Thursday, November 8, 2018

MENGUKUR KEKUATAN HUKUM SURAT EDARAN

Status Hukum SE

Selama puluhan tahun, Surat Edaran (SE) menjadi bagian dari kebijakan sejumlah lembaga negara. Daya ikat, kedudukan, dan mekanisme pengujiannya masih menjadi perdebatan.

Berdasarkan ketentuan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, SE bukan termasuk jenis peraturan perundang-undangan (regeling), bukan pula keputusan tata usaha negara (beschikking). SE merupakan sebuah peraturan kebijakan (beleidsregel) atau peraturan perundang-undangan semu (pseudo wetgeving).

Guru Besar Ilmu Perundang-Undangan Universitas Indonesia, Maria Farida Indrati menegaskan bahwa SE tidak termasuk kategori peraturan perundang-undangan. Meskipun dianggap sebagai peraturan, sifatnya hanya untuk kalangan intern.

SE dikategorikan sebagai instrumen administratif yang bersifat internal. SE ditujukan untuk memberikan petunjuk lebih lanjut mengenai suatu norma peraturan perundang-undangan yang bersifat umum.

Materi muatan SE biasanya menjelaskan atau membuat prosedur untuk mempermudah, atau memperjelas peraturan yang mesti dilaksanakan. Karena sifatnya hanya memperjelas, maka SE tidak boleh menabrak apalagi menegasikan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12/2011.

Dalam beberapa literatur, SE disebut sebagai beleidsregel dan pseudo wetgeving, yaitu produk hukum yang secara materil mengikat umum. Namun keberadaannya bukan termasuk peraturan perundang-undangan, karena ketiadaan wewenang pembentuk untuk membuatnya sebagai peraturan perundang-undangan.

Sedangkan dalam Peraturan Kepala Arsip Nasional RI No. 2 Tahun 2014 tentang Pedoman Tata Naskah Dinas, SE digolongkan sebagai produk tata naskah dinas. Sehingga idealnya SE hanya sebatas alat komunikasi kedinasan berupa pemberitahuan kepada kalangan internal. Dikarenakan sifatnya informatif, maka SE tidak boleh mengatur hal-hal yang melamapui kewenangan dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Keberadaan SE dalam praktik pemerintahan sedikit banyak menimbulkan polemik. Secara formil, SE tunduk pada kaidah tata naskah dinas, tetapi dari aspek materil terkadang mengandung norma yang bersifat mengatur (regeling) dan menetapkan (beschikking). Hal ini kontradiktif dengan tujuan awal SE sebagai instrumen informasi. 

Perumusan SE harus tetap mengacu pada asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagaimana diatur dalam UU No. 5/1986, UU No. 28/1999, dan UU No. 30/2014. Tidak hanya itu, SE juga terikat pada asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik (beginselen van behoorlijke regelgeving). Peraturan kebijakan yang secara secara tidak langsung mengikat publik akan menimbulkan masalah jika pembentukannya tidak memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan, baik dari aspek formil maupun materil.

Faktor Kesengajaan?

Ada dugaan, penerbitan SE oleh Pejabat Pemerintahan didasarkan atas faktor ketidaktahuan atau bahkan kesengajaan. Disebut kesengajaan karena Pejabat Pemerintahan menganggap memiliki wewenang penuh berupa diskresi untuk membuat norma tertentu dalam SE. Sehingga secara sengaja kerap kali melampaui kewenangannya.

Pejabat Pemerintahan dapat saja membuat diskresi selama belum diatur oleh aturan yang lebih tinggi. Namun, SE tersebut tidak boleh mengatur apa yang sudah ditentukan sebelumnya (ultra vires) atau membatalkan norma.

SE sebagai Diskresi

Sebagai suatu beleidsregel, SE tetap harus tunduk dan patuh pada asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik (beginselen van behoorlijke regelgeving). Dalam teori pemerintahan, kedudukan hukum SE dapat disamakan dengan diskresi.

Pasa 1 angka 9 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, menyatakan bahwa diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret
yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang- undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.

Pasal 22 ayat (1) UU No. 30/2014 menjelaskan tujuan diskresi adalah untuk:
a. melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
b. mengisi kekosongan hukum;
c. memberikan kepastian hukum; dan
d. mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.

Pasal 24 UU No. 30/2014 menjelaskan persyaratan diskresi sebagai berikut:
a. sesuai dengan tujuan diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2);
b. tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. sesuai dengan AUPB;
d. berdasarkan alasan-alasan yang objektif;
e. tidak menimbulkan konflik kepentingan; dan
f. dilakukan dengan iktikad baik.

Pasal 30, 32, 32 UU No. 30/2014 menjelaskan bahwa penggunaan diskresi yang melampaui wewenang atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maka diskresi tersebut:
a. menjadi tidak sah;
b. dapat dibatalkan

Apakah Bisa Diuji?

Apabila SE bukan sebagai peraturan perundangan, apakah berarti SE tidak bisa diuji? Jika bisa diuji, maka lembaga mana yang berwenang menguji keabsahan SE?

SE yang bersifat regeling (umum dan abstrak), dapat diuji ke Mahkamah Agung. Dalam Putusan MA No. 23P/HUM/2009, MA membatalkan SE Dirjen Minerba dan Panas Bumi No. 03.E/31/DJB/2009 tentang Perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara Sebelum Terbitnya Perppu No. 4 Tahun 2009.

Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim Agung berpendapat bahwa walaupun SE tidak termasuk dalam urutan peraturan perundang-undangan, tetapi berdasarkan penjelasan Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004, SE dapat dikategorikan sebagai bentuk peraturan perundang-undangan yang sah, sehingga tunduk pada tata urutan peraturan perundang-undangan. Sehingga dengan adanya putusan ini dapat menjadi yurisprudensi bahwa SE dapat digolongkan sebagai sebuah peraturan dan dapat dilakukan judicial review ke MA.

Sejak diberlakukannya UU No. 30/2014, maka ada perluasan makna Keputusan Tata Usaha Negara (TUN) yang dikeluarkan oleh Pejabat Pemerintahan. Objek Sengketa TUN tidak lagi hanya sebatas bechikking, tetapi juga regelingSehingga menurut ketentuan ini, SE dapat digolongkan sebagai Keputusan TUN yang dapat diajukan gugatan ke PTUN.

Pasal 87 UU No. 30/2014 menyatakan bahwa:
Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009 harus dimaknai sebagai:
a. penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
b. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya
c. berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB;
d. bersifat final dalam arti luas;
e. Keputusan yang berpotensi akibat hukum; dan/atau
f. Keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat.

Dengan demikian, terhadap SE yang melampaui kewenangan dapat diajukan gugatan ke PTUN oleh pihak yang dirugikan. Pengajuan gugatan ini dimungkinkan, karena SE tersebut dikategorikan sebagai Keputusan TUN yang dikeluarkan oleh Pejabat Pemerintahan.

Tentu pendapat ini akan menimbukkan pro dan kotra. Argumentasinya masih sangat bisa diperdebatkan. Namun, bila problematika redefinisi SE ini tidak dapat diselesaikan, maka SE berpotensi menjadi ‘kerikil’ dalam sistem peraturan perundang-undangan. Oleh karenanya, perlu dibuat aturan khusus yang mengatur soal apa dan bagaimana keabsahan SE dalam sistem hukum Indonesia. Bila persoalan ini dibiarkan berlarut, kehadiran SE akan terus mengganggu stabilitas pemerintahan dan mengancam kepastian hukum dalam penyelenggaraan negara.

