Friday, August 25, 2017

PERKAWINAN SEMU: ANOMALI SOSIAL DAN IMPLIKASI HUKUM

“.... faktanya sangat sulit untuk menelaah dan membuktikan seseorang melakukan perkawinan semu atau tidak. Hal ini dikarenakan motif seorang WNA dalam melangsungkan perkawinan dengan WNI tidak mudah ditentukan oleh pihak lain, selain oleh Tuhan dan mereka sendiri yang melakukannya ....”


Anomali Kultur
Pernah mendengar istilah perkawinan campuran? Atau malah Anda pihak yang melakukannya? Sebagian masyarakat pasti mengenal pasangan Bunga Citra Lestari dan Ashraf Sinclair, Melaney Ricardo dan Tyson Lynch, serta Fauzian Yatim dan Jono “Gugun Blues Shelter”. Iya, mereka adalah sebagian kecil dari warga negara Indonesia (WNI) yang melakukan perkawinan campuran dengan warga negara asing (WNA). Perkawinan campuran kini telah menjadi tren yang terus meningkat setiap tahunnya. Akulturasi budaya dalam perkawinan campuran, harus disadari telah membawa dampak yang sangat luas.
Jono “gugun Blues Shelter” bersama istrinya, Fauzian Yatim. Usia perkawinan mereka hanya bertahan selama 16 tahun. (kapanlagi.com)
Namun, tidak semua perkawinan campuran itu dilandasi oleh niat yang tulus. Kerap kali dalam perkawinan campuran disisipi motif tertentu yang bertujuan untuk mendapatkan Dokumen Keimigrasian bahkan Kewarganegaraan Republik Indonesia (RI). Dilansir dari linimasa tempo.co, kini lebih dari 3 (tiga) juta pasangan perkawinan campuran meminta agar pemerintah mempermudah keluarganya menjadi WNI. “Keluhan ini terus kami hadapi,” ujar Juliani W. Luthan, Ketua Perkumpulan Masyarakat Perkawinan Campuran (PerCa).[1]
Fenomena sosial ini kian menjadi runcing, ketika banyak ditemukan dugaan praktik perkawinan semu dalam perkawinan campuran. “Bayangkan ada perempuan yang kawin dengan lima laki-laki. Yang jadi korban, ya perempuan. Ada juga perempuan yang profesinya sebagai pelaku kawin semu,” cetus Mantan Menteri Hukum dan HAM RI, Patrialis Akbar.[2]
Parahnya, perkawinan campuran kini hanya dijadikan sebagai “tiket masuk” bagi WNA untuk memiliki Dokumen Keimigrasian dan Kewarganegaraan RI. Mereka memanfaatkan celah hukum ini untuk kepentingan sepihak dan meraup keuntungan sebesar-besarnya. Lantas, apakah persepsi tersebut dapat dibenarkan?
Status Sosial
Membahas perkawinan semu tentu tidak terlepas dari diskursus perkawinan campuran. Perkawinan semu mulai mencuat ketika pemerintah mulai melegalkan perkawinan lintas negara yang melibatkan dua warga negara yang berbeda kewarganegaraan pada tanggal 02 Januari 1974.[3] Selama kurun waktu lebih dari empat puluh tahun, perkawinan campuran telah  menjadi suatu perilaku sosial yang diakui keberadaannya dalam lingkungan masyarakat.
Bayu Kumbara “berhasil” menikahi Jennifer Brocklehurst (WN Inggris). Perkawinan mereka sempat menghebohkan jagat dunia maya. (solopos.com)
Dewasa ini, perkawinan campuran telah merambah seluruh kelas masyarakat. Pengaruh globalisasi telah membuat stigma bahwa perkawinan campuran merupakan simbol kemewahan status suatu masyarakat. Ketika seorang WNI, baik itu pria maupun wanita yang menikahi WNA, maka secara tidak langsung telah menaikkan derajat sosialnya. Tidak peduli apakah warga negara asing tersebut memiliki penghasilan atau malah seorang pengangguran. Atas nama cinta dan ekonomi, maka perkawinan campuran kini telah menjadi tren sosial yang tidak terbantahkan.
Menurut survei yang dilakukan oleh Mixed Couple Club, unsur dominan terjadinya perkawinan campuran, didominasi oleh perkenalan melalui internet, berkenalan saat berlibur, sahabat pena, mantan teman kerja bisnis, dan teman sekolah. Perkawinan campuran juga terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja dari negara lain.
Pasca diberlakukannya Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2016 tentang Bebas Visa Kunjungan, jelas mempengaruhi jumlah WNA yang datang ke Indonesia. Setiap tahunnya, tidak sedikit dari mereka yang kemudian bekerja dan menetap tinggal dalam jangka waktu yang lama. Daya tarik dan image yang dimiliki WNA menjadi pesona tersendiri bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Kondisi ini tentu berdampak pada semakin meningkatnya animo masyarakat Indonesia untuk melakukan perkawinan campuran.
Para istri WNA yang tergabung dalam Komunitas Perkawinan Campuran Melati. (langitperempuan.com)
WNI yang menikah dengan WNA tersebar bukan hanya di ibukota, tetapi juga hampir di semua pelosok daerah. Maraknya iklim investasi yang mengundang banyak WNA turut mendorong terjadinya perkawinan campuran. Kini, para pelaku perkawinan campuran itu terhimpun, antara lain melalui Komunitas Perkawinan Campuran Melati, atau yang lazim disebut KPC Melati. Perkawinan campuran yang melibatkan WNI dan WNA relatif semakin mudah setelah berlakunya UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.
