Thursday, November 8, 2018

MENGUKUR KEKUATAN HUKUM SURAT EDARAN

Status Hukum SE

Selama puluhan tahun, Surat Edaran (SE) menjadi bagian dari kebijakan sejumlah lembaga negara. Daya ikat, kedudukan, dan mekanisme pengujiannya masih menjadi perdebatan.

Berdasarkan ketentuan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, SE bukan termasuk jenis peraturan perundang-undangan (regeling), bukan pula keputusan tata usaha negara (beschikking). SE merupakan sebuah peraturan kebijakan (beleidsregel) atau peraturan perundang-undangan semu (pseudo wetgeving).

Guru Besar Ilmu Perundang-Undangan Universitas Indonesia, Maria Farida Indrati menegaskan bahwa SE tidak termasuk kategori peraturan perundang-undangan. Meskipun dianggap sebagai peraturan, sifatnya hanya untuk kalangan intern.

SE dikategorikan sebagai instrumen administratif yang bersifat internal. SE ditujukan untuk memberikan petunjuk lebih lanjut mengenai suatu norma peraturan perundang-undangan yang bersifat umum.

Materi muatan SE biasanya menjelaskan atau membuat prosedur untuk mempermudah, atau memperjelas peraturan yang mesti dilaksanakan. Karena sifatnya hanya memperjelas, maka SE tidak boleh menabrak apalagi menegasikan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12/2011.

Dalam beberapa literatur, SE disebut sebagai beleidsregel dan pseudo wetgeving, yaitu produk hukum yang secara materil mengikat umum. Namun keberadaannya bukan termasuk peraturan perundang-undangan, karena ketiadaan wewenang pembentuk untuk membuatnya sebagai peraturan perundang-undangan.

Sedangkan dalam Peraturan Kepala Arsip Nasional RI No. 2 Tahun 2014 tentang Pedoman Tata Naskah Dinas, SE digolongkan sebagai produk tata naskah dinas. Sehingga idealnya SE hanya sebatas alat komunikasi kedinasan berupa pemberitahuan kepada kalangan internal. Dikarenakan sifatnya informatif, maka SE tidak boleh mengatur hal-hal yang melamapui kewenangan dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Keberadaan SE dalam praktik pemerintahan sedikit banyak menimbulkan polemik. Secara formil, SE tunduk pada kaidah tata naskah dinas, tetapi dari aspek materil terkadang mengandung norma yang bersifat mengatur (regeling) dan menetapkan (beschikking). Hal ini kontradiktif dengan tujuan awal SE sebagai instrumen informasi. 

Perumusan SE harus tetap mengacu pada asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagaimana diatur dalam UU No. 5/1986, UU No. 28/1999, dan UU No. 30/2014. Tidak hanya itu, SE juga terikat pada asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik (beginselen van behoorlijke regelgeving). Peraturan kebijakan yang secara secara tidak langsung mengikat publik akan menimbulkan masalah jika pembentukannya tidak memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan, baik dari aspek formil maupun materil.

Faktor Kesengajaan?

Ada dugaan, penerbitan SE oleh Pejabat Pemerintahan didasarkan atas faktor ketidaktahuan atau bahkan kesengajaan. Disebut kesengajaan karena Pejabat Pemerintahan menganggap memiliki wewenang penuh berupa diskresi untuk membuat norma tertentu dalam SE. Sehingga secara sengaja kerap kali melampaui kewenangannya.

Pejabat Pemerintahan dapat saja membuat diskresi selama belum diatur oleh aturan yang lebih tinggi. Namun, SE tersebut tidak boleh mengatur apa yang sudah ditentukan sebelumnya (ultra vires) atau membatalkan norma.

SE sebagai Diskresi

Sebagai suatu beleidsregel, SE tetap harus tunduk dan patuh pada asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik (beginselen van behoorlijke regelgeving). Dalam teori pemerintahan, kedudukan hukum SE dapat disamakan dengan diskresi.

Pasa 1 angka 9 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, menyatakan bahwa diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret
yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang- undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.

Pasal 22 ayat (1) UU No. 30/2014 menjelaskan tujuan diskresi adalah untuk:
a. melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
b. mengisi kekosongan hukum;
c. memberikan kepastian hukum; dan
d. mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.

Pasal 24 UU No. 30/2014 menjelaskan persyaratan diskresi sebagai berikut:
a. sesuai dengan tujuan diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2);
b. tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. sesuai dengan AUPB;
d. berdasarkan alasan-alasan yang objektif;
e. tidak menimbulkan konflik kepentingan; dan
f. dilakukan dengan iktikad baik.

Pasal 30, 32, 32 UU No. 30/2014 menjelaskan bahwa penggunaan diskresi yang melampaui wewenang atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maka diskresi tersebut:
a. menjadi tidak sah;
b. dapat dibatalkan

Apakah Bisa Diuji?

Apabila SE bukan sebagai peraturan perundangan, apakah berarti SE tidak bisa diuji? Jika bisa diuji, maka lembaga mana yang berwenang menguji keabsahan SE?

SE yang bersifat regeling (umum dan abstrak), dapat diuji ke Mahkamah Agung. Dalam Putusan MA No. 23P/HUM/2009, MA membatalkan SE Dirjen Minerba dan Panas Bumi No. 03.E/31/DJB/2009 tentang Perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara Sebelum Terbitnya Perppu No. 4 Tahun 2009.

Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim Agung berpendapat bahwa walaupun SE tidak termasuk dalam urutan peraturan perundang-undangan, tetapi berdasarkan penjelasan Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004, SE dapat dikategorikan sebagai bentuk peraturan perundang-undangan yang sah, sehingga tunduk pada tata urutan peraturan perundang-undangan. Sehingga dengan adanya putusan ini dapat menjadi yurisprudensi bahwa SE dapat digolongkan sebagai sebuah peraturan dan dapat dilakukan judicial review ke MA.

Sejak diberlakukannya UU No. 30/2014, maka ada perluasan makna Keputusan Tata Usaha Negara (TUN) yang dikeluarkan oleh Pejabat Pemerintahan. Objek Sengketa TUN tidak lagi hanya sebatas bechikking, tetapi juga regelingSehingga menurut ketentuan ini, SE dapat digolongkan sebagai Keputusan TUN yang dapat diajukan gugatan ke PTUN.

Pasal 87 UU No. 30/2014 menyatakan bahwa:
Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009 harus dimaknai sebagai:
a. penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
b. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya
c. berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB;
d. bersifat final dalam arti luas;
e. Keputusan yang berpotensi akibat hukum; dan/atau
f. Keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat.

Dengan demikian, terhadap SE yang melampaui kewenangan dapat diajukan gugatan ke PTUN oleh pihak yang dirugikan. Pengajuan gugatan ini dimungkinkan, karena SE tersebut dikategorikan sebagai Keputusan TUN yang dikeluarkan oleh Pejabat Pemerintahan.

Tentu pendapat ini akan menimbukkan pro dan kotra. Argumentasinya masih sangat bisa diperdebatkan. Namun, bila problematika redefinisi SE ini tidak dapat diselesaikan, maka SE berpotensi menjadi ‘kerikil’ dalam sistem peraturan perundang-undangan. Oleh karenanya, perlu dibuat aturan khusus yang mengatur soal apa dan bagaimana keabsahan SE dalam sistem hukum Indonesia. Bila persoalan ini dibiarkan berlarut, kehadiran SE akan terus mengganggu stabilitas pemerintahan dan mengancam kepastian hukum dalam penyelenggaraan negara.