Monday, May 21, 2018

PRO-KONTRA PENERBITAN PERPRES NO. 20 TAHUN 2018 TENTANG PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING

".... Perpres ini hanya mengatur prosedur pelaksanaan penggunaan TKA Formal untuk menduduki jabatan tertentu. Bukan mengakomodir TKA Ilegal dan Unskill Worker. Terhadap kelompok tersebut, mengapa tidak dilegalkan saja dalam Perpres No. 20 Tahun 2018. Daripada kita mengalami dua kali kerugian dalam masalah ini ...."

Beberapa waktu terakhir, masyarakat dikagetkan dengan kebijakan Presiden yang mengeluarkan Peraturan Presiden No. 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing. Sikap pro dan kontra merebak di berbagai kalangan. Ada yang mengatakan pemerintah pro asing dan tidak peduli nasib bangsa. Ada juga yang menjelaskan kebijakan ini untuk menciptakan iklim perekonomian yang ramah investor. Semua pihak dapat berdalil, tapi masyarakat harus dicerdaskan dengan masukan informasi yang benar.
Dalam tulisan ini, saya akan melihat Perpres dalam optik hukum positif dan melepaskan diri dari tendensi politik. Sejatnya, tidak ada hal krusial yang menjadi masalah dalam norma hukum Perpes No. 20 Tahun 2018. Bila dikatakan tidak ada masalah sekali, tentu tidak benar juga. Memang ada beberapa catatan kritis, tapi menyatakan Perpres ini bermasalah tentu perlu kita telaah lebih lanjut.
Sebenarnya, isu hukum yang berkembang saat ini adalah keberadaan Tenaga Kerja Asing (TKA) Ilegal / Unskill Worker yang bekerja sebagai buruh kasar di beberapa perusahaan. Mereka mengambil pekerjaan receh yang seharusnya bisa dikerjakan oleh masyarakat Indonesia. Dan masalah ini, tidak ada hubungannya dengan dikeluarkannya Perpres No. 20 Tahun 2018. Praktik TKA Ilegal / Unskill Worker jauh sudah ada sebelum adanya Perpres ini. Sehingga mengkambinghitamkan Perpres sebagai instrumen hukum untuk melegalkan TKA Ilegal / Unskill Worker adalah tidak tepat.
Konstruksi hukum yang dibangun dalam Perpres No. 20 Tahun 2018 hanya berlaku untuk TKA Formal yang menduduki jabatan tertentu. Terkait isu TKA Ilegal / Unskill Worker yang saat ini viral, sejatinya bukan menjadi pokok pembahasan dalam Perpres No. 20 Tahun 2018. Lantas bagaimana dengan TKA Ilegal / Unskill Worker yang bekerja sebagai Buruh Kasar di Indonesia? Itu hal yang berbeda. Akar masalahnya tidak termasuk dalam rezim hukum Perpres ini.
Menurut saya, kandungan norma dalam Perpres ini tidak seheboh yang diberitakan di media masa. Beberapa ketentuan malah memperkuat argumentasi bahwa Indonesia hanya membutuhkan TKA Formal Berkualifikasi, bukan sebaliknya. Adanya keberadaan TKA Ilegal / Unskill Worker yang masuk ke Indonesia saat ini adalah penyimpangan dari Perpres No. 20 Tahun 2018.
Fakta Hukum Perpres No. 20 Tahun 2018:
• Pasal 2: Penggunaan TKA dalam jabatan tertentu
• Pasal 4 ayat (1): Mengutamakan penggunaan TKI
• Pasal 4 ayat (2): Urgensi penggunaan TKA
• Pasal 5: Larangan TKA menduduki jabatan personalia
• Pasal 8: Mempersingkat penerbitan RPTKA menjadi dua hari
• Pasal 9: Pengesahan RPTKA menjadi Izin Mempekerjakan TKA
• Pasal 13: Pengecualian penerbitan RPTKA dan menggunakan TKA dalam keadaan mendesak
• Pasal 15: Kewajiban membayar Dana Kompensasi Penggunaan TKA
• Pasal 17: Kewajiban TKA memiliki Visa Izin Tinggal Terbatas untuk Bekerja (Visa Kerja)
• Pasal 19: Mempersingkat penerbitan Visa Kerja menjadi dua hari
• Pasal 20 ayat (1): Permohonan Vitas menjadi Permohonan Izin Tinggal Terbatas untuk Bekerja (Itas Kerja)
• Pasal 21 ayat (1): Penerbitan Itas Kerja diberikan di Tempat Pemeriksaan Imigrasi
• Pasal 21 ayat (3): Itas Kerja bagi TKA maksimal dua tahun
• Pasal 23: Penerbitan Vitas dan Itas menjadi Pendapatan Negara Bukan Pajak bagi Kemenkumham cq. Ditjen Imigrasi
• Pasal 26 ayat (1) huruf a: Kewajiban menggunakan TKI sebagai Tenaga Kerja Pendamping
• Pasal 26 ayat (1) huruf b: Kewajiban memberikan pelatihan bagi TKI terhadap Jabatan TKA
• Pasal 26 ayat (1) huruf c: Kewajiban memberikan pelatihan Bahasa Indonesia bagi TKA
• Pasal 27: Alih teknologi dan keahlian dari TKA ke TKI
• Pasal 33: Kewajiban Pengawasan TKA oleh Kemenaker, Disnaker, dan Ditjen Imigrasi

Berdasarkan fakta hukum tersebut, dapat dipahami bahwa Perpres ini hanya mengatur prosedur pelaksanaan penggunaan TKA Formal untuk menduduki jabatan tertentu. Bukan mengakomodir TKA Ilegal dan Unskill Worker. 
Perlu dipahami, masalah yang diributkan saat ini adalah diambilnya hak rakyat untuk bekerja di sektor perusahaan oleh TKA Ilegal / Unskil Worker. Perkerjaan yang diambil adalah pekerjaan kasar, yang hemat saya tidak ada salahnya bila dilakukan oleh TKA. Bila kita membandingkan kebijakan ketenagakerjaan di Singapura dan Malaysia yang memberikan kesempatan bagi TKA untuk melakukan pekerjaan kasar, karena warga lokal di negara tersebut memang tidak mau melakukan pekerjaan itu. Sebaliknya, Singapura dan Malaysia malah membatasi TKA untuk menduduki jabatan keahlian tertentu, guna melindungi kepentingan negara. Kebijakan ini tentu berbeda dengan Indonesia, yang masih meributkan pekerjaan kasar dan membuka akses TKA untuk menempati jabatan strategis. Hal ini terjadi tentu karena kegagalan Indonesia memberikan lapangan pekerjaan bagi warganya sendiri.
Pasal 7 ayat 1 jo. Pasal 13 UU No. 12 Tahun 2011 menentukan bahwa Perpres diakui sebagai bagian dari hierarki peraturan perundangan yang memiliki materi muatan untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Sehingga, kebijakan Presiden menerbitkan Perpres ini dalam rangka memotong alur birokrasi dan menyederhakana regulasi, adalah sah-sah saja. 
Konsep hukum Perpres ini adalah memberikan kemudahan bagi TKA Formal Berkualifikasi. Sehingga terhadap Permenkumham dan Permenaker yang bertentangan dengan Perpres ini, harus direvisi dan disesuaikan. Hal ini dikarenakan kedudukan hukum Perpres lebih tinggi dibanding Peraturan Menteri.
Namun, bukan berarti Perpres ini telah sempurna. Ada beberapa catatan penting dalam Perpres No. 20 Tahun 2018:
• Perpres ini rentan dilakukan judicial review ke Mahkamah Agung, karena ada beberapa pasal yang bertentangan dengan Undang-Undang. Misalnya: Pasal 9 Perpres No. 20 Tahun 2018 yang bertentangan dengan Pasal 43 UU No. 13 Tahun 2003. Pasal 9 Perpres menyatakan pengesahan RPTKA merupakan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing. Sedangkan, Pasal 43 UU No. 13 Tahun 2003 menyatakan RPTKA adalah persyaratan untuk mendapatkan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing.
• Bila semangatnya untuk meningkatkan perekonomian, seharusnya yang diberi kemudahan oleh Presiden bukan hanya TKA (C311, C312), tetapi juga Investor (C313, C314)
• Ditjen Imigrasi harus segera merevisi Permenkumham No. 27 Tahun 2014, Permenkumham No. 42 Tahun 2015, dan Permenkumham No. 44 Tahun 2015.
• Tidak semua Perwakilan RI di luar negeri yang memiliki Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian untuk melakukan penerbitan Vitas dan Itas Kerja bagi TKA. Saat ini baru ada 40 (empat puluh) perwakilan yang dapat melaksanakan fungsi tersebut.

Lalu, keberadaan TKA Ilegal / Unskill Worker salah siapa?
• WN Tiongkok kerap kali melakukan penyalahgunaan Visa Kunjungan (B211, B212, B213).
• Diberlakukannya Perpres No. 21 Tahun 2016 tentang Kebijakan Bebas Visa Kunjungan (BVK), menjadi salah satu pemicu meningkatknya jumlah TKA Ilegal / Unskill Worker.
• Dugaan saya, Perpres BVK ini sengaja dibuat Pemerintah tidak hanya atas dasar kepariwisataan, tetapi untuk mengakomodir migrasi TKA Ilegal Tiongkok.
• Berdasarkan Data Ditjen Imigrasi Tahun 2017, penyimpangan hukum dan penyalahgunaan fasilitas BVK didominasi oleh WN Tiongkok. Saat ini terdapat 1.992 Tindakan Administratif Kemigrasian (Deportasi) yang dikenakan bagi WN Tiongkok.
• Permasalahan TKA Ilegal / Unskill Worker menjadi tanggung jawab Ditjen Imigrasi di perlintasan lalu lintas orang, sebagai Otoritas Penjaga Kedaulatan dan Pintu Gerbang Negara.
• Pasal 8 jo. Pasal 9 UU No. 6 Tahun 2011: Kewajiban Pejabat Imigrasi untuk memeriksa orang asing yang masuk dan keluar wilayah Indonesia berdasarkan Visa yang dimiliki.
• Pasal 66 ayat (2) huruf b: Kewajiban Pejabat Imigrasi mengawasi keberadaan dan kegiatan orang asing di wilayah Indonesia.

Kesimpulan:
• Dari aspek keimigrasian, keberadaan Perpres No. 20 Tahun 2018 tidak menimbulkan masalah krusial, berbeda bila ditinjau dari aspek ketenagakerjaan.
• Perpres ini hanya mengatur prosesur pelaksnaan bagi TKA Formal yang menduduki jabatan tertentu, bukan sebaliknya.
• Meningkatknya keberadaan TKA Ilegal / Unskill Worker di Indonesia bukan disebabkan oleh Perpres ini, tetapi akibat dari penyalahgunaan Visa Kunjungan dan diberlakukannya Perpres No. 21 Tahun 2016 tentang Kebijakan Bebas Visa Kunjungan.
• TKA Ilegal / Unskill Worker menjadi tanggung jawab dari pengawasan Ditjen Imigrasi.

Saran:
• Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari tuntutan global, sehingga menerima TKA adalah konsekuensi logis yang harus dihadapi.
• Perjanjian G2G antara Indonesia dan Tiongkok melahirkan skema investasi Turnkey Project Management, yang menentukan modal, teknologi, dan tenaga kerja semuanya berasal dari negara investor.
• Lalu bagaimana terkait Unskill Worker yang bekerja sebagai buruh kasar? Saya berpendapat mengapa tidak dilegalkan saja dalam Perpres No. 20 Tahun 2018. Daripada kita mengalami dua kali kerugian dalam masalah ini, yaitu: pertama mereka masuk secara ilegal (menyalahgunakan Visa Kunjungan dan BVK) dan kedua pemerintah kehilangan pemasukan. Bukankah lebih baik, Unskill Worker diatur dalam peraturan perundangan, berikut persyaratan dan besaran dana yang harus dibayar kepada pemerintah, layaknya pemerintah melegalkan Skill Worker.

HAK ASASI MANUSIA: ABSOLUT ATAU RELATIF?

Mungkin sebagian besar kita sudah paham ada sebuah konsep yang sampai saat ini masih diperdebatkan, yaitu:

UNIVERSAL HUMAN RIGHTS vs CULTURAL RELATIVISM

HAM itu tidaklah absolut. Keberlakuannya relatif dan dibatasi oleh beberapa prinsip dasar.

Dasar Hukum Pembatasan HAM:
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007. Bahwa HAM yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945.

Pasal 28J UUD 1945 menyatakan bahwa HAM dibatasi oleh:
• Undang-Undang
• HAM Orang Lain
• Kepentingan Masyarakat, Bangsa, dan Negara
• Moral
• Nilai Agama
• Keamanan dan Ketertiban Umum

Article 29 (2) Universal Declaration of Human Rights:
In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society.

Menurut ketentuan ini, HAM dibatasi oleh:
• Undang-Undang
• Hak dan Kebebasan Orang Lain
• Moral
• Kepentingan Umum
• Kesejahteraan Negara

Pasal 73 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia:
Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang- undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, sematamata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa

Menurut ketentuan ini, HAM dibatasi oleh:
• Undang-Undang
• Hak dan Kebebasan Orang Lain
• Kesusilaan
• Ketertiban Umum
• Kepentingan Bangsa

Mungkin sebagian pihak hanya membaca peraturan secara parsial, tidak utuh dan tidak sampai selesai. Sehingga tafisrannya, HAM itu bebas dan absolut. Akhirnya semua orang selalu menuntut hak dan melalaikan kewajiban.
• Hak Asasi Manusia vs Kewajiban Asasi Manusia
• Individual vs Komunal

Depok, April 2018
M. Alvi Syahrin

KONTROVERSI PENERAPAN PRINSIP NON-REFOULEMENT BAGI PENCARI SUAKA DAN PENGUNGSI SEBAGAI SUATU JUS COGENS

"...tidak ada satupun pasal dalam BAB XA UUD 1945 bersifat mutlak. Semuanya dapat dibatasi dan dikurangi bila ternyata pemberlakuan hak asasi manusia tersebut malah mengancam kedaulatan negara, termasuk dalam hal ini penerapan prinsip non-refouelement bagi pencari suaka dan pengungsi."


“…. tidak semua pencari suaka, bahkan pengungsi sekalipun mendapatkan jaminan penuh untuk tinggal di Indonesia dengan dalih prinsip non-refoulement. Kebijakan selektif keimigrasian lah yang menjadi filter bagi penerapan prinsip non-refoulement di Indonesia.”


MUTLAK ATAU RELATIF?
Sudah bertahun-tahun, Indonesia menghadapi masalah dengan orang-orang asing yang mengaku sebagai pencari suaka untuk diproses statusnya sebagai pengungsi. Meski bukan sebagai negara tujuan, Indonesia sering dijadikan sebagai negara transit karena posisi geografis Indonesia berada pada jalur menuju perlintasan negara tujuan suaka, yaitu Australia. Dari Indonesia, mereka berniat masuk ke Australia, baik secara legal ataupun ilegal dengan menggunakan status pengungsi yang dikeluarkan oleh UNHCR mewakili pemerintah Indonesia.[1]
Keberadaan pencari suaka dan pengungsi di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari intervensi lembaga internasional dengan manjadikan hak asasi manusia sebagai dasar pembenarannya. Prinsip yang terkenal dalam hukum pengungsi adalah prinsip larangan pengusiran ke negara asal (non-refoulement) bagi pencari suaka dan pengungsi. Dalam hukum internasional, prinsip ini merupakan peremptory norm of general international law atau jus cogens, yang keberadaannya diakui oleh komunitas internasional sebagai norma yang tidak boleh diabaikan, dilanggar, dan diubah.[2] Bahkan dalam pendapat lain, prinsip ini termasuk suatu kewajiban non-derogable (tidak dapat dikurangi) dan berlaku mutlak bagi semua negara di dunia.
Merujuk pada etimologisnya istilah refoulement berasal dari kata Prancis. Refoulement berarti: “expulsion or return of a refugee from on state to another”.[3] Non-refouelement diartikan sebagai: “a rufugee’s right of not being expelled form one state to another, esp. to one where his or her life or liberty would be thetrened.” Kewajiban negara pihak dari Konvensi Tahun 1951 untuk mentaati prinsip non-refoulement dari Pasal 33 merupakan hal yang berdiri sendiri terlepas dari kewajiban orang asing untuk memenuhi persyaratan formal secara keimigrasian. Bahkan jika orang asing itu masuk secara tidak sah. Dalam kasus tidak ada penilaian terhadap permohonan suaka, di dalamnya tidak ada jaminan terhadap pengusiran pencari suaka yang bertentangan dengan Pasal 33 Konvensi Tahun 1951.
Prinsip non-refoulement diatur dalam Pasal 33 ayat (1) Konvensi Tahun 1951 tentang Pengungsi. Pasal tersebut menetapkan bahwa negara-negara pihak pada konvensi ini tidak boleh mengusir atau mengembalikan seorang pengungsi, dengan cara apapun, ke perbatasan wilayah negara pihak yang akan mengancam kehidupan maupun kebebasan pengungsi karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu ataupun karena opini politiknya.[4] Pasal 33 ayat (1) Konvensi Tahun 1951 yang berisi prinsip non-refoulement ini termasuk dalam pasal-pasal yang tidak dapat direservasi dan prinsip ini pun mengikat negara-negara bukan peserta Konvensi Tahun 1951.[5]
Prinsip non-refoulement sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (1) Konvensi Tahun 1951 merupakan dasar dari perlindungan internasional terhadap pengungsi. Substansi dari prinsip non-refoulement adalah jaminan suatu negara untuk tidak akan mengusir atau mengembalikan seorang pengungsi dengan cara appaun ke negara asalnya dimana kehidupan dan kebebasannya akan terancam. Sesuai dengan kriteria yang ditetapkan Pasal 31 dan Pasal 33 ayat (1) Konvensi Tahun 1951, baik kedatangan secara tidak sah maupun kegagalan, harus melaporkan kepada otoritas yang berwenang dalam batas waktu yang telah ditentukan tidak dapat dipertimbangkan sebagai alasan formal untuk mengesampingkan seseorang dari status pengungsi.
Pasal 33 ayat (1) Konvensi Tahun 1951 tentang Status Pengungsi menyatakan bahwa:
“Tidak ada Negara Pihak yang akan mengusir atau mengembalikan  (”refouler”) pengungsi dengan cara apa pun ke perbatasan wilayah-wilayah dimana hidup dan kebebasannya akan terancam karena ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau opini politiknya.”

Namun, keberlakuan prinsip non-refoulement bagi pencari suaka dan pengungsi tidak dapat diterapkan secara masif dan memaksa kepada suatu negara. Prinsip ini tidak dapat berlaku mutlak. Walaupun, normanya bersifat memaksa (jus cogens), namun penerapannya sangat kondisional, tergantung pada urgensi dan kebutuhannnya bagi negara peserta. Jika negara peserta saja dapat menolak prinsip non-refoulement, apalagi Indonesia yang sampai saat ini bukan merupakan negara pihak Konvensi Tahun 1951.
Praktiknya, prinsip inilah sering kali dimanfaatkan oleh sebagian pihak untuk menyelundupkan pengungsi dan pencari suaka ke Indonesia untuk ke Australia sebagai negara tujuan. Namun, Australia yang merupakan negara pihak Konvensi Tahun 1951 saat ini telah menutup semua akses masuk bagi para pengungsi dan pencari suaka. Akibatnya, Indonesia yang awalnya hanya dijadikan sebagai negara transit kini berubah status menjadi negara tujuan.
Diskurus penanganan pencari suaka dan pengungsi menjadi rumit, ketika pemerintah mengeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor: IMI-0352.GR.02.07 tentang Penanganan Imigran Ilegal yang Menyatakan Diri sebagai Pencari Suaka dan Pengungsi, yang ditandatangani pada tanggal 19 April 2016. Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) peraturan tersebut, secara tersirat mengakomodir prinsip non-refoulement yang menjelaskan bahwa terhadap orang asing yang menyatakan diri sebagai pencari suaka dan pengungsi pada saat masuk ke wilayah Indonesia, dilakukan penanganan pada kesempatan pertama. Jelas ini bertentangan dengan prinsip kebijakan selektif keimigrasian, yang dianut oleh Direktorat Jenderal Imigrasi.
Setahun setelah ditetapkannya peraturan tersebut, kini pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Dalam bagian konsiderans peraturan preseiden tersebut, tidak disebutkan sama sekali kepentingan filosofis, yuridis, dan sosiologis dari aspek keimigrasian. Bahkan, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian tidak dimasukkan dalam bagian mengingat. Padahal, pencari suaka dan pengungsi adalah subjek orang asing[6], yang diatur dan menjadi pokok bahasan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Padahal fungsi keimigrasian adalah untuk memastikan agar setiap orang asing yang masuk dan keluar wilayah Indonesia membawa manfaat dan tidak merugikan Indonesia.
Keberadaan paket peraturan pro pencari suaka dan pengungsi ini menimbulkan polemik di kalangan akademisi dan praktisi keimigrasian. Betapa tidak, pencari suaka dan pengungsi yang merupakan imigran ilegal dapat dikecualikan dari tindakan administratif keimigrasian (baca: Deportasi). Padahal dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 sendiri tidak mengenal istilah pencari suaka dan pengungsi. Undang-undang tersebut hanya mengelompokan orang asing ke dalam dua kategori, yaitu imigran legal dan ilegal.
Imigran legal dalam hal ini adalah setiap orang asing yang masuk ke wilayah Indonesia wajib memiliki visa yang sah dan masih berlaku, serta telah melalui pemeriksaan yang dilakukan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi.[7] Sebaliknya, bila tidak melalui mekanisme di atas, maka orang asing tersebut dikategorikan sebagai imigran ilegal. Menurut UU No.  6 Tahun 2011, tindakan yang diberikan terhadap imigran ilegal tersebut adalah Tindakan Administratif Keimigrasian, berupa Deportasi.[8] Menjadi suatu dilema hukum, ketika instrument hukum positif (keimigrasian) sudah menentukan demikian, tapi dikecualikan oleh prinsip hukum dalam Konvensi Tahun 1951 yang Indonesia sendiri hingga saat ini belum meratifikasinya
Norma yang dirumuskan dalam Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 jauh dari semangat penegakan hukum, pengamanan, dan kedaulatan negara. Dapat dikatakan, peraturan ini penuh kepentingan politik dan pihak asing.  Akibatnya, Rumah Detensi Imigrasi yang fungsi awalnya hanya sebagai tempat penampungan sementara bagi orang asing yang akan dikenakan tindakan adminstratif keimigrasian (immigratoir)[9], kini telah berubah menjadi tempat penampungan pencari suaka dan pengungsi. Bahkan fungsi pengawasan yang semula berada di Kantor Imigrasi, kini beralih ke Rumah Detensi Imigrasi. Faktanya, hampir semua Rumah Detensi Imigrasi di Indonesia mengalami kelebihan kapasitas (over capacity), karena terlalu banyak menampung pencari suaka dan pengungsi.
Diakomodirnya prinsip non-refoulement dalam kedua peraturan ini, malah akan membuat Indonesia dalam posisi layaknya sebagai negara pihak Konvensi Tahun 1951. Padahal sampai saat ini, Indonesia belum meratifikasi konvensi tersebut. Tentu, hadirnya peraturan presiden ini malah menghilangkan marwah imigrasi sebagai otoritas penjaga pintu gerbang negara.
PEMBATASAN PRINSIP NON-REFOULEMENT
Pada praktiknya, penerapan prinsip non-refoulement ini tidak bersifat mutlak atau absolut, termasuk hak asasi yang diatur dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 yang menjadi dasar keberadaan pencari suaka dan pengungsi di Indonesia.[10] Jika kita menarik dari perspektif original intent pembentuk UUD 1945, bahwa seluruh hak asasi manusia yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945 keberlakuannya relatif dan dapat dibatasi. Original intent pembentuk UUD 1945 yang menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi juga diperkuat oleh penempatan Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945 tersebut. Mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 2-3/PUU-V/2007, maka secara penafsiran sistematis (sistematische interpretatie), hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945.
Sistematika pengaturan mengenai hak asasi manusia dalam UUD 1945 ini sejalan pula dengan sistematika pengaturan dalam Universal Declaration of Human Rights yang juga menempatkan pasal tentang pembatasan hak asasi manusia sebagai pasal penutup, yaitu Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, “In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society.”
Terkait dengan aspek hak asasi manusia dalam penerapan prinsip non-refoulement bagi pencari suaka dan pengungsi di Indonesia yang selama ini menjadi dasar pertimbangan, tidak dapat menjadi pembenaran mutlak. Menjadikan prinsip non-refoulement sebagai jus cogens yang harus ditaati oleh semua negara di dunia ternyata harus dibatasi oleh keberlakuan hukum nasional masing-masing negara.
HAM Universal bukan berarti harus dipaksakan keberlakuannya, tetapi juga harus memperhatikan aspek batasan-batasan yang diakui oleh hukum regional. Indonesia bukanlah negara pihak Konvensi Tahun 1950, sehingga secara hukum tidak ada norma yang mengikat Indonesia untuk tunduk pada prinsip non-refoulement. Dalil hukum pemberlakuan Peraturan Direktur Jenderal Nomor IMI-0352.GR.02.07 tentang Penanganan Imigran Ilegal yang Menyatakan Diri sebagai Pencari Suaka atau Pengungsi, yang ditandatangani pada tanggal 19 April 2016 dan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri adalah Pasal 28G UUD 1945 yang menyatakan bahwa:
  1. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
  2. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
Pasal 28G UUD 1945 inilah yang selalu dijadikan dasar hukum keberadaan pencari suaka dan pengungsi untuk masuk dan tinggal di Indonesia. Walaupun sejatinya keberadaan mereka di Indonesia pun telah mengancam kedaulatan negara dan mengganggu ketertiban umum.[11] Adanya perbedaan budaya, ideologi, dan pandangan politik menyebabkan keberadaan mereka seringkali merugikan Indonesia sebagai negara transit.[12] Padahal sudah dijelaskan bahwa tidak ada satupun pasal dalam BAB XA UUD 1945 bersifat mutlak. Semuanya dapat dibatasi dan dikurangi bila ternyata pemberlakuan hak asasi manusia tersebut malah mengancam kedaulatan negara, termasuk dalam hal ini penerapan prinsip non-refouelement bagi pencari suaka dan pengungsi. Pembatasan hak tersebut diatur dalam Pasal 28J UUD 1945.
Pasal 28J UUD 1945 menjelaskan bahwa:
  1. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
  2. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dalam undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis;
Berdasarkan ketentuan tersebut, terdapat 6 (enam) batasan pemberlakuan hak asasi manusia di Indonesia, yaitu:
  1. Undang-undang
  2. Hak asasi manusia orang lain;
  3. Kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara;
  4. Moral;
  5. Nilai-nilai agama;
  6. Keamanan dan ketertiban umum.
Selain itu juga, pembatasan prinsip non-refoulement juga diatur dalam ketentuan Konvensi Tahun 1951 itu sendiri. Berdasarkan Pasal 33 ayat 2 Konvensi 1951 penerapan prinsip non-refoulement tidak berlaku bila pengungsi tersebut keberadaannya mengancam keamanan nasional atau mengganggu ketertiban umum di negara tempat ia mencari perlindungan.
Pembatasan atau pengecualian prinsip non-refoulement diatur dalam Pasal 33 ayat (2) Konvensi Tahun 1951 tentang Status Pengungsi, menyatakan bahwa
 “Namun, keuntungan dari ketentuan ini tidak boleh diklaim oleh pengungsi di mana terdapat alasan-alasan yang layak untuk menganggap sebagai bahaya terhadap keamanan negara di mana ia berada, atau karena telah dijatuhi hukuman oleh putusan hakim yang bersifat final atas tindak pidana sangat berat ia merupakan bahaya bagi masyarakat negara itu.”

Menurut Pasal 33 ayat 2 Konvensi 1951, larangan memaksa pengungsi kembali ke negara di mana ia mungkin mengalami persekusi tidak diterapkan kepada pengungsi yang mengancam keamanan negara, atau ia telah mendapatkan putusan akhir dari hakim atas kejahatan serius yang telah ia perbuat, serta membahayakan masyarakat negara setempat. Namun, ketentuan ini hanya berlaku untuk perkecualian yang sangat mendesak. Hal tersebut bermakna, apabila perkecualian tersebut akan diterapkan, maka harus dibuktikan bahwa terdapat hubungan langsung antara keberadaan pengungsi di suatu negara dengan keamanan nasional negara itu yang terancam.
Pengusiran pengungsi yang sedemikian itu hanya akan dilakukan sebagai pelaksanaan suatu keputusan yang dicapai sesuai dengan proses hukum yang semestinya. Hal ini dikecualikan apabila ada alasan-alasan keamanan nasional yang bersifat memaksa mengharuskan lain, pengungsi itu akan diizinkan menyampaikan bukti untuk membersihkan dirinya serta mengajukan banding kepada instansi yang berwenang.
Pengecualian penerapan non-refoulement mensyaratkan adanya unsur ancaman terhadap keamanan negara dan gangguan terhadap ketertiban umum di negara setempat. Bagi Indonesia, keamanan tidak hanya dalam konteks keamanan internal suatu negara, namun juga dalam sistem keamanan pangan, kesehatan, keuangan dan perdagangan. Ancaman meliputi hambatan, tantangan dan gangguan. Dalam arti sempit, ancaman dapat bersifat terencana ataupun residual. Ancaman terencana dapat berupa subversi maupun pemberontakan dalam negeri maupun infiltrasi, subversi, sabotase dan invasi. Ancaman residual adalah berbagai keadaan dalam masyarakat yang merupakan kerawanan ekonomi, sosial dan politik yang apabila tidak ditangani secara tuntas pada waktunya, akan memicu kerusuhan yang dapat dipergunakan oleh unsur-unsur subversi atau pemberontak untuk kepentingannya
Batasan yuridis yang harus dipahami dalam konsep prinsip non-refoulement adalah sangat bergantung pada rezim hukum yang dianut oleh masing-masing negara. Politik hukum keimigrasian yang dianut oleh Indonesia saat ini adalah kebijakan selektif (selective policy) yang berdasarkan pada asas kemanfaatan.[13] Kebijakan selektif keimigrasian tersebut ditentukan dalam Bagian Kesatu Penjelasan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Maksudnya, hanya orang asing yang membawa manfaat bagi negara yang dapat masuk dan tinggal di Indonesia.
Berdasarkan prinsip hukum dalam Pasal 75 dan Bagian Kesatu Penjelasan Undang-Undang No. 6 Tahun 2011, kebijakan keimigrasian Indonesia untuk orang asing menganut asas kebijakan selektif (selective policy) yang menegaskan bahwa:
  1. hanya orang asing yang bermanfaat yang diperbolehkan masuk dan berada di wilayah Indonesia;
  2. hanya orang asing yang tidak membahayakan keamanan dan ketertiban umum yang diperbolehkan masuk dan berada di wilayah Indonesia;
  3. orang asing harus tunduk pada peraturan hukum di Indonesia;
  4. orang asing yang masuk dan berada di wilayah Indonesia harus sesuai dengan maksud dan tujuannya.
Berdasarkan prinsip ini, maka hanya orang asing yang dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat, bangsa, dan negara, tidak membahayakan keamanan dan ketertiban, serta tidak bermusuhan baik terhadap rakyat yang dapat masuk dan keluar wilayah Indonesia.[14] Bahkan dalam tafsir lain, pergerakan orang asing tersebut harus dapat sesuai dengan ideologi negara dan tidak mengancam keutuhan bangsa.
Secara normatif, setiap orang asing yang masuk ke wilayah Indonesia harus memiliki dokumen perjalanan dan visa yang sah dan masih berlaku. Sehingga tidak semua pencari suaka atau pengungsi sekalipun yang mendapat jaminan mutlak untuk tinggal di Indonesia dengan dalih prinsip non-refoulement, bila dikaitkan dengan asas kebijakan selektif keimigrasian tersebut.
Lebih lanjut, kebijakan selektif ini dalam pelaksanaannya harus memperhatikan keseimbangan antara pendekatan keamanan (security approach) dan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach).[15] Maknanya, dalam menjalankan fungsi tersebut, Imigrasi harus mengutamakan aspek kedaulatan dan keamanan negara, untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.[16] Lantas, bagaimana bisa diwujudkan bila keberadaan pencari suaka dan pengungsi pada praktiknya malah diakui dan diakomodir kepentingannya.

      Kontraksi hukum ini menjadi kompleks, ketika Indonesia harus dibebankan pada norma hukum yang mengikat pada Konvensi Tahun 1951. Namun perlu diketahui, karena Indonesia adalah bagian dari negara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), maka secara tidak langsung tunduk pada asas universal bagi pengungsi yaitu, prinsip non-refoulement. Praktiknya, prinsip tersebut bertentangan dengan kebijakan selektif keimigrasian yang menghendaki hanya orang asing bermanfaat yang dapat masuk ke wilayah Indonesia. Lagipula, Indonesia bukanlah negara pihak Konvensi Tahun 1951 sehingga tidak ada kewajiban untuk tunduk pada kaidah global dalam konvensi tersebut.[17]
Depok, April 2018
M. Alvi Syahrin


[1] M. Alvi Syahrin, Penyadapan oleh Australia, Sebaiknya Imigrasi Bersikap, Majalah Bhumi Pura. Januari-Februari 2014, Jakarta: Direktorat Jenderal Imigasi.
[2] Gennady Danilenko. International Jus Cogens: Issues of Law Making. European Journal of International Law. October 14. 2003.
[3] Bryan A. Garner, 1999, Black’s Law Dicitionary, Eight Edition, Thomson West, St. Paul Minn, hlm. 1285
[4] M. Alvi Syahrin. Hak Asasi Bermigrasi.  Majalah Bhumi Pura. November 2015. Jakarta: Direktorat Jenderal Imigrasi, hlm. 29-31
[5] Sigit Riyanto. Prinsip Non-refoulement dan Relevansinya dalam Sistem Hukum internasional. Mimbar Hukum. Vol 22. No. 3. Oktober 2010.
[6] Orang Asing adalah orang yang bukan warga negara Indonesia. Lihat, Indonesia, Undang-Undang tentang Keimigrasian, UU No. 6 Tahun 2011, LN Tahun 2011 Nomor 52, Pasal 1 angka 9.
[7] Indonesia, Undang-Undang tentang Keimigrasian, UU No. 6 Tahun 2011, LN Tahun 2011 Nomor 52, Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (2).
[8] Indonesia, Undang-Undang tentang Keimigrasian, UU No. 6 Tahun 2011, LN Tahun 2011 Nomor 52, Pasal 75 ayat (2) huruf f.
[9] Rumah Detensi Imigrasi adalah unit pelaksana teknis yang menjalankan fungsi keimigrasian sebagai tempat penampungan sementara bagi orang asing yang dikenai tindakan adiministratif keimigrasian. Lihat, Indonesia, Undang-Undang tentang Keimigrasian, UU No. 6 Tahun 2011, LN Tahun 2011 Nomor 52, Pasal 1 angka 33. Dalam Pasal 1 angka 35 disebutkan bahwa Deteni adalah orang asing penghuni Dumah Detensi Imigrasi atau Ruang Detensi Imigrasi yang telah mendapatkan keputusan pendetensian dari Pejabat Imigrasi. Detensi yang dimaksudkan disini adalah pelanggar keimigrasian (immigratioir) bukan pencari suaka dan pengungsi.
Bandingkan dengan Indonesia, Peraturan Presiden tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri, Perpres No. 125 Tahun 2016, LN Tahun 2016 Nomor 368, Pasal 9 huruf d, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 33, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 29, Pasal 42, Pasal 43. Dalam ketentuan tersebut ditentukan bahwa Rumah Detensi Imigrasi memiliki wewenang untuk terlibat secara aktif dalam menganani pencari suaka dan pengungsi dengan cara: mendata, mengidentifikasi, menampung, menempatkan, melakukan koordinasi, dan mengawasi. Tentu hal ini bertentangan dengan terminologi Rumah Detensi Imigrasi yang diatur dalam UU No. 6 Tahun 2011 sebagai ketentuan organik.
Di dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor: M.HH-11.OT.01.01 Tahun 2009 tentang Oraganisasi dan Tata Kerja Rumah Detensi Imigrasi, Pasal 3 dengan tegas disebutkan bahwa Rumah Detensi Imigrasi mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas pokok dan fungsi Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia di bidang pendetensian orang asing yang melanggar peraturan perundang-undangan yang dikenakan tindakan keimigrasian yang telah mendapatkan keputusan pendetensian dalam rangka pemulangan atau deportasi. Pasal 4 menjelaskan bahwa fungsi Rumah Detensi Imigrasi diantaranya melakukan tugas: pendetensian, pengisolasian, dan pendeportasian.
Jadi tidak ada sama sekali instrument hukum keimigrasian yang mengatur pergeseran fungsi Rumah Detensi Imigrasi, seperti yang diatur berbeda dalam Perpres No. 125 Tahun 2016. Bila dikaitkan dengan pemberlakuan Teori Norma Dasar, maka keberadaan Perpres ini sangat berpotensi batal demi hukum karena bertentangan dengan norma hukum di atasnya.
[10] Lihat, https://panmohamadfaiz.com/2007/11/19/pembatasan-hak-asasi-manusia-di-indonesia/, diakses pada hari Minggu (18/03/2018), pukul 17.47 WIB.
[11] Syahrin, M.A., 2018. Menakar Kedaulatan Negara dalam Perspektif Keimigrasian. Jurnal Penelitian Hukum De Jure18(1), pp.43-57.
[12] M. Alvi Syahrin, Imigran Ilegal, Migrasi atau Ekspansi?, Majalah Check Point, Edisi 3 Oktober 2015, Jakarta: Akademi Imigrasi.
[13] M. Alvi Syahrin, Eksodus Warga Negara Tiongkok: Antara Kebijakan dan Penyelundupan, Majalah Check Point, Edisi 5 November 2016, Jakarta: Akademi Imigrasi.
[14] Muhammad Indra. 2015, Perspektif Penegakan Hukum dalam Hukum Keimigrasian Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Imigrasi.
[15] R. Tinggartomanu, Pengawasan dan Intelijen Keimigrasian, Bahan Kuliah, disampaikan pada perkuliahan Pendidikan Pejabat Imigrasi (DIKPIM), pada hari Rabu (17 Juni 2015), di Kampus Akademi Imigrasi, Tangerang. 2015
[16] Lihat, M. Iman Santoso. 2007. Cet-1. Prespektif Imigrasi dalam United Nation Convention Against Transnational Organized Crime. Jakarta: Perum Percetakan Negara RI, hlm. 33-41.
[17] Syahrin, M.A., 2017. The Implementation of Non-Refoulement Principle to the Asylum Seekers and Refugees in Indonesia. Sriwijaya Law Review1(2), pp.168-178.

Monday, May 14, 2018

JUS COGENS DALAM PROTOKOL PENYELUNDUPAN MIGRAN TAHUN 2000

"….. harus dipahami, prinsip effective action telah menjadi jus cogens dalam Protokol Tahun 2000. Sehingga semua pasal dalam Konvensi Tahun 2000 beserta Protokolnya harus ditaati dan dihormati oleh negara pihak, bahkan semua negara di dunia.”

Prinsip Effective Action sebagai Jus Cogens

Indonesia saat ini telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi Tahun 2000 dengan mengundangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009. Di tahun yang sama, Indonesia juga meratifikasi Protokol Menentang Penyelundupan Migran Melalui Darat, Laut, dan Udara, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi Tahun 2000 melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2009. Dengan diratifikasinya dua instrument hukum internasional tersebut, maka Indonesia telah mengikatkan dirinya untuk tunduk terhadap semua ketentuan yang menentang tindak pidana penyelundupan manusia.

Protokol Tahun 2000 merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari Konvensi Tahun 2000 sehingga pencegahan dan pemberatasan penyelundupan migran perlu dilakukan baik pada tingkat nasional, regional, maupun internasional. Pasal 2 Protokol Tahun 2000 menyatakan bahwa tujuan Protokol ini adalah untuk mencegah dan memberantas penyelundupan migran serta memajukan kerja sama di antara Negara-Negara Pihak dengan melindungi hak-hak migran yang diselundupkan.

Kemudian, Pasal 4 Protokol Tahun 2000 menentukan ruang lingkup protokol ini adalah upaya pencegahan, penyelidikan, dan penuntutan tindak pidana sebagaimana ditetapkan dalam Protokol ini, yang bersifat transnasional dan melibatkan suatu kelompok pelaku tindak pidana terorganisasi, dan juga untuk perlindungan hak-hak orang yang menjadi objek tindak pidana tersebut. Protokol ini memberi jaminan bagi setiap orang yang menjadi korban tindak pidana penyelundupan manusia harus dilindungi hak dan kepentingannya. Namun, menurut M. Iman Santoso ada perbedaan mendasar yang perlu dipahami. Menurutnya, para migran yang diselundupkan menurut Protokol ini tidak dapat disebutkan sebagai korban (victim), tetapi mereka sebagai pelaku dari kelompok kejahatan transnasional (M. Iman Santoso, 2007: 239-240).

Hal ini berbeda dengan Protokol Perdagangan Orang yang menyatakan bahwa setiap orang yang diperdagangkan adalah korban. Hal ini dikarenakan dalam Protokol Tahun 2000, para migran tidak mengalami kekerasan atau eksploitasi, berbeda dengan korban dalam Konvensi Perdagangan Orang. Oleh karena itu, orang asing yang masuk ke wilayah Indonesia secara ilegal karena diselundupkan oleh kelompok kejahatan transnasional harus segera dikembalikan ke negara asalnya.

Sesuai dengan ketentuan Protokol, maka setiap Negara Pihak memiliki kewajiban sebagai berikut:
  1. Menjadikan tindak pidana yang telah ditetapkan dalam Protokol sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan nasional (kewajiban kriminalisasi) [Pasal 6];
  2. Dalam hal penyelundupan migran melalui laut, setiap Negara Pihak wajib mempererat kerja sama untuk mencegah dan menekan penyelundupan migran melalui laut, sesuai dengan hukum laut internasional dan berupaya mengambil seluruh tindakan sebagaimana diatur dalam Protokol terhadap kasus penyelundupan migran di laut dengan memperhatikan rambu-rambu yang telah disediakan oleh Protokol [Pasal 7 sampai dengan Pasal 9]; dan
  3. Dalam upaya pencegahan, kerja sama, dan upaya lain yang diperlukan dalam memberantas penyelundupan migran, setiap Negara Pihak pada Protokol juga berkewajiban untuk saling berbagi informasi, bekerja sama dalam memperkuat pengawasan di kawasan perbatasan, menjaga keamanan dan pengawasan dokumen, mengadakan pelatihan dan kerja sama teknis, perlindungan dan langkah perbantuan serta tindakan pemulangan migran yang diselundupkan [Pasal 10 sampai dengan Pasal 18].

Dalam Pembukaan Protokol Tahun 2000 ditegaskan bahwa negara peserta harus melakukan tindakan efektif (effective action) untuk mencegah dan memerangi penyelundupan migran baik yang dilakukan melalui darat, laut, maupun udara. Prinsip tindakan efektif ini termasuk jus cogens dalam Konvensi Tahun 2000 yang harus ditaati oleh semua negara di dunia. Dalam hukum internasional, jus cogens diakui sebagai prinsip dasar internasional yang diakui oleh komunitas global sebagai norma yang tidak boleh dilanggar, dikurangi, atau diabaikan. Prinisp ini merupakan prinsip universal yang harus diterima dan diakui oleh semua negara sebagai hukum kebiasaan internasional.

Adapun tindakan penyelundupan migran yang dilarang dalam Protokol ini adalah (M. Iman Santoso, 2007: 161):
  1. mengeluarkan dokumen identitas atau perjalanan yang diperoleh secara curang;
  2. mendapatkan, menyediakan, atau memiliki dokumen tersebut;
  3. percobaan melakukan kejahatan atu mengoranisasi atau mengarahkan orang lain untuk melakukan kejahatan;
  4. membahayakan kehidupan atau keselamatan para migran atau adanya perlakuan tidak manusiawi termasuk eksploitasi terhadap para migran.
Dalam ketentuan Protokol tersebut, ditegaskan bagaimana Indonesia sebagai Negara Pihak harus berperan aktif menanggulangi permasalahan penyulundupan migran, termasuk dalam hal ini pencari suaka dan pengungsi. Indonesia diamanatkan untuk melakukan fungsi pengawasan dan penegakan hukum terhadap semua pihak yang terlibat dalam kegiatan penyelundupan pencari suaka dan pengungsi. Walaupun dalam Pasal 5 Protokol Tahun 2000 dinyatakan bahwa setiap migran yang menjadi objek tindak pidana tersebut tidak dapat dikenai tanggung jawab secara hukum, tidak menjadi alasan pembenar bagi pencari suaka dan pengungsi untuk masuk ke wilayah Indonesia secara ilegal.

Dibentuknya Protokol ini bertujuan agar penanganan tindak pidana penyelundupan migran harus dilakukan secara utuh dan komprehensif. Prinsip effective action menjadi jus cogens dalam Protokol Tahun 2000. Sehingga semua pasal dalam Konvensi Tahun 2000 beserta Protokolnya harus ditaati dan dihormati oleh negara pihak, bahkan semua negara di dunia.

Resistensi Jus Cogens Konvensi Tahun 1951

Namun praktik yang terjadi saat ini, Indonesia harus menerima keberadaan pencari suaka dan pengungsi atas dasar kemanusiaan. Padahal, Indonesia sendiri belum meratifikasi Konvensi Tahun 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol tahun 1967. Sehingga, Indonesia tidak berkewajiban untuk menerima dan menangani masalah tersebut. Hal ini tentu menjadi kontradiktif, dimana Indonesia telah meratifikasi Konvensi Tahun 2000 beserta Protokolnya yang dengan tegas menentang tindak pidana penyelundupan terhadap pencari suaka dan pengungsi. Namun di sisi lain, juga harus menerima pencari suaka dan pengungsi atas dasar hak asasi manusia berdasarkan Konvensi Tahun 1951, yang sampai sekarang konvensi tersebut belum diratifikasi.

Dalil hukum yang kerap kali dijadikan sebagai alasan Indonesia untuk menerima pencari suaka dan pengungsi adalah prinisp non-refoulement. Prinsip ini dianggap sebagai prinsip dasar hukum internasional (peremptory norms of general international law atau jus cogens) yang diakui oleh komunitas internasional sebagai norma yang tidak boleh diabaikan dan dilanggar. Prinsip ini juga termasuk suatu kewajiban non-derogable (tidak dapat dikurangi) dan berlaku mutlak bagi semua negara. Namun yang perlu dipahami, prinsip ini tidaklah mengikat karena Indonesia sendiri tidak meratifikasi Konvensi Tahun 1951. Cara memandang prinsip ini tentu berbeda ketika Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Tahun 2000 beserta Protokolnya yang menentang keberadaan pencari suaka dan pengungsi.

Mereka yang pro terhadap pencari suaka dan pengungsi menjadikan isu pencari suaka dan pengungsi sebagai komoditas dan kepentingan politik. Padahal Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Tahun 2000 dan Protokolnya yang menentang penyelundupan migran. Inkonsistensi ini harus disikapi dengan serius. Terlihat ada perlakuan parsial dan standar ganda yang dilakukan oleh beberapa pihak dalam masalah ini. Secara hukum, karena Indonesia tidak meartifikasi Konvensi Tahun 1951 maka tidak ada kewajiban untuk menganani masalah pencari suaka dan pengungsi. Hal ini bertolak belakang dengan kewajiban Indonesia yang tertuang dalam Konvensi Tahun 2000 dan Protokolnya.

Kekuatan hukum prinsip jus cogens dalam Kovensi Tahun 1951 dan Konvensi 2000 tentu berbeda. Indonesia tidak meratifikasi Konvensi Tahun 1951, tetapi meratifikasi Kovensi Tahun 2000. Sehingga prinsip hukum dalam Konvensi Tahun 1951 tidak dapat dipaksakan keberlakuannya. Berbeda dengan prinsip jus cogens dalam Konvensi Tahun 2000 yang mengikat secara hukum. Prinsip fundamental dari Konvesi Tahun 2000 adalah menentang semua kegiatan berkaitan dengan tindak pidana penyelundupan migran yang melibatkan semua pihak. Prinsip ini harus dihormati dan diakui secara internasional karena telah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Tahun 2000.

Dua konvensi ini merupakan produk hukum internasional yang melekat atas semua asas dan prinsip internasional di dalamnya. Bila ada pertentangan prinsip dalam kedua konvensi, maka dilihat urgensinya, konvensi mana yang sudah diratifikasi. Tentu, prinsip dalam Konvensi Tahun 2000 harus didahulukan, karena Indonesia sudah meratifikasinya. Namun praktiknya berbeda. Keberlakukan prinsip dalam Konvensi Tahun 1951 lebih diutamakan dibanding Konvensi Tahun 2000. Padahal dalam bagian mengingat UU No. 15 Tahun 2009 mencantumkan UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri sebagai dasar hukumnya. Sama halnya seperti Peraturan Presiden No. 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri yang juga mencantumkan UU N0. 37 Tahun 1999 sebagai dasar hukumnya. Tapi yang berbeda, UU No. 15 Tahun 1999 adalah pelaksanaan mandat dari Konvensi Tahun 2000, sedangkan Perpres No. 125 Tahun 2016 bukan mandat dari Kovensi Tahun 1951, karena Indonesia sendiri tidak meratifikasi konvensi tersebut.


Sehingga, kebijakan Indonesia yang menerima keberadaan pencari suaka dan pengungsi atas dasar prinsip jus cogens dalam Konvensi Tahun 1951 adalah tidak berdasar. Hal ini karena bertentangan dengan prinsip jus cogens yang juga diatur dalam Konvensi Tahun 2000. Perbedaan pandangan inilah yang menyebabkan disparitas dalam penanganan pencari suaka dan pengungsi. Seharusnya, Indonesia harus menghormati dan menguatamakan prinsip hukum yang terdapat dalam Konvensi Tahun 2000 sebagai konsekuensi dari diratifikasinya konvensi tersebut, bukan malah sebaliknya.

Depok, Maret 2018
M. Alvi Syahrin