Wednesday, September 26, 2018

ASAS HUKUM PEMERINTAHAN YANG BAIK

Sebagai negara hukum, maka Indonesia dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara di segala aspek wajib untuk berpedoman pada Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Negara sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Asas-asas tersebut meliputi:
  1. Asas Kepastian Hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, keputusan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan negara;
  2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengabdian penyelenggaraan;
  3. Asas Kepentingan Umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan kolektif;
  4. Asas Keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif terhadap penyelenggara negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara;
  5. Asas Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  6. Asas Akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berkenaan dengan asas kepastian hukum, Gayus Lumbun menyatakan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, disebutkan bahwa asas kepastian hukum adalah salah satu asas yang mengikat para penyelenggara negara untuk melaksanakan tugas dan fungsinya.[1] Asas kepastian hukum diperlukan agar semua tindakan pemerintah dilandasi dengan aturan yang jelas dan pasti. Pembuatan undang-undang, pengkodifikasian, dan unifikasi hukum jelas dimaksudkan sebagai langkah pemberian kepastian hukum untuk penegakan hukum dan keadilan dan tercapainya ketertiban.

Dalam kerangka pembuatan peraturan perundang-undangan yang baik maka sudah tentu asas kepastian hukum atau principle of legal security[2] juga menjadi pedoman untuk penyusunannya. Sejalan dengan pendapat Romli Atmasasmita, bahwa kepastian hukum akan selalu menjadi ikon dan sekaligus jati diri hukum sejak masa dulu hingga sekarang.[3] Asas tersebut masih dikumandangkan dan diajarkan sebagai asas dan tujuan hukum yang bersifat universal dan abadi, sekaligus sering dipertentangkan dengan asas keadilan. Sebagai pengejewantahan konsepsi negara hukum materil yang demokratis sudah tentu implementasi dalam peraturan-peraturan yang dibuat bagi penegakan hukum keimigrasian harus memberikan kepastian hukum.

Negara sebagai organisasi kekuasaan[4] dijalankan sesuai hukum yang berlaku (asas legalitas), diakui oleh masyarakat (legitimasi demokratis), dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip moral (legitimasi moral). Dalam hal kekuasaan negara yang berdasarkan hukum, kekuasaan itu diperoleh secara konstitusional dan dipergunakan sesuai dengan undang-undang yang berlaku untuk kepentingan masyarakat.[5]

Dalam melaksanakan kekuasaan, pemerintahan negara setiap tindakannya bertumpu atas kewenangan yang sah. Kewenangan (authority) diartikan sebagai: “…. a right to command or to act. The Right and power of public officers to require obedience to their orders lawfully issued in scope of their public duties.”[6] Laswell dan Kaplan mengemukakan bahwa kewenangan adalah kekuasaan formal (formal power). Pemerintahan negara dianggap mempunyai wewenang (authority) sehingga berhak untuk mengeluarkan perintah dan membuat peraturan-peraturannya.

Kewenangan (biasanya terdiri atas beberapa wewenang) adalah sebagai kekuasan formal, yaitu kekuasaan yang berasal dari kekuasaan legislatif. Kewenangan ini merupakan kekuasaan terhadap golongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu alat tertentu saja.[7]

Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kewenangan itu merupakan kekuasaan formal yang lahir dari ketentuan hukum publik. Dasar bagi pemerintah untuk melakukan perbuatan hukum publik adalah adanya kewenangan yang berkaitan dengan jabatan (ambtenaar). Jabatan tersebut diperoleh dari tiga sumber, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat yang akan melahirkan kewenangan (bevoegheid, legal power, competence).[8]

Wewenang pemerintahan dari suatu organ hanya dapat diperoleh baik dari atribusi, maupun delegasi. Suatu organ dapat memperoleh wewenang baru dengan cara atribusi, sedangkan delegasi dapat terjadi jika ada pelimpahan wewenang tertentu dari orang yang telah mendapat wewenang atribusi kepada orang lain. Oleh sebab itu, delegasi harus didahului dengan atribusi.


[1] Gayus Lumbun dalam Muhammad Indra, 2010, Perspektif Penegakan Hukum dalam Hukum Keimigrasian Indonesia, Jakarta: Direktorat Jenderal Imigrasi, hlm. 30.
[2] Lihat, http://majalah.depkumham.go.id/article.php/pasal43rancanganundang-undanghukumacarapidanaditinjaudariaspekhukumadministrasinegara/24/,
diakses pada hari Jumat (14/07/2017), pukul 20.19 WIB.
[3] Romli Atmasasmita, Perlindungan HAM, Kepastian Hukum dan Keadilan di Dalam RUU KUHP, Launching Buku dan Web “Masa Depan Reformasi KUHP dalam Masa Transisi”, Hotel Sultan, Jakarta, 23 Agustus 2007.
[4] Soehino, 1986, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, hlm. 141-145.
[5] Franz Magnis Suseno, 1999, Etika Politik, Prinsip-Prinisp Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia, hlm. 54.
[6] Black Henry Campbell, 1990, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., hlm. 133.
[7] Prajudi Atmosudidjo, 1984, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia, hlm. 73-74.
[8] Philipus M. Hadjon, et.al., 1993, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: Gajah Mada Press, hlm. 137.

PEMBATASAN PRINSIP NON-REFOULEMENT

Merujuk pada etimologisnya istilah refoulement berasal dari kata Prancis. Refoulement berarti: “expulsion or return of a refugee from on state to another”.[1] Non-refouelement diartikan sebagai: “a rufugee’s right of not being expelled form one state to another, esp. to one where his or her life or liberty would be thetrened.” Kewajiban negara pihak dari Konvensi Tahun 1951 untuk mentaati prinsip non-refoulement dari Pasal 33 merupakan hal yang berdiri sendiri terlepas dari kewajiban orang asing untuk memenuhi persyaratan formal secara keimigrasian. Bahkan jika orang asing itu masuk secara tidak sah. Dalam kasus tidak ada penilaian terhadap permohonan suaka, di dalamnya tidak ada jaminan terhadap pengusiran pencari suaka yang bertentangan dengan Pasal 33 Konvensi Tahun 1951.

Prinsip non-refoulement sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (1) Konvensi Tahun 1951 merupakan dasar dari perlindungan internasional terhadap pengungsi.[2] Substansi dari prinsip non-refoulement adalah jaminan suatu negara untuk tidak akan mengusir atau mengembalikan seorang pengungsi dengan cara appaun ke negara asalnya dimana kehidupan dan kebebasannya akan terancam. Sesuai dengan kriteria yang ditetapkan Pasal 31 dan Pasal 33 ayat (1) Konvensi Tahun 1951, baik kedatangan secara tidak sah maupun kegagalan melaporkan kepada otoritas yang berwenang dalam batas waktu yang telah ditentukan tidak dapat dipertimbangkan sebagai alasan formal untuk mengesampingkan seseorang dari status pengungsi.

Pasal 33 ayat (1) Konvensi Tahun 1951 tentang Status Pengungsi menyatakan bahwa:
“Tidak ada Negara Pihak yang akan mengusir atau mengembalikan  (”refouler”) pengungsi dengan cara apa pun ke perbatasan wilayah-wilayah dimana hidup dan kebebasannya akan terancam karena ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau opini politiknya.”

Namun, keberlakuan prinsip non-refoulement bagi pencari suaka dan pengungsi tidak dapat diterapkan secara masif dan memaksa kepada suatu negara. Prinsip ini tidak dapat berlaku mutlak. Walaupun, normanya bersifat mem (jus cogens), namun penerapannya sangat kondional, tergantung pada urgensi dan kebutuhannnya bagi negara peserta. Apalagi terhadap Indonesia, yang sampai saat ini bukan merupakan negara pihak Konvensi Tahun 1951.

Pembatasan atau pengecualian prinsip non-refoulement diatur dalam Pasal 33 ayat (2) Konvensi Tahun 1951 tentang Status Pengungsi, yang menyatakan bahwa:

“Namun, keuntungan dari ketentuan ini tidak boleh diklaim oleh pengungsi di mana terdapat alasan-alasan yang layak untuk menganggap sebagai bahaya terhadap keamanan negara di mana ia berada, atau karena telah dijatuhi hukuman oleh putusan hakim yang bersifat final atas tindak pidana sangat berat ia merupakan bahaya bagi masyarakat negara itu.”


[1] Bryan A. Garner, 1999, Black’s Law Dicitionary, Eight Edition, Thomson West, St. Paul Minn, hlm. 1285.
[2] Prinsip yang dimaksud adalah prinsip hukum. Prinsip hukum merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak. Prinsip hukum merupakan latar belakang peraturan hukum yang konkret yang terdapat di dalam atau dibelakang suatu kaidah hukum. Prinsip identik dengan asas. Dalam hukum internasional dikenal dengan istilah the general principle of law yang diterjemahkan dengan prinsip-prinsip hukum umum atau asas-asas hukum umum. Di dalam ilmu hukum, di samping hukum positif dikenal juga asas-asas hukum atau prinsip-prinsip hukum. Asas atau prinsip hukum bukan merupakan hukum positif. Prinsip hukum menjadi landasan bagi hukum positif. Dengan demikian. Prinsip hukum umum ini menempati tempat yang lebih tinggi dari hukum positif. Lihat, Wayan Parthiana, Beberapa Masalah dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia, hlm. 25-27.
Sementara itu, Anthon F. Susanto dengan mengutip pandangan dari Paul Scholten menjelaskan bahwa asas hukum sebagai pikiran dasar yang terdapat dalam atau di belakang sistem hukum masing-masing dalam aturan perundangan dan putusan hakim. Asas hukum dibedakan dengan kaidah hukum yang diartikan sebagai pedoman perilaku manusia dalam masyarakat, berisi perintah, kewenangan, dan izin. Di samping itu terdapat pula istilah aturan hukum yang diartikan sebagai ketenteuan konkrit tentang perilaku manusia dalam masyarakat. Lihat, Anthon F. Susanto, Metodologi Penelitian Hukum, hlm. 30. Sedangkan pengertian non-refoulement dimaknai sebagai “the expulsion of persons who have the right to be recognized as refugee”.