Tuesday, September 15, 2015

KUNJUNGAN PERDANA DIREKTUR JENDERAL IMIGRASI KE KAMPUS AKADEMI IMIGRASI

Pemimpin Imigrasi yang berkualitas, bukan hanya cerdas secara intelktual semata, tapi juga harus diimbangi dengan kematangan emosi dan spiritual”
- Ronny F. Sompie -

Cinere, Depok –Akademi Imigrasi kedatangan tamu spesial. Sosok yang bersahaja dan berwibawa yang kini menjadi panglima dan pemegang komando tertinggi di Direktorat Jenderal Imigrasi (Ditjenim). Ia adalah Dr. Ronny Franky Sompie, SH., MH. Sebagai orang nomor satu di Dirjenim, ia adalah orang yang paling ditunggu kehadirannya untuk mengisi posisi Direktur Jenderal Imigrasi (Dirjenim) yang sempat kosong selama hampir satu tahun. Keberadaannya kini diharapkan akan membawa perubahan ke arah lebih baik dan menjadikan Ditjenim sebagai Institusi terhormat.
Setelah terpilih menjadi Direktur Jenderal Imigrasi melalui proses open bidding (lelang terbuka), ini adalah kali pertama baginya untuk mengunjungi Kampus Akademi Imigrasi, yang bertempat di Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Hukum dan HAM.  Kedatangannya ke Kampus Akademi Imigrasi, bukan hanya sekedar memberikan kuliah umum, tapi juga meninjau pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di Akademi Imigrasi, serta memberikan semangat bagi semua civitas akademika Akademi Imigrasi.

Pada hari Rabu (02/09/2015) tepat pada pukul 09.00 WIB, Ronny beserta rombongan menginjakkan kakinya di Kampus Gandul, kampus bersejarah yang telah mencetak kader-kader Pejabat Imigrasi terbaik. Ia disambut oleh civitas akademika Akademi Imigrasi yang dipimpin langsung oleh Direktur Akademi Imigrasi, Saffar Muhammad Godam, SH., MH.

Proses upacara berlangsung hikmat. Kedatangan Ronny diawali dengan proses pengalungan bunga sebagai simbol selamat datang bagi dirinya yang telah berkenan hadir ke Kampus Akademi Imigrasi. Upacara penghormatan ini merupakan tradisi kegiatan yang wajib dilaksanakan untuk menyambut setiap pejabat pimpinan utama Imigrasi yang datang ke Kampus Akademi Imigrasi.

Kedatangannya diawali alunan Korps Musik (Korsik) yang dimainkan berirama oleh Taruna/i Akademi Imigrasi. Dentuman dram, bass, symbal, serta saxopon, mengiringi langkahnya memasuki Gedung Auditorium. Proses upacara tidak sampai disitu. Di depan Gedung Auditorium, telah berbaris rapi Pasukan Khusus Siswa Pendidikan Pejabat Imigrasi (Dikpim) Tahun 2015 yang secara sigap memberikan penghormatan.

Ronny yang sebelumnya menjabat Kepala Kepolisian Daerah Bali, kini nampak gagah memakai seragam pakaian dinas harian beserta atribut kebesarannya. Kini, ia mendapatkan “Bintang Tiga” nya sebagai Direktur Jenderal Imigrasi, yang mungkin akan menjadi pengabdian terakhir dalam karirnya. Dengan langkah tegas dan mantap ia memasuki Gedung Auditorium Akademi Imigrasi. Matanya memancarkan cahaya kebanggaan. Ia sadar bahwa saat ini telah menjadi bagian dari keluarga besar Direktorat Jenderal Imigrasi dan mengemban tanggung jawab yang berat.

Sesaat setelah memasuki Gedung Auditorium, ia disambut antusias oleh segenap peserta dan tamu undangan. Para peserta terdiri dari Taruna/i Akademi Imigrasi (AIM) Angkatan 16 dan 17, Siswa/i Pendidikan Pejabat Imigrasi (Dikpim) Tahun 2015, serta Siswa Pendidikan dan Pelatihan Pimpinan (Dikat Pim) III. Pelaksanaan kegiatan kuliah umum, diawali dengan penampilan Paduan Suara, serta pembacaan puisi oleh Siswa/i Dikpim 2015. Ronny sempat terkesima dengan isi puisi yang berjudul “Pemimpin Semut”. Dalam puisi itu diceritakan bagaimana filosofi semut dalam bekerja, berorganisasi, serta taat pada pemimpinnya. Puisi tersebut menyadarkannya bahwa ia kini diberi amanah dan tanggung jawab yang besar untuk membawa Dirjenim menjadi Institusi yang terhormat dan berwibawa.

Pada kesempatan tersebut, Kuliah Umum yang disampaikan bertemakan: “Peran Direktorat Jenderal Imigrasi dalam melahirkan Para Pemimpin untuk Melaksanakan Fungsi Pengamanan dan Penegakan Hukum Keimigrasian”.

Dalam paparan yang berdurasi sekitar satu jam tersebut, ia menekankan bahwa pentingnya menciptakan kader pemimpin Imigrasi masa depan yang siap untuk menghadapi tantangan yang semakin berat. Ia juga menekankan bahwa seorang pemimpin yang mumpuni, bukan hanya yang memiliki Intelligence Quotion (IQ) yang tinggi, tapi juga Emotional Quotion (EQ) dan Spiritual Quotion (SQ). “Pemimpin Imigrasi yang berkualitas, bukan hanya cerdas secara intelktual semata, tapi juga harus diimbangi dengan kematangan emosi dan spiritual”, ujar pria kelahiran Surabaya, 54 tahun yang lalu ini.