Apa itu Perkawinan Campuran?
Perkawinan campuran menurut Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah perkawinan yang dilakukan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Bukan hanya kewarganegaraan, tapi sistem hukum dan latar belakang budaya masing-masing pihak juga berbeda.
Perkawinan campuran yang melibatkan WN Australia dan WNI di Kuta, Bali. (bimasislam.kemenag.go.id)
Akibat hukum setelah dilangsungkannya perkawinan campuran ini, salah satu pihak dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istri dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya.[4] Prinsipnya, perkawinan campuran yang dilakukan di Indonesia, harus tunduk dan patuh pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.[5] Perkawinan campuran dapat dilaksanakan dan diakui keabsahannya, sepanjang telah terpenuhinya syarat-syarat perkawinan menurut hukum yang berlaku bagi masing-masing pihak.[6]
Pasal 19 UU No. 12 Tahun 2006 menjelaskan bahwa WNA yang kawin secara sah dengan WNI dapat memperoleh Kewarganegaraan RI dengan menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di hadapan pejabat. Ketentuan ini memberikan jaminan hukum bagi setiap WNA yang menikahi secara sah seorang WNI untuk dapat menjadi WNI. Praktiknya, aturan ini sering kali disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk memanipulasi data sehingga menghilangkan kesakralan dari suatu pernikahan yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang didasarkan atas perjanjian yang fundamental dengan Tuhan nya (mitssaqan ghalidzan).[7]
Penyimpangan Perkawinan Campuran
Faktanya, tidak semua yang melakukan perkawinan campuran dengan niat tulus untuk membina rumah tangga selamanya. Ada pula yang hanya menikah sesaat, seperti kawin kontrak yang pernah ditemukan aparat di kawasan Puncak, Bogor. Biasanya, WNA yang datang sebagai turis akan melakukan perkawinan dengan WNI dalam jangka waktu terbatas, yakni selama WNA tersebut tinggal di Indonesia.
Dengan terjadinya perkawinan campuran di Indonesia, semakin membuka lebar peluang terjadinya perkawinan semu, serta pemalsuan dokumen yang dilakukan sekelompok orang tertentu. Pesatnya perkembangan teknologi menyebabkan banyaknya perubahan. Namun tidak bagi sebagian kelompok tertentu, yang memanfaatkan teknologi untuk hal negatif, seperti pemalsuan dokumen perkawinan. Hal inilah yang menyebabkan banyak beredarnya dokumen palsu di lingkungan masyarakat, yang berimbas pada meningkatnya animo WNA untuk mendapatkan Kewarganegaraan RI melalui cara mudah dan murah dengan memanfaatkan jasa perkawinan semu dan pembuatan dokumen palsu.
Faktor dominan penyebab terjadinya perkawinan campuran yang bersifat semu adalah ekonomi. Mereka beranggapan bahwa dengan melakukan perkawinan campuran, maka mereka akan dapat memperbaiki kesejahteraan ekonomi serta meningkatkan taraf hidup baik dirinya sendiri maupun keluarganya.
Pernikahan antara Manohara Pinot dan Putra Mahkota Kerajaan Kelantan Malaysia, Tengku Muhammad Fakhry, disinyalir ada motif ekonomi guna meningkatkan status sosial dan perekonomian keluarga Manohara. (manohara-info.blogspot.co.id)
Meningkatnya perkawinan campuran di Indonesia, perlu dilakukan perumusan norma perlindungan hukum dalam perundang-undangan. Tidak semua perkawinan campuran dilandasi oleh perasaan cinta dan kasih sayang, serta keinginan kuat untuk membentuk keluarga yang harmonis. Praktik yang terjadi, perkawinan campuran kerap kali dilakukan oleh pihak-pihak tertentu dengan motif mengambil keuntungan secara sepihak. Singkatnya, menggadaikan negara dengan cara melegalkan perkawinan semu. Dengan beragamnya penyimpangan perkawinan campuran, sehingga memaksa pemerintah harus semakin intensif melakukan pengawasan.
Penyimpangan Perkawinan
Menurut ketentuan Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Di sinilah nampak tujuan ideal suatu perkawinan. Perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama sehingga perkawinan bukan hanya memiliki unsur lahir, tetapi juga batin dari masing-masing pasangan.
Oleh karena itu dalam kaitannya dengan tujuan perkawinan tersebut, maka UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut prinsip untuk mempersukar perceraian. Perkawinan harus dilaksanakan dengan niat yang tulus guna membentuk keluarga yang ideal. Namun dalam kenyataannya, banyak penyimpangan atau pelanggaran perkawinan yang terjadi, di antaranya penyelundupan hukum (wetsontduiking) terhadap perkawinan campuran yang didasari oleh motif bisnis.
Bayu Kumbara dan Jennifer Brocklehurst melangsungkan perkawinan di Padang. (mata-alam.blogspot.co.id)
Perkawinan semu merupakan penyimpangan perkawinan yang dilakukan oleh pihak tertentu untuk memperoleh akses secara instan atas hak hukum yang diatur dalam perundang-undangan. Akibat dari adanya perkawinan semu ini, maka WNA dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan Dokumen Keimigrasian tanpa perlu harus menyertakan berkas persyaratan secara sah. Malah kasus yang kerap terjadi, dapat saja persyaratan tersebut dimanipulasi, lalu diserahkan kepada petugas untuk diproses. Pemalsuan dokumen kependudukan (KTP / Akta Kelahiran) dan dokumen perkawinan (akta nikah / buku nikah) menjadi dokumen yang paling sering dipalsukan dalam praktik perkawinan semu guna mendapatkan Dokumen Keimigrasian.
Sejatinya, dalam mengajukan permohonan Izin Tinggal Kunjungan, Izin Tinggal Terbatas, bahkan Izin Tinggal Tetap, setiap WNA harus memastikan dan melampirkan siapa Penjamin yang bertanggung jawab atas keberadaan mereka selama tinggal di Indonesia.[8] Namun dalam perkawinan semu, Penjamin biasanya bukan pihak yang berasal dari proses perkawinan natural, melainkan dikondisikan dalam kemasan modus operandi tertentu
Selain mendapatkan Izin Tinggal, bagi WNA yang melakukan perkawinan campuran juga dapat memperoleh Dokumen Perjalanan RI berupa Paspor RI, ketika yang bersangkutan telah menjadi WNI. Namun, ketika perkawinan nya saja bermasalah (baca: semu), maka otomatis semua Dokumen Keimigrasian (Izin Tinggal dan Paspor RI) nya pun menjadi tidak sah. Konsekuensi yuridisnya, keberadaan WNA tersebut di Indonesia menjadi ilegal dan dapat dikenakan tindakan hukum.[9]
Lebih lanjut, tidak hanya untuk mendapatkan Dokumen Keimigrasian, praktik perkawinan semu juga sering dilakukan untuk memperoleh Kewarganegaraan RI secara cepat, khususnya yang dilakukan oleh seorang WNA, tanpa harus melalui naturalisasi biasa. Hal ini dimungkinkan dengan memanfaatkan ketentuan Pasal 58 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 19 UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI.
WNA yang kawin secara sah dengan WNI dapat memperoleh Kewarganegaraan RI dengan menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di hadapan pejabat dengan syarat yang bersangkutan sudah bertempat tinggal di wilayah Negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut.[10] Pejabat yang dimaksud adalah orang yang menduduki jabatan tertentu yang ditunjuk oleh menteri untuk menangani masalah Kewarganegaraan RI.
Perlu diketahui, apabila telah dipenuhinya persyaratan perkawinan yang ditentukan oleh UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka pejabat yang berwenang tidak dapat menolak perkawinan tersebut, meskipun dapat diduga akan terjadi penyimpangan dari tujuan ideal perkawinan. Melihat kenyataan demikian, motif perkawinan semu secara hukum sulit dibuktikan. Namun di sisi lain, baik rumusan norma hukum pada UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maupun UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaran RI, sangat memungkinkan memberikan celah kepada masing-masing pihak untuk melakukan perkawinan semu. Dengan demikian, sepanjang belum adanya keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), maka perkawinan campuran tidak dapat dibatalkan walaupun terdapat dugaan motif perkawinan semu.
Perkawinan Semu dan Keimigrasian
Perkawinan semu menurut UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian adalah: “perkawinan seorang warga negara Indonesia atau seorang asing pemegang Izin Tinggal dengan seorang asing lain dan perkawinan tersebut bukan merupakan perkawinan yang sesungguhnya, tetapi dengan maksud untuk memperoleh Izin Tinggal atau Dokumen Perjalanan Republik Indonesia. Dari sisi hukum, perkawinan itu merupakan bentuk penyelundupan hukum”.[11]
Sepasang suami istri dari perkawinan campuran, yang telah dikarunai satu orang anak
(albumkkc-pasangankkc.blogspot.com)
Berdasarkan pengertian tersebut,  tentu sangat menyulitkan petugas Imigrasi untuk mendeteksi perkawinan campuran ini adalah sah atau bersifat semu. Hal ini dapat menjadi celah bagi WNA untuk melakukan tuntutan atau gugatan balik kepada petugas Imigrasi apabila akan melakukan penangkapan. Disisi lain banyaknya perkawinan campuran juga tidak diimbangi dengan anggaran untuk pengawasan terhadap perkawinan campuran oleh para aparatur.
Perlu diketahui, bagi WNA yang menikah dengan WNI dapat memperpanjang Izin Tinggal Terbatas untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun untuk setiap kali perpanjangan, dengan ketentuan tidak melebihi 6 (enam) tahun.[12] Dengan catatan, yang bersangkutan disponsori oleh pasangannya sebagai Penjamin. Kasus yang pernah terjadi, yaitu melibatkan seorang pekerja seks komersil (PSK) asal Uzbekistan yang tinggal di kawasan Mangga Besar. Kasus ini terungkap ketika WNA tersebut mengajukan perpanjangan Visa dengan sponsor suaminya yang berkewarganegaraan Indonesia. Pada saat melampirkan syarat-syarat perpanjangan, WNA tersebut hanya menyertakan surat pernikahan dari Kantor Urusan Agama (KUA) setempat tanpa disertai dengan bukti catataan sipil. Hal inilah yang menimbulkan kecurigaan petugas Imigrasi. Setelah ada kecurigaan tersebut maka petugas menyelidiki jati diri sponsor atau suaminya tersebut. Setelah dilakukan pemeriksaan, ternyata data yang disampaikan adalah fiktif. Hal ini juga diperkuat oleh laporan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) yang menjelaskan bahwa tempat berlangsungnya pernikahan yang dilampirkan pada surat nikah tersebut adalah tidak tercatat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perkawinan tersebut termasuk perkawinan semu.[13]
Prosedur yang dilakukan petugas Imigrasi pada setiap Kantor Imigrasi dalam menentukan seorang WNA yang mengajukan Izin Tinggal, Kewarganegaraan RI, hingga Paspor RI, membutuhkan kajian dan telaahan yang mendalam. Petugas Imigrasi haruslah melakukan pengecekan keabsahan Akta Nikah atau Buku Nikah dengan berkoordinasi kepada Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil (KKCS) dan KUA. Tidak hanya itu, petugas juga harus melakukan verifikasi lapangan dengan melihat alamat tempat tinggal secara langsung, khususnya apakah pasangan tersebut tinggal bersama atau tidak, serta memastikan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh WNA. Tindakan koordinasi sangat penting dalam upaya mencegah dan menemukan adanya perkawinan semu yang dilakukan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab.
Pemidanaan
Dalam hukum keimigrasian, perkawinan semu dikategorikan sebagai bentuk tindak pidana keimigrasian. Lain halnya di dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI, yang sama sekali tidak mengatur norma pemidanaan bagi pelaku perkawinan semu. Dalam UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, dalam Pasal 135 disebutkan bahwa:Setiap orang yang melakukan perkawinan semu dengan tujuan untuk memperoleh Dokumen Keimigrasian dan/atau untuk memperoleh status kewarganegaraan Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.
Mantan Menteri Hukum dan HAM RI, Patrialis Akbar mengutarakan dengan adanya aturan ini maka tidak akan ada lagi orang asing yang ingin menjadi WNI sekedar untuk mendapatkan Izin Tinggal Tetap dengan main-main. “Mereka harus betul-betul dan sungguh-sungguh melakukan perkawinan, jangan mempermainkan orang lain,“ ujarnya.[14]
Upaya Pembuktian
Sebelum berbicara tentang cara pembuktian perkawinan semu, harus diperhatikan terlebih dahulu tentang alat bukti yang tercantum dalam Pasal 184 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dinyatakan dalam pasal itu bahwa alat-alat bukti yang sah terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Untuk membuktikan suatu peristiwa termasuk perkawinan semu atau tidak, dapat dilihat dari niat pelaku (mens rea). Namun praktiknya, hal itu cenderung sulit bila hanya tertumpu pembuktian secara formal semata. Harus dilakukan pembuktian mendalam terutama pada unsur motif dan niat pelaku yang didasarkan pada alat-alat bukti yang ada. Oleh karenanya, perlu dilakukan verifikasi dan pengecekan lapangan terhadap keabsahan dokumen persyaratan perkawinan yang diajukan oleh para pihak untuk mendeteksi dan mencegah terjadinya perkawinan semu.
Jeratan hukum siap menanti bagi pelaku perkawinan semu (hukumpedia.com)
Dalam beberapa literatur dan peraturan perundang-undangan terkait, tidak dijelaskan mengenai unsur pembuktian dalam perkawinan semu. Niat pelaku nya pun sangat sulit ditentukan. Sonny Sudarsono, Kepala Sub Direktorat Status Keimigrasian dan Kewarganegaraan, menjelaskan sampai saat ini belum ada undang-undang yang mengatur secara spesifik tentang perkawinan campur, termasuk dalam hal ini pembuktian unsur-unsur nya.[15]
Dalam tulisan ini, akan disampaikan beberapa indikator untuk membuktikan perkawinan semu.
Pertama, perbedaan umur. Perbedaan umur pasangan suami istri yang tidak lazim dapat dijadikan bahan penyelidikan dan atau penelitian apakah perkawinan itu dilakukan dengan sungguh-sungguh atau ada motif lain untuk memperoleh Dokumen Keimigrasian dan Kewarganegaraan RI. Sebagai contoh, si A (WNA) laki-laki usia 25 tahun menikah dengan B (WNI) perempuan usia 52 tahun, perkawinan campuran dengan perbedaan usia seperti ini tidak lazim atau jarang terjadi. Oleh karena itu patut diperhatikan secara seksama, karena mungkin saja perkawinan tersebut dilandasi oleh satu kepentingan lain dalam rangka memperoleh dokumen keimigrasian yang bermuara untuk menjadi WNI. Sehingga perkawinannya dapat dikategorikan sebagai perkawinan pura-pura atau perkawinan semu.
Kedua, perbedaan alamat tempat tinggal. Perbedaan alamat tempat tinggal suami istri dapat dijadikan bahan penyelidikan atau penelitian apakah perkawinan itu dilakukan dengan sungguh-sungguh atau ada motif lain untuk memperoleh Dokumen Keimigrasian dan Kewarganegaraan RI. Sebagai contoh, si A (WNA) suami bertempat tinggal di Jakarta dan istri B (WNI) bertempat tinggal di Yogyakarta. Perkawinan campuran dengan perbedaan alamat dan tempat tinggal seperti ini jarang terjadi atau tidak lazim. Pasangan suami istri yang tidak pernah tidur satu rumah karena disebabkan jarak tempuh tempat tinggal mereka sangat jauh, disinyalir merupakan praktik perkawinan semu.
Awal pertemuan keduanya diawali ketika Jennifer Brocklehurst berpetualang ke Sumatera Barat sebagai backpacker. (mata-alam.blogspot.co.id)
Ketiga, perbedaan latar belakang perekonomian keluarga. Perbedaan latar belakang perekonomian keluarga masing-masing pihak dapat dijadikan bahan penyelidikan apakah memang benar perkawinan campuran tersebut dilakukan dengan sungguh-sungguh atau hanya sekedar modus untuk mendapatkan Dokumen Keimigrasian ataupun Kewarganegaraan RI. Apalagi perbedaan tersebut sangat mencolok, hingga menimbulkan kecurigaan berbagai pihak. Sebagai contoh, si A (WNA) suaminya berasal dari kalangan tertentu yang memiliki finansial berkecukupan, bahkan bisa dibilang berlebihan. Sedangkan si B (WNI) istrinya berasal dari latar belakang keluarga yang sangat kekurangan dan tinggal di daerah pedalaman. Perbedaan ini perlu dicurigai sebagai bagian dari praktik perkawinan semu yang harus diantisipasi secara serius.
Seorang ekspatriat berjualan gorengan guna menghidupi kebutuhan keluarganya. (sooperboy.com)
Keempat, perbedaan pekerjaan. Perbedaan pekerjaan antara suami dan istri dapat dijadikan bahan penyelidikan atau penelitian apakah perkawinan itu dilakukan dengan sungguh-sungguh atau ada motif lain untuk memperoleh Dokumen Keimigrasian ataupun Kewarganegaraan RI. Sebagai contoh, pekerjaan istri (WNA) seorang Managing Director di perusahaan tambang, namun sang suami (WNI) hanya seorang tukang ojek. Perbedaan pekerjaan seperti ini dapat diduga merupakan modus dalam perkawinan semu.
Kelima, tidak memiliki keturunan. Perkawinan campuran yang tidak memiliki keturunan ini dapat dijadiakan bahan penyelidikan dan atau penelitian apakah perkawinan itu dilakukan dengan sungguh-sungguh atau ada motif lain untuk memperoleh Dokumen Keimigrasian dan Kewarganegaraan RI. Sebagai contoh, si A (WNA) menikah dengan B (WNI), dimana usia perkawinannya telah berlangsung 5 (lima) tahun, namun mereka tidak memiliki anak. Tidak memiliki anak pada perkawinan campuran dapat dijadikan bahan penyelidikan dan atau penelitian apakah perkawinan itu dilakukan dengan sungguh-sungguh atau ada motif lain untuk memperoleh kewarganegaraan, karena mungkin saja mereka tidak melakukan hubungan intim layaknya sepasang suami istri.
Keenam, sikap apatis. Sudah sewajarnya bila seseorang harus saling mengenal setiap pasangan yang akan dinikahinya. Begitu juga dalam perkawinan campuran yang didasari atas perbedaan latar belakang bahasa, budaya, dan kebiasaan. Perbedaan tersebut mau tidak mau harus diterima sebagai bagian dari ekses perkawinan campuran. Oleh karenanya, apabila ditemukan perkawinan campuran yang salah satu pihak atau keduanya bersikap apatis satu sama lain dan tidak mengenal lebih detail siapa pasangannya, maka patut diduga perkawinan tersebut merupakan praktik perkawinan semu yang bertujuan hanya modus untuk mendapatkan Dokumen Keimigrasian ataupun Kewarganegaraan RI.
Ketujuh, pemalsuan dokumen perkawinan. Pemalsuan dokumen perkawinan (akta nikah / buku nikah) ini dapat dijadikan bahan penyelidikan atau penelitian apakah perkawinan itu sungguh-sungguh atau ada motif lain untuk Dokumen Keimigrasian dan Kewarganegaraan RI. Sebagai contoh kasus, Yoshikawa Yoshihiko (WN Jepang) menikah dengan Muliawati Husen (WNI). Yang bersangkutan telah menikah kurang lebih 5 (lima) tahun. Yoshikawa Yoshihiko menggunakan Izin Tinggal Terbatas (ITAS) untuk tinggal di Indonesia yang disponsori oleh istrinya, Muliawati Husen. Yoshikawa Yoshihiko mengajukan perpanjang ITAS pada Kantor Imigrasi Kelas I Tangerang. Dikarenakan adanya kecurigaan terhadap buku nikah tersebut, maka petugas Imigrasi mengirimkan surat kepada KUA, dimana tempat Yoshikawa Yoshihiko dan Muliawati Husen menikah. KUA yang menerbitkan buku nikah menyatakan bahwa buku nikah tersebut tidak teregister dan harus dicabut keberlakukannya. Dengan demikian, dapat ditelusuri lebih lanjut apakah perkawinan yang dilakukan oleh Yoshikawa Yoshihiko dan Muliawati Husen dilakukan secara sungguh-sungguh atau ada motif lain untuk mencapai tujuan tertentu.
Akan tetapi, indikator tersebut belum cukup dijadikan sebagai standar baku pembuktian dan pengambilan kesimpulan terkait perkawinan semu. Sepanjang belum diatur dalam rumusan norma hukum, maka batasan niat dan motif pelaku perkawinan semu sangat multitafsir. Sekarang tinggal bagaimana Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Keimigrasian berani melakukan terobosan guna mengaplikasikan Pasal 135 UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Jika tidak dilakukan, maka pasal tersebut akan menjadi norma mati (dood norms) dan kasus perkawinan semu akan terus meningkat setiap tahunnya.
Tindakan Administratif Keimigrasian sebagai Alternatif Hukum
Perlu disampaikan, selain dilakukan pemidanaan, bagi WNA pelaku perkawinan semu juga dapat dikenakan Tindakan Administratif Keimigrasian (TAK). Pasal 75 ayat 1 UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian menyatakan bahwa:“Pejabat Imigrasi berwenang melakukan Tindakan Adminstratif Keimigrasian terhadap Orang Asing yang berada di Wilayah Indonesia yang melakukan kegiatan berbahaya dan patut diduga membahayakan keamanan dan ketertiban umum atau tidak menghormati atau tidak menaati peraturan perundang-undangan”.
Disadari atau tidak, pasal ini merupakan aturan hukum yang menjadi dasar bagi setiap Pejabat Imigrasi untuk dapat secara maksimal mengawal dan menjaga pintu gerbang negara dari setiap ancaman orang asing yang hendak masuk ke wilayah Indonesia. Berdasarkan pasal ini, setiap Pejabat Imigrasi dapat melakukan TAK berupa pencatuman dalam daftar pencegahan atau penangkalan, pembatasan, perubahan, atau pembatalan Izin Tinggal, pengenaan biaya beban,bahkan melakukan deportasi dari wilayah Indonesia.[16]
Pejabat Imigrasi yang melakukan TAK, dapat bersandar pada klausul “dugaan”, atau menganggap orang asing tersebut tidak memiliki manfaat (asas kemanfaatan) bagi negara Indonesia, berdasarkan asas kebijakan selektif (selective policy priniciple). Jadi dalam hal ini tidak berlaku asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence principle), seperti yang dipahami dalam Hukum Acara Pidana. Hal ini berbeda apabila kita samakan dengan proses pro justitia (penegakan hukum) di bidang hukum pidana yang harus berdasarkan pada dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim.[17] Disinilah letak hak ekslusif setiap Pejabat Imigrasi yang tidak dimiliki oleh penegak hukum di instansi lainnya.
Ronny F. Sompie, Direktur Jenderal Imigrasi, beserta jajaran dalam sebuah kegiatan terkait penguatan pengawasan dan penegakan hukum di bidang keimigrasian. (pikiran-rakyat.com)
Dari sisi praktis, TAK mungkin dapat menjadi alternatif hukum bagi Pejabat Imigrasi yang mengalami kesulitan dalam membuktikan niat dan motif pelaku perkawinan semu. Pembuktiaan dalam TAK dapat didasarkan atas “dugaan membahayakan keamanan dan ketertiban umum atau tidak menghormati atau tidak menaati peraturan perundang-undangan.” Klausul ini tentu merupakan hak istimewa (privilege rights) yang dimiliki oleh Imigrasi. Oleh karenanya, tidak ada alasan bagi para petugas di lapangan untuk mentolerir dan membiarkan terjadinya perkawinan semu yang dapat merugikan kedaulatan Republik Indonesia.
Implikasi Hukum
Dalam beberapa literatur, tidak dijelaskan secara eksplisit apa saja akibat hukum yang terjadi pasca dilakukannya pemidanaan bagi pelaku perkawinan semu. Namun, secara tersirat berikut akibat hukum yang ditimbulkan. Pertama, izin tinggal. WNA yang sedang dalam penyidikan karena dugaan perkawinan semu dibebaskan dari kewajiban memiliki Izin Tinggal sampai dengan adanya putusan Hakim berkekuatan hukum tetap. Dalam hal orang asing dinyatakan bersalah oleh pengadilan, maka WNA yang bersangkutan harus menjalani hukuman hingga selesai di Lembaga Pemasyarakatan. Setelah menjalani hukuman, WNA tersebut dilimpahkan kepada Direktorat Jenderal Imigrasi untuk dideportasi.[18]
Kedua, bukti status kewarganegaran. Status Kewareganegaraan RI yang telah dimiliki oleh WNA, gugur dengan sendirinya dan dilakukan pencabutan terhadap bukti Kewarganegaraan yang dimilikinya apabila telah mendapat putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Ketiga, dokumen pernikahan. Apabila telah adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap bagi para pelaku perkawinan semu, maka akibat hukumnya adalah perkawinan tersebut dianggap tidak sah serta dokumen pernikahannya dicabut dan dibatalkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil.
Siapa yang Salah?
Terkait semakin maraknya praktik perkawinan semu di masyarakat, lantas siapa yang harus disalahkan? Terhadap dialektika ini, permasalahan perkawinan semu dapat ditinjau dari perspektif Teori Sistem Hukum (Law System Theory). [19]
Teori ini dikemukakan oleh Guru Besar Ilmu Hukum dari Stanford Law School, Lawrence M. Friedman. Ia menjelaskan efektif tidaknya suatu penegakan hukum dapat ditelliti dari tiga faktor, yaitu: (1) substansi hukum (legal substance), merupakan aturan-aturan, norma-norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan atau aturan baru yang mereka susun; (2) struktur hukum (legal structure), merupakan kerangka, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberikan semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan instansi-instansi penegak hukum; dan (3) budaya hukum (legal culture), merupakan suasana pikiran sistem dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum itu digunakan, dihindari atau disalahgunakan oleh masyarakat.
Berikut penjelasannya. Pertama, substansi hukum. Substansi hukum merupakan instrumen hukum yang mengatur hal ihwal perkawinan semu. Pengaturan perkawinan semu sampai saat ini belum terakomodir secara lengkap di peraturan perundang-undangan. Perkawinan semu hanya dijelaskan secara terbatas, begitu juga unsur motif dan pembuktian hukumnya. Setiap perkawinan campuran tentu berpotensi besar menimbulkan perkawinan semu. Padahal dengan adanya perkawinan campuran ini akan memiliki dampak yang luas, seperti dapat memiliki Izin Tinggal di Indonesia, bahkan Kewarganegaraan RI. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan pun sama sekali tidak menempatkan satu pasal pun yang membahas masalah perkawinan semu. Praktis hanya satu pasal yang menyinggung soal perkawinan semu,  yaitu Pasal 135 UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian yang mengatur ketentuan pidana bagi pelaku perkawinan semu. Akibat minimnya pengaturan tentang perkawinan semu ini, maka batasan motif dan pembuktiannya pun sangat multitafsir dan cenderung tendensius.
Kedua, struktur hukum. Struktur hukum yang dimaksud adalah instansi pemerintah, yang meliputi KKCS, KUA, Pejabat pada Direktorat Jenderal Hukum Umum (Ditjen AHU), dan Pejabat Imigrasi pada setiap Kantor Imigrasi di Indonesia. Sejauh ini struktur hukum yang menangani perkawinan campuran masih belum maksimal. Perkawinan campuran kerap kali dilatarbelakangi dengan motif perkawinan semu. Semuitas ini yang masih sulit dideteksi oleh pihak-pihak terkait. Sehingga dalam pelaksanaan pengajuan perkawinan, permohonan mendapatkan Izin Tinggal, serta penyampaian pernyataan untuk mendapatkan Kewarganegaraan RI menimbulkan dugaan terjadinya mal-administrasi. Pejabat pada KKCS dan KUA misalnya, kerap kali melegalkan setiap perkawinan campuran tanpa melihat dan memeriksa secara cermat keabsahan dari syarat-syarat yang diajukan. Sama halnya dengan Pejabat Imigrasi pada Kantor Imigrasi yang terkadang kurang teliti sehingga memberikan Izin Tinggal bagi WNA yang diduga melakukan perkawinan semu, hingga bermuara pada Pejabat Ditjen AHU yang pada akhirnya memberikan Kewarganegaraan RI bagi WNA. Sebagai pihak pertama (hulu), seharusnya KKCS dan KUA dapat memastikan dan menjamin bahwa permohonan perkawinan campuran sudah bebas dari dugaan perkawinan semu. Sehingga tidak memberatkan pihak Imigrasi dan Ditjen AHU sebagai pihak akhir (hilir) yang kerap kali selalu disalahkan. Harus diakui, rangkaian proses panjang ini tentu tidak terlepas kurang pedulinya dan minimnya informasi yang dimiliki oleh pihak terkait tentang perkawinan semu. Ditambah lagi dengan adanya sikap permisif dan mudah toleran dari pihak terkait ketika berhadapan dengan para WNA.
Sepasang suami istri perkawinan campuran melakukan “welfie”, untuk mengungkapkan rasa bahagianya. (beritaenam.com)
Ketiga, budaya hukum. Masyarakat kita cenderung belum sadar berbudaya. Kesadaran hukum masyarakat kita masih rendah. Masyarakat cenderung memaksakan apa yang menurut keyakinan mereka benar. Perasaan cinta dan masalah ekonomi menjadi alasan klasik yang kemudian menjadi pembenaran praktik perkawinan campuran. Sikap dan sifat inferior ketika melihat WNA masih terjadi di masyarakat Indonesia. Dikarenakan memiliki fisik rupawan dan berbeda dengan WNI kebanyakan, WNA sering kali diperlakukan secara khusus. Alasan irasional ini telah membentuk stigma di masyarakat bahwa WNA pasti berasal dari kalangan atas dan memiliki uang banyak. Pola pikir semacam ini lambat laun telah membentuk budaya hukum keliru yang dapat merugikan tatanan sosial dan semakin memperparah praktik perkawinan semu di masyarakat.
Apa yang Harus Dilakukan?
Harus diakui perkembangan global menuntut kita untuk bersikap terbuka terhadap semua kemungkinan yang terjadi, termasuk perkawinan campuran. Maraknya perkawinan campuran menjadi suatu pertanda bahwa multikultural menjadi suatu hal yang wajar. Namun, perlu dilakukan sikap preventif agar perkawinan campuran tidak diselundupi oleh pihak tidak bertanggung jawab yang menjadikan ritual sakral (baca: perkawinan) ini sebagai perkawinan semu. Tindakan preventif yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut.
Pertama, Petugas KKCS dan KUA harus lebih teliti dalam menerima dan memeriksa permohonan perkawinan campuran. Perlu dilakukan verifikasi dan pengecekan lapangan guna mendapatkan data dan informasi riil.
Kedua, Pejabat Imigrasi pada Kantor Imigrasi harus lebih meningkatkan kewaspadaannya dalam menerima dan memeriksa berkas permohonan dokumen keimigrasian, khususnya yang berasal dari perkawinan campuran. Petugas tidak boleh percaya begitu saja terhadap keberadaan penanggung jawab (baca: Penjamin) suami atau istri WNA. Perlu dilakukan pengecekan lapangan dan verifikasi dokumen dengan berkoordinasi dengan instansi terkait. Apabila terdapat kejanggalan agar segera dilakukan penyelidikan dan penyidikan bila mengarah pada tindak pidana.
Ketiga, Pejabat Ditjen AHU harus lebih teliti dalam menerima dan memeriksa kelengkapan berkas permohonan menyampaikan pernyataan memiliki Kewarganegaraan RI dari WNA, khususnya terhadap dokumen perkawinan.
Keempat, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia agar mensosialisasikan prosedur atau tata cara untuk mendapatkan kewarganegaraan Indonesia yang sesuai ketentuan yang berlaku serta adanya ancaman pidana terhadap perkawinan semu.
Selain keempat hal di atas, hal penting lain yang perlu dilakukan adalah membentuk perjanjian kerjasama antara para stakeholder di bidang sistem informasi agar dalam pencarian register dokumen tidak memakan waktu yang lama. Dengan adanya integrated system ini, tentu akan memudahkan dalam membuktikan apakah perkawinan campuran tersebut memang murni layaknya sebuah perkawinan atau semata-mata hanya modus untuk mendapatkan Dokumen Keimigrasian dan Kewarganegaraan RI.
Koordinasi dengan Instansi terkait
Praktik perkawinan semu memiliki dampak luas yang melibatkan lintas sektoral. Oleh karenanya, koordinasi antar instansi terkait menjadi hal utama dalam melakukan tindakan preventif terhadap maraknya perkawinan semu. Koordinasi antara Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum dan HAM), Kementerian Agama (Kemenag), dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dalam penanggulangan perkawinan semu telah terbentuk sejak diadakannya pembentukan Tim Pengawasan Orang Asing (Tim Pora)[20] yang melibatkan berbagai pihak terkait. Tim kerja lintas sektoral ini diharapkan dapat membantu menanggulangi terjadinya praktik perkawinan semu, dengan cara saling tukar menukar informasi mengenai keberadaan dan kegiatan orang asing di wilayah Indonesia.
Yassona H. Laoly, Menteri Hukum dan HAM RI, memberikan pernyataan di depan awak media, pasca peresmian Sekretariat Tim Pengawasan Orang Asing (Tim Pora) Tingkat Pusat (kemenkumham.go.id)
Salah satu upaya pencegahan terjadinya perkawinan semu adalah dengan menegakan ketentuan perkawinan campuran yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perkawinan campuran. Sebagai contoh, setiap orang asing yang akan melakukan perkawinan dengan WNI di wilayah Indonesia wajib menyampaikan surat keleluasaan untuk kawin dengan WNI dari perwakilan negaranya di Indonesia.[21]
Namun, faktanya sangat sulit untuk menelaah dan menentukan seseorang melakukan perkawinan semu atau tidak. Hal ini dikarenakan motif seorang WNA dalam melangsungkan perkawinan dengan WNI tidak mudah ditentukan oleh pihak lain, selain oleh Tuhan dan mereka sendiri yang melakukannya.
Penguatan pengawasan dan saling bertukar informasi pada masing-masing instansi sangat diperlukan. Minimalisir ego sektoral yang kerap terjadi. Peran serta masyarakat sangat dibutuhkan terutama dalam memberikan informasi keberadaan WNA yang mencurigakan. Apabila semua unsur bersinergi, maka perkawinan semu dapat dengan mudah ditanggulangi. Perkawinan merupakan peristiwa sakral. Jangan jadikan perkawinan sebagai modus bagi WNA yang tidak bertanggung jawab untuk mendapatkan dokumen keimigrasian, hingga Kewarganegaraan RI. Kedaulatan negara menjadi tanggung jawab kita bersama.


Bogor, Oktober 2016
M. Alvi Syahrin
Bahan Bacaan:
Lawrence M. Friedman, 2009, The Legal System: A Social Science Perspective (Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial), Jakarta: Nusamedia
Muhammad Maryadi, 2013, Kajian Yuridis Perkawinan Semu Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, Kertas Kerja Perorangan, Depok: Akademi Imigrasi

UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
PP No. 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
Peraturan Menteri Agama RI Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah
Permenkumham No. 27 Tahun 2014 tentang Prosedur Teknis Pemberian, Perpanjangan Izin Tingal Kunjunan, Izin Tinggal Terbatas, dan Izin Tinggal Tetap serta Pengecualian dari Kewajiban Memiliki Izin Tinggal
Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam


Sumber Foto:
http://manohara-info.blogspot.co.id/2009_06_01_archive.html



[3] Sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, praktik perkawinan campuran berbeda kewarganegaraan belum memiliki dasar hukum (legal standing) yang kuat. Perkawinan campuran pada masa itu masih tunduk pada hukum kebiasaan masing-masing pihak. Sehingga kedudukan anak, harta waris, dan akibat dari perkawinan campuran tidak diatur secara jelas.
[4] Vide Pasal 58 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[5] Vide Pasal 59 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[6] Vide Pasal 60 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[7] Vide Pasal 2 Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, tanggal 10 Juni 1991. Mitssaqan ghalidzan secara harfiah ditafsirkan sebagai ikatan lahir dan batin antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk hidup bersama. Dalam Islam, ikatan ini disebut sebagai perjanjian yang amat kukuh (QS. An-Nisa: 21). Perjanjian yang namanya hanya ditemui dalam Al-Quran sebanyak tiga kali.
[8] Vide Pasal 63 UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
[9] Tindakan hukum yang dikenal dalam UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian terdiri dari dua macam, yaitu Tindakan Administratif Keimigrasian dan Tindakan Pro Justitia (Penyidikan).
[10] Vide Pasal 9 huruf (a) UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.
[11] Vide Penjelasan Pasal 135 UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
[12] Vide Pasal 33 Permenkumham No. 27 Tahun 2014 tentang Prosedur Teknis Pemberian, Perpanjangan Izin Tingal Kunjunan, Izin Tinggal Terbatas, dan Izin Tinggal Tetap serta Pengecualian dari Kewajiban Memiliki Izin Tinggal.
[13] Muhammad Maryadi, 2013, Kajian Yuridis Perkawinan Semu Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, Kertas Kerja Perorangan, Depok: Akademi Imigrasi, hlm. 16
[16] Vide Pasal 75 ayat 2 UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
[17] Pasal 183 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
[18] Pasal 48 ayat 5 jo. Pasal 75 ayat 2 huruf f UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
[19] Teori Sistem Hukum menjadi populer ketika Lawrence M. Friedman menulis essai yang berjudul A History of American Law pada tahun 1973. Hingga kini teori tersebut masih sangat relevan sebagai rujukan para ilmuan hukum dalam memecahkan masalah hukum dan sosial yang terjadi di masyarakat. Vide Lawrence M. Friedman, 2009, The Legal System: A Social Science Perspective (Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial), Jakarta: Nusamedia, hlm. 6
[20] Pasal 69 UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian jo. Pasal 194 PP No. 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
[21] Vide Pasal 5 ayat (2) huruf L Peraturan Menteri Agama RI Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah.