Monday, August 25, 2014

NOMENKLATUR KEWENANGAN PENGAWASAN DAN PENINDAKAN KEIMIGRASIAN DI DAERAH, APAKAH PERLU DIPISAH?

Prolog:
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian ditentukan bahwa keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar Wilayah Indonesia serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegakya kedaulatan negara. Fungsi keimigrasian Indonesia dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi sebagai unsur pelaksana tugas dan fungsi Kementerian Hukum dan HAM di bidang keimigrasian (vide Pasal 1 angka 6). Fungsi keimigrasian dimaksud adalah bagian dari urusan pemerintahan negara dalam memberikan pelayanan keimigrasian, penegakan hukum, keamanan negara, dan fasilitator pembangunan kesejahteraan masyarakat.

Sebagai institusi  penjaga pintu gerbang negara yang berwibawa (bhumi pura wira wibawa), Imigrasi tentu berkewajiban untuk turut serta dalam menjaga kedaulatan negara. Sebagai pelaksana tugas dan fungsi penegakan hukum dan pengamanan negara, maka pada tataran pusat dibentuklah Direktorat Intelijen Keimigrasian dan Direktorat Penyidikan dan Penindakan Keimigrasian. Sedangkan pada tataran daerah, maka dibentuk Bidang Intelijen, Penindakan, dan Sistem Informasi Keimigrasian (Divisi Keimigrasian Kantor Wilayah) dan Bidang Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian serta Seksi Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian (Unit Pelaksana Teknis).

Berikut struktur organisasi yang dimaksud:


 Struktur Organisasi Kantor Imigrasi Klas I Khusus



 Struktur Organisasi Kantor Imigrasi Klas I 


Struktur Organisasi Kantor Imigrasi Klas II



Struktur Organisasi Kantor Imigrasi Klas III


Struktur Organisasi Divisi Keimigrasian Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM RI


NB: Untuk gambar yang lebih jelas silakan klik Strukutur Organisasi Direktorat Jendral Imigrasi.

Urgensi Permasalahan:
Diskursus yang mengemuka adalah terkait dengan eksistensi kewenangan pengawasan dan penindakan keimigrasian pada level daerah (Divisi Keimigrasian Kantor Wilayah dan Unit Pelaksana Teknis) yang hanya dilakukan oleh satu bidang atau seksi saja. Pertanyaannya kemudian apakah struktur organisasi demikian telah mencerminkan aspek pemerintahan yang baik dan benar? Bukankah nomenklatur kewenangan pengawasan dan penindakan keimigrasian harus dipisahkan untuk meminimalisir tindakan koruptif dari Pejabat Imigrasi? Kalau memang harus dipisahkan mengapa sampai saat ini hal tersebut belum dilaksanakan? Untuk lebih jelasnya, mari kita pahami argumentasi yuridis sebagai berikut:

 Uraian Filsafat, Prosedural dan Material:
  • Lord Acton, politikus dari Inggris, menyatakan: “Power tends to corrupt, and abslolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men.” Ungkapan tersebut mengandung makna bahwa kekuasaan yang besar akan cenderung menghasilkan perilaku koruptif yang besar dan pria memiliki kekuasaan besar hampir selalu orang jahat;
  • Terkait dengan fungsi keimigrasian di bidang penegakan hukum, maka urgensi pemisahan kewenangan pada Bidang / Seksi Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian (Bidang / Seksi Wasdakim) di setiap Kantor Imigrasi menjadi suatu keharusan;
  • Mengingat dalam tataran teknis (daerah) terutama di Kantor Imigrasi, tidak dipisahkannya kewenangan pengawasan keimigrasian dan penindakan keimigrasian, tentu akan berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power)[1] oleh Pejabat Imigrasi. Kegiatan pengawasan  keimigrasian yang didukung oleh operasi intelijen merupakan bagian tersendiri, dan harus dipisahkan dengan kewenangan penindakan keimigrasian;
  • Dalam teori pemisahan kewenangan ditentukan perlu adanya pemisahan kewenangan yang dilakukan oleh penyelenggara pemeritahan agar dalam melakukan tindakan administratif tidak terjadi penyalahgunaan wewenang. Oleh karenanya, agar tidak menimbulkan  penyalahgunaan kewenangan oleh Pejabat Imigrasi, maka perlu dilakukan pemisahan kewenangan pada Bidang / Seksi Wasdakim di Kantor Imigrasi;
  • Dalam pengawasan keimigrasian terdapat aspek intelijen keimigrasian yang melakukan fungsi pengumpulan bahan keterangan (pulbaket) yang berguna sebagai data keimigrasian. Lebih lanjut, data keimigrasian yang telah dikumpulkan tersebut dapat dijadikan sebagai bahan penyelidikan, atau apabila ada indikasi pelanggaran administratif / pidana keimigrasian (pro-justitia), maka dapat diteruskan ke tingkat penyidikan dan penindakan keimigrasian. Singkatnya, kegiatan pengawasan berfungsi sebagai pulbaket, sedangkan kegiatan penindakan sebagai eksekutor pulbaket tersebut. Jadi terlihat bahwa alur kerja antara pengawasan dan penindakan keimigrasian merupakan suatu hal yang berbeda, namun memiliki keterkaitan satu sama lain. Sehingga apabila dilakukan oleh satu bidang / seksi, yaitu Bidang / Seksi Wasdakim pada Kantor Imigrasi, maka akan berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang di dalamnya;
  • Pengawasan keimigrasian merupakan kegiatan yang bersifat preventif (pencegahan), sedangkan penindakan keimigrasian bersifat represif. Konsep pengawasan menjadi bagian dari sisi pencegahan, yang berbeda dengan konsep penindakan yang merupakan bagian dari penegakan hukum. Keduanya memiliki kaitan yang erat, tapi bukan berarti harus dilakukan bersama dalam satu Bidang / Seksi Wasdakim di Kantor Imigrasi, yang cenderung menimbulkan perbuatan koruptif;
  • Sejatinya, pemisahan kewenangan antara pengawasan keimigrasian dan penindakan keimigrasian telah dilaksanakan di tingkat pusat (tataran kebijakan). Direktorat Intelijen Keimigrasian melaksanakan fungsi kebijakan keimigrasian di bidang pengawasan (preventif), sedangkan Direktorat Penyidikan dan Penindakan Keimigrasian melaksanakan fungsi kebijakan keimigrasian di bidang penyidikan dan penindakan (represitf). Namun, konsep pemisahan ini tidak diteruskan sampai ke tingkat Kantor Wilayah, dimana pada Divisi Keimigrasian fungsi pengawasan dan penindakan keimigrasian hanya dibawah wewenang Sub-Bidang Intelijen dan Penindakan Keimigrasian. In-konsistensi ini terus berlanjut hingga Kantor Imigrasi yang hanya memiliki Seksi Wasdakim;
  • Layaknya dalam sistem peradilan pidana yang melakukan pemisahan dan proses berjenjang, maka pemisahan kewenangan pengawasan keimigrasian dan penindakan keimigrasian pada Kantor Imigrasi juga perlu dilakukan. Misalnya dalam hal tindak pidana umum, untuk penyelidikan dan penyidikan dilakukan oleh Kepolisian, kemudian penuntutan dilakukan oleh Kejaksaan. Sistem pemisahan kewenangan seperti ini, juga harus diterapkan untuk memisahkan kegaitan pengawasan dan penindakan keimigrasian di Kantor Imigrasi agar tercipta sistem kontrol keseimbangan (check and balances) di antara masing-masing kewenangan;
  • Sebagai perbandingan, dapat dilihat struktur organisasi pemerintah lain seperti Polresta yang memisahkan antara Satuan Intelkam dengan Satuan Reskrim. Begitu juga dengan Kejaksaan Negeri yang memisahkan antara Seksi Intelijen dengan Seksi Tipidum / Tipidsus. Bahkan di KPK ada pemisahan antara Deputi Pencegahan dan Deputi Penindakan;
  • Dalam UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, telah dipisahkan pengaturan tentang pengawasan dan penindakan keimigrasian. Hal ihwal pengawasan keimigrasian diatur dalam Bab VI tentang Pengawasan Keimigrasian, sedangkan menyangkut penyidikan dan penindakan keimigrasian diatur dalam Bab VII tentang Tindakan Administratif Keimigrasian, Bab X tentang Penyidikan, dan Bab XI tentang Ketentuan Pidana. Pembuat undang-undang (wets gever) menyadari bahwa apabila kekuasaan pengawasan dan penyidikan-penindakan keimigrasian dilakukan dalam satu bab pengaturan maka akan berdampak pada pelaksanaan teknis organisasi ke tingkat bawah (daerah). Oleh karena itu pemisahan pengaturan antara pengawasan dan penyidikan-penindakan keimigrasian di tingkat pusat, telah merepresentasi pemisahan kekuasaan di bidang keimigrasian yang sesungguhnya. Namun, hal ini tidak diikuti oleh Kantor Imigrasi yang menggabungkan kedua kewenangan tersebut dalam Bidang / Seksi Wasdakim;
  • Kewenangan untuk melakukan pengawasan dan penindakan sebagaimana yang terjadi di Kantor Imigrasi, tentu rentan dengan perilaku koruptif. Hal ini disebabkan kosentrasi kekuasaan akan berpusat pada satu pihak saja. Seperti yang telah diungkapkan oleh Lord Acton: “Great Men are almost always bad men;
  • Perwujudan Bidang / Seksi Wasdakim pada Kantor Imigrasi, akan menghilangkan konsep kontrol keseimbangan (check and balances) dalam pelaksanaan fungsi keimigrasian secara holistik. Apabila kewenangan yang besar (pengawasan dan penindakan keimigrasian) hanya dilakukan oleh satu seksi, maka berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan oleh Pejabat Imigrasi di dalamnya;
  • Oleh karena itu, pemisahan kewenangan Seksi Wasdakim pada Kantor Imigrasi harus dilakukan dengan segera. Konsep pemisahan yang telah dilakukan pada Unit Eselon I (Direktorat Intelijen Keimigrasian dan Direktorat Penyidikan dan Penindakan Keimigrasian) telah merepresentasikan tata kelola pemerintahan yang benar. Usaha pemisahan ini, pada akhirnya bertujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN sebagaimana tersebut dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaran Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.


BAHAN BACAAN 


Buku-Buku
Philpus M. Hadjon et. al, 2002, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesian Administration Law), Cet-8, Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Philipus, M. Hadjon, Good Governance Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Perspektif Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi, Jurnal Meitokrasi, Volume 1, Nomor 1, Agustus 2002

Peraturan Perundang-Undangan
UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaran Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

Muara Enim, Agustus 2014
M. Alvi Syahrin


[1] Dalam terminologi lain dikenal istilah detournemeint de povoir / excess de povouir, yang berarti penyalahgunaan wewenang.

Tuesday, August 5, 2014

ANALISA YURIDIS RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN TENTANG ORANG ASING PENCARI SUAKA DAN PENGUNGSI (PERSPEKTIF HUKUM KEIMIGRASIAN INDONESIA - UU NO. 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN)

Prolog: Urgensi dan Diskursus
Permasalahan imigran ilegal di Indonesia (mungkin) sudah mencapai puncaknya pada tahun 2014. Menurut data yang dirilis oleh UNHCR per tahun 2014, jumlah imigran ilegal yang tinggal di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) seluruh Indonesia mencapai 8.262 orang. Sementara yang sudah memegang status pengungsi dan bisa tinggal di penampungan sebanyak 2.078 orang. Jumlah pencari suaka di Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2008, pencari suaka ke Indonesia masih berkisar 385 orang, sedangkan tahun 2013 sudah mencapai 8.332 orang. Adapun total imigran ilegal yang berada di wilayah Indonesia sampat bulan Maret 2014 kurang lebih sekitar 10.623 orang yang terdiri dari 7.218 orang pencari suaka dan sisanya 3.405 berstatus pengungsi. Angka tersebut diyakini akan semakin meningkat, mengingat konflik di negara bagian Afrika dan Asia terus berlangsung.

Sejauh ini penanganan imigran ilegal di Indonesia belum dapat dilaksanakan secara maksimal karena terkendala belum adanya instrumen hukum yang dapat dijadikan pedoman dasar bagi instansi terkait, seperti Direktorat Jenderal Imigrasi, TNI, Kepolisian, dan lainnya. Padahal, Pasal 25 UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri telah mengamanatkan bahwa perlu dibentuknya Peraturan Presiden[1]  yang mengatur kebijakan masalah orang asing di luar negeri. Hadirnya "Rancangan Peraturan Presiden tentang Penanganan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi" ini diharapkan mampu menjadi umbrela act terkait dengan penangan imigran ilegal di Indonesia.

Namun, faktanya pembentukan Rancangan Peraturan Presiden tersebut hingga saat ini masih terus berlangsung. Belum ada kesepakatan dari instansi terkait untuk satu kata dalam perumusan aturan tersebut. Selama kurang lebih 15 tahun, perdebatan masih berkutat soal perlu tidaknya dilakukan penanganan terhadap pencari suaka dan pengungsi, serta sejauh mana Indonesia harus turut serta dalam penanganan tersebut. Jangan sampai upaya yang dilakukan, malah akan merugikan Indonesia sebagai negara yang berdaulat. Kepentingan nasional haruslah diutamakan.

Direktorat Jenderal Imigrasi sebagai institusi penjaga pintu gerbang negara yang berwenang melakukan pengaturan terhadap hal ihwal lalu lintas orang yang masuk dan keluar wilayah Indonesia, termasuk di dalamnya pengawasan terhadap orang asing, tentu sangat berkepentingan terhadap Rancangan Perpres ini. Rancangan Perpres yang sedang dirumuskan harus memuat kepentingan dari sisi keimigrasian, mengingat eksodus imigran ilegal (baca: pencari suaka dan pengungsi) ke Indonesia akan selalu meningkat setiap tahunnya.

Rancangan Perpres haruslah berorientasi pada aspek keimigrasian, karena penanganan imigran ilegal akan berkaitan dengan  kedaulatan dan keamanan negara. Oleh karena itu, permasalahan yang harus dijawab saat ini adalah apakah eksistensi Rancangan Perpres tersebut telah sesuai dengan UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian? Lalu, apakah setelah disahkan, Rancangan Perpres tersebut tidak akan memberatkan Direktorat Jenderal Imigrasi selaku otoritas yang berwenang? Mengingat begitu besar dampak yang dihasilkan dari keberlakuan Rancangan Perpres ini kedepannya, maka perlu dilakukan kajian dari sisi akademik dan praktik keimigrasian. Berikut uraian lengkapnya.

Daftar Singkatan:
  • IOM: International Organization for Migration
  • Keppres: Keputusan Presiden
  • Konvensi 1951: Konvensi Genewa 28 Juli 1951 tentang  Status Pengungsi
  • PBB: Perserikatan Bangsa-Bangsa
  • PP: Peraturan Pemerintah
  • Perpres: Peraturan Presiden
  • PP No. 31 Tahun 2013: PP No. 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
  • Protokol 1967: Protokol 31 Januari 1967 tentang Status Pengungsi
  • R-Perpres: Rancangan Peraturan Presiden tentang Penanganan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi
  • Rudenim: Rumah Detensi Imigrasi
  • TAP MPR No. III/MPR/2000: TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan
  • UNHCR: United Nations High Comission for Refugees
  • UU No. 6 Tahun 2011: UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
  • UU No. 12 Tahun 2011: UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
  • UU No. 37 Tahun 1999: UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri
ASPEK FORMIL:
Telaah Kedudukan Keppres (Pasal 25 dan Pasal 27 UU No. 37 Tahun 1999) terhadap Rancangan Peraturan Presiden tentang Penanganan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi:
  • Rancangan Peraturan Presiden tentang Penanganan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi (selanjutnya disebut R-Perpres) merupakan atribusi hukum dari Pasal 25 dan Pasal 27 UU No. 37 Tahun 1999;
  • Adapun maksud Pasal 25 dan Pasal 27 UU 37 Tahun 1999 yang mengamanatkan regulasi kebijakan masalah penangganan pencari suaka dan pengungsi diatur dengan Keppres, karena pada masa itu Keppres masih masuk dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan (baca: TAP MPR No. III/MPR/2000);
  • Setelah disahkannya UU No. 12 Tahun 2011 ditentukan bahwa Kepres tidak lagi termasuk dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Sehingga secara letterlijk, keberadaan R-Perpres telah menyalahi mandat dari Pasal 25 dan Pasal 27 UU No. 37 Tahun 1999;
  • Namun, dalam Pasal 100 UU No. 12 Tahun 2011 ditentukan setiap Keputusan Presiden yang bersifat mengatur yang sudah ada sebelum UU No. 12 Tahun 2011 berlaku, harus dimaknai sebagai peraturan (baca: Peraturan Presiden) sepanjang tidak bertentangan dengan UU No. 12 Tahun 2011. Hal ini dikarenakan kedudukan Kepres yang bersifat mengatur (regeling) dipersamakan dengan Perpres;
  • Perlu dipahami dalam teori perundangan, Perpres merupakan peraturan yang bersifat mengatur (regeling). Sedangkan, isitilah Keppres dibagi dalam dua bentuk, yaitu keputusan yang bersifat mengatur (regeling) dan menetapkan (beschikking). Adapun Keppres yang dimaksud dalam Pasal 25 dan 27 UU No. 37 Tahun 1999 adalah bersifat mengatur (regeling), sehingga pengaturan Keppres tersebut dalam bentuk Perpres adalah benar menurut hukum.
Legal Standing Rancangan Peraturan Presiden tentang Penanganan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi dalam Konsep Teoritis Perundang-Undangan Indonesia:
  • Pembentukan R-Perpres didasarkan atas amanat Pasal 25 dan Pasal 27 UU No. 37 Tahun 1999 yang pada awalnya hanya memberi mandat berupa Keppres;
  • Pasal 25 dan Pasal 27 UU No. 37 Tahun 1999 hanya mengamanatkan regulasi kebijakan penanganan orang asing pencari suaka dan pengungsi hanya dalam bentuk Keppres, bukan Perpres. Tentu secara ilmu perundang-undangan hal ini perlu kajian lebih lanjut;
  • Berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan disebutkan bahwa Peraturan Presiden adalah peraturan perundangan-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah peraturan perundang-perungandan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan;
  • Fungsi Perpres (Maria Farida, 2007: 223) adalah: (i) menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan, (ii) menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Peraturan Pemerintah yang tegas-tegas menyebutnya, dan (iii) menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan lain dalam Peraturan Pemerintah, meskipun tidak tegas-tegas menyebutya;
  • Berdasarkan fungsi tersebut, maka perlu dikritisi dimana posisi R-Perpres? Apakah merupakan aturan atribusi dari UU No. 37 Tahun 1999? Kalau memang benar, apakah undang-undang organik (UU No. 37 Tahun 1999) telah sesuai dengan UU No. 6 Tahun 2011 dan latar belakang sejarah mengapa Indonesia tidak meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967? Ataukah R-Perpres tersebut melaksanakan fungsi pendelegasian dari PP? Tapi PP yang mana?
  • Perlu diperhatikan, fungsi Perpres merupakan fungsi yang berdasarkan pada stufentheorie, dimana suatu peraturan yang di bawah itu selalu berlaku, bersumber, dan bedasar pada peraturan yang lebih tinggi di atasnya;
  • Lalu kemudian, apakah keberadaan R-Perpres dapat dikatakan sah menurut hukum? Bagaimana legal standing-nya?
  • Dalam bukunya yang berjudul “Het wetsbegrip en beginselen van behoorlijke regelgeving”, I.C. van der Vlies menjelaskan pembentukan peraturan hukum (baca: Perpres) yang baik secara formal, salah satunya harus memperhatikan asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid). Maksudnya apakah setelah nantinya disahkan, norma dalam R-Perpres dapat dilaksanakan dan diimplementasikan dengan baik serta tidak bertentangan dengan aturan hukum lain, seperti UU No. 6 Tahun 2011;
  • Lebih lanjut pada bagian menimbang (konsiderans) R-Perpres hanya disebutkan satu point saja. Seharusnya, pada bagian tersebut diuraikan juga perihal aspek filosofis, yuridis, dan sosiologis urgensi dari dibentuknya R-Perpres tersebut. Keberadaan pasal 25 dan 27 UU No. 37 Tahun 1999 sebagai pasal organik lahirnya R-Perpres belum cukup representatif. Lagipula, UU No. 37 Tahun 1999 bukan merupakan undang-undang khusus yang mengatur penanganan pencari suaka dan pengungsi, sehingga perlu penjabaran lebih lanjut pada bagian menimbang (konsiderans).
ASPEK MATERIIL:
Pandangan Umum Materi Muatan Rancangan Peraturan Presiden tentang Penanganan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi:
  • Perlu dipahami bahwa UU No. 37 Tahun 1999 merupakan produk legislasi yang lahir dari zaman reformasi. Pada masa ini, Presiden B.J. Habibie sangat “royal” dalam mengeluarkan pelbagai peraturan perundang-undangan. Sehingga yang dikejar hanya soal kuantitasnya saja. Hal ini  berdampak pada harmonisasi antar undang-undang. Inkonsisten perundang-undangan demikian, akan menimbulkan pertentangan sampai level ke teknis. Misalnya lahirnya Pasal 25 dan Pasal 27 UU No. 37 Tahun 1999 yang tidak melihat sejarah penolakan ratifikasi Indonesia terhadap Konvensi 1951 dan Protokol 1967 dan UU No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian. Sehingga berakibat R-Perpres yang merupakan atribusi aturan dari UU No. 37 Tahun 1999 bertentangan dengan UU No. 6 Tahun 2011 (menggantikan UU No. 9 Tahun 1992);
  • Pasal 13 UU No. 12 Tahun 2011 menyebutkan materi muatan Perpres berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan PP, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Katakanlah materi muatan R-Perpres telah sesuai dan melaksanakan mandat dari Pasal 25 dan Pasal 27 UU No. 37 Tahun 1999, kemudian disahkan menjadi Perpres. Namun, apakah ada yang menjamin, kalau Perpres tersebut tidak bertentangan dengan UU No. 6 Tahun 2011?
  • Begitu juga dengan dengan asas materiil, I.C. van der Vlies dalam bukunya yang berjudul “Het wetsbegrip en beginselen van behoorlijke regelgeving”, menjelaskan pembentukan peraturan hukum yang baik harus memenuhi asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van duidelijke terminologi en duidelijke systematiek). Pada pembentukan R-Perpres, asas ini belum muncul. Beberapa pasal masih saling bertentangan baik itu dalam R-Perpres ataupun dengan UU No. 6 Tahun 2011;
  • Dalam rumusan norma yang terkandung dalam UU No. 6 Tahun 2011 tidak mengenal istilah pencari suaka ataupun pengungsi. Sehingga berlakunya Perpres tersebut akan menimbulkan mis-interpretasi dan permasalahan teknis implementasi, khususnya bagi tupoksi Imigrasi Indonesia;
  • Keberadaan R-Perpres akan mengabaikan asas-asas hukum keimigrasian yang terdapat dalam UU No. 6 Tahun 2011, misalnya terkait dengan masuk dan keluar wilayah Indonesia (Bagian III UU No. 6 Tahun 2011);
  • Indonesia sampai saat ini belum meratifikasi Konvensi 1951 berserta Protokol 1967. Konsekuensi yuridisnya, maka Indonesia sama sekali tidak dibebani kewajiban apapun (hukum, sosial, dan politik) dalam menangani masalah pencari suaka dan pengungsi. Sehingga menjadi aneh apabila R-Perpres ini malah mengatur hal yang jelas-jelas tidak Indonesia ratifikasi. Lagipula UU No. 6 Tahun 2011 pun tidak mengatur hal tersebut. Pada akhirnya, R-Perpres tersebut malah akan membebani Indonesia sebagai negara yang tidak meratifikasi konvensi tersebut;
  • Menjadi suatu keanehan, disaat Australia sebagai negara yang meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 kini menyatakan perang terhadap datangnya para pencari suaka dan pengungsi. Indonesia yang tidak meratifikasi malah dibebani tanggung jawab besar yang diatur dalam R-Perpres;
  • Materi muatan R-Perpres jelas sekali bertendensi akan mengkibiri kedaulatan negara Indonesia. Apakah ada yang lebih tinggi dari kedaulatan suatu negara? Apakah mandat PBB lantas membuat Indonesia harus tunduk pada Konvensi 1951?
  • Keberadaan R-Perpres secara tidak langsung akan melecehkan wibawa Imigrasi Indonesia. Adanya campur tangan pihak asing (baca: UNHCR dan IOM) dalam penanganan pencari suaka dan pengungsi di Indonesia sedikit banyak akan berdampak pada indepedensi Imigrasi Indonesia. Sehingga dengan akan disahkannya R-Perpres ini maka fungsi keimigrasian Indonesia perlu dipertanyakan. Apakah masih sebagai otoritas penjaga pintu gerbang negara atau tidak;
  • Imigrasi Indonesia yang tunduk pada UU No.  6 Tahun 2011, malah akan tunduk pada R-Perpres yang tidak jelas landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis-nya;
  • Alasan HAM dan kemanusiaan yang menjadi dasar pembentukan R-Perpres sangat tidak berdasar. Faktanya, masih banyak warga negara Indonesia sendiri yang masih harus dipenuhi HAM nya;
  • Seharusnya dalam pembentukan R-Perpres harus menempatkan Imigrasi sebagai leading sector yang akan menjadi supervisi dari beberapa lembaga terkait. Hal ini bertujuan agar asas dan norma dalam UU No. 6 Tahun 2011 tidak ditabrak oleh R-Perpres;
  • Pasal 1 angka 1 UU No. 6 Tahun 2011 menentukan bahwa keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang masuk dan keluar serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan negara. Pasal 1 angka 3 menyebutkan fungsi keimigrasian adalah bagian dari urusan pemerintahan negara dalam memberikan pelayanan keimigrasian, penegakan hukum, keamanan negara, dan fasilitator pembangunan kesejahteraan masyarakat. Dari rumusan norma tersebut, maka menjadi suatu kewajiban Imigrasi Indonesia untuk menjaga keutuhan dan kedaulatan negara dari keberadaan orang asing yang dianggap merugikan Indonesia. Lantas, apakah R-Perpres telah sesuai dengan ruh imigrasi Indonesia?
  • Imigrasi Indonesia memiliki fungsi sebagai fasilitator pembangunan negara. Orang asing yang datang ke Indonesia haruslah memiliki manfaat bagi pembangunan negara. Namun, bila R-Perpres ini disahkan maka fungsi tersebut akan absurd, mengingat para pencari suaka dan pengungsi yang masuk ke Indonesia sama sekali tidak memberikan sumbangsih kepada negara Indonesia;
  • Sebelum adanya produk hukum yang melegitimasi kebijakan penanganan pencari suaka dan pengungsi, Indonesia sudah dipaksa untuk melibatkan diri dalam permasalahan pencari suaka dan pengungsi. Indonesia dibebankan kewajiban-kewajiban oleh pihak asing. Apalagi nantinya R-Perpres Ini berhasil disahkan, maka jelas posisi Indonesia akan semakin terdesak;
  • Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi penduduk terbesar di dunia, setelah China, Amerika Serikat, dan India. Apabila R-Perpres ini disahkan, maka Indonesia akan kedatangan eksodus pencari suaka dan pengungsi secara besar-besaran. Hal ini tentu akan berdampak pada kondisi sosial politik dan ekonomi bangsa;
  • Sejatinya, Indonesia menganut asas kebijakan selektif (selective policy principle). Dengan adanya R-Perpres ini maka asas ini akan diabaikan. Imigrasi Indonesia tidak dapat lagi melakukan seleksi terhadap orang asing yang masuk ke wilayah Indonesia. R-Perpres mengisyaratkan setiap pencari suaka dan pengungsi yang masuk ke wilayah Indonesia haruslah ditangani dan dipenuhi HAM nya oleh otoritas terkait;
  • Apabila R-Perpres diberlakukan, maka akan membuat tujuan para pencari suaka yang pada awalnya hendak ke Australia, kini akan beralih ke Indonesia. Apabila ini dibiarkan dan Indonesia tidak dapat bersikap tegas, maka akan menimbulkan permasalahan besar. Para pencari suaka akan menjadikan Indonesia sebagai negara tujuan mereka. Cepat atau lambat, eksodus pencari suaka secara besar-besaran akan dialami Indonesia;
  • Kehadiran R-Perpres akan menimbulkan kesan bahwa Indonesia pro terhadap masalah HAM para pencari suaka. Tapi disadari atau tidak, Indonesia telah dikorbankan oleh mereka (baca: UNHCR dan IOM) untuk memuluskan langkah Australia yang tidak menginginkan kehadiran pencari suaka;
  • Indonesia bukan negara yang meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967. Namun, adanya fakta dibentuknya R-Perpres ini seolah-olah membuat Indonesia menundukkan diri kepada kewajiban yang diamanatkan oleh Konvensi tersebut. Lalu dimana letak wibawa Indonesia sebagai negara berdaulat? Seharusnya dalam R-Perpres tersebut, perlu dipahami Indonesia harus bersikap tegas dan konsisten atas apa yang telah disepakati untuk tidak meratifikasi Konvensi tersebut;
  • Sebagai negara pertama yang menjadi jalur para pencari suaka yang hendak ke Australia, Indonesia harusnya dapat membuat kebijakan yang ketat soal penanganan pencari suaka. Langkah untuk tidak meratifikasi konvensi dilanjutkan dengan rumusan UU No. 6 Tahun 2011 yang tidak mengatur soal keberadaan pencari suaka adalah sudah tepat. Oleh karenanya, keberadaan R-Perpres tidak sesuai dengan semangat Imigrasi untuk menangani mereka para pencari suaka ini;
  • Australia melalui Perdana Menteri, Tony Abbot, telah menyatakan bahwa menyatakan perang terhadap datangnya pencari suaka. Bahkan, persoalan people smuggling menjadi komoditas dalam kampanye Perdana Menteri, Tony Abbot, beberapa waktu lalu. Apabila Australia sebagai negara hilir (eksodus pencari suaka) saja telah mencanangkan aksi pencegahan (bahkan dalam bahasa lain, perang) maka Indonesia sebagai negara hulu harus menerapkan kebijakannya yang lebih ketat dari Australia. Tapi sejauh ini progaram aksi hanya sebatas penanggulangan semata;
  • Adanya campur tangan dari UNHCR dan IOM dalam menentukan status pencari suaka tentu akan berdampak pada independensi dan integritas lembaga Imigrasi. Dalam UU No. 6 Tahun 2011, hanya dikenal orang asing legal ataupun ilegal, bukan pencari suaka;
  • Dengan adanya R-Perpres ini maka akan terjadi peralihan tanggung jawab dari Australia kepada Indonesia terkait dengan penanganan pencari suaka dan pengungsi. Indonesia sengaja dibebankan tanggung jawab kemanusiaan melalui produk legislasi R-Perpres;
  • Tidak semua para pencari suaka dan pengungsi merupakan korban politik atau perang dari negara asalnya. Banyak di antara mereka membawa atau ditunggangi motif tertentu sebut saja bandar narkoba, agen teroris, pelaku perdagangan manusia, dan sebagainya yang membawa dampak buruk bagi Indonesia. Namun dengan adanya rumusan R-Perpres ini, maka pencari suaka dan pengungsi tersebut akan mudah masuk ke Indonesia tanpa harus dikategorikan sebagai imigran ilegal;
  • Belum lagi dampak ekonomi dan sosial yang terjadi apabila para pencari suaka dan pengungsi bercampur dengan masyarakat Indonesia. Perbedaan bahasa dan budaya jelas akan mempengaruhi. Adanya perlakuan yang berbeda bagi pencari suaka jelas akan menimbulkan kecemburuan sosial dari kalangan masyarakat sekitar. Misalnya terkait dengan pengaruh agama yang dibawa oleh para pencari suaka yang berasal dari Afghanstan. Mayoritas mereka beragama Islam Syiah, yang berbeda dengan umat Islam Indonesia yang menganut Islam Suni. Selanjutnya terkait dengan kewarganegaraan ganda anak hasil pernikahan pencari suaka dan warga negara Indonesia. Belum lagi budaya pencari suaka yang keras (daerah konflik), yang tentu berbeda dengan budaya ramah tamah Indonesia. Kondisi seperti inilah yang akan merugikan Indonesia ke depannya;
  • Permasalahan lain yang dihadapi dengan akan disahkannya R-Perpres ini, akan menimbulkan dampak sosial yang buruk bagi masyarakat. Misalnya keresahan masyarakat akan tingkah laku para pencari suaka yang menghamili gadis di daerah sekitar, melakukan keributan kepada sesama warga (Mataram dan Bogor). Kasus di Jogja misalnya, warga hanya menerima 100 (seratus) pencari suaka untuk tinggal di daerah tersebut. Dampak sosial seperti ini harus diperhatikan dalam membentuk norma R-Perpres;
  • Singkatnya, kehadiran R-Perpres akan semakin mempertegas posisi Indonesia sebagai negara tujuan pencari suaka dan pengungsi. Di saat Australia menerapkan kebijakan kontra terhadap kedatangan pencari suaka dan pengungsi, maka Indonesia dibebankan tanggung jawab layaknya meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967;
  • Keberatan pihak Imigrasi Indonesia atas dibentuknya R-Perpres ini tentu saja beralasan. Berdasarkan data intersepsi bulan Agustus 2013, ada 38 kasus (pencari suaka) ditemukan di berbagai wilayah Indonesia dengan total 958 orang. Jumlah tersebut tentu menambah angka yang sudah ada saat ini berkisar 3.800 orang, baik itu yang ditempatkan di Rumah Detensi Imigrasi maupun tempat-tempat penampungan yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi (Ditjen Imigrasi). Angka tersebut bukanlah angka pasti, sebab masih ada banyak imigran ilegal yang luput dari pengawasan Ditjen Imigrasi. Mereka tinggal menyebar dengan menyewa rumah-rumah warga atau tinggal di hotel bahkan apartemen di beberapa kota di Indonesia.
  • Sudah sejak lama, Indonesia menghadapi masalah dengan orang-orang asing yang mengaku sebagai pencari suaka, untuk diproses statusnya sebagai pengungsi. Meski bukan sebagai negara tujuan, Indonesia sering dipakai sebagai negara transit karena posisi geografis Indonesia berada pada jalur menuju perlintasan negara tujuan suaka, yaitu Australia. Dari Indonesia, mereka berniat masuk ke negara tujuan suaka, rata-rara mereka berniat ke Australia, baik secara legal ataupun ilegal, dengan menggunakan status pengungsi yang dikeluarkan oleh UNHCR mewakili pemerintah Indonesia. Kehadiran R-Perpres nantinya sedikit banyak akan menjadikan Indonesia sebagai negara tujuan pencari suaka, selain Australia;
  • Baru-baru ini Pemerintah Australia mengeluarkan kebijakan baru terkait masalah pencari suaka yang masuk negaranya. Australia melibatkan Pemerintah Papua Nugini dalam sebuah kesepakatan bersama yang ditanda tangani tanggal 19 Juli 2013. Kebijakan tersebut memuat bahwa pencari suaka yang tiba di Australia dengan menggunakan perahu, akan langsung dikirim ke Papua Nugini, sebagai negara ketiga. Mereka akan diproses untuk ditempatkan (secara permanen) di Papua Nugini, bukan di Australia. Hal ini tentu berpengaruh terhadap situsasi di Indonesia. Indonesia akan menjadi negara tujuan pencari suaka dan pengungsi. Kebijakan yang dilakukan harus kontra terhadap kebijakan Australia, bukan memberikan kelonggarn atas hadirnya pencari suaka. R-Perpres tidak akan menjadi solusi atas penanganan pencari suaka dan pengungsi, tetapi malah akan menimbulkan masalah baru di dalam negeri.
Analisa Yurudis Terhadap Ketentuan Hukum dalam Rancangan Peraturan Presiden tentang Penanganan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi:
  • Pasal 1 angka 8 R-Perpres menyebutkan Rumah Detensi Imigrasi adalah unit pelaksana teknis yang menjalankan fungsi keimigrasian sebagai tempat penampungan sementara bagi orang asing yang dikenai tindakan administratif keimigrasian. Terminologi ini selaras dengan apa yang diatur dalam Pasal 1 angka 33 UU No. 6 Tahun 2011. Namun, terminologi Rudenim dalam R-Perpres tidak merefleksikan isi dari R-Perpres itu sendiri, bahkan bertentangan. Sedangkan terminonolgi Rudenim yang dipahami dalam UU No. 6 Tahun 2011 bukan untuk konteks para pencari suaka atau pengungsi, tetapi kepada mereka para orang asing yang telah melanggar ketentuan administratif keimigrasian dalam UU No. 6 Tahun 2011. Sedangkan UU No. 6 Tahun 2011 sendiri tidak mengatur soal eksistensi pencari suaka. Maka pada dasarnya, terminologi Rudenim yang dipakai dalam R-Perpres pun telalu dipaksakan;
  • Beberapa Rudenim di Indonesia telah kelebihan kapasitas (over capacity). Namun hal itu terjadi bukan karena banyaknya orang asing yang ditempatkan sementara untuk menunggu dilakukan tindakan administratif keimigrasian, tetapi lebih kepada mereka para pencari suaka dan pengungsi. Dapat dibayangkan apabila R-Perpres tersebut berhasil disahkan, maka harus berapa banyak lagi Rudenim yang akan mengalami kelebihan kapasitas. Sehingga pada akhirnya, Rudenim akan bergeser fungsinya sebagai tempat penampungan pencari suaka saja;
  • Sejatinya Indonesia belum siap untuk menangani masalah orang asing pencari suaka dan pengungsi, mengingat kondisi sosial dan politik negara yang belum stabil. Oleh karena itu,  penanganannya harus strcit dan dikembalikan pada aturan yang terkandung dalam UU No. 6 Tahun 2011, bukan malah melibatkan diri dalam penanganan pencari suaka yang jelas-jelas bertentangan dengan prinsip hukum keimigrasian Indonesia;
  • Terminologi Tempat Penampungan, Rejected Person, Non-Refoulment, Durable Solutions, dan Consular Notofication sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 merupakan istiah-istilah yang dipakai dalam Konvensi 1951 tentang Pengungsi dan Protokol 1967. Terlihat jelas ada upaya dari pihak luar untuk melibatkan Indonesia tunduk pada aturan-aturan konvensi. Padahal dalam UU No. 6 Tahun 2011 pun tidak mengatur hal demikian. Lantas apakah R-Perpres dapat disebut sebagai penyelundupan hukum;
  • Begitu juga dengan terminologi Tempat Penampungan (Pasal 1 angka 9 R-Perpres). Sejauh ini sudah ada Rudenim yang menjadi tempat penampungan sementara bagi orang asing yang akan dilakukan tindakan administratif keimigrasian. Lalu kenapa harus dibuat istilah Tempat Penampungan? Apakah ini hanya untuk mengakomodir kepentingan pencari suaka saja? Apabila pencari suaka dan pengungsi ditempatkan pada Rudenim, maka akan bertentangan  dengan tujuan Rudenim sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1 angka 33 UU No. 6 Tahun 2011;
  • Pasal 12 R-Perpres menentukan pencari suaka ditempatkan di Rumah Detensi Imigrasi, atau di tempat lain yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah dengan beberapa alasan. Padahal telah jelas disebutkan dalam Pasal 1 angka 8 R-Perpres dan Pasal 1 angka 33 UU No. 6 Tahun 2011 bahwa Rudenim adalah tempat penampungan sementara bagi orang asing yang dikenai tindakan administratif keimigrasian. Norma dalam satu produk hukum saja (R-Perpres) telah bertentangan satu sama lain, apalagi dengan UU No. 6 Tahun 2011 yang notabane-nya sebagai umbrella act hal ihwal keimigrasian di Indonesia;
  • Lebih lanjut dalam Pasal 12 R-Perpres tidak disebutkan mengenai jangka waktu bagi orang asing pencari suaka selama ditempatkan di Rudenim. Padahal dalam Pasal 1 angka 33 jo. (juncto) Pasal 85 ayat (2) UU No. 6 Tahun 2011 disebutkan bahwa Rudenim adalah tempat penampungan sementara orang asing yang akan dilakukan tindakan administratif keimigrasian dan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun. Namun, dalam prakteknya banyak pencari suaka yang telah tinggal di Rudenim lebih dari 10 (sepuluh) tahun. Jelas bahwa selain bertentangan dengan aturan UU No. 6 Tahun 2011, Pasal 12 R-Perpres juga tidak menjamin kepastian hukum;
  • Terkait dengan Pasal 12 R-Perpres, bagaimana apabila para pencari suaka telah diberikan status pengungsi oleh UNHCR, tapi tidak ada negara (pihak ketiga) yang mau menerima? Kasus ini pernah dialami oleh pencari suaka yang berasarl dari etnis Rohingya (Myanmar). Lantas, apakah mereka selamanya harus tinggal di Indonesia? Melihat dialektika tersebut, dapat saja Indonesia menjadi negara tujuan pencari suaka. Hal ini mengingat praktek di lapangan, sangat tidak mudah untuk menempatkan pencari suaka yang telah mendapat status pengungsi ke negara pihak ketiga;
  • Pasal 13 R-Perpres yang mengatur soal pemberian perawatan dan pelayanan kesehatan bagi para pencari suaka dan pengungsi harus dilakukan secara proposional. Masyarakat Indonesia masih banyak yang belum mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai. Jangan sampai pelayanan kesehatan kepada pencari suaka malah menimbulkan kecemburuan sosial di masyarakat;
  • Pasal 14 R-Perpres menentukan pencari suaka dan pengungsi anak berhak mendapatkan akses pendidikan. Pasal ini tentu akan membebani Indonesia secara materi dan imateri. Disaat anak-anak Indonesia masih minim mendapatkan akes pendidikan, dengan adanya R-Perpres ini maka akan ada kewajiban serupa bagi Indonesia untuk memperlakukan pencari suaka dan pengungsi anak dengan anak Indonesia;
  • Pasal 15 R-Perpres yang mengatur soal pemberian kartu pengawasan berupa kartu identitas khusus terhadap pencari suaka dan pengungsi akan tumpang tindih dengan UU No. 6 Tahun 2011 yang hanya mengenal buku pengawasan orang asing (buku biru) bagi orang asing (legal) yang berada di Indonesia;
  • Pasal 16 R-Perpres dapat dikatakan sebagai klimaks dari pertentangan norma dengan prinsip hukum dalam UU No. 6 Tahun 2011. Dimana Imigrasi Indonesia tidak dapat melakukan tindakan administratif ataupun hukum keimigrasian apapun kepada mereka para pencari suaka dan pengungsi. Pasal 16 huruf a misalnya, Indonesia tidak mendeportasi orang asing pencari suaka dan pengungsi ke tempat di mana hidup atau kebebasannya mungkin terancam. Selanjutnya Pasal 16 huruf b yang menyebutkan Indonesia tidak melakukan tindakan hukum dan/atau tindakan keimigrasian kepada orang asing pencari suaka dan pengungsi semata-mata atas tindakannya masuk ke atau berada di wilayah hukum Indonesia secara tidak sah. Secara yurudis formal, ketentuan Pasal 16 huruf a dan b dalam R-Perpres akan bertentangan dengan Bab VII tentang Tindakan Administratif Keimigrasian dan Pasal 113 UU No. 6 Tahun 2011. Sebagai aturan hukum umum, keberlakuan UU No. 6 Tahun 2011 tidak dapat dikesampingkan, bahkan oleh R-Perpres sekalipun;
  • Terkait dengan masalah pendanaan dalam pelaksanaan R-Perpres yang akan dibebankan kepada APBN dan/atau APBD sebagaimana ditentukan dalam Pasal 17 R-Perpres, pasti akan menimbulkan reaksi dari masyarakat. Misalnya dalam Pasal 11 ayat (3) huruf b, dimana semua aktivitas koordinasi yang dilakukan oleh UNHCR, IOM dan pihak-pihak lain, terkait dengan penyediaan fasilitas akomodasi, transportasi, dan perawatan, akan dibebankan melalui APBN dan/atau APBD. Capaian kinerja pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat masih jauh dari harapan. Apalagi sampai membebankan penanganan orang asing pencari suaka dan pengungsi melalui APBN dan/atau APBD;
  • Masalah biaya hidup dan tempat tinggal  para imigran ilegal juga menjadi sorotan. Para pencari suaka mendapat tunjangan biaya hidup sekitar 1,2 juta rupiah per orang, per bulan. Bila satu keluarga terdiri dari sepasang suami-istri dengan dua orang anak, maka dalam satu bulan mereka bisa mendapatkan sekitar 4,8 juta rupiah. Fakta demikian akan semakin diperparah bila R-Perpres disahkan oleh Presiden. Terkait dengan Pasal 17 R-Perpres, apabila biaya hidup tersebut dikalikan dengan jumlah pencari suaka di Indonesia, lalu dikalikan 12 bulan, maka berapa puluh milyar rupiah yang harus dikeluarkan Pemerintah melalui APBN dan/atau APBD. Kedudukan mereka akan mendapat legetimasi dan perlindungan dari pemerintah. Sehingga berpotensi menimbulkan kecemburan sosial bagi masyarakat lain;
  • Keberlakukan R-Perpres terhadap UU  No. 6 Tahun 2011 tidak dapat menggunakan asas lex specialis derograt lex generalis (aturan hukum khusus mengenyempingkan aturan hukum umum). R-Perpres merupakan aturan atribusi dari UU No. 37 Tahun 1999 yang mengatur soal hubungan luar negeri, sedangkan UU No. 6 Tahun 2011 mengatur soal keimigrasian. Kedua aturan ini berdiri sendiri dan tidak dapat mengenyampingkan satu sama lain. Namun yang menjadi perhatian, materi muatan UU No. 37 Tahun 1999 tidak memperhatikan UU No. 9 Tahun 1992 (sebelum UU No. 6 Tahun 2011) yang tidak mengatur soal pencari suaka dan pengungsi. UU No. 37 Tahun 1999 juga tidak menjadi alasan pemerintah tidak meratifikasi konvensi 1951 dan Protokol 1967 sebagai dasar pembentukan Pasal25 dan 27 UU No. 37 Tahun 1999;
  • Melihat dialektika tersebut, maka kehadiran R-Perpres jelas bertentangan dengan UU No. 6 Tahun 2011 dan berpotensi dapat diajukan pembatalan (judicial review) kepada Mahkamah Agung.
KESIMPULAN DAN SARAN:
  • Menurut hemat penulis, R-Perpres tidak lebih sebagai produk hukum yang dipaksakan keberadaannya. Ekstrimnya, R-Perpres merupakan produk hukum pesanan asing (baca: PBB, UNHCR, dan IOM) yang akan merugikan Indonesia, khususnya dalam penanganan orang asing pencari suaka dan pengungsi;
  • R-Perpres bukan merupakan aturan hukum yang berasal dari jiwa masyarakat (volkgeist) dan cita hukum (rechtsidee) Indonesia. Pembentukan R-Perpres tidak berdasarkan pada aturan hukum yang sudah ada, dalam hal ini hukum keimigrasian (UU No. 6 Tahun 2011 dan PP No. 31 Tahun 2013) yang sama sekali tidak mengenal istilah pencari suaka dan pengungsi. UU No. 6 Tahun 2011 hanya mengenal orang asing (imigran) legal dan ilegal. Sehingga pengaturan R-Perpres akan bertentangan dengan prinsip umum hukum keimigrasian Indonesia;
  • Kalau memang R-Perpres tetap dipaksakan untuk disahkan, maka nomenklatur R-Perpres perlu dikaji ulang apakah telah sesuai dengan UU No. 6 Tahun 2011 atau tidak. R-Perpres merupakan aturan atribusi dari UU No. 37 Tahun 1999. Namun, hampir semua materi muatan R-Perpres berkaitan dengan masalah keimigrasian. Padahal UU No. 6 Tahun 2011 tidak mengatur perihal pencari suaka dan pengungsi. R-Perpres harus memuat aturan yang telah diatur dalam UU No. 6 Tahun 2011 sebagai pedoman dasar. Oleh karena itu diharapkan perlu dilakukan penyesuaian norma. Apabila R-Perpres ini tetap dipaksakan maka akan cacat hukum;
  • Sebaiknya R-Perpres mengatur soal koordinasi lintas instansi yang menangani permasalahan pencari suaka dan pengungsi, tanpa harus mengenyampingkan aturan hukum yang telah disepakati sebelumnya, misalnya UU No. 6 Tahun 2011 dan PP No. 31 Tahun 2013. Sebagai bagian dari negara Internasional, Indonesia tentu tidak dapat memisahkan diri dari kepentingan global. Alasan kemanusiaan dan HAM jangan sampai mengorbankan kepentingan bangsa sendiri. Penanganan orang asing pencari suaka dan pengungsi harus dilakukan secara proposional dan bijaksana. R-Perpres yang akan menjadi dasar hukum harus memperhatikan segala aspek, terutama kepentingan Imigrasi sebagai otoritas penjaga pintu gerbang negara.
BAHAN BACAAN
Buku-Buku
Maria Farida Indarti S, 2007, Ilmu Perundang-Undangan I, Cetakan ke-5, Yogyakara: Penerbit Kanisius
Wagiman, 2012, Hukum Pengungsi Internasional, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika
Majalah
Feddy M. Pasya, “Menilai Kembali Kebijakan Penanganan Imigrasi Ilegal”, Majalah Bhumi Pura, Edisi September 2013, Jakarta: Direktorat Jenderal Imigrasi
M. Alvi Syahrin, “Penyadapan oleh Australia, Sebaiknya Imigrasi Bersikap”, Majalah Bhumi Pura, Edisi Januari-Februari 2014, Jakarta: Direktorat Jenderal Imigrasi
Peraturan Perundang-Undangan
UU No.37 Tahun 2009 tentang Hubungan Luar Negeri (LNRI Tahun 2011 Nomor 156)
UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (LNRI Tahun 2011 Nomor 52)
UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (LNRI Tahun 2011 Nomor 82)
PP No. 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
Rancangan Peraturan Presiden tentang Penanganan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi
Wawancara
Pejabat Teknis Struktural Kantor Imigrasi Kelas II Muara Enim

Muara Enim, Juni 2014
M. Alvi Syahrin

[1] Teks asli dari isi Pasal 25 UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri mengamanatkan untuk dibentuknya Keputusan Presiden terkait kebijakan masalah pengungsi di luar negeri. Namun nomenklatur aturan tersebut akhirnya diubah menjadi Peraturan Presiden, berdasarkan Pasal 7 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.