Ia juga menyampaikan bahwa tantangan Dirjenim ke depan sangatlah berat. Kasus-kasus Transnational Organization Crime (TOC), illegal migrant, serta tindak pidana keimigrasian lain, akan menjadi fokus utama dalam program kerjanya. Ditangkapnya pelaku cyber crime oleh jajaran imigrasi yang melibatkan orang asing berkewarganegaraan China di berbagai daerah akhir-akhir ini, menjadi sinyalemen kuat bahwa proses penegakan hukum keimigrasian akan menjadi agenda prioritas.

Sebagai orang yang berlatar belakang Kepolisian, serta bertahun-tahun menjadi penyidik, tentu ia sangat paham seluk beluk dunia penyidikan. Tidak heran apabila ia akan mendorong agar setiap kasus kejahatan keimigrasian harus diarahkan ke proses penyidikan keimigrasian (pro justitia) terlebih dahulu. Ia berpendapat, bila hanya tindakan administratif (deportasi-red) saja yang dilakukan, itu tidak akan memberikan efek jera bagi para pelaku. Oleh karenanya, ia mengharapkan agar Dirjenim dapat lebih fokus pada fungsi penegakan hukum keimigrasian.

Kuliah umum diakhiri dengan sesi tanya jawab yang disampaikan oleh para peserta. Di akhir penyampaiannya, ia menekankan agar setiap pemimpin Imigrasi harus dapat meningkatkan kemampuan dan kapasistasnya serta mampu mengaplikasikannya di lapangan. Ia berjanji akan selalu mendukung semua ide dan usulan yang bersifat membangun untuk perbaikan Dirjenim.

Kegiatan dilanjutkan dengan sesi foto dan makan siang dengan para Taruna/i AIM dan Siswa/i Dikpim. Setelah makan siang, Ronny disuguhi acara yang tak kalah seru. Para taruna/i AIM yang tergabung dalam pawai Marching Band menunjukkan aksinya di depan podium tamu undangan. Lalu disusul dengan atraksi bela diri Taekwondo.


Setelah semua rangkaian acara selesai, akhirnya Ronny beserta rombongan meninggalkan Kampus Akademi Imigrasi. Ia berpesan kepada para Taruna/i dan Siswa/i agar tetap semangat dalam menjalankan semua kegiatan. “Tetaplah semangat, jadilah Pejabat Imigrasi yang berkualitas dan berwibawa. Imigrasi menunggu kalian”, teriak pria berdarah Manado tersebut. (alvi)

Tangerang, September 2015

M. Alvi Syahrin
Siswa / Kepala Bidang Pendidikan
Pendidikan Pejabat Imigrasi Tahun 2015

Monday, August 10, 2015

SISTEM PEMBEBANAN PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Sistem pembebanan pembuktian terbalik dalam hukum pidana korupsi Indonesia adalah diadopsi dari hukum pembuktian perkara korupsi dari negara anglo saxon seperti Inggris, Singapura dan Malaysia. Sistem pembebanan pembuktian terbalik hanya diterapkan pada tindak pidana yang berkenaan dengan gratification yang berhubungan dengan suap.
Banyak orang menganggap bahwa sistem pembuktian Tindak Pidana Korupsi dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 (selanjutnya disebut UUPTPK) lebih baik, karena menganut sistem pembuktian terbalik. Dengan pemikiran bahwa sistem terbalik lebih mudah untuk membuktikan TPK yang didakwakan, sehingga secara otomatis lebih mudah pula untuk memberantas korupsi. Pendapat seperti itu ternyata tidak seluruhnya benar. Memang benar dalam UUPTPK menganut sistem pembuktian terbalik, tetapi pertanyaan seperti apa yang dimaksud dengan sistem terbalik, bagaimana cara penerapannya, apa standar bukti yang digunakan dan sebagainya, pertanyaanpertanyaan seperti itu tidak mudah dijawab oleh setiap orang.
Terbukti dalam praktik dapat dilihat bahwa peran Jaksa Penuntut Umum, Penasehat Hukum atau Majelis Hakim dalam menjalankan fungsi pembuktian dari TPK yang didakwakan, tidak berbeda dengan proses dan prosedur pembuktian menurut KUHAP. Seolah-olah sistem pembuktian korupsi tidak berbeda dengan sistem biasa (KUHAP). Keadaan ini membuktikan bahwa sistem pembuktian terbalik maupun semi terbalik belum berperan dalam memberantas korupsi.
B.     Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah: Bagaimana pelaksanaan Sistem Pembuktian Terbalik menurut hukum positif pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN

A.     Sistem Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi
Regelement of Strafvordering (RSv) dan HIR (dulu) maupun KUHAP, begitu pula semuanya menganut sistem atau teori pembuktian berdasarkan Undang-undang secara negatif (negatief wettelijk) yang dapat kita simpulkan berdasarkan Pasal 183 KUHAP[1].
Standar bukti[2] tersebut ialah (1) harus sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan (2) dari alat bukti tersebut hakim mendapatkan keyakinan bahwa terdakwa bersalah telah melakukan tindak pidana. Dengan syarat itu, barulah hakim dapat menjatuhkan pidana.
Hukum pidana korupsi yang merupakan lex specialis, sehingga tentang pembuktian dibedakan 3 sistem beban pembuktian. Pertama sistem terbalik, kedua sistim biasa (seperti KUHAP), ketiga semi terbalik atau juga bisa disebut sistem berimbang terbalik.
1.      Sistem Terbalik
Sistem terbalik terdapat dalam Pasal 37 jo 12B ayat (1) jo 38A dan 38B UUPTPK. Dilihat dari sudut objek apa yang harus dibuktikan terdakwa, maka pembuktian terbalik ada 2 (dua) macam, ialah:
a.      Pembuktian terbalik pada TPK suap menerima gratifikasi yang nilainya Rp 10 juta atau lebih (Pasal 12B ayat 1 jo 37 ayat 2 jo 38A);
b.      Pembuktian terbalik pada harta benda terdakwa yang belum didakwakan (Pasal 38B).
Sistem beban terbalik ditujukan untuk membuktian dua hal saja.Oleh karena itu dapat disebut pembuktian terbalik yang terbatas. Pembuktian melalui beban pembuktian terbalik terbatas mempunyai tujuan yang pertama membuktikan bahwa benar ataukah tidak menerima suap gratifikasi. Kedua membuktian bahwa harta benda yang belum didakwakan mempunyai sumber yang haram ataukah halal.
a.      Pembuktian Terbalik dalam hal menerima gratifikasi (Ps 12B (1) jo 37 jo 38A)
Pasal 37 menyatakan bahwa terdakwa berhak untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi (ayat 1); dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut digunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti (ayat 2).
Ketentuan ayat (2) merupakan inti sistem beban pembuktian terbalik tindak pidana korupsi. Pasal 37 berhubungan dengan Pasal 12B dan Pasal 37A ayat (3). Hubungannya dengan Pasal 12B, ialah bahwa sistem beban pembuktian terbalik pada Pasal 37 berlaku pada TPK menerima suap gratifikasi yang nilainya Rp 10 juta atau lebih [Pasal 12B ayat (1) huruf a]. Sementara itu hubungannya dengan Pasal 37A khususnya ayat (3), bahwa sistem terbalik menurut Pasal 37 berlaku dalam hal pembuktian tentang sumber (asal) harta benda terdakwa dan lain-lain, diluar perkara pokok pasal-pasal yang disebutkan dalam Pasal 37A, dalam hal ini hanya TPK suap menerima gratifikasi yang tidak disebut dalam Pasal 37A ayat (3).
Isi rumusan Pasal 12B ayat (1) UUPTPK mengandung 4 arti yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1)     Norma huruf a berhubungan erat dengan (dijelaskan oleh) Pasal 37. Artinya ialah tentang apa yang dimaksud beban pembuktian menurut norma ayat (1) huruf a dalam hal ini ada pada terdakwa dan penerapannya dirumuskan pada Pasal 37.
2)     Sistem terbalik berlaku pada TPK suap menerima gratifikasi yang nilainya Rp 10 juta atau lebih.
3)     Sedangkan TPK suap menerima gratifikasi yang nilainya kurang dari Rp 10 juta, beban pembuktian ada pada JPU. Artinya dengan sistem biasa sesuai KUHAP.
4)     Mengenai unsur-unsur tindak pidana menerima suap gratifikasi, ialah: (1) subjek hukumnya adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara; (2) perbuatannya menerima gratifikasi; (3) berhubungan dengan jabatannya; dan (4) berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.[3]
Ada yang menarik dari ketentuan Pasal 12 C. Menurut ketentuan Pasal 12C dengan melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, maka akan meniadakan pidana pada Pasal 12B. Apakah ketentuan mengenai melaporkan penerimaan gratifikasi ini merupakan alasan penghapus pidana? Kiranya tidak, karena alasan peniadaan pidana dalam doktrin hukum terdiri atas alasan pemaaf dan alasan pembenar yang terbentuk oleh hal-hal yang sudah ada dan berlaku pada saat perbuatan dilakukan.
Bahkan perbuatan tersebut merupakan bagian dari perbuatan yang dilakukan pembuat dan atau bagian dari keadaan batin si pembuat, yang memang harus sudah ada/terdapat pada saat perbuatan dilakukan, dan bukan sesudah perbuatan dilakukan. Sedangkan tindakan pegawai negeri penerima gratifikasi “melaporkan penerimaan gratifikasi” kepada KPK adalah sesudah perbuatan terjadi, atau jauh setelah terjadinya perbuatan, bisa jadi pada ke 30 (tiga puluh) hari kerja. Oleh karena itu dari sudut ini tindakan melaporkan penerimaan gratifikasi tidak dapat dianggap sebagai alasan peniadaan pidana.[4]
Syarat pelaporan bagi pegawai negeri yang menerima gratifikasi, ditujukan pada 3 (tiga) hal, ialah: pertama, untuk tidak mempidana pegawai negeri yang secara sukarela melaporkan tentang penerimaan gratifikasi. Pelaporan dapat dinilai sebagai suatu kesadaran bagi pegawai negeri untuk berbuat jujur, menegakkan moral dan menjujung tinggi derajat dan martabat serta sumpah jabatan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai pelaksana pelayanan publik. Kedua, bertujuan pendidikan moral bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara. Dalam waktu 30 hari kerja, adalah waktu yang cukup bagi pegawai negeri untuk merenungkan dengan hati, memikirkan dengan akal tentang haramnya pemberian gratifikasi. ketiga, ditujukan untuk menentukan apakah penerimaan gratifikasi menjadi milik negara atau milik pegawai negeri yang menerima gratifikasi (Pasal 12C ayat (3).[5]
b.      Pembuktian Terbalik Mengenai Harta Benda yang Belum Didakwakan (Pasal 38B jo 37)
Norma Pasal 38B ayat (1) dapat dijelaskan sebagai berikut:
1)     Norma ayat (1) adalah dasar hukum sistem beban pembuktian terbalik dalam hal objek pembuktian harta benda terdakwa yang belum didakwakan, tapi diduga berasal dari TPK.
2)     Pembuktian mengenai harta benda yang belum didakwakan sebagai bukan hasil korupsi adalah berlaku dalam hal tindak pidana yang didakwakan dalam perkara pokok, adalah TPK Pasal: 2, 3, 4, 14, 15 UUPTPK[6] Hanya TPK suap menerima gratifikasi Pasal 12B saja yang tidak disebut dalam Pasal 38B ayat (1).
Walaupun Pasal 37 merupakan dasar hukum pembuktian terbalik. Namun khusus mengenai objek harta benda terdakwa yang belum didakwakan (termasuk juga yang didakwakan dalam surat dakwaan), tidaklah dapat menggunakan Pasal 37. Karena Pasal 37 adalah khusus diperuntukkan bagi pembuktian terdakwa mengenai dakwaan tindak pidana (khususnya suap menerima gratifikasi Rp 10 juta atau lebih), dan bukan dakwaan mengenai harta benda. Maka keberhasilan terdakwa membuktikan tentang kekayaannya itu bersumber pada pendapatan yang halal, tidaklah harus ia dibebaskan dalam dakwaan perkara pokok melakukan TPK, melainkan sekedar menyatakan harta benda yang belum didakwakan tersebut bukan hasil korupsi, dan menolak tuntutan JPU untuk menjatuhkan pidana perampasan harta benda tersebut saja.[7]

