik itu dari segi materil ataupun imateril. Apakah itu terkait dengan internal kelembagaan, ataupun minimnya intensitas koordinasi lintas lembaga.
 
Hambatan yang Dihadapi
Sehubungan dengan penertiban pelintas batas tradisional oleh institusi yang berwenang (baca: Imigrasi), ditemui kesulitan-kesulitan sebagai berikut: (1) banyaknya pos-pos lintas batas yang harus dilayani petugas imigrasi (79 pos lintas batas); (2) sebagian besar pos-pos lintas batas tersebut sulit dijangkau, karena tidak ada akses transportasi yang memadai; (3) belum adanya sarana dan prasarana imperatif dan fakultatif di tempat-tempat tersebut; (4) kekurangan tenaga SDM dan keengganan petugas imigrasi untuk ditempatkan pada pos-pos lintas batas; dan (5) belum adanya sistem penggajian serta penghargaan (reward) yang pantas untuk petugas di daerah terpencil.

Kerja Sama Lintas Sektoral
Untuk mengatasi permasalahan ini seharusnya, institusi yang bertanggung jawab atas perlintasan orang melalui garis perbatasan dapat bekerja sama dengan institusi lainnya dalam memberikan pelayanan di daerah perbatasan. Imigrasi, Bea dan Cukai, Perdagangan, dan Petanian dan Kehewanan misalnya, dapat melakukan kerja sama dengan instansi pemerintah daerah untuk memaksimalkan fungsi inter-instansi tersebut. Kerja sama dapat dilakukan dengan Pemerintah Daerah atau Kepolisian atau instansi terkait lainnya yang dapat dirumuskan dalam Surat Keputusan Bersama dengan jangka waktu tertentu oleh pimpinan pada tingkat pusat.

Konkritnya, Direktorat Jenderal Imigrasi selaku otoritas yang memiliki kewenangan hal ihwal keimigrasian di Indonesia, dapat melakukan kerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri yang memuat pelimpahan wewenang kepada para Camat di wilayah perbatasan negara tertentu untuk melakukan pemberian Pas Lintas Batas (PLB) atau Kartu Lintas Batas, serta melakukan pengawasan perlintasannya, termasuk pula di dalamnya melakukan administrasi penerbitan Pas Lintas Batas atau Kartu Lintas Batas. Model pengaturan lintas batas seperti ini bukanlah hal baru, karena pada awal implementasi Permufakatan Dasar Lintas Batas antara Indonsia dan Malaysia Tahun 1967, Menteri Kehakiman RI dan Menteri Dalam Negeri membuat Surat Keputusan Bersama dimana tugas-tugas keimigrasian pada pos lintas batas di daerah Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur diserahkan kepada Pemerintah Daerah yang selanjutnya didelegasikan kepada para Camat di masing-masing daerah. Dengan cara ini, maka masyarakat perbatasan dapat menikmati fasilitas lintas batas tradisional yang disediakan pemerintah. Namun sejauh ini, fasilitas tersebut hanya baru dalam tahap ketentuan persetujuan bilateral semata.


Untuk kepentingan bangsa, jangan sampai muncul arogansi sektoral bahwa masalah perlintasan perbatasan negara adalah wewenang institusi tertentu saja. Ini merupakan kewenangan kolektif yang melibatkan berbagai instansi di dalamnya. Masalah keimigrasian tentu menjadi wewenang Imigrasi, begitu juga Bea dan Cukai, Karantina, TNI, Kepolisian, dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa keberadaan institusi tersebut secara kolektif saja belum tentu mampu menjangkau (baca: pelayanan dan pengawasan) check points yang bertebaran di sepanjang perbatasan darat dan laut. Tentu, pada check points yang intensitas perlintasannya relatif cukup tinggi dapat ditempatkan petugas imigrasi. Perlu diingat, penyerahan kewenangan keimigrasian kepada instansi tertentu hanya bersifat tentatif, hingga ada petugas imigrasi yang ditugaskan di daerah tersebut.

Dengan demikian, Kantor-Kantor Imigrasi yang berada jauh di wilayah perbatasan (pos lintas batas), dapat menjadi supervisor terhadap pejabat pemerintah daerah (Camat), yang secara rutin memberikan pelatihan dan petunjuk pelaksanaan tugas. Model kerja seperti ini mungkin lebih baik daripada membiarkan pos-pos lintas batas tidak berfungsi, disaat semakin tingginya aktivitas pelintas batas tradisional tanpa adanya pengawasan.


Apabila kewenangan keimigrasian dapat dilimpahkan kepada instansi lainnya seperti kecamatan, maka pelintas batas ini dapat terpantau, terawasi, dan akan data yang berguna bagi evaluasi tugas-tugas keimgrasian. Sejauh ini pelaksanaan perlintasan tradisional di perbatasan laut belum maksimal di Selat Malaka. Sementara di perbatasan darat juga belum berfungsi dengan baik seperti di perbatasan Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, perbatasan negara di Papua dengan negara Papua New Guinea, serta perbatasan negara di Nusa Tenggara Timur dengan negara Timor Timur.

Perbatasan dengan Philipina
Perlintasan yang cukup baik terdapat di perbatasan antara Indonesia dengan negara Philipina di Kabupaten Sangihe dan Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara. Hal ini lebih disebabkkan antara lain: (1) perlintasan tersebut dilakukan melalui laut dimana jarak kedua negara cukup jauh; (2) pos lintas batas hanya ada dua, yaitu di Pos Lintas Batas Marore dan Miangas; (3) pemberian Kartu Lintas Batas cukup tertib karena camat ditunjuk sebagai koordinator aparat yang bertugas di Border Crossing Area (BCA); (4) adanya kerja sama patroli / pengawasan secara rutin oleh kedua negara; (5) adanya Sistem Countersigned antara petugas kedua pejabat ngara atas Kartu Lintas Batas, yang menjadi sarana check and re-check pengawasan terhadap para pelintas batas tradisional; dan (6) adanya koordinasi di antara para petugas lintas batas di lapangan.

Imigrasi dan Pemerintah Daerah (Kecamatan)
Mengingat keterbatasan yang dihadapi, perlu adanya inovasi dalam membuat suatu terobosan kebijakan yang progresif. Mungkin untuk perbatasan darat dapat dikembangkan dengan model kerja sama dengan pemerintah daerah, dimana mereka lebih tahu secara mendalam soal administrasi kependudukan di wilayahnya sendiri dan dapat menjangkau ke seluruh pelosok daerah-derah perbatasan. Dengan demikian, pengawasan dan ketertiban lalu lintas manusia antara negara baik yang dilakukan secara konvensional, maupun tradisional benar-benar dapat terlaksana dengan baik. Perlintasan konvesional menjadi fokus dari institusi keimigrasian, sedangkan perlintasan tradisional “dapat” menjadi fokus dari aparat pemerintah daerah (kecamatan), dengan catatan dibawah supervisi institusi keimigrasian. (alvi)

Muara Enim, Mei 2014
M. Alvi Syahrin


Thursday, May 1, 2014

PERKEMBANGAN KONSEP NASIONALISME DI DUNIA

Nasionalisme dalam Konsep
Nasionalisme merupakan suatu konsep yang meletakkan kesetiaan tertinggi seseorang kepada suatu negara (modern) tertentu. Konsep ini semakin lama semakin berperan dalam penyelenggaraan setiap segi kehidupan, baik yang bersifat publik, maupun yang bersifat privat. Mereka yang terikat secara yuridis dan politis pada suatu negara tertentu pada gilirannya membentuk suatu ikatan yang disebut Bangsa Modern atau dalam bahasa Inggris disebut Nation.


Konsep nasionalisme ini berakar dari peradaban kuno yang dikembangkan oleh bangsa Yunani Purba dan Ibrani Purba (Hans Kohn, 1984). Kedua bangsa ini sadar bahwa mereka lain dari bangsa yang lain. Kesadaran ini bukan disebabkan oleh ikatan terhadap figur raja atau kerajaan tertentu seperti sejarah bangsa-bangsa lain, melainkan pada ikatan rakyat itu sendiri. Rakyat kedua bangsa itu sendirilah yang secara keseluruhan menjalin sejarah mereka. Bangsa Ibrani Purba terbentuk dan terbina oleh kenangan akan masa lampaunya serta harapan di masa yang akan datang yang sama. Sementara bangsa Yunani Purba meletakkan kesetiaan mereka yang tertinggi pada polis. Disinilah letak akar nasionalisme yang kemudian mewarnai corak bangsa-bangsa modern dewasa ini.

Kosmopolitanisme
Pada akhir abad ke-empat sebelum masehi, muncullah Alexander Agung atau Iskandar Zulkarnain yang memimpikan dan mempertaruhkan segalanya untuk mewujudkan suatu imperium yang meliputi seluruh dunia. Di bawah pengaruh cita-cita orang Makedonia ini, para filsuf Stoa Yunani mengembakan suatu konsep yang dikenal sebagai konsep kosmopolitanisme. Konsep ini mengajarkan bahwa tanah air umat manusia adalah seluruh muka bumi ini (cosmos). Dengan kata lain, kosmopolitanisme berpendapat bahwa setiap manusia adalah warga dunia.



Kosmopolitanisme mencapai puncak kejayaannya bersamaan dengan berkembangnya Kekaisaran Roma. Orang-orang Roma berhasil mengubah konsep polis model Yunani menjadi suatu imperium yang meliputi seluruh dunia yang dikenal pada waktu itu. Mereka mengorganisasi “dunia” berdasarkan hukum dan peradaban yang sama. Selanjutnya, sewaktu Kekaisaran Roma mengalami kemunduran, posisinya sebagai pendukung kosmopolitanisme ini digantikan oleh Gereja Katolik, yang boleh dikatakan sebagai “ahli waris” Kekaisaran Roma itu. Kondisi ini tetap berlangsung sampai sekitar abad ke-empat belas.

Renaissance dan Reformasi Gereja (Protestanisme)
Pada abad ke-empat belas muncul dua revolusi kebudayaan yang terkenal dengan sebutan Renaissance dan Reformasi. Melalui Renaissance, karya-karya Yunani Purba dan Ibrani Purba dipelajari kembali dalam semangat yang baru. Awal nasionalisme dimulai. Mula-mula Nicollo Macchiavelli (1446-1527) menyatakan ketidaksetujuannya adengan konsep kosmopolitanisme. Melalui bukunya Il Principe, ia berpendapat bahwa perlu ada seorang yang kuat untuk membebaskan Italia dari bangsa-bangsa barbar (bangsa non-Italia). Ia mendambakan suatu Italia yang bebas dari kekuasaan agama dan moral, serta menempatkan kekuasaan negara di tempat yang tertinggi.



Reformasi memunculkan protestanisme. Fenomena ini memperkuat konsep nasionalisme, mengingat bahwa protestanisme senantiasa mencoba untuk melepaskan diri dari ikatan Gereja (Katolik) Universal. Muncullah gereja-gereja setempat (national churches). Usahanya untuk mengutamakan pendalaman Kitab Suci dan mendengarkan khotbah sebagai pusat ibadatnya memperkuat bahasa-bahasa setempat (national languages). Bahasa latin yang merupakan bahasa resmi Gereja Katolik tidak lagi dipergunakan dalam peribadatan Protestan. Adanya national churches dan national languages inilah yang mendorong berkembangnya semangat nasionalisme itu.

Merkantilisme
Konsep nasionalisme ini juga diperkuat oleh sebuah konsep dagang yang dikenal dengan sebutan merkantilisme. Konsep ini menyatakan bahwa setiap penguasa (landlord) di Eropa harus menimbun kekayaan sebanyak-banyaknya guna membiayai suatu pasukan yang kuat.


Salah satu usaha yang mereka lakukan adalah mengirim armada-armada dagang ke seluruh penjuru dunia. Di rantau inilah para awak kapal dan para pedagang merasa senasib dan seasal (setanah air). Mereka bertemu dengan orang-orang yang berbeda, yang tidak sebangsa dengan mereka.

Common Destiny, Cultural Homogenity and A Given Territory
Namun demikian, negara modern atau negara kebangsaan yang pertama muncul pada tahun 1775 di kawasan Amerika Utara dalam bentuk negara kebangsaan Amerika Serikat. Kaum koloni di Amerika Utara ini memberontak dan melepaskan diri dari penjajahan Inggris. Bangsa yang baru merdeka ini jelas tidak mungkin mengikat diri berdasarkan ikatan-ikatan tradisional yang ada pada waktu itu di Eropa. Persamaan keturunan dan persamaan agama jelas tidak dapat dijadikan dasar kebangsaan. Demikian pula halnya dengan persamaan bahasa dan latar belakang asal-usul. Maka muncullah konsep yang dulu pernah dikembangkan oleh bangsa Yunani Purba dan Ibrani Purba. Berdasarkan serjarah serta usaha atau perjuangan bersama (common destiny) mereka membina dan mengembangkan peradaban bersama (cultural homogenity) di atas tanah air yang sama (a given territory).

Konsep nasionalisme yang muncul di Amerika Serikat ini kemudian dibawa menyebrangi Atlantik. Dimulai dengan Revolusi Prancis serta diilhami oleh The Glorius Revolution di Inggris, maka menjalarlah konsep nasionalisme ke seluruh kawasan Eropa pada abad ke-tujuh belas. Bahkan pada tahun selanjutnya, konsep ini mewarnai sejarah Amerika Latin, Asia, dan Afrika. Muncullah bangsa-bangsa modern (nations) di seluruh dunia. Bangsa-bangsa ini hidup dan menyelenggarakan negara-negara modern dengan ciri-ciri pokok sebagai berikut: cultural homogeneity, common destiny, dan a given territory seperti tersebut di atas.

Bahasa dan Agama dalam Nasionalisme
Selain ciri-ciri pokok itu, ada beberapa faktor lain yang terkadang ikut memperkuat semangat nasionalisme. Seperti faktor bahasa bagi bangsa Indonesia, yang merupakan unsur pemersatu yang amat menentukan. Sulit dbayangkan apa jadinya kesatuan nasional Indonesia tanpa kehadiran bahasa Indonesia. Ada banyak contoh betapa rawannya kesatuan nasional suatu bangsa karena bahasa. Kanada dengan masalah Quebec-nya atau Swiss dengan Italia Irridenta-nya merupakan contoh klasik dalam hal ini.


Di samping itu faktor agama dan ras sering pula dicoba untuk dijadikan faktor identitas nasional suatu bangsa atau negara. Akan tetapi hal ini justru lebih banyak menimbulkan pelbagai masalah yang amat pelik. Masalah Irlandia Utara dapat dijadikan contoh betapa faktor agama justru menyebabkan pertumpahan dasar yang berkepanjangan. Lebanon merupakan contoh yang lain. Di negara ini faktor agama merupakan faktor pemecah belah kesatuan nasionalnya. Sementara itu, kasus Afrika Selatan, Yugoslavia, Sri Langka ataupun Myanmar merupakan bukti betapa faktor etnik justru banyak menimbulkan banyak ketidakadilan bagi warganya.

Masalah hak asasi manusia akan menjadi masalah yang prinsipal dan laten di negara agama dan negara rasial. Sebab negara-negara itu akan memunculkan warga negara kelas satu dan warga negara kelas dua. Hak-hak warga negara kelas dua secara konstitusional akan tidak sama dan lebih terbatas dibandingkan warga negara yang seagama dengan agama resmi negara, atau yang berasal dari etnik “resmi”. Sebenarnya dalam negara agama sering kali teradi proses yang bahkan merendahkan martabat agama itu sendiri. Agama disini pada akhirnya hanya dipergunakan sebagai alat belaka, hanya untuk mempersatukan negara. (alvi)


Muara Enim, Mei 2014
M. Alvi Syahrin

WARGA NEGARA DAN KAULANEGARA

Istilah warga negara merupakan terjemahan dari istilah Belanda, yaitu staatsburger. Sedangkan istilah Inggris untuk pengertian yang sama adalah citizen, dan istilah Prancis-nya adalah citoyen. Istilah dalam bahasa Inggris dan Prancis itu cukup menarik, karena arti harfiah keduanya adalah warga kota. Ini tentu tidak terlepas dari pengaruh konsep polis pada masa Yunani Purba. Tidak mengherankan, mengingat bahwa konsep negara modern atau negara kebangsaan (nation-state) dewasa ini, yang dipelopori oleh Amerika Serikat dan Prancis pada abad XVIII, mengacu pada konsep polis Yunani Purba itu. Polis mempunyai warga yang disebut warga polis atau warga kota atau citizen atau citoyen. Istilah ini kemudian disempurnakan dalam bahasa Belanda (dan Jerman) menjadi staatsburger atau warga negara.


Selain itu, dalam bahasa Indonesia dikenal pula istilah kaulanegara. Istilah kaula yang berasal dari bahasa jawa ini, berdasarkan peraturan perundang-undangan Hindia Belanda mempunyai pengertian yang sepadan dengan istilah Belanda, yaitu onderdaan. Dalam peraturan perundang-undangan Hindia Belanda, khususnya Wet 10 Februari 1910, istilah onderdaan ditujukan pada warga Belanda di Hindia Belanda, yang merupakan salah satu wilayah jajahan Kerajaan Belanda. Jadi, dapat dikatakan bahwa onderdaan atau kaulanegara merupakan suatu konsep yang kurang lebih identik dengan pengertian semiwarga negara. Meskipun demikian, B.P Paulus (1983) menerangkan bahwa istilah onderdaan atau kaulanegara atau subject (Inggris) atau sujet (Prancis) menunjuk pada ikatan antara seorang warga negara dan negaranya yang berbentuk kerajaan. (alvi)


Muara Enim, Mei 2014
M. Alvi Syahrin