Wednesday, July 20, 2016

BAHAYA LATEN MIGRASI TENAGA KERJA TIONGKOK KE INDONESIA

“.... semakin besar pinjaman dan investasi Tiongkok kepada Indonesia, maka semakin besar pula potensi ekspansi warga negara Tiongkok di Indonesia. Rencana migrasi sepuluh juta tenaga kerja Tiongkok, harus diantisipasi serius oleh pemerintah. Ini bukan berbicara masalah angka, tetapi masalah kesempatan kerja rakyat Indonesia yang dirampas oleh pekerja kasar dari Tiongkok.”

Migrasi Terstruktur
Fenomena sosial politik yang terjadi saat ini sungguh mengkhawatirkan, khususnya terkait dengan ekspansi warga negara Tiongkok yang berbondong-bondong masuk ke wilayah Indonesia. Sejak Presiden Joko Widodo mencanangkan percepatan pembangunan, maka arus masuknya orang asing, terutama dari negara Tiongkok semakin membeludak. Semua kebijakan yang (mungkin) dahulu mempersulit investasi kini dipermudah.


Kebijakan Bebas Visa Kunjungan dan perubahan persyaratan tenaga kerja asing adalah sedikit regulasi yang membuka pintu arus masuknya warga negara asing ke Indonesia. Perhatian khusus tentu pada keberadaan warga negara Tiongkok. Adanya perjanjian Governement to Governement (G2G) antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) di sektor perindustrian, berimplikasi pada sumber daya manusia yang digunakan. Kerap kali dalam kontrak yang disajikan, memuat ketentuan bahwa klausul kontrak dapat dilaksanakan, jika menggunakan tenaga kerja dari negara asal, yaitu Tiongkok. Ketentuan ini ibarat satu paket dengan objek utama kontrak. Sehingga mau tidak mau, ketentuan ini harus dilaksanakan. Mengingat Indonesia sedang gencar-gencarnya melakukan pembangunan untuk meningkatkan perekonomian nasional.

Kesepakatan Bilateral Indonesia - Tiongkok
Kebijakan ini diawali pada saat Presiden Joko Widodo menyampaikan pidatonya di KTT APEC di Beijing, 8-12 November 2014, yang meminta agar negara-negara Asia Pasifik datang dan menanamkan modalnya di Indonesia. Hal ini ditanggapi serius oleh Tiongkok yang kemudian langsung membuat rencana investasi besar-besaran di Indonesia. Penjajakan investasi itu dikonkritkan oleh Presiden Joko Widodo lewat kunjungannya ke Beijing pada tanggal 25-27 Maret 2015.


Kedelapan nota kesepahaman itu adalah kerjasama ekonomi antara Kemenko Perekonomian RI dan Komisi Reformasi dan Pembangunan Nasional RRT, kerjasama Proyek Pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung antara Kementerian BUMN dan Komisi Reformasi dan Pembangunan Nasional RRT, kerjasama Maritim dan SAR antara Basarnas dan Kementerian Transportasi RRT, Protokol Persetujuan antara Pemerintah RRT dan RI dalam pencegahan pengenaan pajak ganda kedua negara, Kerja Sama Antariksa 2015-2020 antara LAPAN dan Lembaga Antariksa RRT, kerjasama saling dukung antara Kementerian BUMN dan Bank Pembangunan Tiongkok, kerjasama antara pemerintah RRT dan RI dalam pencegahan pengenaan pajak ganda kedua negara dan kerja sama bidang industri dan infrastruktur antara Kementerian BUMN dan Komisi Reformasi dan Pembangunan Nasional RRT.


Sebagai tindak lanjut dari penandatanganan nota kesepahaman itu, Wakil Perdana Menteri Tiongkok Liu Yandong, datang ke Indonesia pada tanggal 27 Mei 2015. Dalam sambutannya di Auditorium FISIP UI, Yandong mengatakan bahwa akan mengirimkan banyak warga negaranya untuk datang ke Indonesia demi mencapai kerjasama yang ideal antara Indonesia dan Tiongkok dalam berbagai bidang. Menurut Liu Yandong, Tiongkok akan lebih mempererat kerja sama dengan Indonesia di bidang keamanan politik, ekonomi dan perdagangan, serta humaniora. Kerjasama bilateral Indonesia-Tiongkok sangat penting mengingat jumlah penduduk kedua negara sangatlah besar mencapai 1,6 miliar jiwa atau seperempat dari total penduduk dunia.

Isu-Isu Strategis
Asaaro Lahagu, Kolomnis Koran Kompas, dalam artikelnya yang berjudul “Implikasi Kerjasama Cina-Indonesia: Masuknya Ribuan Pekerja Cina di Banten dan Papua”, menyampaikan bahwa dalam mewujudkan kedelapan nota kesepahaman antara Indonesia-Tiongkok itu, setidaknya akan ada beberapa implikasi yang memunculkan isu-isu strategis terutama bagi Indonesia. Isu-isu itu sangat sensitif dan bisa membahayakan Indonesia ke depan. Isu-isu strategis itu adalah:

Pertama, migrasi besar-besaran sepuluh juta  warga Tiongkok ke Indonesia. Migrasi itu terkait dengan investasi besar Tiongkok di Indonesia. Kedatangan warga negara Tiongkok berpeluang memunculkan isu-isu politik yang krusial. Selain itu akan menimbulkan persaingan budaya antara warga negara Tiongkok dengan Pribumi. Ini menjadi sumber masalah baru bagi bangsa Indonesia ke depannya. Mengingat jumlah sepuluh juta jiwa itu bukanlah suatu jumlah yang sedikit, dikhawatirkan menjadi strategi Tiongkok untuk menguasai Indonesia. Secara pelan memasukkan warga negara Tiongkok ke Indonesia, kemudian mendesak keluar warga pribumi Indonesia pada perannya di sektor-sektor strategis di Indonesia untuk digantikan warga Tiongkok.


Kedua, program Presiden Joko Widodo yang meminjam dana dari Tiongkok sebanyak 520 triliun atau USD 40 miliar dengan motif investasi untuk membiayai sejumlah BUMN seperti proyek kereta api di berbagai daerah di Indonesia dan pembiayaan listrik 35 ribu Mega Watt (MW), membuat posisi Indonesia berada di posisi rawan. Sekarang ini kondisi perekonomian Indonesia belum menunjukan perubahan positif secara signifikan. Jika nanti terjadi krisis dan tidak mampu bayar, maka secara otomatis perusahaan-perusahaan BUMN akan jatuh kepada tangan asing. Dengan kata lain, jika terjadi krisis seperti yang terjadi pada tahun 1998, maka sebagian besar BUMN Indonesia akan jatuh ke tangan Tiongkok.

Ketiga, dana yang digelontorkan oleh Tiongkok dengan motif investasi, selalu terlampir syarat-syarat terselubung. Salah satu syarat yang sudah terlaksana dan disetujui oleh Joko Widodo adalah bahwa pelaksanaan seluruh mega proyek Tiongkok di Indonesia mengharuskan tenaga kerjanya didatangkan dari Tiongkok. Persetujuan ini kemudian menjadi nyata ketika mulai datang ribuan tenaga kerja dari Tiongkok ke Indonesia. Kedatangan ribuan tenaga kerja dari Tiongkok dan ditempatkan di berbagai daerah di Indonesia, bertolak belakang dengan tindakan pemutusan hubungan kerja yang terjadi. Kenyataan tersebut tentu telah melanggar Keputusan Menteri Ketenagakerjaan RI No 15 Tahun 2015 tentang Jabatan yang Dapat Diduduki oleh Tenaga Kerja Asing di Indonesia.

Keempat, izin kepemilikan properti oleh warga asing di Indonesia. Percepatan proyek pembangunan hotel, apartemen, menara kondominium dan properti lainnya adalah untuk menampung warga negara Tiongkok dalam jumlah besar yang akan segera datang ke Indonesia. Bukan sekedar berkunjung, tapi diduga menetap selamanya. Rencana pemberian izin kepada warga negara asing untuk memiliki properti di Indonesia bertepatan dengan migrasi warga negara Tiongkok ke Indonesia. Dengan begitu warga negara Tiongkok yang berdatangan akan secara sah memiliki properti di Indonesia dan memudahkan mereka untuk juga secara sah menjadi warga negara Indonesia. Berbagai media menginformasikan bahwa puluhan ribu Kartu Tanda Penduduk (KTP) indonesia telah dipalsukan untuk mememudahkan warga negara Tiongkok yang akan masuk ke Indonesia. Dengan memiliki properti dan KTP, akan mudah lagi bagi mereka untuk mengusai Indonesia sepenuhnya.

Implikasi kerjasama Tiongkok-indonesia itu memang bisa menguntungkan Indonesia dengan mendapat investasi besar-besaran dari Tiongkok. Namun sebaliknya bisa juga berpotensi merugikan Indonesia terutama memunculkan isu-isu strategis yang dapat merugikan bangsa.

Paket Kebijakan Investasi Pro Tiongkok
Membeludaknya jumlah warga negara Tiongkok di Indonesia tidak terlepas dari kebijakan yang dibuat oleh Presiden Joko Widodo, yaitu Kebijakan Bebas Visa Kunjungan. Kebijakan ini diawali dengan dibentuknya Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2015, kemudian diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2015, hingga yang terakhir Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2016 yang memberikan bebas visa kunjungan kepada 169 negara.

Kebijakan Bebas Visa Kunjungan yang telah mengalami perubahan hingga tiga kali ini menjadi momentum bagi ekspansi masuknya warga negara asing ke Indonesia, khususnya Tiongkok. Tiongkok sebagai negara yang memiliki hubungan bilateral G2G terhadap Indonesia, sangat memiliki kepentingan terhadap kebijakan ini.

Selanjutnya di bidang ketenagakerjaan. Pemerintah dalam waktu kurang dari dua tahun, telah merevisi Permenakertrans Nomor 12 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing dengan mengeluarkan Permenakertrans Nomor 16 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing. Dua peraturan ini dilahirkan dari rezim pemerintahan yang berbeda. Revisi dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang menuntut percepatan pembangunan dengan mendatangkan tenaga kerja Tiongkok. Perubahan krusial terdapat pada ketentuan yang menghilangkan syarat pendidikan S1 dan kemampuan berbahasa Indonesia bagi tenaga kerja asing.


Tidak hanya itu, ketentuan yang mengharuskan suatu perusahaan apabila ingin memperkerjakan satu tenaga kerja asing, harus merekrut sepuluh tenaga kerja Indonesia, kini juga dihapus oleh Kemenakertrans. Semestinya, ketentuan tentang persyaratan tenaga kerja asing ini harus menjadi perhatian serius, khususnya terkait dengan posisi jabatan, jumlah, prosedur, dan waktu yang harus dibatasi. Disini terlihat jelas bagaimana usaha dari pemerintah untuk merubah aturan yang sudah ada agar memudahkan tenaga kerja asing masuk ke Indonesia.

Regulasi ketenagakerjaan menentukan bahwa tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia harus sesuai dengan keahlian dan menempati jabatan tertentu serta bertujuan untuk mentransfer ilmu kepada pendampingnya, yakni warga negara Indonesia dengan waktu yang ditentukan. Namun, faktanya sebagian besar tenaga kerja (ilegal) Tiongkok adalah buruh kasar. Ini berarti pemerintah sama saja menyakiti rakyat dengan mempersempit peluang kerja, di saat angka pengangguran di Indonesia masih tinggi. Pemerintah kelihatan terkesan tunduk pada kemauan investor. Akibatnya pihak Kemenakertrans menjadi dalang dari kedatangan ribuan buruh asal Tiongkok itu. Sehingga diperlukan tindakan tegas darii pihak terkait, seperti Direktorat Jenderal Imigrasi, Kepolisian, dan  TNI untuk mengantisipasi keberadaan warga negara asing tersebut.

Sepuluh Juta Warga Negara Tiongkok (?)
Sejak diberlakukannya kebijakan Bebas Visa Kunjungan, maka jumlah warga negara asing ke Indonesia meningkat tajam. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kunjungan wisatawan mancanegara atau wisman dalam arti luas ke Indonesia pada Februari 2016 mencapai 888,3 ribu kunjungan, naik 5,26 persen dibanding kunjungan Februari 2015. Begitu pula, jika dibandingkan dengan Januari 2016, mengalami kenaikan  sebesar 9,09 persen. Secara kumulatif, pada Januari-Februari 2016, jumlah kunjungan wisman dalam arti luas ke Indonesia mencapai 1,70 juta kunjungan atau naik 4,46 persen dibandingkan jumlah kunjungan wisman pada periode yang sama tahun sebelumnya yang berjumlah 1,63 juta kunjungan. Dari angka tersebut, sekitar tiga puluh persen didominasi oleh warga negara Tiongkok.


Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Imigrasi pada tahun 2014, jumlah pelanggaran keimigrasian yang dilakukan warga negara Tiongkok sangat mendominasi. Perbandingan antara jumlah pelanggaran dan jumlah perlintasan yang dilakukan oleh warga negara Tiongkok adalah 3.816 berbanding 884.743. Jumlah tersebut adalah yang tertinggi bila dibandingkan dengan negara-negara lain seperti.

Terkait dengan adanya eksodus sepuluh juta warga negara Tiongkok ke Indonesia harus diantisipasi secara serius oleh Pemerintah. Walaupun belum ada data konkrit, namun Wakil PM Tiongkok, Liu Yandong, membenarkan akan ada sepuluh juta warga negara Tiongkok yang datang secara bertahap ke Indonesia. Pernyataan tersebut disampaikan pada saat ia memberikan pidato sambutan di Auditorium FISIP Universitas Indonesia.

Namun belakangan ini, rumor tersebut segera dibantah oleh Menteri Tenaga Kerja, Muhammad Hanif Dhakiri. Menurutnya, angka sepuluh juta orang itu adalah target wisatawan asing, bukan tenaga kerja asing. Ia menuturkan jumlah pekerja asal Tiongkok sangat fluktuatif, sekitar 14.000 orang hingga 16.000 orang dalam periode satu tahun. Sebagaimana tenaga kerja asing lain di Indonesia yang totalnya 70.000-an orang, tenaga kerja asal Tiongkok masuk dalam periode satu tahun tersebut. Dengan kata lain, teanaga kerja asal Tiongkok yang masuk ke Indonesia hanya sekitar 20-22 persen setiap tahunnya.


Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra dalam artikelnya di Republika (19/07) berpendapat angka sepuluh juta wisatawan Tiongkok ke Indonesia memang bisa diperdebatkan. Tapi jumlah itu dapat saja terjadi dalam beberapa tahun ke depan sejalan dengan kian membesarnya pinjaman proyek dan investasi mereka di Indonesia. Ini bukan hanya persoalan angka sepuluh juta, tetapi masalah kesempatan kerja rakyat Indonesia yang dirampas oleh pekerja kasar dari Tiongkok. Semakin besar pinjaman dan investasi mereka di Indonesia, maka semakin besar pula potensi ekspansi warga negara Tiongkok di Indonesia. Mereka pada akhirnya hanya akan menciptakan lapangan pekerjaan untuk warganya (Tiongkok) di Indonesia, sedangkan rakyat kita tidak mendapat manfaat apapun.

Penjelasan Menakertrans yang membandingkan jumlah tenaga kerja Indonesia di Hongkong jauh lebih besar dari tenaga kerja Tiongkok adalah keliru. Mereka bekerja disana berdasarkan kontrak, sehingga dapat dipulangkan kapan saja. Berbeda dengan tenaga kerja Tiongkok di Indonesia yang kebanyakan ilegal. Lebih lanjut, keberadaan tenaga kerja Indonesia di Hongkong dan Tiongkok dengan mudah dapat dibedakan dari warga lokal, sedangkan pekerja Tiongkok sangat sulit dibedakan dengan warga negara Indonesia kalangan Tionghoa yang sudah lama menetap di Indonesia.

Populasi Melebihi Pencari Suaka dan Pengungsi
Perlu dipahami, untuk jangka waktu panjang sebaran warga negara Tiongkok yang bekerja di Indonesia dapat melebihi jumlah pencari suaka dan pengungsi yang sampai saat ini menjadi persoalan yang tak kunjung usai bagi pemerintah. Dengan adanya berbagai kemudahan yang diberikan, cepat atau lambat akan keberadaan tenaga kerja Tiongkok menimbulkan ancaman serius bagi pemerintah.

Berdasarkan data yang dirilis oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans), pada Tahun 2014 ada sekitar 68.000 tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia dengan memiliki Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA). Lalu, pada tahun 2015 mengalami pengingkatan hingga 69.000 orang. Untuk bulan Juni 2016,  telah menyentuh angka 43.000 orang. Jumlah tersebut diperkirakan akan terus mengalami peningkatan, mengingat paket kebijakan pro investasi semakin gencar dikeluarkan oleh pemerintah.


Untuk tenaga kerja Tiongkok yang bekerja di Indonesia hingga Juni 2016, berjumlah 14.500 tenaga kerja yang mendapatkan izin kerja secara sah. Sedangkan pada Tahun 2015 berjumlah 15.000 orang dan pada Tahun 2014 berjumlah 16.800. Berdasarkan data tersebut, jumlah tenaga kerja Tiongkok yang datang ke Indonesia pada tahun 2016 cenderung mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Tren tersebut dipicu karena adanya hasil kerja sama bilateral G2G antara Indonesia dan Tiongkok di sektor perekonomian.
Sebagaimana diketahui, angka tersebut telah melampaui jumlah imigran ilegal (pencari suaka dan pengungsi) di seluruh Indonesia yang menurut data Direktorat Jenderal Imigrasi  per 30 September 2015, mencapai 13.405 orang. Perbedaan yang cukup jauh mengingat migrasi warga negara Tiongkok ke Indonesia meningkat tajam hanya dalam kurun waktu kurang dari tiga tahun dan akan terus mengalami peningkatan hingga beberapa tahun ke depan.

Implikasi Hukum dan Sosial
Banyak alasan mengapa pemerintah memilih Tiongkok sebagai mitra kerja untuk menanamkan investasi nya di Indonesia. Salah satunya yaitu dari sumber daya manusia yang murah. Upah tenaga kerja Tiongkok dapat terbilang murah. Selain itu juga kemampuan fisik serta etos kerja yang berbeda dengan pekerja lokal. Anggapan yang berkembang, bila suatu proyek dikerjakan oleh tenaga kerja Tiongkok dapat selesai dalam kurun waktu enam bulan, sedangkan bila menggunakan tenaga kerja lokal maka bisa memakan waktu satu tahun bahkan lebih. Tentu ini tidak dapat dijadikan alasan pembenar untuk melegalkan migrasi besar-besaran warga negara Tiongkok di Indonesia.

Keberadaan tenaga kerja Tiongkok juga kerap kali menimbulkan permasalahan sosial bagi masyarakat sekitar. Perbedaan bahasa dan budaya menjadi pemicu timbulnya keributan. Masyarakat lokal cenderung tidak menerima kehadiran tenaga kerja asing. Mereka menganggap keberadaan tenaga kerja Tiongkok di sana telah mengambil lapangan pekerjaan dan tidak menutup kemungkinan mengancam keberlangsungan hidup mereka. Bahkan yang mungkin tidak terpikirkan oleh kita adalah makin maraknya kegiatan porstitusi sebagai ekses dari keberadaan tenaga kerja Tiongkok ini di Indonesia. Bekerja dalam waktu yang lama dan jauh dari keluarga, menyebabkan terjadinya kegiatan porstitusi.

Berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) No. 16 Tahun 2015 dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 15 Tahun 2015, tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia hanya dapat menduduki jabatan tertentu,  memiliki keahlian khusus, dan profesional di bidangnya. Normatifnya, ekspatriat yang dapat bekerja di Indonesia adalah para pekerja spesialis yang keahliannya tidak dimiliki oleh masyarakat lokal.


Namun, fakta di lapangan banyak ditemui tenaga kerja Tiongkok yang melakukan pekerjaan tidak sesuai IMTA yang diberikan. Katakanlah, dalam IMTA disebutkan pekerjaannya adalah Engineering Specialist atau Electronical Specialist, namun kenyataannya mayoritas mereka melakukan pekerjaan kasar, seperti mengaduk semen, memasang batu bata, mengangkat batu dan besi, bahkan pernah ditemukan sebagai tukang masak (koki) pada perusahaan tersebut. Mayoritas tenaga kerja Tiongkok (ilegal) adalah unskill worker, yang bekerja bukan atas dasar kualifikasi dan keahlian tertentu.

Pada tahun 2014, Penulis yang tergabung dalam Tim Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian Kantor Imigrasi Kelas II Muara Enim melakukan pengawasan keimigrasian terhadap keberadaan orang asing di PT. Priamanaya Energy yang bertempat di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Ditemukan kurang lebih 350 tenaga kerja Tiongkok yang tidak sesuai dengan izin tinggal diberikan. Hampir semuanya menggunakan Visa Kunjungan Satu Kali Perjalanan (B.211), bahkan sebagian besar dari mereka telah overstay di Indonesia. Berdasarkan data paspor dan pengamatan fisik, tidak sedikit dari mereka adalah pekerja di bawah umur. Tentu selain adanya pelanggaran keimigrasian, ada dugaan kejahatan sindikat perdagangan manusia (human traficking) di dalam kegiatan tersebut. Ini menjadi ironi di saat Indonesia membuka pintu masuk seluas-luasnya bagi investasi dengan jaminan percepatan pembangunan, di sisi lain pelanggaran hukum semakin meningkat. Jangan sampai kita mengorbankan negara hanya untuk kepentingan asing.

Kasus Faktual
Tenaga kerja Tiongkok yang berada di Indonesia mendominasi sektor konstruksi. Satu di antaranya adalah pembangunan PLTU Celukan Bawang, di Buleleng, Bali yang dikerjakan oleh empat kontraktor, yaitu China Huadian Power Plant, China Huadian Engineering Co. Ltd, PT CR 17, dan mitra lokal PT General Energy Bali. Proyek PLTU berkapasitas 3x100 MW tersebut bernilai Rp. 9 triliun. Dengan nominal sebanyak itu, tentu Pemerintah Tiongkok memiliki misi untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi warganya di Indonesia.

Selain itu juga, tentu kita masih ingat kasus tertangkapnya lima orang warga negara Tiongkok berbaju militer dan dua orang warga negara Indonesia oleh Tim Patroli TNI Angkatan Udara Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur (27/04). Kepala Dinas Penerangan TNI AU, Marsekal Pertama Wieko Syofyan mengatakan ketujuh pekerja yang lima di antaranya merupakan tenaga kerja Tiongkok telah memasuki area Lanud tanpa izin dan melakukan pengeboran secara ilegal.


Berdasarkan hasil pemeriksaan kelima orang warga negara Tiongkok itu merupakan karyawan PT Geo Central Mining yang beralamat di Pantai Indah Kapuk, Bukit Golf, Jakarta Utara dan juga counterpart dari PT Wijaya Karya. Mereka kemudian diamankan oleh Kantor Imigrasi Kelas I Jakarta Timur. Setelah dilakukan pemeriksaan, mereka memang bekerja dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Diduga terdapat pelangaran keimigrasian berupa tidak dapat menunjukkan dokumen perjalanan serta izin tinggal.

Mayoritas pelanggaran keimigrasian yang dilakukan oleh warga negara Tiongkok di Indonesia adalah melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan izin tinggal yang telah diberikan. Selain itu juga tidak dapat menunjukkan paspor dan izin tinggal, karena dipegang oleh pihak sponsor. Sebagian besar dikenakan Pasal 116 dan Pasal 122 huruf a UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.

Pasal 116 UU No. 6 Tahun 2011 menentukan bahwa “Setiap orang asing yang tidak melakukan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah).” Pasal 71 mengatur bahwa “Setiap orang asing yang berada di wilayah Indonesia wajib: (a) memberikan segala keterangan yang diperlukan mengenai identitas diri dan/atau keluarganya serta melaporkan setiap perubahan status sipil, kewarganegaraan, pekerjaan, Penjamin, atau perubahan alamatnya kepada Kantor Imigrasi setempat; atau (b) memperlihatkan dan menyerahkan Dokumen Perjalanan atau Izin Tinggal yang dimilikinya apabila diminta oleh Pejabat Imigrasi yang bertugas dalam rangka pengawasan Keimigrasian.”

Kemudian Pasal 122 huruf a UU No. 6 Tahun 2011 mengatur bahwa “Setiap orang asing yang dengan sengaja menyalahgunakan atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian izin tinggal yang diberikan kepadanya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).” Kedua pasal ini merupakan pasal yang paling banyak dilanggar oleh warga negara asing, khususnya tenaga kerja yang berasal dari Tiongkok.


Selain pelanggaran keimigrasian, kegiatan pekerja Tiongkok di Indonesia juga menimbulkan kejahatan lainnya, seperti cyber crime. Jauh sebelum diberlakukannya kebijakan bebas visa kunjungan untuk negara Tiongkok, kejahatan cyber crime masih terbilang minim. Namun, sekitar satu tahun setelah diberlakukannya kebijakan ini maka persentasenya meningkat tajam dan itu hampir semuanya dilakukan oleh warga negara Tiongkok.


Terakhir, kasus cyber crime yang menarik perhatian publik terjadi di kawasan Bogor (21/06). Polresta Bogor Kota dan Kantor Imigrasi Kelas I Bogor mengamankan 31 WN China yang diduga melakukan cyber fraud di perumahan mewah di kawasan Bogor. Para pelaku ditengarai telah beroperasi sejak April 2016. Mereka melakukan kejahatan transnasional dengan modus operandi penipuan online kepada korban warga negara Tiongkok. Mereka melaklukan penipuan secara online kepada warganya sendiri, namun menjadikan Indonesia sebagai homebase mereka.

Pengawasan dan Penegakan Hukum
Penegakan hukum terkait ekspansi warga negara Tiongkok yang melakukan pelanggaran, mau tidak mau harus segera dilaksanakan, terutama di bidang keimigrasian. Penyalahgunaan izin tinggal merupakan pelanggaran yang paling banyak dilakukan. Diperlukan koordinasi antar lembaga guna meningkatkan pengawasan selama mereka melakukan kegiatan di Indonesia. Keberadaan Sekretariat Tim Pengawasan Orang Asing (Tim Pora) yang melibatkan TNI, Polri, Kejaksaan, Kemenakertrans, dan lembaga lainnya, perlu didukung secara maksimal. Peran serta masyarakat sebagai pihak yang paling sering bersentuhan dengan warga negara asing (Tiongkok) harus diberdayakan.



Perosalan migrasi warga negara Tiongkok ke Indonesia bukan hanya masalah satu atau dua institusi, tapi menjadi permasalahan bangsa. Keberadaan tenaga kerja Tiongkok ibarat dua sisi mata uang, yang (mungkin) dapat mensejahterakan masyarakat, tapi juga mengganggu keamanan negara. Tidak hanya itu, dalam jangka panjang dapat memberikan pengaruh negatif terhadap perkembangan ideologi, sosial, politik, dan ekonomi. Jangan sampai kita yang punya wilayah dan sumber daya, malah menjadi penonton di negara sendiri. Indonesia adalah negara berdaulat. Kedaulatan itulah yang harus dijaga, bukan untuk digadaikan. (Alvi)

Depok, Juli 2016
M. Alvi Syahrin

RESISTENSI KEBIJAKAN SELEKTIF KEIMIGRASIAN DITENGAH EKSODUS TENAGA KERJA TIONGKOK (?)

“..... walau suasana politik ekonomi saat ini menuntut Indonesia harus membuka diri dari masuknya tenaga kerja asing (Tiongkok), bukan berarti harus meninggalkan kebijakan selektif keimigrasian. Silahkan mereka masuk, berinvestasi, dan bekerja di Indonesia, tapi hanya mereka yang membawa manfaat serta tidak membahayakan keamanan dan ketertiban umum.”

Opendeur Politiek (Kebijakan Pintu Terbuka)
Sebagaimana diketahui kedatangan orang Belanda ke Indonesia pada abad XVI dan XVII adalah untuk berdagang rempah-rempah. Sejak semula Pemerintah Kerajaan Belanda amat mendukung usaha itu. Pada tahun 1602-1830, Kongsi Dagang Belanda, VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), bersaing dengan kongsi-kongsi dagang Portugis, Spanyol, dan Inggris. Kongsi-kongsi dagang dari Eropa itu diperkuat dengan pasukan yang dipersenjatai. Para pedagang dari Portugis dan Spanyol kian tersingkir dari nusantara, digantikan oleh Belanda dan Inggris.

Setelah Kulturstelsel dihentikan, daerah Hindia Belanda dijadikan daerah penanaman modal dengan berbagai kemudahan bagi para kapitalis untuk bergerak di sektor perdagangan. Maka berdirilah onderneming yang bergerak di bidang perkebunan, maskapai-maskapai pertambangan minyak bumi, timah, batu bara, emas, dan industri pabrik gula. Semuanya itu tentu memerlukan tenaga kerja (manpower) yang luas.


Untuk mendapatkan tenaga kerja yang luas dan murah bagi para penanam modal, dilakukanlah politik yang memberi kesempatan yang luas kepada bangsa asing yang ingin masuk ke Indonesia. Maka membanjirlah arus migrasi ke Indonesia. Selain orang Belanda dan Eropa lainnya, didatangkan para pekerja murah dari daratan Tiongkok dan India.

Politik (kebijakan) keimigrasian yang diterapkan di Hindia Belanda disebut opendeur politiek atau yang disebut politik pintu terbuka (yang sebenarnya suatu istilah ekonomi kolonial), yaitu kebijakan yang membuka Hindia Belanda seluas-luasnya bagi orang asing untuk masuk, menetap, dan menjadi penduduk Hindia Belanda. Opendeur politiek pada hakikatnya tak pernah diubah sampai Indonesia merdeka. Menurut M. Iman Santoso, Mantan Direktur Jenderal Imigrasi sekaligus Guru Besar Ilmu Hukum Keimigrasian, menjelaskan secara tersurat tidak ada ditetapkan politik keimigrasian kolonial bersifat terbuka, tetapi dari berbagai peraturan di bidang kependudukan, kewarganegaraan, pemberian izin masuk, dan izin tinggal dapat disimpulkan bahwa politik keimigrasian pada masa kolonial adalah bersifat pintu terbuka.



Menurutnya, kebijakan politik pintu terbuka ini bermaksud membuka kesempatan seluas-luasnya bagi orang asing untuk menetap dan melakukan kegiatan di Hindia Belanda. Dengan semakin banyak dan bervariasi golongan atau keturunan bangsa asing masuk, tinggal, dan bekerja di Hindia Belanda maka semakin baik. Diharapkan sektor perekonomian dan politik tetap dikuasai bangsa asing, sehingga golongan bumiputera diharapkan akan tetap di bawah jajahan bangsa Belanda.

Singkat kata, kebijakan pintu terbuka ini mempunyai tujuan sebagai berikut: (i) mendapatkan tenaga kerja murah untuk menekan penduduk asli sekaligus menciptakan kesenjangan sosial dan ekonomi antara pendatang dan penduduk asli, (ii) menarik modal asing dan pengaruh asing sebesar-besarnya agar kesempatan bagi bumiputera (pribumi) semakin tertutup dan dapat ditekan oleh pengaruh tadi sehingga bangsa Indonesia sudah tentu tetap menjadi bangsa terjajah, dan (iii) bila ada serangan dari luar terhadap Hindia Belanda, pemerintah Belanda tidak akan sendiri menghadapinya karena negara penanam modal tidak akan tinggal diam untuk melindungi kepentingan modalnya. Dengan demikian bahwa poliitk keimigrasian kolonial hanya mengatur kehadiran orang asing dan berpihak pada kepentingan pemerintah jajahan.

Resistensi Kebijakan Keimigrasian
Sejak Indonesia merdeka hingga tanggal 22 Mei 1992, politik hukum keimigrasian masih merujuk pada aturan hukum kolonial. Dilihat dari sudut pandang sejarah Imigrasi di Indonesia, kebijakan kemigrasian masih belum sepenuhnya bersumber pada hukum nasional. Sebagaimana diketahui, orientasi kebijakan Presiden Soeharto pada masa itu adalah pembangunan yang  mengharuskan dibukanya pintu investasi sebesar-besarnya. Sehingga kebijakan keimigrasian yang berlaku dari zaman kolonial hingga masa pemerintahan Soerharto adalah bersifat terbuka.

Setelah diberlakukannya UU No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, maka kebijakan dan pengaturan keimigrasian yang tergambar adalah selective policy (kebijakan selektif). Namun dalam pelaksanaannya tidak maksimal, terutama sejak diberlakukannya kebijakan Bebas Visa Kunjungan Singkat (BVKS). Kebijakan BVKS pada masa itu ditetapkan oleh Menteri Kehakiman RI  dalam SK No. M.O1-IZ.01.02 Tahun 1993 yang berisi pembebasan visa bagi kunjungan singkat 60 hari dan tidak dapat diperpanjang kepada 20 negara tambahan dan perubahan 26 negara Bebas Visa Kunjungan Wisata (BVKW) menjadi Bebas Visa Kunjungan Singkat, termasuk perubahan atas penambahan beberapa negara.


Modifikasi kebijakan BVKS dan BVKW ini muncul pada saat Joop Ave menjadi Menteri Pariwisata. Pada saat itu perluasan defenisi kepariwisataan secara internasional, bahwa wisata tidak lagi diartikan secara sempit sekedar rekreasi, tetapi juga meliputi kegiatan lain, asalkan bukan bekerja. Kalangan Imigrasi pada waktu itu tidak setuju pemberian BVKS terhadap orang asing. Kebijakan tersebut mendapat respon negatif dari salah seorang anggota Badan Perencana Pariwisata Nasional (Bapparnas), Hj. Irtje Irza Ratubagus Sianturi, sekaligus Pejabat Imigrasi yang menyampaikan pernyataan kepada Joop Ave bahwa Departemen Pariwisata harus meningkatan pengawasannya.

Sehingga dengan adanya kebijakan tersebut menyebabkan politik keimigrasian kembali bernuansa terbuka (opendeur policy). Akibatnya walaupun secara de jure disyaratkan selektifitas dalam hal lalu lintas orang keluar masuk wilayah RI, namun secara de facto wilayah Indonesia menjadi terbuka terhadap setiap kedatangan warga negara asing.

Dalam kurun waktu 71 tahun Indonesia merdeka, republik ini telah mengalami berbagai bentuk kebijakan keimigrasian. Indonesia pernah menganut prinsip kebijakan keimigrasian terbuka, selektif, dan selektif bernuansa terbuka. Resistensi ini tentu sangat dipengaruhi oleh suasana dan kepentingan politik di masing-masing pemerintahan.

Untuk saat ini kebijakan keimigrasian yang dianut dalam UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian adalah kebijakan selektif yang meneruskan konsep kebijakan keimigrasian dalam UU No. 9 Tahun 1992. Di dalam Penjelasan UU No. 6 Tahun 2011 dijelaskan bahwa kebijakan selektif mengharuskan bagi orang asing yang masuk dan berada di wilayah Indonesia harus sesuai dengan maksud dan tujuannya. Kebijakan dimaksud dalam rangka melindungi kepentingan nasional, dimana hanya orang asing yang memberikan manfaat serta tidak membahayakan keamanan dan ketertiban umum diperbolehkan masuk dan berada di wilayah Indonesia.

Namun faktanya, saat ini kita terjebak kembali dalam konsep kebijakan keimigrasian kolonial. Jika beberapa puluh tahun yang lalu, tenaga kerja murah didatangkan untuk kepentingan investor Hindia  Belanda, saat ini pemerintah kembali mengulang orientasi kebijakan dengan mendatangkan tenaga kerja Tiongkok dengan dalih untuk mempercepat proses pembangunan. Kebijakan selektif menjadi tidak maksimal, ketika pemerintah menganulir regulasi nya sendiri hanya demi untuk percepatan pembangunan yang instan tanpa melihat dampak buruk ke depannya.

Paket Kebijakan Investasi Pro Tiongkok
Adanya perjanjian Governement to Governement (G2G) antara Indonesia dan Tiongkok di sektor perindustrian, berimplikasi pada sumber daya manusia yang digunakan. Kerap kali dalam kontrak yang disajikan, memuat ketentuan bahwa klausul kontrak dapat dilaksanakan jika menggunakan tenaga kerja dari negara asal, yaitu Tiongkok. Ketentuan ini ibarat satu paket dengan objek utama kontrak. Sehingga mau tidak mau, ketentuan ini harus dilaksanakan. Mengingat Indonesia sedang gencar-gencarnya melakukan pembangunan fisik untuk meningkatkan perekonomian nasional.

Kebijakan Bebas Visa Kunjungan dan perubahan persyaratan tenaga kerja asing adalah sedikit regulasi yang membuka pintu arus masuknya warga negara Tiongkok ke Indonesia. Membeludaknya jumlah tersebut tidak terlepas dari kebijakan yang dibuat oleh Presiden Joko Widodo, yaitu Kebijakan Bebas Visa Kunjungan. Kebijakan ini diawali dengan dibentuknya Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2015, kemudian diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2015, hingga yang terakhir Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2016 yang memberikan Bebas Visa Kunjungan kepada 169 negara.

Kebijakan yang telah mengalami perubahan hingga tiga kali ini menjadi momentum bagi ekspansi masuknya warga negara asing ke Indonesia, khususnya Tiongkok. Tiongkok sebagai negara yang memiliki hubungan bilateral G2G terhadap Indonesia, sangat memiliki kepentingan terhadap kebijakan ini.


Alasan ekonomi dan pariwisata yang menjadi dasar pemberlakukan kebijakan Bebas Visa Kunjungan tidaklah tepat. Sejauh ini belum ada angka pasti yang menyebutkan seberapa besar pengaruh positif bagi perekonomian bangsa terkait dengan kebijakan tersebut. Dari sudut pandang legalitas, Kebijakan ini bertentangan dengan Pasal 43 ayat (2) UU No. 6 Tahun 2011 yang mensyaratkan bahwa orang asing dapat dibebaskan dari kewajiban memiliki visa apabila telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden dengan memperhatikan asas timbal balik dan asas manfaat. Lalu, apa Tiongkok juga memberlakukan Bebas Visa Kunjungan kepada Indonesia? Apakah kebijakan tersebut lebih besar manfaatnya dibanding kerugian yang ditimbulkan? Pertanyaan ini yang harus dijawab dan menjadi perhatian serius pemerintah.

Selanjutnya di bidang ketenagakerjaan. Pemerintah dalam waktu kurang dari dua tahun, telah merevisi Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) No. 12 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing dengan mengeluarkan Permenakertrans Nomor 16 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing. Dua peraturan ini dilahirkan dari rezim pemerintahan yang berbeda. Revisi dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang menuntut percepatan pembangunan dengan mendatangkan tenaga kerja Tiongkok. Perubahan krusial terdapat pada ketentuan yang menghilangkan syarat pendidikan S1 dan kemampuan berbahasa Indonesia bagi tenaga kerja asing.


Tidak hanya itu, ketentuan yang mengharuskan suatu perusahaan apabila ingin memperkerjakan satu tenaga kerja asing, harus merekrut sepuluh tenaga kerja Indonesia, kini juga dihapus oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans). Semestinya, ketentuan tentang persyaratan tenaga kerja asing ini harus menjadi perhatian serius, khususnya terkait dengan posisi jabatan, jumlah, prosedur, dan waktu yang harus dibatasi. Disini terlihat jelas bagaimana usaha dari pemerintah untuk merubah aturan yang sudah ada agar memudahkan tenaga kerja asing masuk ke Indonesia.

Eksodus Warga Negara Tiongkok
Sejak diberlakukannya kebijakan Bebas Visa Kunjungan, maka jumlah warga negara asing ke Indonesia meningkat tajam. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kunjungan wisatawan mancanegara atau wisman dalam arti luas ke Indonesia Februari 2016 mencapai 888,3 ribu kunjungan, naik 5,26 persen dibanding kunjungan Februari 2015. Begitu pula, jika dibandingkan dengan Januari 2016, mengalami kenaikan  sebesar 9,09 persen. Secara kumulatif, Januari-Februari 2016, jumlah kunjungan wisman dalam arti luas ke Indonesia mencapai 1,70 juta kunjungan atau naik 4,46 persen dibandingkan jumlah kunjungan wisman pada periode yang sama tahun sebelumnya yang berjumlah 1,63 juta kunjungan. Dari angka tersebut, sekitar tiga puluh persen didominasi oleh warga negara Tiongkok.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Imigrasi pada tahun 2014, jumlah pelanggaran keimigrasian yang dilakukan warga negara Tiongkok sangat mendominasi. Perbandingan antara jumlah pelanggaran dan jumlah perlintasan yang dilakukan oleh warga negara Tiongkok adalah 3.816 berbanding 884.743. Jumlah tersebut adalah yang tertinggi bila dibandingkan dengan negara-negara lain seperti.


Terkait dengan adanya eksodus sepuluh juta warga negara Tiongkok ke Indonesia harus diantisipasi secara serius oleh Pemerintah. Walaupun belum ada data konkrit, namun Wakil PM Tiongkok, Liu Yandong, membenarkan akan ada sepuluh juta warga negara Tiongkok yang datang secara bertahap ke Indonesia. Pernyataan tersebut disampaikan pada saat ia memberikan pidato sambutan di Auditorium FISIP Universtias Indonesia tidak bisa dianggap

Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra dalam artikelnya di Republika (19/07) berpendapat angka sepuluh juta wisatawan Tiongkok ke Indonesia memang bisa diperdebatkan. Tapi jumlah itu dapat saja terjadi dalam beberapa tahun ke depan sejalan dengan kian membesarnya pinjaman proyek dan investasi mereka di Indonesia. Ini bukan hanya persoalan angka sepuluh juta, tetapi masalah kesempatan kerja rakyat Indonesia yang dirampas oleh pekerja kasar dari Tiongkok. Semakin besar pinjaman dan investasi mereka di Indonesia, maka semakin besar pula potensi ekspansi warga negara Tiongkok di Indonesia. Mereka pada akhirnya hanya akan menciptakan lapangan pekerjaan untuk warganya (Tiongkok) di Indonesia, sedangkan rakyat kita tidak mendapat manfaat apapun.

Populasi yang Melebihi Pencari Suaka dan Pengungsi
Perlu dipahami, untuk jangka waktu panjang sebaran warga negara Tiongkok yang bekerja di Indonesia dapat melebihi jumlah pencari suaka dan pengungsi yang sampai saat ini menjadi persoalan yang tak kunjung usai bagi pemerintah. Dengan adanya berbagai kemudahan yang diberikan, cepat atau lambat akan menimbulkan ancaman serius bagi pemerintah.

Berdasarkan data yang dirilis oleh Kemenakertrans, pada Tahun 2014 ada sekitar 68.000 tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia dengan memiliki Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA). Lalu, pada tahun 2015 jumlah tenaga kerja asing di Indonesia berjumlah 69.000. Untuk bulan Juni 2016,  telah menyentuh angka 43.000 orang. Jumlah tersebut diperkirakan akan terus mengalami peningkatan.


Sedangkan untuk tenaga kerja Tiongkok yang bekerja di Indonesia hingga Juni 2016, berjumlah 14.500 tenaga kerja yang mendapatkan izin kerja secara sah. Sedangkan pada Tahun 2015 berjumlah 15.000 orang dan pada Tahun 2014 berjumlah 16.800. Berdasarkan data tersebut, jumlah tenaga kerja Tiongkok yang datang ke Indonesia mengalami kenaikan. Tren tersebut dipicu karena adanya hasil kerja sama bilateral G2G antara Indonesia dan Tiongkok di sektor perekonomian.

Angka tersebut telah melampaui jumlah imigran ilegal (pencari suaka dan pengungsi) di seluruh Indonesia yang menurut data Direktorat Jenderal Imigrasi  per 30 September 2015, mencapai 13.405 orang. Perbedaan yang cukup jauh mengingat migrasi warga negara Tiongkok ke Indonesia meningkat tajam hanya dalam kurun waktu kurang dari tiga tahun.

Memantapkan Kebijakan Selektif Keimigrasian
Adanya ekspansi tenaga kerja Tiongkok dalam jumlah besar dewasa ini, mengingatkan kita akan politik pintu terbuka di masa lalu. Dulu pemerintah kolonial membuka akses seluas-luasnya kepada pekerja murah dari Eropa dan Asia untuk kepentingan urusan dagangnya. Pun demikian dengan orde baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto. Selama tiga puluh dua tahun, kebijakan penanaman modal asing menjadi suatu kebijakan tunggal,dengan tujuan tercapainya pembangunan.

Namun, dengan adanya fakta yang terjadi saat ini, tentu kita seakan mengulangi sejarah. Kebijakan selektif keimigrasian yang telah disepakati dalam konsep UU No. 6 Tahun 2011, kini patut dipertanyakan. Bukan Direktorat Jenderal Imigrasi, bukan pula pejabat imigrasi yang mengubah kebijakan itu, tetapi Presiden Joko Widodo, pimpinan tertinggi di republik ini. Kebijakan Bebas Visa Kunjungan, perubahan aturan ketenagakerjaan dan perjanjian bilateral di bidang perekonomian dengan Tiongkok adalah bukti bahwa secara perlahan Indonesia telah kembali pada konsep opendeur politiek atau yang disebut politik pintu terbuka.

Kiranya kalaupun ini terjadi, jangan sampai merugikan bangsa dan negara. Silahkan Tiongkok melakukan investasi di Indonesia dengan membawa tenaga kerja nya. Tapi taati ketentuan hukum di Indonesia. Indonesia adalah negara berdaulat. Jangan sampai kita menjadi tamu di rumah sendiri. Kehadiran tenaga kerja Tiongkok selain berdampak pada berkurangnya kesempatan kerja bagi masyarakat lokal, juga berpotensi menimbulkan ancaman dan gangguan. Ini yang harus dihindari.



Saat ini paket kebijakan pro investasi sudah dikeluarkan. Namun, jangan sampai mengendurkan semangat Direktorat Jenderal Imigrasi dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Imigrasi harus dapat memainkan perannya sebagai fasilitator pembangunan negara. Suatu peran yang memilki dampak strategis untuk menentukan arah politik dan ekonomi Indonesia.

Pintu gerbang negara adalah tanggung jawab Imigrasi. Fungsi pengamanan negara dan penegakan hukum harus dikedepankan. Terbukti dari 6.800.000-an jumlah warga negara asing yang masuk Indonesia per Juni 2016, Direktorat Jenderal Imigrasi telah melakukan 4.715 tindakan administratif keimigrasian. Sebuah angka yang cukup representatif, di saat investasi menjadi fokus pemerintah.

Diharapkan, walau suasana politik ekonomi saat ini menuntut Indonesia harus membuka diri dari masuknya tenaga kerja asing (Tiongkok), bukan berarti harus meninggalkan kebijakan selektif keimigrasian. Kebijakan ini merupakan kebijakan yang paling tepat bagi Indonesia untuk menghadapi serbuan tenaga kerja Tiongkok. Kita tidak dapat seenaknya memberikan akses masuk bagi orang asing, tapi juga tidak dapat menutup diri secara ekstrim dari perkembangan global. Indonesia masih membutuhkan investor untuk membangun, tetapi bukan berarti harus menggadaikan bangsa untuk suatu proses yang instan. Silahkan mereka masuk, berinvestasi, dan bekerja di Indonesia, tapi hanya mereka yang membawa manfaat serta tidak membahayakan keamanan dan ketertiban umum. (Alvi)

Depok, Juli 2016
M. Alvi Syahrin