2.      Sistem Semi Terbalik dan Biasa
Dasar hukum sistem semi terbalik ada pada Pasal 37A ayat (3) UUPTPK.
TPK selain suap menerima gratifikasi penerapan pembuktikan tentang harta benda terdakwa (yang telah didakwakan) dilakukan dengan cara yang dirumuskan dalam Pasal 37A. Tentang beban pembuktikan kepada siapa dan bagaimana cara membuktikan menurut ketentuan Pasal ini dapat disebut dengan sistem pembuktian semi terbalik. Karena hasil pembuktian terbalik mengenai harta benda menurut ketentuan ini, dapat digunakan oleh jaksa untuk memperkuat alat buktinya, yakni bila pembuktiannya itu tidak berhasil membuktikan keseimbangan antara hartanya dengan sumber pendapatannya.
Contohnya, kelebihan kekayaan (diluar) dari kekayaan yang sebenarnya yang diperoleh dari sumber kekayaan atau sumber tambahan kekayaan yang sah. Pada kenyataannya kekayaan yang demikian ini adalah kekayaan yang tidak jelas cara perolehannya atau tidak jelas asal usulnya. Sebagai contoh wajarkah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) golongan III A yang gajinya 2 juta/ bulan mempunyai mobil Alpard dan rumah mewah di pondok Indah.
Jika menggunakan sistem biasa seperti pada KUHAP, dalam hal untuk membuktikan tindak pidana beban pembuktian sepenuhnya pada JPU. Sedangkan terdakwa tidak wajib, dalam arti pasif. Namun demikian dalam sistem akusator (accusatoir), demi hukum terdakwa mempunyai hak untuk menyangkal dakwaan dan membuktikan sebaliknya.[8] Dalam hukum pidana korupsi, sistem pembuktian TPK suap menerima gratifikasi yang nilai objeknya kurang dari Rp 10 juta (Pasal 12B ayat huruf b) menggunakan beban pembuktian biasa, yakni pada jaksa.
Apabila dilihat dari sudut pembebanan pembuktian Pasal 37A, maka dalam hal pembuktian kekayaan terdakwa ternyata seimbang dengan sumber pendapatannya, dimana JPU juga tetap wajib membuktikan tentang tindak pidana yang didakwakannya, maka dapat disebut dengan sistem semi terbalik. Karena dibebani kewajiban membuktikan terbalik secara berimbang, maka dapat juga disebut dengan sistem berimbang terbalik. Mengenai alat bukti dan syarat pembuktiannya baik oleh terdakwa atau JPU mengikuti ketentuan dalam KUHAP, karena mengenai hal ini tidak ada ketentuan khusus dalam UUPTPK.
Bagi terdakwa pembuktian tentang kekayaan terdakwa yang seimbang dengan sumber pendapatannya diperlukan, agar harta benda tersebut tidak dijatuhi pidana perampasan barang. Bagi jaksa baru menjadi penting, apabila terdakwa tidak berhasil membuktikan kekayaannya sesuai dengan sumber pendapatannya. Dalam kenyataannya harta yang demikian ini adalah harta yang tidak jelas cara perolehannya atau asal usulnya. Keadaan terdakwa tidak dapat membuktikan sumber kekayaannya yang sah tersebut digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa melakukan korupsi (Pasal 37 ayat 2).
Tidak semua keadaan terdakwa yang tidak berhasil membuktikan tentang sahnya sumber kekayaannya dapat menguntungkan JPU. Baru dapat digunakan memperkuat alat bukti yang sudah ada, apabila keadaan terdakwa tidak berhasil membuktikan sumber kekayaannya itu memenuhi 2 syarat, yaitu:
a.      Pertama, JPU telah menggunakan minimal 2 alat bukti yang sah, dan
b.      Kedua, ketidak berhasilan terdakwa membuktikan keseimbangan antara kekayaan dengan sumber pendapatannya ada hubungan dengan berhasilnya JPU membuktikan perolehan kekayaan dari tindak pidana yang didakwakan. Hubungan ini adalah berupa kekayaan yang tidak dapat dibuktikan sumbernya yang halal oleh terdakwa tadi bersesuaian dengan hasil pembuktian JPU tentang tindak pidana yang didakwakan menurut sifat dan kenyataannya menghasilkan suatu kekayaan.
JPU memperkuat alat bukti yang sudah ada sebagaimana dimaksud Pasal 37A ayat (2), boleh dengan cara menggunakan alat bukti petunjuk. Dan didukung pula oleh Ketentuan Pasal 188 ayat (1) KUHAP.
Oleh karena alat bukti petunjuk ini adalah berupa pemikiran atau pendapat hakim yang dibentuk dari hubungan atau persesuaian alat bukti yang ada dan dipergunakan dalam sidang, maka sifat subjektifitas hakim lebih dominan. Oleh karena itu Pasal 188 ayat (3) mengingatkan hakim agar dalam menilai kekuatan alat bukti petunjuk dalam setiap keadaan tertentu harus dilakukan dengan arif dan bijaksana, setelah hakim memeriksa dengan cermat dan seksama yang didasarkan hati nuraninya.[9]
Keadaan terdakwa yang tidak berhasil membuktikan dalam konteks sistem semi terbalik dinilai sebagai keterangan terdakwa yang memberatkan dan digunakan sebagai bahan membentuk alat bukti petunjuk. Karena hukum korupsi tidak mengatur secara khusus syarat-syarat bukti petunjuk harus berdasarkan KUHAP (UU korupsi hanya memperluas bahan untuk membentuk alat bukti petunjuk). Untuk dapatnya dibentuk alat bukti petunjuk JPU perlu menggunakan minimal 2 alat bukti termasuk alat bukti informasi dan atau dokumen sebagaimana dimaksud Pasal 26A.
Disinilah letak peran JPU dalam sistem pembuktian semi terbalik, khususnya kalimat dalam Pasal 37A, “.......digunakan memperkuat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan TPK” (ayat 2) dan kalimat: “...... sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikannya” (ayat 3).
Sedangkan sistem beban pembuktian biasa, berpijak pada asas tiada pidana tanpa kesalahan (presumtion of innocence) dalam hukum acara pidana yang diatur dalam Pasal 8 Ayat (1) UU Nomor 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan penjelasan umum angka 3 huruf c KUHAP.
Sebagian orang berpendapat bahwa asas presumtion of innocence hanya berlaku di depan sidang pengadilan. Pendapat itu salah dan menyesatkan. Dalam rumusan norma Pasal 8 (1) UU Nomor 48/2009 sangat jelas, bahwa presumtion of innocence berlaku sejak orang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut sampai di sidang pengadilan. Orang yang berpendapat salah tadi hanya melihat sepotong dari rumusan normanya.
Oleh karena terdakwa dianggap tidak bersalah, maka jika terdakwa didakwa oleh Jaksa, maka Jaksa yang dibebani untuk membuktikan apa yang didakwakan itu benar. Setiap orang dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya itu dibuktikan dengan suatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.[10]
Dalam sistem ini, terdakwa atau penasihat hukum tidak dibebani kewajiban untuk membuktikan dirinya tidak bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan. Terdakwa dan atau penasihat hukum justru mempunyai hak untuk membuktikan sebaliknya, atau hak menolak dengan membuktikan sebaliknya.
Mengenai beban pembuktian tindak pidana yang didakwakan dalam hukum pembuktian korupsi selalu diletakkan pada JPU. Kecuali terhadap pembuktian TPK menerima suap gratifikasi yang nilainya Rp 10 juta atau lebih, yang dibebankan pada terdakwa. Dari sudut pembuktian mengenai objek tindak pidana yang didakwakan, maka sistem beban pembuktian korupsi dapat disebut sistem beban pembuktian terbatas. Hanya sebagian kecil (satu) saja tindak pidana yang menggunakan beban pembuktian terbalik murni, yakni hanya objek tindak pidana menerima suap gratifikasi dalam Pasal 12 B saja. Selebihnya tidak, menggunakan sistem beban pembuktian biasa.
Semua prosedur pembuktian semi terbalik dan yang di dalamnya terdapat cara sistem biasa sebagaimana diuraikan sebelumnya, tiada lain diarahkan oleh JPU pada tujuan akhir adalah untuk membuktikan tentang telah terjadinya TPK yang didakwakan dan terdakwa bersalah melakukan TPK tersebut.
B.     Permasalahan Beban Pembuktian Terbalik TPK
Jenis korupsi menerima suap gratifikasi Pasal 12B adalah suatu jenis tindak pidana suap pasif. Cara merumuskan TPK suap gratifikasi ini tidak lazim. Dalam rumusannya nampak seolaholah subjek hukumnya adalah si penyuap, tetapi sesungguhnya bukan. Alasannya ialah oleh Pasal 12B tidak diberikan ancaman pidana pada pemberi suap gratifikasi. Justru yang diancam pidana pada ayat (2) adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi. Oleh karena itu rumusan suap gratifikasi bukan ditujukan pada subjek hukum pemberi suap, tetapi ditujukan pada penerima suap/menerima gratifikasi. Ancaman pidananya jelas ditujukan pada pegawai negeri.
Pasal 12B ayat (1) merumuskan secara sumir tentang sistem pembebanan pembuktian terbalik. Ketentuan Pasal ini juga menerangkan hal syarat mengenai jumlah (rupiah) menerima suap gratifikasi yang beban pembuktiannya pada terdakwa, sedangkan selebihnya tidak cukup membuat terang setidak-tidaknya tentang bagaimana prosedur atau cara terdakwa dalam membuktikan dan apa syarat-syarat (standar) yang harus ada untuk dapat dinyatakan terdakwa berhasil membuktikan dan tidak berhasil membuktikan.[11]
Apabila tidak diatur lain, pembuktian harus sesuai dengan KUHAP. Artinya masalah seperti di atas, sepanjang tidak jelas dalam UU TPK maka kembali pada KUHAP. Apabila dalam hubungannya dengan KUHAP belum terang juga, maka diserahkan pada praktik hukum melalui penemuan hukum.
Unsur sistem pembuktian, ialah alat-alat bukti yang boleh digunakan dan caranya membuktikan serta standard yang harus dipenuhi untuk menyatakan terbukti atau tidaknya mengenai objek apa yang dibuktikan. Alat-alat buktinya jelas ialah dengan menggunakan alat-alat bukti Pasal 183 ayat (1) KUHAP jo Pasal 26A UUPTPK