Monday, October 22, 2018

MEMBEDAH REZIM PENEGAKAN HUKUM KEIMIGRASIAN INDONESIA

Globalisasi dalam Optik Keimigrasian
Dalam era globalisasi dan perdagangan bebas telah membawa dampak pada peningkatan lalu lintas orang. Fenomena ini sudah menjadi perhatian negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Sebagai negara yang mempunyai kedaulatan untuk mengatur lalu lintas orang yang akan masuk dan keluar wilayah negaranya, Indonesia kini dihadapkan kepada beragam masalah transnasional (Hendra Halwani, 2005: 10).
Dampak yang ditimbulkan dari globalisasi yaitu, perdagangan narkotika antarnegara, aksi-aksi terorisme yang mengancam keamanan dan ketertiban dunia, perdagangan manusia (human trafficking), penyelundupan manusia (people smuggling), pencucian uang (money laundering), imigran gelap, perdagangan senjata dan lain sebagainya. Dari contoh dampak negatif di atas, dapat digolongkan sebagai aksi kejahatan yang terorganisir atau sering disebut Transnational Organized Crimes (M. Alvi Syahrin, 2017: 168-178). Kejahatan tersebut bukan hanya mengancam kedaulatan negara Indonesia sendiri, tetapi juga mengancam ketentraman dan kedaulatan seluruh negara di dunia (M. Iman Santoso, 2007: 36).
Untuk meminimalisir dampak tersebut, maka diperlukan suatu lembaga yang mengatur masalah tentang keluar masuknya orang ke wilayah negara Republik Indonesia, yaitu Direktorat Jenderal Imigrasi. Direktorat Jenderal Imigrasi adalah suatu lembaga yang mengatur perlintasan masuk dan keluarnya orang ke wilayah negara Republik Indonesia. Permasalahan keimigrasian diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (UU No. 6 Tahun 2011). Di mana dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 6 Tahun 2011 disebutkan bahwa: “Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang masuk atau keluar wilayah Indonesia serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan negara.
Pengaturan bidang keimigrasian (lalu lintas masuk dan keluar) suatu negara, berdasarkan hukum internasional merupakan hak dan wewenang suatu negara. Dengan perkataan lain, merupakan salah satu indikator kedaulatan suatu negara. Direktorat Jenderal Imigrasi secara kelembagaan memiliki peran di berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara seperti bidang ekonomi, politik, hukum, dan keamanan (Abdullah Sjahriful, 1993: 5).
Pelanggaran keimigrasian yang sering terjadi adalah penyalahgunaan izin tinggal keimigrasian yang dilakukan oleh tenaga kerja asing, terutama di perusahaan energi dan pertambangan. Skema investasi (Turnkey Project Mangement) antara Indonesia dan Tiongkok, menimbulkan dampak yang sistemik, khususnya dalam kepemilikan modal, infrastruktur, dan tenaga kerja asing. Contoh kasus tenaga kerja asing di perusahaan energi dan tambang terdapat di Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara. Berdasarkan data yang dirilis oleh Kementerian Ketenagakerjaan per tanggal 06 April 2018, terdapat sekitar 927 warga negara Tiongkok yang bekerja secara ilegal di sejumlah perusahaan pertambangan di Provinsi Sulawesi Tenggara. Tenaga kerja asing ini paling banyak bekerja di Virtue Dragon Nickel Industry dengan jumlah 632 orang. Kasus lain juga pernah terjadi di Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Selatan. Setidaknya ada sekitar 671 warga negara Tiongkok yang bekerja secara ilegal di PT. Priamanaya Energy. Dari jumlah tersebut, 90% di antaranya merupakan tenaga kerja asing ilegal. Mereka tidak memiliki Izin Tinggal Terbatas Bekerja dari Kantor Imigrasi dan Izin Memperkerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) dari Kementerian Ketenagakerjaan. Kebanyakan modus mereka adalah menyahgunakan Kebijakan Bebas Visa Kunjungan yang seharusnya bukan untuk bekerja
Penegakan Hukum Keimigrasian
Penegakan hukum merupakan tindakan penyelenggaraan hukum oleh petugas penegak hukum oleh orang-orang yang berkepentingan sesuai dengan kewenangan masing-masing menurut aturan hukum yang berlaku (C.S.T. Kansil, 2002: 17). Dalam pelaksanaan tugas keimigrasian, keseluruhan aturan hukum keimigrasian negara Republik Indonesia baik itu warga negara Indonesia (WNI) atau orang asing. Hal ini dimaksudkan untuk membuat efek jera kepada para pelanggar tindak pidana keimigrasian di Indonesia. Penegakan hukum keimigrasian ini sangat penting, karena keimigrasian berhubungan erat dengan kedaulatan suatu negara (M. Iman Santoso, 2004: 54). Dengan adanya penegakan hukum yang tegas, maka integritas dan kedaulatan negara Indonesia secara tidak langsung akan dihormati dan dihargai oleh negara-negara lain.
Penegakan hukum keimigrasian terhadap WNI, ditujukan pada permasalahan:
a. pemalsuan identitas;
b. pertanggungjawaban sponsor;
c.  kepemilikan paspor ganda;
d.  keterlibatan dalam pelanggaran aturan keimigrasian.
Sedangkan, penegakan hukum keimigrasian terhadap orang asing, ditujukan pada permasalahan:
a. pemalsuan identitas;
b.  pendaftaran orang asing dan pemberian buku pengawasan orang asing;
c.  penyalahgunaan izin tinggal;
d.  masuk secara ilegal atau berada secara ilegal;
e.  pemantauan/razia;
f.    kerawanan keimigrasian secara geografis dalam perlintasan
Tindakan Administratif Keimigrasian
Pasal 1 angka 31 UU No. 6 Tahun 2011 menyatakan tindakan administrasi keimigrasian adalah sanksi administratif yang ditetapkan Pejabat Imigrasi terhadap orang asing di luar proses peradilan. UU No. 6 Tahun 2011, Pasal 75 ayat (1) menentukan alasan tindakan (administrasi) keimigrasian bahwa apabila orang asing yang berada di wilayah Indonesia yang melakukan kegiatan berbahaya dan patut diduga membahayakan keamanan dan ketertiban umum atau tidak menghormati atau tidak menaati peraturan perundang-undangan.
UU No. 6 Tahun 2011, Pasal 75 ayat (2) menentukan tindakan administratif  keimigrasian terdiri dari:
a. Pencantuman dalam daftar pencegahan atau penangkalan;
b.  Pembatasan, perubahan atau pembatalan Izin Tinggal;
c.  Larangan untuk berada di satu atau beberapa tempat tertentu di wilayah Indonesia;
d.  Keharusan untuk bertempat tinggal di suatu tempat tertentu di wilayah Indonesia;
e.  Pengenaan biaya beban; dan / atau
f.    Deportasi dari wilayah Indonesia.
Penentuan apakah dikenakan tindakan administratif keimigrasian ataukah diproses melalui proses peradilan, sepenuhnya ditentukan oleh Pejabat Imigrasi di setiap tingkatan struktur organisasi. Kemudian ketidakjelasan sanksi administratif yang diberlakukan terhadap ancaman yang bukan bersifat administratif terjadi secara meluas dalam hal penegakan hukum keimigrasian.
Lebih lanjut, pada umumnya negara-negara memiliki kekuasaan untuk mengusir, mendeportasi, dan merekonduksi orang-orang asing, seperti halnya kekuasaan untuk melakukan penolakan pemberian izin masuk. Hal ini dianggap sebagai suatu hal yang melekat pada kedaulatan teritorial suatu negara. Mengingat pengaturan mengenai keberadaan dan kegiatan orang asing di suatu negara merupakan esensi kedaulatan teritorial yang melekat pada suatu negara, maka negara berhak menentukan batasan-batasan terhadap keberadaan dan suatu kegiatan yang dapat atau boleh dilakukan oleh orang asing (M. Alvi Syahrin, 2018: 43-57).
Penegakan hukum keimigrasian di mulai dari pengawasan terhadap lalu lintas orang yang masuk dan keluar wilayah negara Republik Indonesia dan pengawasan orang asing di wilayah Indonesia. Pejabat Imigrasi berwenang melakukan tindakan administrasi keimigrasian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia yang melakukan kegiatan berbahaya dan patut diduga membahayakan keamanan dan ketertiban umum atau tidak menghormati atau tidak menaati peraturan perundang-undangan.
Kewenangan untuk menetapkan keputusan tindakan administratif keimigrasian ditingkat operasional ada pada Kepala Kantor Imigrasi, di tingkat pengawasan dan pengendalian ada pada Koordinator / Bidang Imigrasi pada setiap Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM, dan di tingkat pusat ada pada Direktur Jenderal Imigrasi yang dalam pelaksanaannya didelegasikan kepada Direktur Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian. Walaupun pengaturan mengenai keberadaan dan kegiatan orang asing merupakan instrumen penegakan kedaulatan negara, UU No. 6 Tahun 2011 juga mengatur hak orang asing yang terkena tindakan keimigrasian untuk mengajukan keberatan kepada Menteri. Hal ini mengisyaratkan bahwa hukum keimigrasian selain mengutamakan aspek kedaulatan negara, juga memperhatikan masalah hak asasi manusia setiap orang.
Tindakan administratif keimigrasian yang paling sering diberikan kepada para pelanggar keimigrasian adalah deportasi. Deportasi adalah tindakan paksa mengeluarkan orang asing dari wilayah Indonesia. Tata cara proses pendeportasian yang dilakukan meliputi: melakukan berita acara pemeriksaan terhadap orang asing yang melanggar peraturan keimigrasian yang didampingi penerjemah, dan juga mendatangkan perwakilan dari Kedutaan Besar orang asing yang bersangkutan sebagai konfirmasi kebenaran identitas orang asing tersebut. Konfirmasi dilakukan terhadap keabsahan paspor, visa yang dikeluarkan di Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri, maupun visa yang dikeluarkan pada saat orang asing tersebut tiba di Indonesia, kemudian membuat surat keputusan deportasi.
Keputusan deportasi dikeluarkan oleh Pejabat Imigrasi yang berwenang, yaitu Kepala Kantor Imigrasi dan keputusan tersebut harus disampaikan kepada orang asing yang dikenakan tindakan keimigrasian selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak tanggal penetapan. Selama orang asing yang dikenakan tindakan keimigrasian tersebut menunggu proses pendeportasian, orang asing tersebut ditempatkan di Ruang Detensi Imigrasi.
Pasal 1 angka 34 UU No. 6 Tahun 2011 menentukan bahwa Ruang Detensi Imigrasi merupakan tempat penampungan sementara bagi orang asing yang dikenai tindakan administratif keimigrasian yang berada di Direktorat Jenderal Imigrasi dan Kantor Imigrasi. Pasal 44 ayat (1) menentukan bahwa setiap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dapat ditempatkan di Ruang Detensi Imigrasi apabila berada di wilayah Indonesia tanpa memiliki izin tinggal yang sah, atau dalam rangka menunggu proses pengusiran atau pendeportasian keluar wilayah Indonesia.
Contoh kasus penyalahgunaan izin tinggal pernah terjadi terhadap orang asing yang bernama Chen Qinpeng yang berkewarganegaraan China, Pasport Nomor E58942114 dan Jing Cilu yang berkewarganegaraan China, Pasport Nomor E37538042. Chen Qinpeng dan Jing Cilu telah melakukan tindak pidana keimigrasian, dimana keduanya masuk ke Indonesia melalui Bandara Soekarno-Hatta pada tanggal 16 September 2015 dengan menggunakan Visa on Arrival. Terhadap terdakwa yang telah melakukan tindak pidana penyalahgunaan izin tinggal yang melanggar ketentuan perundang-undangan keimigrasian, karena yang bersangkutan hanya memiliki izin kunjungan dan berlibur tidak untuk bekerja. Namun pada kenyataannya terdakwa berada di Lampung untuk bekerja melakukan pelatihan terhadap karyawan PT. Radema Graha Sarana yang sedang mengerjakan proyek pengeboran untuk pemasangan pipa gas milik PGN di Bandar Lampung. Sehingga terdakwa diduga melakukan pelanggaran keimigrasian sebagaimana dimaksud Pasal 122 huruf a jo. Pasal 75 ayat (2) huruf a, b, dan f UU No. 6 Tahun 2011 dan kepada yang bersangkutan dikenakan tindakan administratif keimigrasian berupa penangkalan, pembatalan izin tinggal, dan pendeportasian.
Pada saat proses pemulangan orang asing tersebut dilakukan pengawasan keberangkatan oleh Petugas Imigrasi sampai ke Tempat Pemeriksaan Imigrasi, kemudian diterakan tanda penolakan di paspornya oleh Petugas Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi baik di bandara maupun pelabuhan dan orang asing tersebut dipulangkan.
Penyidikan Tindak Pidana Keimigrasian
Penyidikan tindak pidana keimigrasian yaitu penanganan suatu tindak pidana keimigrasian melalui proses peradilan, yang termasuk di dalam sistem peradilan pidana (M. Abdul Kholiq, 2002: 21). Penyidikan atau kerap disebut tindakan secara pro justisia diberikan kepada orang asing yang melakukan tindak pidana atau pelanggaran keimigrasian yang tercantum dalam UU No. 6 Tahun 2011 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013. Tindakan tersebut berupa penyidikan terhadap tersangka dan barang bukti yang berkaitan dengan tindak pidana keimigrasian yang dilakukan, melakukan tindakan pertama di tempat kejadian, melakukan tindakan pengkarantinaan terhadap orang asing, melakukan penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan terhadap tempat, benda-benda, dokumen-dokumen, surat-surat yang berkaitan dengan tindak pidana imigrasi, memanggil para saksi dan tersangka, dengan disertai pembuatan berita acaranya di setiap tindakan hukum yang dilakukan.
Terhadap orang asing yang dilakukan operasi tangkap tangan karena melakukan tindak pidana imigrasi ataupun yang berkaitan dengan tindak pidana lainnya, maka Penyidik dapat secara langsung melakukan tindakan seperti yang diatur dalam KUHAP Pasal 5 ayat (1) huruf b, yaitu:
a. pengangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan;
b. pemeriksaan dan penyitaan surat mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
c. membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.
Tindakan ini dilaksanakan oleh Pejabat Imigrasi, yang telah berstatus Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Keimigrasian. PPNS Keimigrasian diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penegakan hukum keimigrasian terhadap pelanggaran tindak pidana keimigrasian. Dalam Pasal 107 ayat (2) KUHAP ditentukan bahwa PPNS Keimigrasian melakukan koordinasi dengan Penyidik Kepolisian RI dalam hal pemberitahuan dimulainya penyidikan tindak pidana imigrasi kepada Penyidik Kepolisian RI selaku Koordinator dan Pengawas (Korwas) PPNS Keimigrasian. Dalam hal serah terima berkas perkara hasil penyidikan tindak pidana imigrasi dari PPNS Imigrasi kepada Penyidik Kepolisian RI selaku Korwas PPNS Keimigrasian untuk disampaikan kepada Penuntut Umum (Pasal 107 ayat (3) KUHAP). Apabila melakukan penghentian penyidikan maka memberitahukan kepada Penyidik Kepolisian RI dari penuntut umum (Pasal 109 ayat (3) KUHAP). Penghentian penyidikan dilakukan apabila tidak teradapat cukup bukti, peristiwa tersebut bukanlah tindak pidana dan penyidikan dihentikan demi hukum (Pasal 109 ayat (2) KUHAP).
Penindakan yang dilakukan terhadap warga negara asing yang melakukan tindak pidana keimigrasian, dilakukan dengan cara memanggil, memeriksa, menggeledah, menangkap atau menahan seseorang yang disangka melakukan tindak pidana keimigrasian. Dimana laporan dari masyarakat terhadap warga negara asing yang melakukan tindak pidana sangat membantu dalam penegakan hukum keimigrasian.
Pemeriksaan yang dilakukan terhadap WNA yang melanggar izin tinggal keimigrasian merupakan kegiatan untuk memperoleh keterangan, kejelasan dan keidentikan tersangka maupun para saksi dan barang bukti maupun mengenai unsur-unsur tindak pidana keimigrasian yang telah terjadi, sehingga kedudukan ataupun peranan seseorang maupun barang bukti dalam tindakan keimigrasian menjadi jelas dan terang. Dasar pertimbangan dilakukan pemeriksaan adalah laporan kejadian keimigrasian, berita acara pemeriksaan di tempat kejadian perkara, berita acara penangkapan, berita acara karantina imigrasi, berita acara penggeledahan, dan berita acara penyitaan, adanya petunjuk dari Penuntut Umum mengenai adanya pemeriksaan tambahan. Penyelesaian dan penyerahan berkas perkara adalah akhir dari proses penyidikan tindak pidana keimigrasian. Dilakukannya hal tersebut adalah hasil pemeriksaan tersangka dan para saksi atau saksi ahli beserta kelengkapannya, memenuhi unsur-unsur tindak pidana keimigrasian dan dilakukan demi hukum.
Penyerahan berkas perkara merupakan kegiatan pengiriman berkas perkara yang berkaitan dengan tanggung jawab atas tersangka beserta dengan barang bukti kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Kepolisian RI. Penghentian penyidikan dilakukan sebagai kegiatan penyelesaian perkara apabila tidak cukup bukti, peristiwa pidana tersebut bukanlah tindak pidana keimigrasian, dan dihentikan demi hukum. Tindakan keimigrasian yang dikenakan secara pro justisia berdasarkan pada Pasal 106 UU No. 6 Tahun 2011 terhadap warga negara asing diketahui dari laporan tentang adanya tindak pidana keimigrasian, tertangkap tangan ataupun dengan diketahui sendiri secara langsung oleh PPNS Keimigrasian pada saat melakukan pemantauan (operasi) ke lapangan.
Salah satu kasus pelanggaran keimigrasian lainnya yang pernah terjadi terhadap orang asing di daerah Lampung yaitu yang dilakukan oleh Marwan Saydeh bin Mustafa, berkewarganegaraan Syriah. Ia bekerja sebagai pemain sepak bola dan beralamat di Apartment Gading Nias Jakarta Utara. Marwan Saydeh bin Mustafa telah memberikan data yang tidak sah atau keterangan yang tidak benar untuk memperoleh Dokumen Perjalanan Republik Indonesia untuk dirinya sendiri. Pada tanggal 28 November 2014 Marwan Saydeh bin Mustafa datang ke Kantor Imigrasi Kelas I Bandar Lampung untuk mengurus pembuatan paspor Republik Indonesia dimana data kependudukannya adalah KTP dan KK palsu. Terhadap terdakwa yang telah melanggar ketentuan perundang-undangan keimigrasian maka dilakukan tindakan kepadanya penahanan di Rumah Tahanan, selanjutnya diperpanjang oleh Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung. Dengan sanksi pemidanaan tersebut diharapkan dapat menimbulkan efek jera dan menjadi contoh penegakan hukum keimigrasian yang tegas dengan berpegang teguh terhadap UU No. 6 Tahun 2011, sehingga orang asing yang berada di Lampung lebih taat terhadap aturan yang berlaku di Indonesia.
Praktiknya, tindakan penyidikan jarang dilaksanakan. Hal ini dikarenakan dianggap tidak efektif, memakan waktu yang relatif lama, pengalokasian anggaran yang masih belum memadai, serta sumber daya manusia PPNS Keimigrasian sangat terbatas jika dibandingkan dengan Penyidik Kepolisian. Sehingga petugas di lapangan lebih memilih upaya hukum non justisia (tindakan administratif keimigrasian), melalui pendeportasian ke negara asalnya.
Tujuan dari pengawasan terhadap orang asing yang masuk ke Indonesia adalah dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan negara. Maka dari itu dalam menegakkan UU No. 6 Tahun 2011, Direktorat Jenderal Imigrasi akan terus melakukan pengawasan sejak orang asing tersebut masuk hingga berada di wilayah Indonesia. Terhadap orang asing yang dianggap mencurigkan, maka akan dilakukan pemeriksaan paspor dan visa secara mendalam, serta apa maksud dan tujuannya masuk ke wilayah Indonesia.
Kemudian wilayah-wilayah yang akan dikunjungi orang asing akan didata dan dimasukkan ke sistem yang langsung terkoneksi ke Kantor Imigrasi seluruh Indonesia. Sehingga apabila orang asing tersebut tidak melaporkan keberadaannya di suatu daerah, maka pihak Imigrasi tetap memiliki data tersebut sebagai langkah preventif. Dengan adanya data tersebut Petugas Imigrasi dapat lebih mudah dalam melakukan pengawasan terhadap orang asing yang berada di wilayahnya.
Perbaikan dan Peningkatan
Dalam proses penegakan hukum keimigrasian ini, tentu masih banyak hal-hal yang perlu diperbaiki oleh Direktorat Jenderal Imigrasi. Di antaranya, meningkatkan kualitas dan kuantitas petugas Imigrasi di daerah perbatasan, dukungan moral dan politik dari pemangku jabatan, perbaikan sarana dan prasarana, serta fasilitas keimigrasian di Tempat Pemeriksaan Imigrasi, meningkatkan kerja sama dan koordinasi lintas lembaga, dan menjalankan norma UU No. 6 Tahun 2011 beserta peraturan pelaksana lainnya dengan sungguh-sungguh. Jadikanlah, Direktorat Jenderal Imigrasi sebagai lembaga yang terhormat dan berwibawa, layaknya semboyan: Bhumi Pura Wira Wibawa (Penjaga Pintu Gerbang Negara yang Berwibawa).

Wednesday, September 26, 2018

ASAS HUKUM PEMERINTAHAN YANG BAIK

Sebagai negara hukum, maka Indonesia dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara di segala aspek wajib untuk berpedoman pada Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Negara sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Asas-asas tersebut meliputi:
  1. Asas Kepastian Hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, keputusan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan negara;
  2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengabdian penyelenggaraan;
  3. Asas Kepentingan Umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan kolektif;
  4. Asas Keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif terhadap penyelenggara negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara;
  5. Asas Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  6. Asas Akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berkenaan dengan asas kepastian hukum, Gayus Lumbun menyatakan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, disebutkan bahwa asas kepastian hukum adalah salah satu asas yang mengikat para penyelenggara negara untuk melaksanakan tugas dan fungsinya.[1] Asas kepastian hukum diperlukan agar semua tindakan pemerintah dilandasi dengan aturan yang jelas dan pasti. Pembuatan undang-undang, pengkodifikasian, dan unifikasi hukum jelas dimaksudkan sebagai langkah pemberian kepastian hukum untuk penegakan hukum dan keadilan dan tercapainya ketertiban.

Dalam kerangka pembuatan peraturan perundang-undangan yang baik maka sudah tentu asas kepastian hukum atau principle of legal security[2] juga menjadi pedoman untuk penyusunannya. Sejalan dengan pendapat Romli Atmasasmita, bahwa kepastian hukum akan selalu menjadi ikon dan sekaligus jati diri hukum sejak masa dulu hingga sekarang.[3] Asas tersebut masih dikumandangkan dan diajarkan sebagai asas dan tujuan hukum yang bersifat universal dan abadi, sekaligus sering dipertentangkan dengan asas keadilan. Sebagai pengejewantahan konsepsi negara hukum materil yang demokratis sudah tentu implementasi dalam peraturan-peraturan yang dibuat bagi penegakan hukum keimigrasian harus memberikan kepastian hukum.

Negara sebagai organisasi kekuasaan[4] dijalankan sesuai hukum yang berlaku (asas legalitas), diakui oleh masyarakat (legitimasi demokratis), dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip moral (legitimasi moral). Dalam hal kekuasaan negara yang berdasarkan hukum, kekuasaan itu diperoleh secara konstitusional dan dipergunakan sesuai dengan undang-undang yang berlaku untuk kepentingan masyarakat.[5]

Dalam melaksanakan kekuasaan, pemerintahan negara setiap tindakannya bertumpu atas kewenangan yang sah. Kewenangan (authority) diartikan sebagai: “…. a right to command or to act. The Right and power of public officers to require obedience to their orders lawfully issued in scope of their public duties.”[6] Laswell dan Kaplan mengemukakan bahwa kewenangan adalah kekuasaan formal (formal power). Pemerintahan negara dianggap mempunyai wewenang (authority) sehingga berhak untuk mengeluarkan perintah dan membuat peraturan-peraturannya.

Kewenangan (biasanya terdiri atas beberapa wewenang) adalah sebagai kekuasan formal, yaitu kekuasaan yang berasal dari kekuasaan legislatif. Kewenangan ini merupakan kekuasaan terhadap golongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu alat tertentu saja.[7]

Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kewenangan itu merupakan kekuasaan formal yang lahir dari ketentuan hukum publik. Dasar bagi pemerintah untuk melakukan perbuatan hukum publik adalah adanya kewenangan yang berkaitan dengan jabatan (ambtenaar). Jabatan tersebut diperoleh dari tiga sumber, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat yang akan melahirkan kewenangan (bevoegheid, legal power, competence).[8]

Wewenang pemerintahan dari suatu organ hanya dapat diperoleh baik dari atribusi, maupun delegasi. Suatu organ dapat memperoleh wewenang baru dengan cara atribusi, sedangkan delegasi dapat terjadi jika ada pelimpahan wewenang tertentu dari orang yang telah mendapat wewenang atribusi kepada orang lain. Oleh sebab itu, delegasi harus didahului dengan atribusi.


[1] Gayus Lumbun dalam Muhammad Indra, 2010, Perspektif Penegakan Hukum dalam Hukum Keimigrasian Indonesia, Jakarta: Direktorat Jenderal Imigrasi, hlm. 30.
[2] Lihat, http://majalah.depkumham.go.id/article.php/pasal43rancanganundang-undanghukumacarapidanaditinjaudariaspekhukumadministrasinegara/24/,
diakses pada hari Jumat (14/07/2017), pukul 20.19 WIB.
[3] Romli Atmasasmita, Perlindungan HAM, Kepastian Hukum dan Keadilan di Dalam RUU KUHP, Launching Buku dan Web “Masa Depan Reformasi KUHP dalam Masa Transisi”, Hotel Sultan, Jakarta, 23 Agustus 2007.
[4] Soehino, 1986, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, hlm. 141-145.
[5] Franz Magnis Suseno, 1999, Etika Politik, Prinsip-Prinisp Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia, hlm. 54.
[6] Black Henry Campbell, 1990, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., hlm. 133.
[7] Prajudi Atmosudidjo, 1984, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia, hlm. 73-74.
[8] Philipus M. Hadjon, et.al., 1993, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: Gajah Mada Press, hlm. 137.