Thursday, July 23, 2015

PERAN DIREKTORAT JENDERAL IMIGRASI DALAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KETERLIBATAN WARGA NEGARA INDONESIA YANG BERGABUNG DENGAN ISIS DI LUAR NEGERI


  • Direktorat Jenderal Imigrasi (Ditjen Imigrasi) merupakan unit pelaksana tugas dan fungsi Kementerian  Hukum dan HAM RI yang mengatur hal ihwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan negara.[1]
  • Berdasarkan tugas dan fungsi tersebut, maka Ditjen Imigrasi turut berperan aktif dalam melakukan operasi pencegahan dan penanggulangan keterlibatan warga negara Indonesia yang bergabung dalam kelompok millitan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS);
  •  Ditjen Imigrasi telah menerbitkan Surat Edaran[2] untuk memperketat penerbitan Paspor RI di setiap Kantor Imigrasi seluruh Indonesia. Hal tersebut dilaksanakan dengan melakukan penelitian berkas dan wawancara secara cermat bagi WNI yang berpotensi untuk keluar wilayah Indonesia untuk bergabung dengan ISIS;
  • Dalam menanggulangi penyebaran paham ISIS di Indonesia, Ditjen Imigrasi meningkatkan pengawasan pada perlintasan orang (WNI atau WNA) yang masuk atau keluar wilayah Indonesia di setiap Tempat Pemeriksaan Imigrasi seluruh Indonesia. Oleh karenanya, berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang, maka Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi dapat menunda keberangkatan setiap orang yang berpotensi melakukan gerakan atau menyebarkan paham ISIS di Indonesia (mengancam keamanan negara)[3];
  • Ditjen Imigrasi berwenang untuk melakukan pencegahan warga negara Indonesia yang hendak keluar wilayah Indonesia, apabila namanya tercantum dalam Daftar Pencegahan melalui Sistem Manajemen Keimigrasian[4]. Namun sepanjang tidak termasuk dalam Daftar Pencegahan, maka Ditjen Imigrasi tidak berhak untuk melarang warga negara Indonesia yang keluar wilayah Indonesia;
  •  Upaya pre-emtif dan preventif telah dilakukan oleh Ditjen Imigrasi dengan mengeluarkan beberapa regulasi untuk mewaspadai keterlibatan warga negara Indonesia bergabung dengan kelompok militan ISIS di luar negeri;


Instrumen Hukum Keimigrasian yang Mengatur Pencegahan Keterlibatan Warga Negara Indonesia dalam Kelompok Militan ISIS

I.    Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
Pasal 66 ayat (2) huruf a UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
Pasal 67 UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
Pasal 91 ayat (2) UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
Pasal 92 UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
Pasal 94 ayat (7) UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian

II.   PP No. 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksana UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
Pasal 172 ayat (2) dan (3) PP No. 31 Tahun 2013
Pasal 175 ayat (1) PP No. 31 Tahun 2013
Pasal 176 PP No. 31 Tahun 2013
Pasal 177 PP No. 31 Tahun 2013
Pasal 226 ayat (2) PP No. 31 Tahun 2013
Pasal 228 ayat (1) PP No. 31 Tahun 2013

III. Surat Edaran Direktur Jenderal Imigrasi Nomor: IMI-1562.GR.01.01 Tahun 2014 tentang Peningkatan Kewaspadaan dalam Penerbitan Paspor
     Sistem penerbitan paspor selain mengedapankan pelayanan prima kepada masyarakat, harus juga memperhatikan unsur sekuriti. Kepala Kantor Imigrasi sebagai pimpinan pada satuan kerja yang melakukan peberbitan paspor, dituntut secara proakif melakukan pengawasan dalam  tahapan proses penerbitan paspor. Pengawasan tersebut bertujuan agar paspor yang diterbitkan dapat sesuai dengan fungsinya, tidak disalahgunakan untuk maksud dan tujuan yang melawan hukum. Surat Edaran ini merupakan wujud peran aktif Direktorar Jenderal Imigrasi dalam melakukan upaya pre-emtif, preventif, dan represif dalam rangka menegah keterlibatan WNI dalam kelompok militan ISIS di luar negeri.

IV. Surat Direktur Jenderal Imigrasi Nomor: IMI.5-GR.04.02.1273 tentang Kewaspadaan terhadap Anggota / Simpatisan Kelompok Militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS)
   Direktorat Jenderal Imigrasi berperan aktif mencegah penyebaran paham garis keras ISIS di Indonesia. Sikap itu diwujudkan dalam bentuk Surat Direktur Jenderal Imigrasi kepada semua jajaran Kepala Kantor Imigrasi untuk selalu waspada terhadap keterlibatan WNI yang pergi keluar negeri untuk bergabung dengan kelompok militan ISIS. Direktorat Jenderal Imigrasi meminta agar dalam proses penerbitan paspor agar memperhatikan unsur keamanan dengan melakukan penelitian berkas secara cermat dan wawancara secara teliti. Terhadap ada indikasi WNI yang akan pergi keluar negeri dalam rangka bergabung dengan kelompok ISIS, diminta agar setiap Pejabat Imigrasi yang bertugas di Tempat Pemeriksaan Imigrasi seluruh Indonesia agar mengambil tindakan tegas untuk menunda keberangkatan WNI tersebut untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
 

Jakarta Selatan, Maret 2015
M. Alvi Syahrin

[1] Pasal 1 angka 5 jo. Pasal 1 angka 1 UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
[2] Surat Edaran Direktur Jenderal Imigrasi Nomor: IMI-1562.GR.01.01 Tahun 2014 tentang Peningkatan Kewaspadaan dalam Penerbitan Paspor; Surat Direktur Jenderal Imigrasi Nomor; IMI.5-GR.04.02-2.1273 tentang Kewaspadaan terhadap Anggota / Simpatisan Kelompok Militan Negara Isam Irak dan Suriah (ISIS)
[3] Lihat Pasal 92 dan Pasal 66 ayat (2) huruf a jo. Pasal 67 UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian;  Pasal 172 ayat (3) PP No. 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian;
[4] Lihat Pasal 91 ayat (2) UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian

Wednesday, July 22, 2015

KENDALA DALAM KEGIATAN PENGUMPULAN BAHAN KETERANGAN INTELIJEN KEIMIGRASIAN



Pengumpulan data atau informasi sangat diperlukan untuk memproduksi analisa intelijen. Ada banyak sumber-sumber informasi termasuk informasi terbuka seperti berita radio asing, surat kabar, majalah, internet, buku, dan lain-lain yang dapat digunakan dalam pengumpulan informasi intelijen keimirasian. Informasi terbuka merupakan salah satu sumber utama intelijen yang harus dimekanisasikan secara disiplin menjadi sebuah rutinitas sehari-hari yang menjadi supply tidak terbatas yang akan mendukung analisa intelijen.

Selain terbuka, ada juga informasi yang bersifat rahasia. Informasi tersebut berasal dari sumber-sumber yang rahasia pula. Informasi ini hanya memiliki presentase yang kecil namun sifatnya amatlah sangat penting sehingga sering juga menjadi penentu dari sebuah produk intelijen. Biasanya diperoleh dari operasi tertutup oleh para agen intelijen atau melalui informan. Secara teknis pengumpulan data juga dilakukan oleh peralatan canggih secara elektronik dan fotografi serta satelit.
Teknik pengumpulan informasi intelijen dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: terbuka dan tertutup.

Pengumpulan Informasi Intelijen
Terbuka
Tertutup

1.      Media Cetak
2.      Media Elektronik
3.      Buku / Majalah
4.      Internet
5.      Dan lain-lain

1.      Perekrutan Agen Luar
2.      Petugas Intelijen (Internal):
-          Pengumpulan bahan keterangan:
·         Wawancara
·         Cek lapangan
·         Penggerebekan
·         Profiling
-          Berdasarkan Standard Operational Procedure (SOP)

Sampai saat ini belum ada regulasinya

Belum adanya SOP yang mengatur prosedur pengumpulan informasi intelijen yang harus dilakukan, tentu sangat berpengaruh terhadap kinerja Direktorat Intelijen Keimigrasian sejauh ini. Direktorat Intelijen Keimigrasian belum dapat bekerja secara maksimal, karena petugas imigrasi di lapangan masih terkendala aturan hukum yang menjadi dasar melakukan operasi intelijen.

Kesulitan ini terwujud dari masih minimnya kuantitas produk intelijen yang dihasilkan oleh Direktorat Intelijen Keimigrasian cq. Sub Direktorat Produk Intelijen. Murdo Danang Laksono, Kepala Seksi Produk Perikiraan Intelijen, menjelaskan sampai saat ini Sub Direktorat Produk Intelijen masih kesulitan menganalisis, mengkaji, dan menghasilkan produk intelijen yang akuratif, karena masih minimnya informasi yang masuk. Menurutnya, analisa intelijen sangat bergantung pada informasi dan data, baik itu yang bersifat primer ataupun sekunder. Suplai data dan informasi itulah yang menjadi bahan untuk membuat produk intelijen.

Sejauh ini, permasalahan terbesar yang dihadapi oleh Direktorat Intelijen Keimigrasian adalah masih kurangnya produk intelijen yang dihasilkan. Padahal produk intelijen tersebut akan menjadi dasar bagi para pemangku kepentingan (stakeholders) untuk mengambil keputusan. Ini tentu menjadi tantangan yang harus diselesaikan, mengingat Direktorat Intelijen Keimigrasian sebagai instansi strategis untuk melakukan deteksi dini (early warning) dalam pengamanan keimgrasian secara keseluruhan.

Berikut persoalan-persoalan yang menjadi kendala bagi Direktorat Intelijen Keimigrasian dalam melakukan tugas dan fungsinya:

1.          Ego Sektoral
Jelas, ego sektoral menjadi masalah klasik dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Direktorat Intelijen Keimigrasian. Pengumpulan informasi sulit terlaksana apabila masing-masing instansi menutup diri untuk saling terbuka memberikan informasi. Direktorat Intelijen Keimigrasian, sebagai institusi supervisi yang melakukan pengumpulan informasi intelijen keimigrasian harus dapat melakukan pendekatan ke berbagai institusi lain.

Namun kenyataannya, masing-masing institusi terkait malah terkesan menunjukkan arogansinya. Misalnya, sejauh ini Direktorat Intelijen Keimigrasian kesulitan mendapatkan data dan informasi keimigrasisan yang berasal dari Direktotat Sistem Informasi dan Teknologi Kemigrasian (Dit. Sistik). Dit Sistik selaku institusi yang mengelola pusat data informasi keimigrasian enggan untuk memberikan data tersebut karena menganggap Direktorat Intelijen Keimigrsian tidak berhak dan berwenang untuk itu. Padahal dalam tugas dan fungsinya, Direktorat Intelijen Keimigrasian dapat meminta data dan informasi apapun kepada siapapun.

Belum lagi, bila harus meminta data dan informasi ke instansi di luar Direktorat Jenderal Imigrasi. Setiap instansi merasa berkepentigan untuk menangani suatu kasus, sehingga menyulitkan Direktorat Intelijen Keimigrasian melakukan pengumpulan bahan dan keterangan.

2.          Belum ada Standard Operational Procedure (SOP)
Sampai saat ini, Direktorat Intelijen Keimigrasian belum memiliki SOP yang mengatur bagaimana teknis operasi intelijen. Petugas Imigrasi akan menghadapi kesulitan apabila berhadapan dengan institusi lain, ketika harus menjelaskan prosedur teknis pengumpulan bahan tersebut. Tidak adanya panduan yang konkrit dan praktis dalam melakukan operasi intelijen, tentu saja menyulitkan Petugas Imigrasi dalam melaksanakan pengumpulan data dan informasi intelijen keimigrasian di lapangan

3.          Belum ada Sistem Informasi Intelijen Imigrasi (Si3)
Direktorat Intelijen Keimigrasian dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, sangat bergantung pada data dan informasi keimigrasian yang berbasis pada teknologi. Hingga saat ini, Direktorat Intelijen Keimigrasian menghadapi kesulitan, ketika membutuhkan informasi keimigrasian secara tepat dan akurat. Hal tersebut tidak dapat terwujud apabila belum ada pusat data yang dapat menjawab permasalahan itu. Misalnya, data perlintasan yang hanya dapat diperoleh secara manual. Lalu kemudian, data keberadaan orang asing di wilayah Indonesia yang masih belum update, dan lain sebagainya.
Ketiadaan sistem semacam ini, akan menyulitkan gerak dan langkah petugas informasi dalam melakukan pengumpulan bahan dan keterangan. Ditambah lagi, tekanan pimpinan yang menghendaki agar segera dilakukan analisis intelijen. Produk intelijen tentu akan kehilangan nilai ilmiahnya, bila tidak didukung dengan sistem data dan informasi intelijen keimigrasian yang terpadu. Sehingga, urgesi atas kebutuhan Si3 menjadi suatu keniscayaan guna menunjang kinjera dari Direktorat Intelijen Keimigrasian.

4.             Dana yang Terbatas
Ruang lingkup kegiatan intelijen keimigrasian tidak terbatas. Begitu juga dalam hal pendanaan. Dalam melaksanakan tugasnya, seharusnya dana yang dianggarkan untuk Direktorat Intelijen Keimigrasian bersifat unlimited. Hal ini disebabkan, kegiatan operasi intelijen yang berupa pengumpulan bahan keterangan memungkinkan untuk bekerja tanpa hari kerja, dengan kata lain setiap waktu. Sifat pekerjaan yang tentatif yang bertujuan untuk mendapatkan produk intelijen yang informatif tentu membutuhkan alokasi dana yang melimpah. Belum lagi bila harus mencari informasi ke instansi lain, atau bahkan ke daerah-daerah. Lalu, melakukan koordinasi baik secara vertikal atau ke instansi lain. Pelaksanaan semua kegiatan itu menuntut anggaran yang tidak sedikit.

Namun, realita berbeda dengan idealita. Kerap kali, kegiatan dan program Direktorat Intelijen Keimigrasian terhambat karena anggaran yang belum cair, atau sudah habis sebelum waktunya. Kiranya, ini perlu menjadi perhatian serius bagi para stakeholder, mengingat tugas dan fungsi Direktorat Intelijen Keimigrasian yang vital dan strategis dalam rangka menjaga kedaulatan dan pengamanan negara.

5.                Kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) yang Masih Minim
Kualitas dan kuantitas SDM yang minim tentu menjadi masalah klasik di semua instansi dari tahun ke tahun. Begitu juga dengan Direktorat Intelijen Keimigrasian. Permasalahan intelijen keimigrasian merupakan masalah khusus yang butuh penanganan khusus dan berbeda dengan permasalahan serupa lainnya. Oleh kerenanya, diperlukan SDM yang khusus pula. SDM yang mumpuni dan mampu menjawab isu-isu intelijen keimigrasian yang aktual.
 
Faktanya, minimnya produktifitas Direktorat Intelijen Keimigrasian tidak terlepas dari masih minimnya kompetensi SDM yang dimiliki. Telah dijelaskan diawal, bahwa penyelesaian masalah intelijen keimigrasian memerlukan SDM yang khusus dan terampil dalam bidang intelijen. Kompetensi tersebut tidak dapat dimiliki dengan sendirinya, melainkan melalui pendidikan dan pelatihan intelijen yang intensif. Selain minat dan bakat, tentu secara formal setiap petugas imigrasi yang menjadi agen intelijen keimigrasian harus menempuh dan melewati pendidikan dimaksud.

Alhasil, sukses tidaknya Direktorat Intelijen Keimigrasian sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas petugas imigrasi yang memiliki pendidikan dasar inteijen keimigrasian. Direktorat Inteiljen Keimigrasian membutuhkan petugas yang siap, terampil, dan terfokus di bidang intelijen keimigrasian. Sehingga, sangat dibutuhkan Petugas yang mampu melakukan operasi intelijen, menganalisis, serta menghasilkan produk intelijen yang akuratif, untuk melaksanakan tugas dan fungsi Direktorat Intelijen Keimigrasian.

6.                Koordinasi yang Lemah
Koordinasi menjadi topik permasalahan yang selalu ditemui, termasuk dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Direktorat Intelijen Keimigrasian. Koordinasi yang lemah menjadi akumulasi dari semua kendala dan hambatan yang terjadi. Misalnya, koordinasi yang lemah dapat terjadi karena adanya ego sektoral dari masing-masing instansi. Atau juga, dapat terjadi karena belum adanya SOP Operasi Intelijen (pulbaket) dan Si3.

Lebih lanjut, minimnya dana (anggaran) dan kompetensi SDM turut memberi sumbangsih terhadap lemahnya koordinasi yang dilakukan Direktorat Intelijen Keimigrasian dengan instansi lain. Selain itu juga, koordinasi membutuhkan sikap saling terbuka dan butuh satu sama lain. Koordinasi tidak dapat berjalan apabila masing-masing instansi saling tertutup dan menunjukan ego masing-masing. Arogansi sektoral demikian akan mematikan fungsi koordinasi yang menjadi bagian penting dalam setiap kegiatan dan program Direktorat Intelijen Keimigrasian.

Oleh karenanya, diperlukan kesadaran pada setiap instansi bahwa masalah intelijen keimigrasian merupakan masalah bangsa yang memerlukan perhatian dan kerja keras bersama. Apalagi isu keimigrasian dewasa ini menjadi diskusi serius, mengingat semakin meningkatnya perlintasan orang keluar dan masuk wilayah Indonesia. Sehingga dibutuhkan koordinasi yang intensif, guna menunjang kerja Direktora Intelijen Keimigrasian dalam memberi data dan informasi yang akurat demi menjaga kedaulatan dan keamanan negara.


Jakarta Selatan, April 2015
M. Alvi Syahrin


PENCEGAHAN DALAM KEADAAN MENDESAK



Pasal 92 UU No. 6 Tahun  2011 tentang Keimigrasian

Dalam keadaan yang mendesak pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (2) dapat meminta secara langsung kepada Pejabat Imigrasi tertentu untuk melakukan Pencegahan.

Penjelasan:
  • Secara normatif, berdasarkan Pasal 91 ayat (2) UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, pelaksanaan permintaan pencegahan dilakukan secara tertulis dan diajukan kepada Menteri Hukum dan HAM untuk selanjutnya dikeluarkan Keputusan Pencegahan oleh Menteri Hukum dan HAM atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk;
  • Namun, apabila dalam keadaan yang mendesak, pihak-pihak yang tersebut dalam Pasal 91 ayat (2) dapat meminta pencegahan secara langsung kepada Pejabat Imigrasi tertentu;
  • Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “keadaan yang mendesak”, misalnya orang yang akan dicegah dikhawatirkan melarikan diri keluar negeri pada saat itu juga atau telah berada di Tempat Pemeriksaan Imigrasi untuk keluar negeri sebelum keputusan pencegahan ditetapkan;
  • Oleh karena itu apabila dalam keadaan yang mendesak, maka Pejabat Imigrasi yang bertugas di Tempat Pemeriksaan Imigrasi dapat melakukan tindakan pencegahan segera mungkin.
Jakarta Selatan, April 2015
M. Alvi Syahrin
 
 

BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME TIDAK BERWENANG MENGAJUKAN PERMINTAAN PENCEGAHAN


 
Pasal 91 ayat (2) UU No. 6 Tahun  2011 tentang Keimigrasian

Menteri melaksanakan Pencegahan berdasarkan:

  • hasil pengawasan Keimigrasian dan keputusan Tindakan Administratif Keimigrasian; 
  • Keputusan Menteri Keuangan dan Jaksa Agung sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing dan ketentuan peraturan perundang-undangan; 
  • permintaan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  • perintah Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; 
  • permintaan Kepala Badan Narkotika Nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;dan/atau
  • keputusan, perintah, atau permintaan pimpinan kementerian/lembaga lain yang berdasarkan undang-undang memiliki kewenangan Pencegahan.

Penjelasan:
  • Pasal 91 ayat (2) huruf f UU No. 6 Tahun  2011 tentang Keimigrasian telah menentukan pihak-pihak mana saja yang dapat mengajukan permintaan pencegahan kepada Menteri Hukum dan HAM;
  • Terhadap pihak-pihak yang telah ditentukan tersebut, maka dimungkinkan bagi pimpinan kementerian / lembaga lain untuk dapat mengajukan permintaan pencegahan kepada Menteri Hukum dan HAM (Lihat Pasal 91 ayat (2) huruf f UU No. 6 Tahun  2011 tentang Keimigrasian)
  • Dalam Peraturan Presiden Presiden Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), tidak ditemukan satu pun pasal yang menyatakan kewenangan dari BNPT untuk meminta pelaksanaan pencegahan kepada Menteri Hukum dan HAM terkait keterlibatan warga negara Indonesia yang keluar wilayah Indonesia untuk bergabung dengan kelompok militan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS);
  • Pasal 91 ayat (2) huruf f UU No. 6 Tahun  2011 tentang Keimigrasian, menyebutkan hanya pimpinan kementerian / lembaga lain berdasarkan undang-undang yang dapat melakukan permintaan pelaksanaan pencegahan kepada Menteri Hukum dan HAM. Sedangkan, dasar hukum pembentukan BNPT hanya berdasarkan Peraturan Presiden.
  • Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 91 ayat (2) huruf f UU No. 6 Tahun 2011, maka Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tidak berwenang untuk meminta pelaksanaan pencegahan kepada Menteri  terkait keterlibatan warga negara Indonesia yang keluar wilayah Indonesia untuk bergabung dengan kelompok militan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).

Jakarta Selatan, April 2015
M. Alvi Syahrin