Mengenai objek harta benda yang tidak didakwakan dalam surat dakwaan tidak menyangkut langsung dengan unsur-unsur tindak pidana dakwaan. Sistem terbalik untuk objek harta benda terdakwa yang tidak disebut dalam dakwaan, bukan untuk membuktikan kesalahan terdakwa melakukan TPK yang didakwakan, melainkan apabila terdakwa tidak berhasil membuktikan, untuk menjatuhkan pidana perampasan barang atau sebaliknya. Pada hal untuk menjatuhkan pidana apapun jenisnya, syaratnya ialah harus dibuktikan dahulu tentang kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan. Membuktikan tindak pidana adalah membuktikan unsur-unsurnya. Membuktikan kesalahan terdakwa adalah membuktikan adanya hubungan batin (subjektif) terdakwa dengan terwujudnya tindak pidana yang didakwakan. Dalam hukum korupsi, untuk membuktikan unsur-unsur TPK justru tidak menggunakan sistem beban pembuktian terbalik.
Oleh karena itu pada tahap akhir pembuktian terhadap dua objek yang berbeda (yang satu objek kekayaan yakni sumbernya dan yang lain mengenai unsur-unsur tindak pidananya) dengan sistem beban pembuktian yang berbeda. Dengan begitu bisa saja menghasilkan sesuatu yang berbeda.
Apabila perbedaan hasil pembuktian, misalnya terdakwa berhasil membuktikan sumber kekayaanya (yang belum didakwakan) adalah sumber yang halal, tidak ada masalah meskipun perkara pokoknya terbukti dan terdakwa dipidana karena perbuatannya itu. Sebaliknya akan menjadi masalah hukum, apabila disatu pihak terdakwa tidak berhasil membuktikan sumber kekayaan misalnya sebuah deposito 12 miliar rupiah, tetapi dilain pihak JPU juga tidak berhasil membuktikan misalnya dakwaan menggelapkan uang negara (Pasal 8 UUPTPK).[12] Perbedaan hasil pembuktian tersebut menimbulkan akibat hukum yang ganjil. Deposito Rp 12 miliar bisa dirampas untuk negara, tetapi dibebaskan dari perkara pokok Pasal 8 karena tidak terbukti.
Keganjilan itu bisa terjadi dikarenakan pembuktian Pasal 8 adalah membuktikan semua unsur-unsurnya. Sedangkan membuktikan harta benda yang belum didakwakan adalah tentang sumber (yang halal) dari mana diperoleh deposito Rp 12 miliar tersebut. Walaupun dengan adanya ketentuan Pasal 38B ayat (6)[13] hal perampasan barang tidak boleh dilakukan. Namun masalah tersebut tidak bisa dijawab dengan hanya tidak menjatuhkan pidana perampasan barang. Karena deposito itu tidak jelas asal usulnya, tapi negara tidak bisa berbuat apa-apa. Sebenarnya kejadian seperti ini dapat dihindari, apabila JPU mendakwakan TPK yang sesuai dengan perolehan kekayaan terdakwa yang tidak jelas sumbernya tersebut.
Jika didakwa TPK menerima suap gratifikasi, maka objek dan cara pembuktian ialah:
1.      Bahwa tidak ada gratifikasi yang diterima, atau bukan terdakwa yang menerima gratifikasi tersebut;
2.      Bahwa jika terbukti ada sesuatu penerimaan (gratifikasi), maka terdakwa membuktikan bahwa penerimaan itu bukan berhubungan dengan jabatannya dan atau tidak berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Jadi mengacu pada unsur-unsurnya, tetapi kebalikan (negatif) yakni tidak ada unsurunsur TPK tersebut;
3.      Bahwa ia telah melaporkan pada KPK tentang penerimaan itu dalam waktu 30 hari kerja sejak menerimanya. Menurut Pasal 37 ayat (2) bila terdakwa dapat membuktikan seperti itu, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Oleh karena pembuktian (negatif) oleh terdakwa ini mengenai objek TPK (menerima suap gratifikasi) tentu harus diikuti dengan diktum pembebasan terdakwa. Disini letak sistem terbalik justru menguntungkan terdakwa. Karena hakim tidak perlu mempertimbangkan hasil pembuktian JPU.[14]
Meskipun objek pembuktian sistem terbalik sangat terbatas, untuk memaksimalkan penerapannya, diperlukan JPU mendakwakan Pasal 12B tentang TPK menerima suap gratifikasi. Dalam hal perkara yang tepat bagi JPU untuk mendakwakan Pasal 12B sehingga pembuktiannya dapat menggunakan sistem terbalik, adalah dalam perkara korupsi suap pasif yang nilainya besar yang dilakukan dalam waktu yang lama dan sukar pembuktiannya dengan sistem biasa. Misalnya Rekening gendut di kepolisian yang sampai kini tidak jelas hasil penyelidikan atau penyidikannya atau rekening gendut para Pegawai Negeri Sipil (PNS) pegawai dirjen Pajak yang tidak jelas asal-usulnya.
Memang tidak mudah membuktikan satusatu penerimaan suap dari tiap-tiap pengusaha atau para pencari keadilan serta kapan saat penerimaan itu terjadi. Hanya tepat untuk kasuskasus semacam itu. Sesungguhnya sistem beban pembuktian terbalik TPK bertumpu pada konsep memudahkan pembuktian bagi TPK yang sukar pembuktiannya dengan sistem biasa. Demikianlah itulah maksud pembentuk Undang-undang memasukkan sistem pembebanan pembuktian terbalik bagi TPK suap menerima gratifikasi dalam UU TPK.

BAB III
KESIMPULAN

Dilihat dari siapa yang dibebani membuktikan serta objek pembuktiannya, dapat dibedakan antara tiga sistem, ialah: (1) sistem terbalik, (2) sistem semi terbalik dan (3) sistem biasa. Mengenai sistem beban pembuktian terbalik dalam UUPTPK, terbatas pada dua objek saja. Objek tindak pidana menerima suap gratifikasi yang nilainya Rp 10 juta atau lebih (Pasal 12B) dan objek mengenai harta benda terdakwa yang tidak/belum disebut dalam surat dakwaan (Pasal 38B).
Sistem semi terbalik berlaku dalam hal pembuktian tentang harta benda terdakwa yang telah didakwakan, khususnya bagi terdakwa membuktikan tentang kekayaannya seimbang dengan sumber pendapatannya. Sebaliknya keadaan tidak berhasilnya terdakwa membuktikan kekayaan itu didapat dari sumber yang halal, dipergunakan JPU untuk memperkuat alat bukti yang membuktikan unsur-unsur TPK yang didakwakan. Sedangkan sistem biasa (beban pembuktian pada JPU) berlaku pada TPK suap menerima gratifikasi yang nilainya kurang dari Rp 10 juta dan semua TPK selain suap menerima gratifikasi yang nilainya Rp 10 juta atau lebih. Dalam memberantas korupsi, sistem terbalik tidak banyak manfaatnya. Bermanfaat karena objek pembuktiannya sangat terbatas, yakni pada TPK suap menerima gratifikasi yang nilainya Rp 10 juta atau lebih saja.
Sistem terbalik, disatu pihak memang memudahkan pembuktian dalam hal didakwa suap menerima gratifikasi. Memudahkan artinya lebih berpihak dan menguntungkan JPU. Tetapi sebaliknya sistem terbalik dapat menjadi sangat menguntungkan terdakwa dan merugikan JPU. Hal ini bisa terjadi disebabkan karena dalam sistem terbalik JPU pasif dalam pembuktian. Sistem terbalik harus digunakan dalam kasuskasus besar dengan syarat-syarat: (1) pegawai negeri atau penyelenggara negara diduga telah menerima suap terutama dari banyak pihak, dalam waktu yang lama dan berkali-kali, (2) penerimaan suap tersebut sukar dibuktikan misalnya kapan saat menerima suap, dari siapa saja penyuapnya dan berapa masing-masing jumlahnya, (3) yang menimbulkan atau menjadikan kekayaannya berlimpah ruah, (4) yang tidak seimbang dengan gaji atau sumber pendapatan lainnya yang sah.


Tangerang,  Agustus 2015
M. Alvi Syahrin


DAFTAR PUSTAKA

Buku
Adami Chazawi (I), 2011, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Bayumedia Publishing, Malang.
, (II), 2005, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia (Cetakan Kedua), Penerbit Bayumedia Pulishing, Malang.
Andi Hamzah, 2011, Hukum Acara Pidana Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang pemberantasan tindak pidana korupsi




[1] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hlm. 250
[2] Penyebutan standar bukti digunakan oleh Adami Chazawi. Lihat Adami Chazawi (I), Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Bayumedia Publishing, Malang, 2011, hlm. 23.
[3] Ibid., hlm. 78.
[4] Adami Chazawi (II), Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia (Cetakan Kedua), Penerbit Bayumedia Pulishing, Malang, 2005, hlm. 264.
[5] Ibid., hlm. 267.
[6] Ibid., hlm. 92.
[7] Ibid.
[8] Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 64.
[9] Adami Chazawi (I), Op. Cit., hlm. 49.
[10] Ibid., hlm. 12.
[11] Adami Chazawi (I), Op. Cit., hlm. 121.
[12] Pasal 8 UUPTPK, mengenai penggelapan uang/surat berharga yang dilakukan oleh PNS karena jabatannya.
[13] Apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok, maka tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus ditolak oleh hakim.
[14] Adami Chazawi (I), Op. Cit., hlm. 83-84.

Thursday, July 23, 2015

PERAN DIREKTORAT JENDERAL IMIGRASI DALAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KETERLIBATAN WARGA NEGARA INDONESIA YANG BERGABUNG DENGAN ISIS DI LUAR NEGERI


  • Direktorat Jenderal Imigrasi (Ditjen Imigrasi) merupakan unit pelaksana tugas dan fungsi Kementerian  Hukum dan HAM RI yang mengatur hal ihwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan negara.[1]
  • Berdasarkan tugas dan fungsi tersebut, maka Ditjen Imigrasi turut berperan aktif dalam melakukan operasi pencegahan dan penanggulangan keterlibatan warga negara Indonesia yang bergabung dalam kelompok millitan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS);
  •  Ditjen Imigrasi telah menerbitkan Surat Edaran[2] untuk memperketat penerbitan Paspor RI di setiap Kantor Imigrasi seluruh Indonesia. Hal tersebut dilaksanakan dengan melakukan penelitian berkas dan wawancara secara cermat bagi WNI yang berpotensi untuk keluar wilayah Indonesia untuk bergabung dengan ISIS;
  • Dalam menanggulangi penyebaran paham ISIS di Indonesia, Ditjen Imigrasi meningkatkan pengawasan pada perlintasan orang (WNI atau WNA) yang masuk atau keluar wilayah Indonesia di setiap Tempat Pemeriksaan Imigrasi seluruh Indonesia. Oleh karenanya, berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang, maka Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi dapat menunda keberangkatan setiap orang yang berpotensi melakukan gerakan atau menyebarkan paham ISIS di Indonesia (mengancam keamanan negara)[3];
  • Ditjen Imigrasi berwenang untuk melakukan pencegahan warga negara Indonesia yang hendak keluar wilayah Indonesia, apabila namanya tercantum dalam Daftar Pencegahan melalui Sistem Manajemen Keimigrasian[4]. Namun sepanjang tidak termasuk dalam Daftar Pencegahan, maka Ditjen Imigrasi tidak berhak untuk melarang warga negara Indonesia yang keluar wilayah Indonesia;
  •  Upaya pre-emtif dan preventif telah dilakukan oleh Ditjen Imigrasi dengan mengeluarkan beberapa regulasi untuk mewaspadai keterlibatan warga negara Indonesia bergabung dengan kelompok militan ISIS di luar negeri;


Instrumen Hukum Keimigrasian yang Mengatur Pencegahan Keterlibatan Warga Negara Indonesia dalam Kelompok Militan ISIS

I.    Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
Pasal 66 ayat (2) huruf a UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
Pasal 67 UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
Pasal 91 ayat (2) UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
Pasal 92 UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
Pasal 94 ayat (7) UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian

II.   PP No. 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksana UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
Pasal 172 ayat (2) dan (3) PP No. 31 Tahun 2013
Pasal 175 ayat (1) PP No. 31 Tahun 2013
Pasal 176 PP No. 31 Tahun 2013
Pasal 177 PP No. 31 Tahun 2013
Pasal 226 ayat (2) PP No. 31 Tahun 2013
Pasal 228 ayat (1) PP No. 31 Tahun 2013

III. Surat Edaran Direktur Jenderal Imigrasi Nomor: IMI-1562.GR.01.01 Tahun 2014 tentang Peningkatan Kewaspadaan dalam Penerbitan Paspor
     Sistem penerbitan paspor selain mengedapankan pelayanan prima kepada masyarakat, harus juga memperhatikan unsur sekuriti. Kepala Kantor Imigrasi sebagai pimpinan pada satuan kerja yang melakukan peberbitan paspor, dituntut secara proakif melakukan pengawasan dalam  tahapan proses penerbitan paspor. Pengawasan tersebut bertujuan agar paspor yang diterbitkan dapat sesuai dengan fungsinya, tidak disalahgunakan untuk maksud dan tujuan yang melawan hukum. Surat Edaran ini merupakan wujud peran aktif Direktorar Jenderal Imigrasi dalam melakukan upaya pre-emtif, preventif, dan represif dalam rangka menegah keterlibatan WNI dalam kelompok militan ISIS di luar negeri.

IV. Surat Direktur Jenderal Imigrasi Nomor: IMI.5-GR.04.02.1273 tentang Kewaspadaan terhadap Anggota / Simpatisan Kelompok Militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS)
   Direktorat Jenderal Imigrasi berperan aktif mencegah penyebaran paham garis keras ISIS di Indonesia. Sikap itu diwujudkan dalam bentuk Surat Direktur Jenderal Imigrasi kepada semua jajaran Kepala Kantor Imigrasi untuk selalu waspada terhadap keterlibatan WNI yang pergi keluar negeri untuk bergabung dengan kelompok militan ISIS. Direktorat Jenderal Imigrasi meminta agar dalam proses penerbitan paspor agar memperhatikan unsur keamanan dengan melakukan penelitian berkas secara cermat dan wawancara secara teliti. Terhadap ada indikasi WNI yang akan pergi keluar negeri dalam rangka bergabung dengan kelompok ISIS, diminta agar setiap Pejabat Imigrasi yang bertugas di Tempat Pemeriksaan Imigrasi seluruh Indonesia agar mengambil tindakan tegas untuk menunda keberangkatan WNI tersebut untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
 

Jakarta Selatan, Maret 2015
M. Alvi Syahrin

[1] Pasal 1 angka 5 jo. Pasal 1 angka 1 UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
[2] Surat Edaran Direktur Jenderal Imigrasi Nomor: IMI-1562.GR.01.01 Tahun 2014 tentang Peningkatan Kewaspadaan dalam Penerbitan Paspor; Surat Direktur Jenderal Imigrasi Nomor; IMI.5-GR.04.02-2.1273 tentang Kewaspadaan terhadap Anggota / Simpatisan Kelompok Militan Negara Isam Irak dan Suriah (ISIS)
[3] Lihat Pasal 92 dan Pasal 66 ayat (2) huruf a jo. Pasal 67 UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian;  Pasal 172 ayat (3) PP No. 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian;
[4] Lihat Pasal 91 ayat (2) UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian